Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Pendekatan kognitif dan behavioral atau yang lebih dikenal dengan nama cognitive-behavioral
therapy, menjadi suatu praktek yang terkenal dalam psikologi konseling. Sebagai contoh lebih
dari setengah fakultas dan praktisi di dunia berdasarkan survey mendapatkan pengaruh besar dari
pendekatan kognitif dan behavioral, disamping itu mereka juga menjadikan pendekatan ini
sebagai pendekatan yang mereka gunakan pertama atau kedua dalam orientasi pendekatan
mereka.

Seperti halnya terapi perilaku, pendekatan perilaku kognitif cukup beragam, tetapi mereka
berbagi atribut ini: (1) hubungan kolaboratif antara klien dan terapis, (2) premis bahwa tekanan
psikologis sebagian besar merupakan fungsi dari gangguan proses kognitif (3) fokus pada
perubahan kognisi untuk menghasilkan perubahan yang diinginkan dalam mempengaruhi dan
perilaku, dan (4) umumnya waktu terbatas dan pengobatan pendidikan yang berfokus pada
masalah target tertentu dan terstruktur. Semua pendekatan perilaku kognitif didasarkan pada
struktur model psikologi pendidikan, dan mereka semua menekankan peran tugas, menempatkan
tanggung jawab pada klien untuk mengasumsikan peran aktif baik selama maupun di luar sesi
terapi, dan menarik dari berbagai kognitif dan strategi perilaku untuk membawa perubahan.

Walaupun teori ini telah muncul beberapa tahun yang lalu akan tetapi semua komponen yang ada
relevan dengan keadaan sekarang. Pada mulanya pendekatan kognitif dan behavioral adalah
pendekatan yang berdiri sendiri. Keduanya memiliki pandangan sendiri terhadap manusia,
bahkan memiliki metode terapi yang berbeda pula. Pendekatan Behavioral muncul berasal dari
B.F Skinner dengan teori kondisi pengoperan. Kemudian pendekatan behavioral ini menjadi
pendekatan yang populer padamasa 1960an. Pada tahun 1970an pendekatan behavioral
mendapatkan pengaruh dari teori kognitif. Bandura merupakan salah seorang yang pertama kali
menggunakan konsep pendekatan Kognitif-Behavioral.Pendekatan Kognitif-Behavioral memiliki
pandangan bahwa seorang individu memiliki perilaku yang dipengaruhi oleh kondisi internal
(kognitif). Berdasarkan hal tersebut, terapi Kognitif-Behavioral menekankan bahwa perubahan
tingkah laku dapat terjadi jika seorang individu mengalami perubahan dalam masalah kognitif.
Terapi dalam pendekatan Kognitif-Behavioral merupakan gabungan dari terapi yang ada pada
pendekatan Kognitif dan pendekatan Behavioral.

1. Rumusan Masalah
2. Bagaimana Sejarah terapi kognitive perilaku?
3. Bagaimana Pokok-pokok teori konseling kognitiv?
4. Bagaimana sejarah REBT?
5. Bagaimana hakikat manusia dalam REBT?
6. Bagaimana perkembangan perilaku menurut REBT?
7. Bagaimana hakikat konseling menurut REBT?
8. Bagaimana kondisi pengubahan menurut REBT?
9. Bagaimana mekanisme pengubahan menurut REBT?
10. Tujuan
11. Untuk mengetahui sejarah kognitiv perilaku terapi.
12. Untuk mengetahui pokok-pokok teori konseling kognitiv.
13. Untuk mengetahui sejarah REBT.
14. Untuk mengetahui hakikat manusia dalam REBT.
15. Untuk mengetahui perkembangan perilaku dalam REBT.
16. Untuk mengetahui hakikat konseling dalam REBT.
17. Untuk mengetahui kondisi pengubahan dalam REBT.
18. Untuk mengetahui mekanisme pengubahan menurut REBT.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Sejarah terapi kognitiv perilaku

Pendiri terapi perilaku kognitif Aaron T. Beck, MD, yang lulus dari Brown University dan Yale
Medical School. Dr Beck mengembangkan terapi perilaku kognitif pada awal 1960-an ketika ia
adalah seorang psikiater di University of Pennsylvania.

Terapi kognitif Aaron Beck adalah “ Didasarkan pada alasan teoritis dasar dimana afektiv dan
perilaku individual adalah sangat didasarkan dan ditentukan oleh cara dimana ia menyusun
dunia”.

Penyusunan dunia seseorang didasarkan pada kognisi (idea verbal atau gambaran yang ada bagi
alam sadar), yang didasarkan pada asumsi (skema yang dikembangkan dari pengalaman
sebelumnya).

Menurut Beck, jika seseorang menginterpretasikan pengalaman dalam hal apakah ia kompeten
dan adekuat, pikirannya mungkin didominasi oleh skema,” jika saya tidak melakukan segalanya
dengan sempurna, saya adalah gagal” . Sebagai akibatnya, ia bereaksi terhadap situasi dalam hal
keadekuatan kendati pun hal tersebut tidak berhubungan dengan apakah ia kompeten secara
pribadi atau tidak.

Terapi Kognitif-Behavioral (TKB) atau Cognitive-Behavioral Therapy (CBT) merupakan salah


satu bentuk konseling yang bertujuan membantu klien agar dapat menjadi lebih sehat,
memperoleh pengalaman yang memuaskan, dan dapat memenuhi gaya hidup tertentu, dengan
cara memodifikasi pola pikir dan perilaku tertentu. Pendekatan kognitif berusaha memfokuskan
untuk menempatkan suatu pikiran, keyakinan, atau bentuk pembicaraan diri (self talk) terhadap
orang lain (misalnya, hidup saya sengsara sehingga sulit untuk dapat menentukan tujuan hidup
saya). Selain itu, terapi juga memfokuskan pada upaya membelajarkan klien agar dapat memiliki
cara berpikir yang lebih positif dalam berbagai peristiwa kehidupan dan tidak hanya sekedar
berupaya mengatasi penyakit atau gangguan yang sedang dialaminya.. Dengan kata lain,
konseling kognitif memfokuskan pada kegiatan mengelola dan memonitor pola fikir klien
sehingga dapat mengurangi pikiran negatif dan mengubah isi pikiran agar dapat diperoleh emosi
yang lebih positif. Sedangkan Konseling Behavioral memfokuskan pada kegiatan (tindakan)
yang dilakukan klien, menentukan bentuk imbalan (rewards) yang dapat mendorong klien untuk
melakukan tindakan tertentu, pemberian konsekuensi yang tidak menyenangkan, guna mencegah
klien melakukan tindakan yang tidak dikehendaki.

1. Pokok-pokok teori konseling kognitiv


Asumsi utama dalam konseling adalah bahwa pikiran menyimpang atau pikiran-pikiran bisa
mempengaruhi mood dan mempengaruhi tindakan konseling. Tujuan konseling kognitiv adalah
untuk mengajarkan pada konseli untuk mengenali, mengevaluasi, dan memodivikasi keyakinan
dan pikiran-pikiran yang menyimpang.

1. Pandangan tentang sifat dasar manusia


Faktor yang menyebabkan terjadinya gangguan atau kesalahan kognitiv, termasuk didalamnya
faktor biologis dan kecenderungan genetik, pengalaman disepanjang hayat hidup, dan akumulasi
pengetahuan dan belajar. Seperti yang dikemukakan oleh Beck, (1990:23) gangguan kognitiv
atau kesalahan keyakinan diduga terbentuk sebagai hasil dari interaksi antara kecenderungan
genetik (bawaan) individu dengan pengaruh negative dari orang lalin dan berbagai peristiwa
traumatik. Gangguan kognisi tersebut mulai terbentuk dari mulai masa kanak-kanak dan
dirfleksikan dalam kenyataan fundamental orang dewasa. Jika anak telah mengalami gangguan
kognitiv mereka akan rentan terhadap masalah-masalah yang berkaitan dengan peristiwa hidup.

Manusia yang sehat secara psikologis adalah mereka yang sadar tentang kognisinya. Mereka
dapat menguji hipotesis secara sistematis, dan jika mereka menemukan asumsi-asumsi yang
tidak tepat, mereka dapat segera menggantinya dengan keyakinan yang lebih fungsional yang
mengarahkan pada pembentukan emosi dan perilaku yang lebih positive.

