Abstrak
Negara Norwegia, Belanda, dan Indonesia merupakan negara-negara yang
menganut sistem dua jalur (double track system) dalam pemberian sanksi bagi
orang yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Sistem dua jalur ini berarti
negara dapat menjatuhkan sanksi yang bersifat pidana (nestapa/penal) dan sanksi
yang bersifat tindakan (measure). Pembandingan dalam hal jenis pidana dan
tindakan dalam keempat model ini didapatkan beberapa titik perbedaan dalam
beberapa hal, di antaranya dalam hal jenis sanksi, baik yang berupa sanksi pidana
maupun tindakan, berat sanksi, dan aturan pemidanaan masing-masing sanksi.
Komparasi ini perlu dilakukan untuk mendukung upaya pembaharuan hukum
pidana Indonesia di masa depan. Hal-hal yang baik dalam hukum pidana negara
lain dapat dijadikan sebagai acuan untuk dapat atau tidaknya dimasukkan ke
dalam RUU KUHP.
A. Pendahuluan
Pidana merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana
selain tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Dalam penggunaan
istilah bahasa Indonesia sehari-hari, pembedaan istilah antara "pidana" dan
"hukuman" terletak pada sifat kekhususan dan keumuman kata yang
bersangkutan. Sebagai sebuah buku standar baku penggunaan bahasa
Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia membedakan antara kedua
istilah tersebut dalam sifat keumuman dan kekhususannya. Hukuman
lebih bersifat umum dan pidana lebih bersifat khusus. Pidana merupakan
bagian dari hukuman.
Dalam kamus tersebut disebutkan bahwa hukuman adalah siksa dan
sebagainya yang dikenakan terhadap orang yang melanggar undang-
undang dan sebagainya atau keputusan yang dijatuhkan oleh hakim atau
* Dosen Hukum Pidana pada Fakultas Syari'ah Universitas Islam Negeri Sunan
Kalijaga Yogyakarta dan Kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta.
2 Ahmad Bahiej: Perbandingan Jenis Pidana dan Tindakan…
terup-date pada bulan November 2005. RUU KUHP ini penulis download dari
www.legalitas.org sebagai situs resmi Direktorat Jenderal Perundang-undangan
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia pada tanggal 22 Oktober 2007.
Dr. John. Andenaes, (New York: Fred B. Rothman & Co, 1961), p. 1.
6 Barda Nawawi Arief, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
C. Jenis Pidana
Menurut KUHP Norwegia jenis pidana dan ketentuan-ketentuannya
diatur dalam Pasal 15-38. Pidana pokok (ordinary punishments) terdiri dari:
1. pidana penjara (imprisonment)
2. pidana jailing
3. pidana denda (fine)
Dalam keadaan tertentu, hak-hak seseorang dapat dihapuskan. Hak-
hak yang dihapuskan ini disebutkan dalam Pasal 29, yaitu:
1. Hak untuk menduduki jabatan publik yang mana karena
perbuatannya menyebabkan tidak mendapatkan keuntungan atau
tidak bernilai (loss of public office for which the convict, because of the offence,
has proved himself unfit or unworthy).
2. Hak untuk memegang jabatan atau ikut dalam pekerjaan tertentu yang
karena perbuatannya mengakibatkan tidak mendapatkan keuntungan
atau dia mungkin akan menyalahgunakannya yang memerlukan
kepercayaan publik tingkat tinggi selama lebih dari lima tahun atau
selamanya (loss for a definite period of up to five years, or forever, of the right to
hold office or to pursue a certain occupation for the convict, because of his offense,
8 The Dutch Penal Code, translated by Louise Rayar and Stafford Wadswoth,
(Colorado: Fred B. Rothman, 1997), p. 2.
has proved to be unfit, or which he might misuse, or for which a high degree of
public confidence is required).