2. Sistem teori
3. Prinsip-prinsip konseling kognitiv
Beck (1995), beck dan ermey (1995) dan beck et all (1990) mengemukakan prinsip-prinsip yang
mensifati praktek konseling kognitiv sebagai berikut :

 Konseling kognitiv didasarkan pada temuan bahwa perubahan pikiran akan menghasilkan
perubahan pikiran akan menghasilkan perubahan perasaan dan tindakan.
 Program perlakuan yang efektiv menuntut adanya kolaborasi dan aliansi terapeutik.
 Program perlakuan berlangsung singkat, berpusat pada masalah dan berorientasi pada tujuan.
 Konseling kognitiv merupakan suatu model pendekatan perlakuan yang aktiv dan terstruktur.
 Konseling kognitiv memusatkan perhatian pada saat masa lampau sepanjang itu memang
diperlukan.
 Asesmen, diagnosis, dan perencanaan perlakuan merupakan bagian integral dalam proses
perlakuan.
 Konseling kognitiv merupakan suatu model pendekatan psikoedukasional yang mendorong
kesehatan emosional dan mencegah individu agar tidak kembali mengalami gangguan emosional
dengan cara mengajari mereka mengenali, mengevaluasi, dan memodivikasi kognisi mereka.
 Pendekatan ini menggunakan teknik dan strategi intervensi yang merentang luas.
 Model ini mengguanakan penalaran induktiv dan pertanyaan socratic untuk membantu individu
menaksir secara akurat kognisinya.
 Pemberian tugas, tindak lanjut, dan umpan balik konseli adalah penting guna menjamin
keberhasilan dalam penerapan pendekatan ini.
1. Tingkat kognisi
Beck membagi kognisi individu ke dalam 4 tingkatan berikut :

1. Pikiran otomatis
Pikiran otomatis merupakan cucuran atau aliran kognisi yang terus menerus mengalir melalui
mental kita. Pikiran-pikiran khusus setiap situasional secara spontal untuk mereaksi pengalaman
kita.

Contoh pikiran otomatis :

“Saya pikir saya tak akan pernah dapat melakukannya “

Pikiran otomatis menjembatani situasi dan emosi. Artinya, dari situasi tertentu dapat muncul
pikiran otomatis tertentu dapat muncul pikiran otomatis tertentu dan dapat membangkitkan
emosi tertentu. Emosi tidak disebabkan oleh situasi tapi oleh pikiran otomatis atau pemaknaan
terhadap situasi. Oleh karena itu, memaknai pikiran otomatis konseli sangat sangat penting untuk
tujuan mengubah emosinya. Perhatikan contoh berikut :

Situasi : Amir memperoleh nilai D dalam suatu ujian.

Pikiran otomatis : Amir berpikir bahwa dosen tidak menyukainya.

Emosi : Amir kecewa, marah, malu, sedih.

Bandingkan
Pikiran otomatis : Amir berpikir jika banyak jawabannya yang salah.

Emosi : tenang, kalem, datar bergairah untuk belajar lagi.

2. Keyakinan tingkat tinggi


Keyakinan tingkat tinggi seringkali merefleksikan suatu aturan dan sikap yang absolut yang
membentuk pikiran otomatis. Dalam contoh diatas, keyakinan tingkat tinggi mungkin
direfleksikan dalam bentuk pengakuan berikut :

“Dosen seharusnya tidak memberi nilai D dalam ujian”

“Dosen yang memberi nilai D pada hasil ujian tidak manusiawi”

“Dosen yang memberi nilai D sangat merugikan mahasiswa”


“Mahasiswa yang mendapat nilai D harus lebih tekun belajar”

3. Keyakinan inti
Keyakinan ini merupakan ide sentral tentang diri yang mendasari berbagai pikiran otomatis dan
selalu direflesikan dalam keyakinan lanjut. Keyakinan inti dapat digambarkan sebagai global
absolut dan overgeneralized (Beck, 1995). Keyakinan inti memiliki beberapa karakteristik
berikut :

 Berakar pada pengalaman masa kanak-kanak tetapi ia selalu dimodifikasi atau diubah.
 Merefleksikan pandangan diri, tentang lingkungan atau diluar dan masa depan.
 Bersifat positif atau negative
4. Skema
Skema didefinisikan sebagai struktur kognitiv yang mencakup keyakinan inti atau suatu aturan
khsusus yang mencakup keyakinan khusus yang mengendalikan perilaku dan pemprosesan
informasi (Beck, 1995). Kita memiliki banyak skema yang bertindak sebagai filter atau saringan
mental. Skema yang dimiliki akan mempengaruhi cara kita mempersepsi realita dan dapat
bersifat personal, familial, kultural, religi, gender, dan okaposional (Beck, 1990).

3. Implementasi
4. Tujuan konseling
Tujuan umum konseling kgnitiv adalah membantu konseli mengidentifikasi kesalahan-kesalahan
dalam sistem pengolahan informasi dan kemudian membetulkannya. Untuk mencapai kondisi
ini, konselor membantu konseli mengidentifikasi pikiran-pikiran otomatis dan keyakinan intinya
dan kemudian mempertalikannya dengan emosi dan perilakunya, mengevaluasi validitas dari
pikiran-pikirannya dan kemudian memodifikasinya. Sepanjang proses perlakuan, konseli diajar
untuk mengguanakan proses ini bagi dirinya sendiri dan mengembangkan sikap dan ketrampilan
untuk berfikir lebih realistis untuk membawa pada kehidupan yang lebih menyenangkan. Tujuan
ini ditetapkan melalui kolaborasi antara konselor dengan konseli dan kemudian harus
dirumuskan secara operasional. Tujuan yang telah disepakati selanjutnya dituliskan diatas kertas
dan kemudian dikopi untuk konselor dan konseli.

1. Proses konseling
Proses perlakuan konseling kognitiv selalu mengguanakan waktu yang terbatas (singkat), yakni
antara 4-14 sesi untuk masalah-masalah yang relative jelas. Setiap sesi distruktur dan dirancang
dengan cermat guna mengoptimalkan keefektivan dan keefesienannya. Sebelum program
perlakuan diterapkan, individu lebih terdahulu diminta untuk melengkapi inventori dan angket.
Konselor selanjutnya memeriksa data yang terkumpul sebelum masuk ke sesi pertama.

 Membantu klien dalam mengenali, menganalisis dan mengelola keyakinannya.


 Membiarkan klien bersandar pada memorinya, dan berusaha untuk memvalidasimya.
 Menempatkan dan menitikberatkan pada keyakinan klien, tentang siapa dirinya dan apa tujuan
hidup dia di dunia ini
 Menjaga fokus pada upaya meningkatkan “kepuasan hidup secara menyeluruh”, bukan pada
upaya penurunan emosi yang negatif
 Membelajarkan dan mendidik yakni memberikan kesempatan kepada klien untuk
memeriksa/memguji kembali apa yang telah diucapkannya dengan kenyataan dirinya.
 Mengidentifikasi dan berbagai keterampilan praktis (misalnya, tentang penetapan tujuan dan
pemecahan masalah).
 Melanjutkan untuk melakukan pekerjaan ini untuk waktu jangka panjang, setelah proses
konseling selesai.
1. TEKNIK
KKB menggunakan banyak teknik. Teknik-teknik tersebut terutama bersifat kognitiv, namun
juga diambil dari pendekatan perilaku (Seligman, 1996 : 2001). Beberapa teknik tersebut antara
lain :

 Penjadwalan kegiatan dapat memberi konseli kesempatan untuk mencoba perilaku dan cara-cara
berpikir baru dan mendorong mereka untuk tetap aktiv meskipun merasa tidak nyaman. Secara
khusus teknik ini sangat baik untuk membantu individu-individu yang menderita kecemasan atau
depresi.
 Imajeril mental dan emosional dapat membantu konseli untuk memimpikan dan memcoba cara-
cara baru dalam merasa dan berfikir. Mereka mungkin membayangkan dirinya sedang
menangani problema dengan berhasil, mengubah bagian-bagian dari suatu imej untuk
menurunkan tekanan emosional. Misalnya, seorang siswa menganggap dirinya tidak menarik
misalnya membayangkan dia sedak memikat dan dikagumi banyak orang karena kepandaiannya
dalam bermain bola.
 Modelling tertutup dan modelling kognitiv merupakan suatu strategi yang digunakan untuk
melatih konseli secara mental bentuk-bentuk perilaku baru yang lebih efektiv dan kemudian
menciptakan suatu model kognitiv bagi dirinya sendiri unrtuk membentuk perilaku tersebut
dengan berhasil.
 Penghentian pikiran sangat efektif untuk membantu konseli yang terus menerus memiliki pikiran
negative tentang dirinya dan menyalahkan dirinya bagi kegagalan-kegagalan yang dialaminya.
 Teknik biblioterapi efektif untuk membantu konseli memodifikasi pikiran-pikiran mereka dengan
cara memberinya bacaan yang berisikan cerita-cerita tentang cerita-cerita orang yang berhasil
dalam menangani masalah mereka.
 Teknik reframing dan relabeling digunakan untuk membantu konseli membentuk atau
mengembangkan pikiran yang lain yang berbeda dengan dirinya. Contoh siswa yang
mendapatkan nilai jelek dalam beberapa kali ujian akan berpikir bahwa dirinya adalah orang
yang gagal, tetapi beralih memandang dirinya sebagai orang yang mampu mencapai keberhasilan
jika mau bekerja keras.
1. Sejarah REBT
Teori Rasional Emotif Behaviour Terapi adalah aliran yang berlandaskan asumsi bahwa manusia
dilahirkan dengan potensi, baik untuk berfikir rasional dan jujur maupun berpikir irasional atau
jahat.

Menurut Albert Ellis, manusia pada dasarnya adalah unik yang memiliki kecenderungan untuk
berpikir rasional dan irasional. Ketika berpikir dan bertingkahlaku rasional manusia akan efektif,
bahagia, dan kompeten. Ketika berpikir dan bertingkahlaku irasional individu itu menjadi tidak
efektif. Reaksi emosional seseorang sebagian besar disebabkan oleh evaluasi, interpretasi, dan
filosofi yang disadari maupun tidak disadari. Hambatan psikologis atau emosional tersebut
merupakan akibat dari cara berpikir yang tidak logis dan irasional, yang mana emosi yang
menyertai individu dalam berpikir penuh dengan prasangka, sangat personal, dan irasional.

Berpikir irasional ini diawali dengan belajar secara tidak logis yang biasanya diperoleh dari
orang tua dan budaya tempat dibesarkan. Berpikir secara irasional akan tercermin dari kata-kata
yang digunakan. Kata-kata yang tidak logis menunjukkan cara berpikir yang salah dan kata-kata
yang tepat menunjukkan cara berpikir yang tepat. Perasaan dan pikiran negatif serta penolakan
diri harus dilawan dengan cara berpikir yang rasional dan logis, yang dapat diterima menurut
akal sehat, serta menggunakan cara verbalisasi yang rasional.

REBT lebih banyak kesamaannya dengan terapi-terapi yang berorientasi pada kognitif-tingkah
laku-tindakan dalam arti ia menitikberatkan berfikir, menilai, memutuskan, menganalisis, dan
bertindak. REBT sangat didaktik dan direktif serta lebih banyak berurusan dengan dimensi-
dimensi pikiran ketimbang dengan dimensi-dimensi perasaan.

1. Hakikat Manusia
Keberfungsian individu secara psikologis ditentukan oleh pikiran, perasaan dan tingkah laku.
Tiga aspek ini saling berkaitan karena satu aspek mempengaruhi aspek lain Secara khusus,
pendekatan ini berasumsi bahwa individu memiliki karakteriktis sebagai berikut:

1. Individu memiliki karakter unik untuk berpikir rasional dan irasional.


2. Pikiran irasional berasal dari proses belajar, yang irasional didapat dari orang tua dan budayanya.
3. Manusia adalah makhluk verbal dan berpikir melalui symbol dan bahasa.
4. Gangguan yang terus-menerus emosional yang disebabkan oleh verablisasi dan persepsi serta
sikap terhadap kejadian yang merupakan akar permasalaha, bukan karena permasalahan itu
sendiri.
5. Individu memiliki potensi untuk mengubah arah hidup personal dan sosialnya.
6. Pikiran dan perilaku yang negative dan merusak diri dapat diserang dengan mengorganisasikan
kembali persepsi dan pemikiran, menjadi lebih logis dan rasional.
Meskipun teori initidak membahas tahap perkembangan individu, menurut REBT bahwa anak-
anak paling gampang terkena pengaruh dari luar dan memiliki pikiran irasional daripada orang
dewasa.

Pada dasarnya,mausia itu naif, mudah disugesti, dan mudah terusik. Secara keseluruhan orang
mempunyai kemampuan dalam dirinya sendiri untuk mengontrol pikiran, perasaan dan tindakan,
tetapi pertama-tama dia harus menyadari apa yang mereka katakan pada diri sendiri (bicara pada
diri sendiri) untuk mendapatkan atas kehidupannya. Ellis mengidentifikasi 12 keyakinan
irrasional individu yang dapat mengakibatkan masalah, yaitu:

1. Saya yakin harus dicintai atau disetujui oleh hampir setipa orang dimana saya menjalin kontak.
2. Saya yakin mestinya harus benar-benar kompeten, adekuat dan mencapai satu tingkat
penghargaan yang diakui seutuhnya.
3. Beberapa orang berwatak buruk, jahat dan kejam, karena itu mereka layak disalahkan dan
4. Menjadi sebuah bencana besar ketika suatu hal terjadi seperti yang tidak pernah saya inginkan.
5. Ketidakbahagiaan disebabkan oleh situasi tertentu yang berada diluar kemampuan saya
6. Hal-hal yang berbahaya atau menakutkan adalah sumber terbesar kekhawatiran, dan saya harus
mewaspadai potensi destruktifnya.
7. Lebih mudah menghindari kesulitan dan tanggung jawab tertentu ketimbang menghadapinya.
8. Saya meatinya bergantung pada beberapa hal dan orang lain, dan mestinya memiliki orang-orang
yang sungguh bisa diandalkan untuk memperhatikan saya.
9. Pengalaman dan kejadian masa lalu menentukan perilaku saya saat ini; pengaruh masa lalu tidak
pernah bisa dihapus.
10. Saya mestinya cukup kesal terhadap problem dan gangguan yang ditimbulkan orang lain.
11. Selalu terdapat solusi benar atau sempurna untuk setiap problem, dan itu mestinya bisa
ditemukan, atau problemnya tidak akan pernah selesai hingga tuntas.
12. Individu secara umum mempunyai nilai diri sebagai manusia dan penerimaan diri untuk
tergantung dari kebaikan penampilan individu dan tingkat penerimaan oleh orang lai terhadap
individu.
13. Perkembangan Perilaku
14. Struktur Kepribadian
Pandangan pendekatan rasional emotif tentang kepribadian dapat dikaji dari konsep-konsep
kunci teori Albert Ellis : ada tiga pilar yang membangun tingkah laku individu, yaitu Activating
event (A), Belief (B), dan Emotional consequence (C). Kerangka pilar ini yang kemudian dikenal
dengan konsep atau teori ABC.
 Activating event (A) yaitu seluruh peristiwa luar yang dialami atau memapar individu. Peristiwa
pendahulu yang berupa fakta, kejadian, tingkah laku, atau sikap orang lain. Perceraian suatu
keluarga, kelulusan bagi siswa, dan seleksi masuk bagi calon karyawan merupakan antecendent
event bagi seseorang.
 Belief (B) yaitu keyakinan, pandangan, nilai, atau verbalisasi diri individu terhadap suatu
peristiwa. Keyakinan seseorang ada dua macam, yaitu keyakinan yang rasional (rational belief
atau rB) dan keyakinan yang tidak rasional (irrasional belief atau iB). Keyakinan yang rasional
merupakan cara berpikir atau sistem keyakinan yang tepat, masuk akal, bijaksana, dan karena itu
menjadi produktif. Keyakinan yang tidak rasional merupakan keyakinan atau sistem berpikir
seseorang yang salah, tidak masuk akal, emosional, dan karena itu tidak produktif.
 Emotional consequence (C) merupakan konsekuensi emosional sebagai akibat atau reaksi
individu dalam bentuk perasaan senang atau hambatan emosi dalam hubungannya dengan
antecendent event (A). Konsekuensi emosional ini bukan akibat langsung dari A tetapi
disebabkan oleh beberapa variable antara dalam bentuk keyakinan (B) baik yang rB maupun
yang iB.
 Disputing (D), terdapat tiga bagian dalam tahap disputing, yaitu:
1) Detecting irrational beliefs
Konselor menemukan keyakinan klien yang irasional dan membantu klien untuk menemukan
keyakinan irasionalnya melalui persepsinya sendiri.

2) Discriminating irrational beliefs


Biasanya keyakinan irasional diungkapkan dengan kata-kata: harus, pokoknya atau tuntutan-
tuntutan lain yang tidak realistik. Membantu klien untuk mengetahui mana keyakinan yang
rasional dan yang tidak rasional.

3) Debating irrational beliefs


Beberapa strategi yang dapat digunakan: The lecture (mini-lecture), memberikan penjelasan.
Socratic debate , mengajak klien untuk beradu argumen. Humor, creativity seperti: cerita,
metaphors, dll. Self-disclosure : keterbukaan konselor tentang dirinya (kisah konselor, dll).

2. Pribadi Sehat dan Bermasalah


3. Pribadi sehat
Individu yang dapat berpikir secara rasional dalam menanggapi setiap rangsangan terhadap
dirinya.

1. Pribadi Bermasalah
Dalam perspektif pendekatan konseling rasional emotif tingkah laku bermasalah merupakan
tingkah laku yang didasarkan pada cara berpikir yang irrasional. Terdapat tujuh faktor yang
dapat digunakan untuk mendeteksi pikiran irasional, yaitu:

1. Lihat pada generalisasi yang berlebihan (overgeneralization)


2. Lihat pada distorsi (distortion)
3. Lihat pada hal-hal yang dihapus (deletion)
4. Lihat pada hal-hal yang dianggap tragedy atau bencana (catastrophising)
5. Lihat pada penggunaan kata-kata absolut
6. Lihat pada pernyataan yang menunjukkan ketidaksetujuan terhadap sesuatu atau seseorang yang
konseli pikir mereka tidak dapat menahannya.
7. Lihat pada ramalan atau prediksi masa depan.
8. Hakikat Konseling
Konseling rasional emotif dilakukan dengan menggunakan prosedur yang bervariasi dan
sistematis yang secara khusus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku dalam batas-batas
tujuan yang disusun secara bersama-sama oleh konselor dan klien.