Selanjutnya dalam Pasal 15 disebutkan bahwa a person may be sentenced
to loss of rights in addition to, or instead of, other punishment (garis bawah dari
penulis). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pidana pencabutan
hak ini dapat merupakan pidana pokok, pidana tambahan atau sebagai
pidana pengganti dari hukuman lain. Selanjutnya KUHP Norwegia
menentukan pula bahwa depreviation of rights may be substituted for other
punishment where the law specifies confinement for at least one year as punishment for
analisa act.
Pasal 16 KUHP Norwegia menyebutkan adanya pidana pelengkap
(supplementary punishments ) yang dapat dikombinasikan dengan pidana-
pidana yang tersebut dalam Pasal 15, yaitu:
1. Pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 30
dan Pasal 31 (deprivation of rights as stated in section 30 and 31). Hak-hak
yang dapat dicabut itu adalah hak untuk menjadi anggota angkatan
bersenjata (the right to serve in the armed forces) dan hak suara pada
peblisit publik dan pemilihan umum (the right to vote in public plebiscites
and elections).
2. Pembuangan dari tempat tertentu (banishment from specified places).
3. Penyitaan barang-barang tertentu (confiscation of specific objects).
Menurut KUHP Belanda, pidana diatur dalam Bab II Buku I Pasal
9-36. Pasal 9 menyebutkan bahwa sanksi pidana terdiri atas pidana pokok
(Pasal 9:1a) dan pidana tambahan (Pasal 9:1b). Pidana pokok (principal
penalties) terdiri dari:
1. pidana penjara (imprisonment)
2. pidana kurungan (detention)
3. Pidana kerja sosial (community service)
4. pidana denda (fine)
Adapun pidana tambahan (additional penalties) terdiri dari:
1. pencabutan hak-hak tertentu (deprivation of specific rights)
2. penempatan pada lembaga pendidikan negara (committal to a State
workhouse)
3. perampasan barang (forfeiture)
4. pengumuman putusan hakim (publication of the judgement)
Dalam KUHP Norwegia yang terjemahan ke dalam bahasa Inggris
oleh Harald Schjoldager, pidana pokok perampasan kemerdekaan
dibedakan menjadi imprisonment dan jailing. Imprisonment dipandang sebagai
jenis pidana yang lebih berat daripada jailing, namun kedua diancamkan
terhadap tindak pidana kejahatan (felony) dan pelanggaran (misdemeanor).
Perbedaannya terletak pada jumlah lamanya pidana. Untuk kejahatan
dapat dipidana dengan imprisonment lebih dari tiga bulan atau jailing yang
lebih dari enam bulan kecuali ditentukan lain. Sedangkan untuk
pelanggaran tidak demikian. Di samping itu, terdapat perbedaan dalam
pelaksanannya. Untuk kejahatan yang dijatuhi imprisonment dapat dikenakan
“tutupan tersendiri” (solitary confinement), sedangkan untuk jailing tidak dapat
diterapkan. Pasal 22 KUHP Norwegia juga menetapkan bahwa two days of
jailing correspond to one day of imprisonment.
KUHP Belanda dan Indonesia hanya mengenal pidana penjara
(imprisonment) dan tidak dikenal jailing, tetapi keduanya mengenal kurungan
(detention). Namun RUU KUHP Indonesia tidak lagi mengenal pidana
kurungan. Pidana pokok menurut RUU KUHP Indonesia dalam Pasal 65
terdiri dari:
1. pidana penjara
2. pidana tutupan
3. pidana pengawasan
4. pidana denda
5. pidana kerja sosial
Pidana penjara (imprisonment) menurut Pasal 17 KUHP Norwegia
dapat ditetapkan untuk jangka waktu 21 hari sampai 15 tahun dan untuk
kasus tertentu (Pasal 62) dijatuhkan sampai 20 tahun. Ini berarti minimum
umum pidana penjara menurut KUHP Norwegia adalah 21 hari dan
maksimum umumnya 15 tahun, kecuali kasus tertentu yang mencapai 20
tahun (maksimum khusus 20 tahun).