Karakteristik Proses Konseling Rasional-Emotif :

1. Aktif-direktif , artinya bahwa dalam hubungan konseling konselor lebih aktif membantu
mengarahkan klien dalam menghadapi dan memecahkan masalahnya.
2. Kognitif-eksperiensial , artinya bahwa hubungan yang dibentuk berfokus pada aspek kognitif
dari klien dan berintikan pemecahan masalah yang rasional.
1. Emotif-ekspreriensial , artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan juga
memfokuskan pada aspek emosi klien dengan mempelajari sumber-sumber gangguan emosional,
sekaligus membongkar akar-akar keyakinan yang keliru yang mendasari gangguan tersebut.
2. Behavioristik , artinya bahwa hubungan konseling yang dikembangkan hendaknya menyentuh
dan mendorong terjadinya perubahan tingkah laku klien.
1. G. Kondisi Pengubahan
2. Tujuan
Tujuan utama REBT berfokus pada membantu konseli untuk menyadari bahwa mereka dapat
hidup rasional dan produktif. REBT membatu konseli agar berhenti membuat tuntutan dan
merasa kecal melalui kekacauan, konseli dalam REBT dapat mengekspresikan beberapa
perasaan negatif, tetapi tujuan utamanya adalah membatu klien agar tidak memberikan
tanggapan emosional melebihi yang selayaknya tehadap sesuatu peristiwa. REBT juga
mendorong konseli untuk lebih toleran terhadap diri sendiri dan orang lain, serta mengajak
mereka untuk mencapai tujuan pribadi. Tujuan tersebut dicapai dengan mengajak orang berfikir
rasional untuk mengubah tingkah laku menghancurkan diri dan dengan membantunya
mempelajari cara bertindak yang baru.

2. Sikap, Peran dan Tugas Konselor


Tugas utama konselor dalam hal ini secara pokok ada dua:

1. Interpersonal, yaitu membangun hubungan terapeutik, membangun rapport, dan suasana


kolaboratif
2. Organisational, yaitu bersosialisasi dengan konseli untuk memulai terapi, mengadakan proses
assesmen awal, menyetujui wilayah masalah dan membangun tujuan konseling.
Konselor harus aktif dan langsung. Mereka adalah instruktur yang mengajarkan dan
membetulkan kognisi konseli. Melawan keyakinan yang tertanam kuat membutuhkan lebih dari
sekedar logika. Dibutuhkan repetisi dan konsistensi. Oleh karena itu, konselor harus menyimak
dengan cermat untuk menemukan pernyataan tidak logisatau salah dari kliennya dan keyakinan
yang bertentangan. Konselor harus cerdas, berwawasan, empatik, respek, tulus, konkret, bertekad
kuat, ilmiah, berminat membantu orang lain, dan pengguna REBT. Terapis REBT menganggap
bahwa kondisi fasilitatif inti dari empati, penerimaan tanpa syarat dan keaslian sering diinginkan,
namun itu tidak cukup untuk merubah dalam terapi konstruktif. Untuk membatu perubahan
tersebut terjadi, terapis REBT perlu membantu klien mereka untuk melakukan hal berikut:

 Sadarilah bahwa sebagian besar masalah psikologis ditimbulkan oleh mereka sendiri.
 Mengakui sepenuhnya bahwa mereka mampu mengatasi masalahnya.
 Memahami bahwa masalah mereka berasal dari sebagian besar keyakinan mereka yang
irrasional.
 Mendeteksi keyakinan irrasional dan membedakannya dengan keyakinan rasional mereka.
 Periksa keyakinan irasional mereka dan keyakinan rasional mereka sampai mereka melihat
dengan jelas bahwa keyakinan irasional mereka adalah palsu, tidak logis dan tidak konstruktif,
sementara keyakinan rasional mereka benar, masuk akal dan konstruktif.
 Berusaha menuju internalisasi keyakinanbaru mereka yang irrasional dengan menggunakan
berbagai metode kognitif (termasuk imaginal), emosi dan metode perubahan perilaku. Dalam
tindakan tertentu dengan cara-cara yang konsisten dengan keyakinan rasional mereka ingin
mengembangkan dan menahan diri dari bertindak dengan konsisten menggunakan keyakinan
lemah mereka yang irasional.
 Perluas proses pemeriksaan keyakinan dan menggunakan metode perubahan multimodal ke
daerah kehidupan mereka yang lain dan berkomitmen untuk melakukannya selama diperlukan
kenyataan.
3. Situasi Hubungan
Karena REBT pada dasarnya adalah proses perilaku kognitif dan direktif, sebuah hubungan
intens antara terapis dan klien tidak diperlukan. Seperti halnya terapi person centered Rogers,
praktisi REBT menerima tanpa syarat semua klien dan juga mengajarkan mereka untuk
menerima orang lain tanpa syarat dan diri mereka sendiri. Namun, Ellis yakin bahwa terlalu
banyak kehangatan dan pemahaman dapat menjadi kontraproduktif dengan menumpuk rasa
ketergantungan persetujuan dari terapis. Praktisi REBT menerima klien mereka sebagai makhluk
tidak sempurna yang dapat dibantu melalui berbagai teknik mengajar, biblioterapi dan modifikasi
perilaku,. Ellis membangun hubungan dengan kliennya dengan menunjukkan kepada mereka
bahwa ia memiliki iman yang besar dalam kemampuan mereka untuk merubah diri mereka
sendiri dan bahwa ia memiliki alat untuk membantu mereka melakukan hal ini. Terapis REBT
sering terbuka dan langsung dalam pengungkapan keyakinan diri dan nilai-nilai. Mereka bersedia
untuk berbagi ketidaksempurnaan diri mereka sebagai cara untuk memperjuangkan gagasan
realistis klien. Itu adalah penting untuk membangun sebanyak mungkin hubungan egaliter,
sebagai lawan untuk menghadirkan diri sebagai sebuah otoritas.

1. Mekanisme Pengubahan
2. Tahap-tahap Konseling
TAHAP I

Proses dimana konseli diperlihatkan dan disadarkan bahwa mereka tidak logis dan irrasional.
Proses ini memnbantu klien memahami bagaimana dan mengapa dapat terjadi irrasional. Pada
tahap ini konseli diajarkan bahwa mereka mempunyai potensi untuk mengubah hal tersebut.

TAHAP II

Pada tahap ini konseli dibantu untuk yakin bahwa pemikiran dan perasaan negatif tersebut dapat
ditantang dan diubah. Pada tahap ini konseli mengeksplorasi ide-ide untuk menentukan tujuan-
tujuan rasional. Konselor juga mendebat pikiran irasional konseli dengan menggunakan
pertanyaan untuk menantang validitas ide tentang diri, orang lain dan lingkungan sekitar. Pada
tahap ini konselor menggunakan teknik-teknik konseling REBT untuk membantu konseli
mengembangkan pikiran rasional.

TAHAP III

Tahap akhir, konseli dibantu untuk secara terus menerus mengembangkan pikiran rsional serta
mengembangkan fillosofi hidup yang rasional sehingga konseli tidak terjebak pada masalah yang
disebabkan oleh pemikirian irasional. Tahap-tahap ini merupakanproses natural dan
berkelanjutan. tahap ini menggambarkan keseluruhan proses konseling yang dilalui oleh
konselor dan konseli.

2. Teknik-teknik Konseling:
Teknik Kognitif

 Dispute Kognitif (cognitive disputation)


 Analisis Rasional (rational analysis)
 Dispute standar ganda (double-standart dispute)
 Skala katastropi (catastrophe scale)
 Devil’s advocate atau rational role reversal
 Membuat frame ulang (refeaming)
Teknik Imageri
 Dispute imajinasi ( imaginal disputation)
 Kartu kontrol emosional ( the emotional control card – ECC)
 Proyeksi Waktu (time projection)
 Teknik melebih-lebihkan (the blow-up technique)
Teknik Behavioral

 Dispute tingkah laku (behavioral disputation)


 Bermain peran (role playing)
 Peran rsional tebalik (ratinal role reversal)
 Pengalaman langsung (exposure)
 Menyerang rasa malu (shame attacking)
 Pekerjaan rumah (homework assignment)
1. Hasil Penelitian
2. Aaron Beck – Cognitive Therapy
Cognitive Therapy, didasarkan pada alasan teoritis bahwa cara orang merasakan dan berperilaku
ditentukan oleh bagaimana mereka memahami dan struktur pengalaman mereka

2. Donald Maichenbaum – Cognitive Behavior Modification


Cognitive Behavior Modification, pernyataan terhadap diri dalam banyak hal juga
mempengaruhi diri seperti halnya pernyataan dari orang lain. Merubah pola sifat untuk
mengevaluasi perilaku.