Pidana penjara dalam KUHP Belanda diatur dalam Pasal 10 seumur
hidup atau penjara selama waktu tertentu. Minimum umum pidana penjara
adalah satu hari dan maksimum umumnya 15 tahun kecuali ditentukan
lain yang mencapai 20 tahun (maksimum khusus 20 tahun).
Hal ini sama dengan RUU KUHP Indonesia yang menetapkan
minimum umum pidana penjara 1 hari. Sedangkan maksimum umum dan
maksimum khususnya sama, yaitu 15 tahun dan 20 tahun.
Pidana mati dan pidana penjara seumur hidup tidak dikenal lagi
dalam KUHP Norwegia. Pidana mati terakhir di Norwegia adalah pada
tahun 1876 saat adanya kasus pengkhianatan terhadap negara. Namun
demikian KUHP Militer Norwegia tetap mempertahankan pidana mati
bagi perbuatan-perbuatan pengkhianatan yang dilakukan selama perang
atau negara dalam keadaaan bahaya. Ini dapat juga diterapkan pada
masyarakat sipil.9 Adapun pidana penjara seumur hidup (life imprisonment)
dihapus dari KUHP Norwegia pada bulan Juni 1981.
10 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 1996), p. 99.
concerning such limitations were repealed in 1946, because such minima and
maxima for fines are regarded as contrary to the idea expressed in Section 27,
that the fine shall be proportional to the economic situation of the convict. The
sentence shall also stipulated a term of imprisonment which will be enforced in
case the fine is not paid (Section 28).11
Yang menjadi perbedaan dengan RUU KUHP Indonesia adalah
bahwa dalam RUU KUHP Indonesia pidana denda diatur juga minimum
umumnya, yaitu Rp. 15.000,00 dan maksimum umumnya ditetapkan
berdasarkan beberapa kategori yaitu:
1. Kategori I Rp. 1.500.000,00
2. Kategori II Rp. 7.500.000,00
3. Kategori III Rp. 30.000.000,00
4. Kategori IV Rp. 75.000.000,00
5. Kategori V Rp. 300.000.000,00
6. Kategori VI Rp. 3.000.000.000,0012
Persamaan RUU KUHP dengan KUHP Norwegia adalah
dicantumkannya ketentuan pidana denda yang didasarkan pada
kemampuan terpidana atau dengan kata lain memperhatikan keadaan
ekonominya. Pasal 81 RUU KUHP Indonesia menyebutkan:
a. Dalam penjatuhan pidana, wajib dipertimbangkan kemampuan
terpidana.
b. Dalam menilai kemampuan terpidana, wajib diperhatikan apa yang
dapat dibelanjakan oleh terpidana sehubungan dengan keadaan
pribadi dan kemasyarakatannya.
c. Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) tidak
mengurangi kewajiban untuk tetap menerapkan minimum khusus
pidana denda yang ditetapkan untuk tindak pidana tertentu.
KUHP Indonesia yang merupakan warisan kolonial Belanda dan
sampai sekarang masih diberlakukan, tidak mengenal pidana denda dengan
kategori sebagaimana dalam RUU KUHP Indonesia. Minimum denda
yang harus dibayarkan terpidana adalah 25 sen (Pasal 30 KUHP). Namun
demikian, KUHP Belanda sebagai sumber aslinya telah berubah sama
sekali pidana dendanya sejak tahun 1925 sampai tahun 1983. Pasal 23
KUHP Belanda yang mengatur pidana denda tersebut menentukan batas
minimal denda sebanyak 5 gulden dan mengenal enam kategori denda,
(Pasal 23:4) yaitu:
a. Kategori ke-1 : 500 gulden
11
The Norwegian Penal Code, Ibid, p. 8.
12Lihat Pasal 80 ayat (3) Rancangan Undang Undang tentang Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana Indonesia.