1. KELEMAHAN DAN KELEBIHAN


KELEBIHAN

 Pendekatan ini jelas, mudah dipelajari dan efektif. Kebanyakan klien hanya mengalami sedikit
kesulitan alam mengalami prinsip ataupun terminologi REBT.
 Pendekatan ini dapat dengan mudahnya dikombinasikan dengan teknik tingkah laku lainnya
untuk membantu klien mengalami apa yang mereka pelajari lebih jauh lagi.
 Pendekatan ini relatif singkat dan klien dapat melanjutkan penggunaan pendekatan ini secara
swa-bantu.
 Pendekatan ini telah menghasilkan banyak literatur dan penelitian untuk klian dan konselor.
Hanya sedikit teori lain yang dapat mengembangkan materi biblioterapi seperti ini.
 Pendekatan ini terus-menerus berevolusi selama bertahun-tahun dan teknik-tekniknya telah
diperbaiki.
 Pendekatan ini telah dibuktikan efektif dalam merawat gangguan kesehatan mental parah seperti
depresi dan anseitas.
KELEMAHAN

 Pendekatan ini tidak dapat digunakan secara efektif pada individu yang mempunyai gangguan
atau keterbatasan mental, seperti schizophrenia, dan mereka yang mempunyai kelainan
pemikiran yang berat.
 Pendekatan ini terlalu diasosiasikan dengan penemunya, Albert Ellis. Banyak individu yang
mengalami kesulitan dalam memisahkan teori dari ke-eksentrikan Ellis.
 Pendekatan ini langsung dan berpotensi membuat konselor terlalu fanatik dan ada kemungkinan
tidak merawat klien seideal yang semestinya.
 Pendekatan yang menekankan pada perubahan pikiran bukanlah cara yang paling sederhana
dalam membantu klien mengubah emosinya.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Albert Ellis pada tahun 1995 mengembangkan REBT atau Rational Emotive Behavioral Therapy
yang merupakan salah satu dari terapi kognitif behavioral. REBT berorientasi kepada kesadaran
dan kelakuan sebagai itu juga tekanan yang berpikir, menilai, mengambil keputusan, analisa dan
perilaku. Penerimaan dasar REBT adalah bahwa orang membantu dalam masalah psikologis
mereka sendiri, serta sampai gejala spesifik, oleh cara mereka menerjemahkan peristiwa dan
situasi yang dialami. REBT didasarkan pada asumsi bahwa manusia dilahirkan dengan potensi
untuk berfikir rasional dan tidak rasional. REBT mencoba menolong mereka menerima diri
sendiri sebagai makhluk yang akan membuat kesalahan.

REFERENSI

Corey, Gerald. 2009. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi Kedelapan.
USA: Thomson Brooks Inc. Cole.
Corey, Gerald. 2001. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy. Edisi Keenam.
USA: Thomson Brooks Inc. Cole.
Drewes, Athena A. 2009. Blending Play Therapy with Cogntive Behavioral Therapy. New
Jersey: John Wiley & Sons Inc.
Lesmana, Jeanette Murad. 2005. Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: Penerbit Universitas
Indonesia.
Lucy. 2012. Rangkuman Terapi Kognitif Behavior dan Contoh Kasusnya (online),
(http://spidermansavetheworld.wordpress.com/2012/04/13/rangkuman-terapi-kognitif-behavior-
dan-contoh-kasusnya.html, diakses 15 September 2014)
Darminto, Eko.2007.Teori-Teori Konseling. Surabaya: Unesa University Press
Seligman, L. 2001. System, strategis, and Skill of Counseling and Psychoterphy, Part Five,
Chapter 20: “behaviour therapy and Cognitiv Behavior Therapy

Cognitive-Behavior Therapy (CBT)


Ditulis Oleh: Wahid Suharmawan

Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk
menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif
dan perilaku yang menyimpang. Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan
dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau
pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT
yaitu munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan
untuk membawa perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-behavior therapy yaitu
pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian
utama konseling. Fokus konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran. Para ahli yang
tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists (NACBT),
mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu pendekatan
psikoterapi yang menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang
kita lakukan. (NACBT, 2007).

Teori Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 6) pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia
terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk
semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu
dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak. Sementara dengan adanya
keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran yang rasional dan
irasional, di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku
yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa, dan bertindak
dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya, bertindak,
dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, konseli diharapkan
dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif. Berdasarkan paparan definisi
mengenai CBT, maka CBT adalah pendekatan konseling yang menitik beratkan pada
restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan
dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan konseling yang dilakukan untuk
meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling ini akan diarahkan kepada modifikasi
fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai penganalisa,
pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan,
pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara
situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Tujuan dari CBT yaitu mengajak
individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih
baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya
dengan CBT diharapkan dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan
bertindak.

Tujuan Konseling CBT


Tujuan dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak konseli untuk
menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan
dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong
konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara
kuat mencoba menguranginya.
Dalam proses konseling, beberapa ahli CBT (NACBT, 2007; Oemarjoedi,2003) berasumsi bahwa
masa lalu tidak perlu menjadi fokus penting dalamkonseling. Oleh sebab itu CBT dalam
pelaksanaan konseling lebih menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan
berarti mengabaikan masa lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli
dan mencoba membuat konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada
pola pikir masa kini untuk mencapai perubahan di waktu yang akan datang. Oleh sebab itu, CBT
lebih banyak bekerja pada status kognitif saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi
status kognitif positif.
Fokus Konseling
CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif
yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan
lebih melihat ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain
mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar
mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam
CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan
kebiasaan mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan
tubuh sehingga merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.

Prinsip – Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)


Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau permasalahan konseli, tentunya
konselor harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-
prinsip ini diharapkan dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam
merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT. Berikut
adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Beck (2011):

Prinsip nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang terus


berkembang dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi
konseling terus diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada
momen yang strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi
kognitif konseli yang menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam
penyesuaian antara berfikir, merasa dan bertindak.

Prinsip nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama


antara konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui situasi
konseling yang penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap
permasalahan konseli akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang
dihadapi konseli. Kondisi tersebut akan menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling.

Prinsip nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi


aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka keputusan konseling merupakan
keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi
konseling, karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.

Prinsip nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada
permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat
pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran
yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan konseli.

Prinsip nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus pada kejadiansaat ini. Konseling


dimulai dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan di sini (here and now). Perhatian
konseling beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan
dalam melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang
menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah kepercayaan dan
tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
Prinsip nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan edukasi, bertujuan mengajarkan
konseli untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan menekankan pada pencegahan. Sesi
pertama CBT mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya
termasuk proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya karena CBT meyakini
bahwa pikiran mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan
konseli, mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian
merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.

Prinsip nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas. Pada
kasus-kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses
konseling tidak membutuhkan waktu yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat
membantu dan melatih konseli untuk melakukan self-help.

Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang terstruktur.Struktur ini terdiri dari
tiga bagian konseling. Bagian awal, menganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis
kejadian yang terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap
sesi konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework asigment),
membahas permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah berlangsung, serta
merancang pekerjaan rumah baru yang akan dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan
balik terhadap perkembangan dari setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur
ini membuat proses konseling lebih dipahami oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan
mereka mampu melakukanself-help di akhir sesi konseling.

Prinsip nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi,


mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari
konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi
suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi
pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang
mengarahkan konseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan
mengurangi kondisi psikologis negatif. Konselor juga menciptakan pengalaman baru yang
disebut dengan eksperimen perilaku. Konseli dilatih untuk menciptakan pengalaman
barunya dengan cara menguji pemikiran mereka (misalnya: jika saya melihat gambar
labalaba, maka akan saya merasa sangat cemas, namun saya pasti bisa menghilangkan perasaan
cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik). Dengan cara ini, konselor terlibat dalam
eksperimen kolaboratif. Konselor dan konseli bersama-sama menguji pemikiran konseli untuk
mengembangkan respon yang lebih bermanfaat dan akurat.

Prinsip nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk


merubah pemikiran, perasaan, dan tingkah laku. Pertanyaanpertanyaan yang berbentuk
sokratik memudahkan konselor dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan
dalam bentuk sokratik merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses
konseling, CBT tidak mempermasalahkan konselor menggunakan teknik-teknik dalam konseling
lain seperti kenik Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses
konseling yang lebih saingkat dan memudahkan konelor dalam membantu konseli. Jenis teknik
yang dipilih akan dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor tehadap konseli, masalah yang sedang
ditangani, dan tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut.
sumber :
Makalah “Cognitive-Behavior Therapy: Solusi Pendekatan Praktek Konseling
di Indonesia” oleh Idat Muqodas

A. Latar Belakang
Berfikir merupakan ciri khas dari manusia yang membedakannya dengan makhluk lain. Ciri inilah
membuat manusia disebut sebagai anima intelectiva, berbeda dengan anima sensitive dan anima
vegetativa. Manusia memutus tindakannya melalui berfikir, pernah berfikir merupakan fungsi
kognitif manusia. Manusia tidak hanya menerima rangsangan dari apa yang dilihatnya melalui
penginderaannya, mengingat peristiwa, serta menghubungkan peristiwa dengan peristiwa lainnya
dengan landasan hukum asosiatif, namun mengalami informasi yang diperolehnya melalui
pengalaman serta fungsi kognitifnya. Hal ini membuat berbagai asumsi mengenai informasi yang
diterima manusia di dalam benaknya dengan mempertimbangkan hal memalui proses berfikir dan
mengambil keputusan atas dasar pertimbangan yang difikirkan secara matang. Inilah ciri yang
membedakan manusia dengan makhluk lainnya.
Pengalaman para konselor dalam melakukan praktek konseling di Indonesia, khususnya di
sekolah sebagai tempat para konselor atau guru BK bekerja, sering kali layanan konseling
dilakukan dengan cara memberikan nasehat. Pemberian nasehat diharapkan adanya perubahan
perubahan terhadap perilaku siswa yang menyimpang. Namun perubahan tersebut hanya beberapa
kasus siswa saja yang mengalami perubahan ke arah yang lebih baik, sisanya masih banyak siswa
kembali melakukan kesalahannya karena tidak ada sebuah bantuan untuk melatih perilaku baru,
dan siswa cenderung enggan untuk mendengar nasehat.
Satiadarma (Oemarjoedi, 2003:10) penyimpangan perilaku manusia terjadi karena adanya
penyimpangan fungsi kognitif. Perbaikan perilaku manusia yang mengalami penyimpangan
tersebut terlebih dahulu harus dilakukan perbaikan terhadap fungsi kognitif manusia. Pernyataan
ini menunjukkan pentingnya pengaruh aspek kognitif terhadap perilaku manusia. Peran kognitif
dalam mempertimbangkan utusan untuk melakukan tindakan tertentu menjadi focus perhatian
dalam pendekatan kognitif behavior therapy.
Kognitif behavior therapy (CBT) merupakan pendekatan konseling yang didasarkan atas
konseptualisasi atau pemahaman pada setiap konseli, yaitu pada keyakinan khusus konseli dan
pola perilaku konseli. Proses konseling dengan cara memahami konseli didasarkan pada
restrukturisasi kognitif yang menyimpang, keyakinan konseli untuk membawa perubahan emosi
dan strategi perilaku kearah yang lebih baik. Oleh sebab itu CBT merupakan salah satu pendekatan
yang lebih integrative dalam konseling (Alford dan Beck, 1997).
CBT merupakan suatu pendekatan yang memiliki pengaruh dari pendekatan kognitif terapi
dan behavior therapy. Oleh sebab itu, Makson dan Ollendick (1988:44) mengungkapkan
bahwasannya CBT merupakan perpaduan pendekatan dalam psikoterapi yaitu kognitif therapy dan
behavior therapy sehingga langkah-langkah yang dilakukan oleh kognitif theraphy dan behavior
theraphy ada dalam konseling yang dilakukan oleh CBT. Karakteristik CBT yang tidak hanya
menekankan pada perubahan pemahaman konseli dari sisi kognitif namun memberikan konseling
pada perilaku kearah yang lebih baik dianggap sebagai pendekatan konseling yang tepat untuk
diterapkan di Indonesia.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah definisi dari Cognitive Behavior Theraphy (CBT)?
2. Apakah tujuan konseli dari Cognitive Behavior Theraphy (CBT)?
3. Bagaimanakah fokus konseling di dalam Cognitive Behavior Theraphy (CBT)?
4. Apa saja prinsip-prinsip dari Cognitive Behavior Theraphy (CBT)?
5. Bagaimanakah tehnik-tehnik dari Cognitive Behavior Theraphy (CBT)?
6. Karakteristik apa saja didalam Cognitive Behavior Theraphy (CBT)?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui definisi dari Cognitive Behavior Theraphy (CBT).
2. Untuk mengetahui tujuan konseli dari Cognitive Behavior Theraphy (CBT).
3. Untuk mengetahui fokus konseling di dalam Cognitive Behavior Theraphy (CBT).
4. Untuk mengetahui prinsip-prinsip dari Cognitive Behavior Theraphy (CBT).
5. Untuk mengetahui tehnik-tehnik dari Cognitive Behavior Theraphy (CBT).
6. Untuk mengetahui apa saja di dalam Cognitive Behavior Theraphy (CBT).
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Cognitive Behavior Therapy


Aaron T. Beck (1964) mendefinisikan CBT sebagai pendekatan konseling yang dirancang untuk
menyelesaikan permasalahan konseli pada saat ini dengan cara melakukan restrukturisasi kognitif
dan perilaku yang menyimpang. Pedekatan CBT didasarkan pada formulasi kognitif, keyakinan
dan strategi perilaku yang mengganggu. Proses konseling didasarkan pada konseptualisasi atau
pemahaman konseli atas keyakinan khusus dan pola perilaku konseli. Harapan dari CBT yaitu
munculnya restrukturisasi kognitif yang menyimpang dan sistem kepercayaan untuk membawa
perubahan emosi dan perilaku ke arah yang lebih baik.
Matson & Ollendick (1988: 44) mengungkapkan definisi cognitive-behavior therapy yaitu
pendekatan dengan sejumlah prosedur yang secara spesifik menggunakan kognisi sebagai bagian
utama konseling. Fokus konseling yaitu persepsi, kepercayaan dan pikiran.
Para ahli yang tergabung dalam National Association of Cognitive-Behavioral Therapists
(NACBT), mengungkapkan bahwa definisi dari cognitive-behavior therapy yaitu suatu pendekatan
psikoterapi yang menekankan peran yang penting berpikir bagaimana kita merasakan dan apa yang
kita lakukan. (NACBT, 2007)
Bush (2003) mengungkapkan bahwa CBT merupakan perpaduan dari dua pendekatan dalam
psikoterapi yaitu cognitive therapy dan behavior therapy. Terapi kognitif memfokuskan pada
pikiran, asumsi dan kepercayaan. Terapi kognitif memfasilitasi individu belajar mengenali dan
mengubah kesalahan. Terapi kognitif tidak hanya berkaitan dengan positive thinking, tetapi
berkaitan pula dengan happy thinking. Sedangkan Terapi tingkah laku membantu membangun
hubungan antara situasi permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Individu belajar
mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih baik, berpikir lebih
jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat
Pikiran negatif, perilaku negatif, dan perasaan tidak nyaman dapat membawa individu pada
permasalahan psikologis yang lebih serius, seperti depresi, trauma, dan gangguan kecemasan.
Perasaan tidak nyaman atau negatif pada dasarnya diciptakan oleh pikiran dan perilaku yang
disfungsional. Oleh sebab itu dalam konseling, pikiran 5 dan perilaku yang disfungsional harus
direkonstruksi sehingga dapat kembali berfungsi secara normal.
CBT didasarkan pada konsep mengubah pikiran dan perilaku negatif yang sangat mempengaruhi
emosi. Melalui CBT, konseli terlibat aktivitas dan berpartisipasi dalam training untuk diri dengan
cara membuat keputusan, penguatan diri dan strategi lain yang mengacu pada self-regulation
(Matson & Ollendick, 1988: 44).
Teori Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 6) pada dasarnya meyakini pola pemikiran manusia
terbentuk melalui proses Stimulus-Kognisi-Respon (SKR), yang saling berkaitan dan membentuk
semacam jaringan SKR dalam otak manusia, di mana proses kognitif menjadi faktor penentu
dalam menjelaskan bagaimana manusia berpikir, merasa dan bertindak.
Sementara dengan adanya keyakinan bahwa manusia memiliki potensi untuk menyerap pemikiran
yang rasional dan irasional, di mana pemikiran yang irasional dapat menimbulkan gangguan emosi
dan tingkah laku yang menyimpang, maka CBT diarahkan pada modifikasi fungsi berfikir, merasa,
dan bertindak dengan menekankan peran otak dalam menganalisa, memutuskan, bertanya,
bertindak, dan memutuskan kembali. Dengan mengubah status pikiran dan perasaannya, konseli
diharapkan dapat mengubah tingkah lakunya, dari negatif menjadi positif.
Berdasarkan paparan definisi mengenai CBT, maka CBT adalah pendekatan konseling yang
menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif yang menyimpang akibat kejadian
yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis. CBT merupakan konseling yang
dilakukan untuk meningkatkan dan merawat kesehatan mental. Konseling ini akan diarahkan
kepada modifikasi fungsi berpikir, merasa dan bertindak, dengan menekankan otak sebagai
penganalisa, pengambil keputusan, bertanya, bertindak, dan memutuskan kembali. Sedangkan,
pendekatan pada aspek behavior diarahkan untuk membangun hubungan yang baik antara situasi
permasalahan dengan kebiasaan mereaksi permasalahan. Tujuan dari CBT yaitu mengajak
individu untuk belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga merasa lebih
baik, berpikir lebih jelas dan membantu membuat keputusan yang tepat. Hingga pada akhirnya
dengan CBT diharapkan dapat membantu konseli dalam menyelaraskan berpikir, merasa dan
bertindak

B. Tujuan Konseling CBT


Tujuan dari konseling Cognitive-Behavior (Oemarjoedi, 2003: 9) yaitu mengajak konseli untuk
menentang pikiran dan emosi yang salah dengan menampilkan bukti-bukti yang bertentangan
dengan keyakinan mereka tentang masalah yang dihadapi. Konselor diharapkan mampu menolong
konseli untuk mencari keyakinan yang sifatnya dogmatis dalam diri konseli dan secara kuat
mencoba menguranginya.
Ahli CBT (NACBT, 2007; Oemarjoedi, 2003) berasumsi bahwa masa lalu tidak perlu
menjadi fokus penting dalam proses konseling. CBT dalam pelaksanaan konseling lebih
menekankan kepada masa kini dari pada masa lalu, akan tetapi bukan berarti mengabaikan masa
lalu. CBT tetap menghargai masa lalu sebagai bagian dari hidup konseli dan mencoba membuat
konseli menerima masa lalunya, untuk tetap melakukan perubahan pada pola pikir masa kini untuk
mencapai perubahan di waktu yang akan datang. CBT lebih banyak bekerja pada status kognitif
saat ini untuk dirubah dari status kognitif negatif menjadi status kognitif positif.