D. Jenis Tindakan
Jenis tindakan (measures) menurut KUHP Norwegia diatur dalam
Pasal 39-39b. Syarat ditetapkannya tindakan ini jika seseorang melakukan
tindak pidana dalam keadaan kegilaan (insanity), tidak sadar (unconsciousness),
tidak sadar yang disebabkan karena mabuk yang disengaja (voluntary
intoxication), kekurangsadaran yang bersifat temporal dan dilakukan oleh
seseorang yang kurang berkembang atau rusak kemampuan mentalnya
secara permanen dan jika terdapat bahaya karena pelaku akan mengulangi
perbuatannya. Untuk itu demi tujuan keamanan (purposes of safety) hakim
dapat :
1. menunjuk atau melarang pelaku pada tempat tinggal tertentu (assign or
forbid him a certain place of residence).
2. menempatkannya di bawah pengawasan polisi atau petugas
percobaan yang ditunjuk secara khusus pada jarak waktu yang terpola
(place him under the supervision of the police or the specially appointed probation
afficer at designated intervals).
3. melarang pelaku mengkonsumsi minuman beralkohol (forbid to consume
alcoholic beverages).
4. menempatkan pelaku pada perawatan pribadi yang dipercaya (place him
in reliable private care).
5. menempatkan pelaku pada rumah sakit mental, sanatorium, rumah
perawatan, atau lembaga pendidikan, di mana mungkin, sesuai dengan
ketentuan umum yang diumumkan Raja (place him in a mental hospital,
sanatorium, nursing home, or workhouse, where possible, in accordance with
general provision promulgated by the King).
Dalam Section 39a disebutkan bahwa hakim dapat menjatuhkan
penahanan untuk pencegahan (preventive detention), yakni jika pelaku akan
mengulangi tindak pidana–tindak pidana tertentu lagi (residivis). Tindak
pidana-tindak pidana itu disebutkan secara limitatif dalam Pasal 39a.
Namun demikian tindakan keamanan yang disebutkan dalam 39 bagi
pelaku abnormal maupun preventif detention yang disebutkan dalam Pasal
39a tidak dipandang sebagai pidana.
Bab khusus tentang tindakan dimasukkan ke dalam KUHP Belanda
berdasar UU 22 Mei 1958, Staatblaad 296 dan diubah dengan UU 31
Maret 1983, S. 153. Pasal-pasalnya ada yang mengalami perubahan sampai
tahun 1994. Bab ini terdiri dari dua bagian. Bab Pertama tentang
Confiscation and Deprivation of the Unlawfully Obtained Gains (Pasal 36a-f), dan
Baba Kedua tentang Committal to Psychiatric Hospital and Placement on Analisa
Entrustment Order (Pasal 37-38i).
diletakkan secara terpisah dan dikenakan bagi orang yang normal atau
dapat bertanggung jawab (Pasal 101 (2)). Tindakan-tindakan tersebut
adalah :
a. pencabutan surat izin mengemudi
b. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
c. perbaikan akibat tindak pidana
d. latihan kerja
e. rehabilitasi, dan atau
f. perawatan di lembaga.
Penutup
Berdasarkan penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa jenis
pidana dan tindakan dalam KUHP Norwegia, Belanda, Indonesia, dan
RUU KUHP Indonesia memiliki beberapa titik persamaan. Persamaan ini
adalah wajar karena keempat model menganut sistem yang sama dalam
penerapan sanksi pidana, yaitu double track system. Adapun beberapa titik
perbedaan dalam keempat model lebih dikarenakan adanya upaya
perbaikan sistematis di antara keempat model tersebut.
KUHP Indonesia yang bersumber dari KUHP Belanda patut
memperhatikan KUHP asing ini. Beberapa perbaikan mungkin telah
dilakukan dalam RUU KUHP Indonesia. Meski demikian, upaya
perbaikan dalam RUU KUHP tersebut masihlah layak untuk dilakukan
terus menerus mengingat perkembangan keilmuan hukum pidana di dunia
serta perkembangan kejahatan di masyarakat. Masa pembaharuan hukum
pidana Indonesia harus dijadikan pijakan untuk merombak hukum pidana
Indonesia yang masih berbau kolonial.
Daftar Pustaka