C. Fokus Konseling
CBT merupakan konseling yang menitik beratkan pada restrukturisasi atau pembenahan kognitif
yang menyimpang akibat kejadian yang merugikan dirinya baik secara fisik maupun psikis dan
lebih melihat ke masa depan dibanding masa lalu. Aspek kognitif dalam CBT antara lain
mengubah cara berpikir, kepercayaan, sikap, asumsi, imajinasi dan memfasilitasi konseli belajar
mengenali dan mengubah kesalahan dalam aspek kognitif. Sedangkan aspek behavioral dalam
CBT yaitu mengubah hubungan yang salah antara situasi permasalahan dengan kebiasaan
mereaksi permasalahan, belajar mengubah perilaku, menenangkan pikiran dan tubuh sehingga
merasa lebih baik, serta berpikir lebih jelas.

D. Prinsip – Prinsip Cognitive-Behavior Therapy (CBT)


Walaupun konseling harus disesuaikan dengan karakteristik atau permasalahan konseli, tentunya
konselor harus memahami prinsip-prinsip yang mendasari CBT. Pemahaman terhadap prinsip-
prinsip ini diharapkan dapat mempermudah konselor dalam memahami konsep, strategi dalam
merencanakan proses konseling dari setiap sesi, serta penerapan teknik-teknik CBT
Berikut adalah prinsip-prinsip dasar dari CBT berdasarkan kajian yang diungkapkan oleh Beck
(2011):
Prinsip nomor 1: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada formulasi yang terus berkembang
dari permasalahan konseli dan konseptualisasi kognitif konseli. Formulasi konseling terus
diperbaiki seiring dengan perkembangan evaluasi dari setiap sesi konseling. Pada momen yang
strategis, konselor mengkoordinasikan penemuan-penemuan konseptualisasi kognitif konseli yang
menyimpang dan meluruskannya sehingga dapat membantu konseli dalam penyesuaian antara
berfikir, merasa dan bertindak.

Prinsip nomor 2: Cognitive-Behavior Therapy didasarkan pada pemahaman yang sama antara
konselor dan konseli terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Melalui situasi konseling yang
penuh dengan kehangatan, empati, peduli, dan orisinilitas respon terhadap permasalahan konseli
akan membuat pemahaman yang sama terhadap permasalahan yang dihadapi konseli. Kondisi
tersebut akan menunjukan sebuah keberhasilan dari konseling
Prinsip nomor 3: Cognitive-Behavior Therapy memerlukan kolaborasi dan partisipasi
aktif. Menempatkan konseli sebagai tim dalam konseling maka keputusan konseling merupakan
keputusan yang disepakati dengan konseli. Konseli akan lebih aktif dalam mengikuti setiap sesi
konseling, karena konseli mengetahui apa yang harus dilakukan dari setiap sesi konseling.
Prinsip nomor 4: Cognitive-Behavior Therapy berorientasi pada tujuan dan berfokus pada
permasalahan. Setiap sesi konseling selalu dilakukan evaluasi untuk mengetahui tingkat
pencapaian tujuan. Melalui evaluasi ini diharapkan adanya respon konseli terhadap pikiran-pikiran
yang mengganggu tujuannya, dengan kata lain tetap berfokus pada permasalahan konseli
Prinsip nomor 5: Cognitive-Behavior Therapy berfokus pada kejadian saat ini. Konseling dimulai
dari menganalisis permasalahan konseli pada saat ini dan di sini (here and now). Perhatian
konseling beralih pada dua keadaan. Pertama, ketika konseli mengungkapkan sumber kekuatan
dalam melakukan kesalahannya. Kedua, ketika konseli terjebak pada proses berfikir yang
menyimpang dan keyakinan konseli dimasa lalunya yang berpotensi merubah kepercayaan dan
tingkahlaku ke arah yang lebih baik.
Prinsip nomor 6: Cognitive-Behavior Therapy merupakan edukasi, bertujuan mengajarkan konseli
untuk menjadi terapis bagi dirinya sendiri, dan 9 menekankan pada pencegahan. Sesi pertama CBT
mengarahkan konseli untuk mempelajari sifat dan permasalahan yang dihadapinya termasuk
proses konseling cognitive-behavior serta model kognitifnya karena CBT meyakini bahwa pikiran
mempengaruhi emosi dan perilaku. Konselor membantu menetapkan tujuan konseli,
mengidentifikasi dan mengevaluasi proses berfikir serta keyakinan konseli. Kemudian
merencanakan rancangan pelatihan untuk perubahan tingkah lakunya.
Prinsip nomor 7: Cognitive-Behavior Therapy berlangsung pada waktu yang terbatas. Pada kasus-
kasus tertentu, konseling membutuhkan pertemuan antara 6 sampai 14 sesi. Agar proses konseling
tidak membutuhkan waktu yang panjang, diharapkan secara kontinyu konselor dapat membantu
dan melatih konseli untuk melakukan self-help.
Prinsip nomor 8: Sesi Cognitive-Behavior Therapy yang terstruktur. Struktur ini terdiri dari tiga
bagian konseling. Bagian awal, menganalisis perasaan dan emosi konseli, menganalisis kejadian
yang terjadi dalam satu minggu kebelakang, kemudian menetapkan agenda untuk setiap sesi
konseling. Bagian tengah, meninjau pelaksanaan tugas rumah (homework asigment), membahas
permasalahan yang muncul dari setiap sesi yang telah berlangsung, serta merancang pekerjaan
rumah baru yang akan dilakukan. Bagian akhir, melakukan umpan balik terhadap perkembangan
dari setiap sesi konseling. Sesi konseling yang terstruktur ini membuat proses konseling lebih
dipahami oleh konseli dan meningkatkan kemungkinan mereka mampu melakukan self-help di
akhir sesi konseling.
Prinsip nomor 9: Cognitive-Behavior Therapy mengajarkan konseli untuk mengidentifikasi,
mengevaluasi, dan menanggapi pemikiran disfungsional dan keyakinan mereka. Setiap hari
konseli memiliki kesempatan dalam pikiran-pikiran otomatisnya yang akan mempengaruhi
suasana hati, emosi dan tingkah laku mereka. Konselor membantu konseli dalam mengidentifikasi
pikirannya serta menyesuaikan dengan kondisi realita serta perspektif adaptif yang mengarahkan
konseli untuk merasa lebih baik secara emosional, tingkahlaku dan mengurangi kondisi psikologis
negatif. Konselor juga menciptakan pengalaman baru yang disebut dengan eksperimen perilaku.
Konseli dilatih untuk menciptakan pengalaman barunya dengan cara menguji pemikiran mereka
(misalnya: jika saya melihat gambar labalaba, maka akan saya merasa sangat cemas, namun saya
pasti bisa menghilangkan perasaan cemas tersebut dan dapat melaluinya dengan baik). Dengan
cara ini, konselor terlibat dalam eksperimen kolaboratif. Konselor dan konseli bersama-sama
menguji pemikiran konseli untuk mengembangkan respon yang lebih bermanfaat dan akurat.
Prinsip nomor 10: Cognitive-Behavior Therapy menggunakan berbagai teknik untuk merubah
pemikiran, perasaan, dan tingkah laku.Pertanyaanpertanyaan yang berbentuk sokratik
memudahkan konselor dalam melakukan konseling cognitive-behavior. Pertanyaan dalam bentuk
sokratik merupakan inti atau kunci dari proses evaluasi konseling. Dalam proses konseling, CBT
tidak mempermasalahkan konselor menggunakan teknik-teknik dalam konseling lain seperti kenik
Gestalt, Psikodinamik, Psikoanalisis, selama teknik tersebut membantu proses konseling yang
lebih saingkat dan memudahkan konelor dalam membantu konseli. Jenis teknik yang dipilih akan
dipengaruhi oleh konseptualisasi konselor tehadap konseli, masalah yang sedang ditangani, dan
tujuan konselor dalam sesi konseling tersebut

E. Teknik Cognitive-Behavior Therapy (CBT)


CBT adalah pendekatan psikoterapeutik yang digunakan oleh konselor untuk membantu individu
ke arah yang positif. Berbagai variasi teknik perubahan kognisi, 11 emosi dan tingkah laku menjadi
bagian yang terpenting dalam Cognitive-Behavior Therapy. Metode ini berkembang sesuai dengan
kebutuhan konseli, di mana konselor bersifat aktif, direktif, terbatas waktu, berstruktur, dan
berpusat pada konseli.

Konselor atau terapis cognitive-behavior biasanya menggunakan berbagai teknik intervensi untuk
mendapatkan kesepakatan perilaku sasaran dengan konseli. Teknik yang biasa dipergunakan oleh
para ahli dalam CBT (McLeod, 2006: 157-158) yaitu:
a. Manata keyakinan irasional.
b. Bibliotherapy, menerima kondisi emosional internal sebagai sesuatu yang menarik
ketimbang sesuatu yang menakutkan.
c. Mengulang kembali penggunaan beragam pernyataan diri dalam role play dengan konselor.
d. Mencoba penggunaan berbagai pernyataan diri yang berbeda dalam situasi ril.
e. Mengukur perasaan, misalnya dengan mengukur perasaan cemas yang dialami pada saat ini
dengan skala 0-100.
f. Menghentikan pikiran. Konseli belajar untuk menghentikan pikiran negatif dan
mengubahnya menjadi pikiran positif.
g. Desensitization systematic. Digantinya respons takut dan cemas dengan respon relaksasi
dengan cara mengemukakan permasalahan secara berulang-ulang dan berurutan dari respon takut
terberat sampai yang teringan untuk mengurangi intensitas emosional konseli.
h. Pelatihan keterampilan sosial. Melatih konseli untuk dapat menyesuaikan dirinya dengan
lingkungan sosialnya.
i. Assertiveness skill training atau pelatihan keterampilan supaya bisa bertindak tegas. 12
j. Penugasan rumah. Memperaktikan perilaku baru dan strategi kognitif antara sesi konseling.
k. In vivo exposure. Mengatasi situasi yang menyebabkan masalah dengan memasuki situasi
tersebut
l. Covert conditioning, upaya pengkondisian tersembunyi dengan menekankan kepada proses
psikologis yang terjadi di dalam diri individu. Peranannya di dalam mengontrol perilaku
berdasarkan kepada imajinasi, perasaan dan persepsi.

F. Karakteristik Cognitive-Behavior Therapy (CBT)


CBT merupakan bentuk psikoterapi yang sangat memperhatikan aspek peran dalam berpikir,
merasa, dan bertindak. Terdapat beberapa pendekatan dalam psikoterapi CBT termasuk
didalamnya pendekatan Rational Emotive Behavior Therapy, Rational Behavior Therapy, Rational
Living Therapy, Cognitive Therapy, dan Dialectic Behavior Therapy. Akan tetapi CBT memiliki
karakteristik tersendiri yang membuat CBT lebih khas dari pendekatan lainnya
Berikut akan disajikan mengenai karakteristik CBT (NACBT, 2007):
a. CBT didasarkan pada model kognitif dari respon emosional. CBT didasarkan pada fakta
ilmiah yang menyebabkan munculnya perasaan dan prilaku, situasi dan peristiwa. Keuntungan dari
fakta ini adalah seseorang dapat mengubah cara berpikir, cara merasa, dan cara berprilaku dengan
lebih baik walaupun situasi ridak berubah.
b. CBT lebih cepat dan dibatasi waktu. CBT merupakan konseling yang memberikan bantuan
dalam waktu yang relative lebih singkat dibandingkan dengan pendekatan lainnya. Rata-rata sesi
terbanyak yang diberikan kepada konseli hanya 16 sesi. Berbeda dengan bentuk konseling lainnya,
seperti psikoanalisa yang membutuhkan waktu satu tahun. Sehingga CBT memungkinkan
konseling yang lebih singkat dalam penanganannya.
c. Hubungan antara konseli dengan terapis atau konselor terjalin dengan baik. Hubungan ini
bertujuan agar konseling dapat berjalan dengan baik. Konselor meyakini bahwa sangat penting
untuk mendapatkan kepercayaan dari konseli. Namun, hal ini tidak cukup bila tidak diiringi dengan
keyakinan bahwa konseli dapat belajar mengubah cara pandang atau berpikir sehingga akhirnya
konseli dapat memberikan konseling bagi dirinya sendiri.
d. CBT merupakan konseling kolaboratif yang dilakukan terapis atau konselor dan konseli.
Konselor harus mampu memahami maksud dan tujuan yang diharapkan konseli serta membantu
konseli dalam mewujudkannya. Peranan konselor yaitu menjadi pendengar, pengajar, dan pemberi
semangat.
e. CBT didasarkan pada filosofi stoic (orang yang pandai menahan hawa nafsu). CBT tidak
menginformasikan bagaimana seharusnya konseli merasakan sesuatu, tapi menawarkan
keuntungan perasaan yang tenang walaupun dalam keadaan sulit.
f. CBT mengunakan metode sokratik. Terapis atau konselor ingin memperoleh pemahaman
yang baik terhadap hal-hal yang dipikirkan oleh konseli. Hal ini menyebabkan konselor sering
mengajukan pertanyaan dan memotivasi konseli untuk bertanya dalam hati, seperti “Bagaimana
saya tahu bahwa mereka sedang menertawakan saya?” “Apakah mungkin mereka menertawakan
hal lain”
g. CBT memiliki program terstruktur dan terarah. Konselor CBT memiliki agenda khusus untuk
setiap sesi atau pertemuan. CBT memfokuskan pada pemberian bantuan kepada konseli untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan 14 sebelumnya. Konselor CBT tidak hanya mengajarkan
apa yang harus dilakukan oleh konseli, tetapi bagaimana cara konseli melakukannya.
h. CBT didasarkan pada model pendidikan. CBT didasarkan atas dukungan secara ilmiah
terhadap asumsi tingkah laku dan emosional yang dipelajari. Oleh sebab itu, tujuan konseling yaitu
untuk membantu konseli belajar meninggalkan reaksi yang tidak dikehendaki dan untuk belajar
sebuah reaksi yang baru. Penekanan bidang pendidikan dalam CBT mempunyai nilai tambah yang
bermanfaat untuk hasil tujuan jangka panjang.
i. CBT merupakan teori dan teknik didasarkan atas metode induktif. Metode induktif
mendorong konseli untuk memperhatikan pemikirannya sebagai sebuah jawaban sementara yang
dapat dipertanyakan dan diuji kebenarannya. Jika jawaban sementaranya salah (disebabkan oleh
informasi baru), maka konseli dapat mengubah pikirannya sesuai dengan situasi yang
sesungguhnya
j. Tugas rumah merupakan bagian terpenting dari teknik CBT, karena dengan pemberian
tugas, konselor memiliki informasi yang memadai tentang perkembangan konseling yang akan
dijalani konseli. Selain itu, dengan tugas rumah konseli terus melakukan proses konselingnya
walaupun tanpa dibantu konselor. Penugasan rumah inilah yang membuat CBT lebih cepat dalam
proses konselingnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Karakteristik konseling di Indonesia menginginkan proses konseling yang cepat dan memiliki hasil
yang baik. Konseli enggan untuk melakukan konseling yang membutuhkan waktu yang cukup
lama. Selain itu, ada baiknya konseling bukan bersifat menceramahi atau hanya ngobrol antara
konselor dan konseli. Oleh sebab itu, konseling harus berorientasi pada efektivitas waktu dan tidak
hanya bersifat wacana saja.
Cognitif Behavior Therapy (CBT) menawarkan alternatif konseling yang bukan berbentuk
ceramah, tapi melatih konseli untuk melakukan perubahan-perubahan tingkah laku untuk
membuktikan pikiran yang menyimpang. CBT menekankan pada restrukturisasi kognitif yang
menyimpang, kemudian perubahan-perubahan kognitif tersebut diperkuat dengan pelatihan
tingkah laku. Perubahan antara kognitif yang diperkuat perubahan tingkah laku membuat
permasalahan yang dihadapi oleh konseli terselesaikan dengan segera sehingga konseli dapat
berfikir, merasa, dan bertindak dengan tepat.
CBT tidak melarang konselor untuk mempergunakan teknik lain yang lebih kreatif agar konseling
dapat berjalan dengan baik. Prinsip tersebut menunjukkan CBT dipengaruhi oleh teknik-teknik
atau teori konseling yang sebelumnya telah ada. Artinya munculnya teori CBT bukan berarti
mematahkan teori atau teknik yang telah ada bahkan CBT menganggap teknik yang terdahulu
dapat dipergunakan untuk melengkapi teknik CBT.

DAFTAR PUSTAKA

Beck, Judith S. (2011). Cognitive-Behavior Therapy: Basic and Beyond (2nd ed). New York: The
Guilford Press.
Corey, Gerald. (2005). Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi. Bandung: PT. Refika
Aditama.
Jarvis, Matt. (2006). Teori-Teori Psikologi: Pendekatan Modern untuk Memahami Perilaku,
Perasaan dan Pikiran Manusia. Bandung: Nuansa.
Matson, Jhonny L & Thomas H. Ollendick. (1988). Enhancing Children’s Social Skill: Assessment
and Training. New York: Pergamon Press
McLeod, John. (2006). Pengantar Konseling: Teori dan Studi Kasus. Alih Bahasa oleh A.K.
Anwar. Jakarta: Kencana.
NACBT. (2007). Cognitive-Behavioral Therapy. [Online]. Tersedia:
http://www.nacbt.org/whatiscbt.htm [5 Januari 2007].
Oemarjoedi, A. Kasandra. (2003). Pendekatan Cognitive Behavior dalam Psikoterapi. Jakarta:
Kreativ Media.

Anda mungkin juga menyukai