Setelah mengikuti sesi ini peserta latih mampu mengerti dan menguasai etiologi, patogenesis,
penegakan diagnosis fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula, cara-cara penanganan operatif
dan non-operatif fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula, serta komplikasi fraktur simfisis dan
parasimfisis mandibula.
Mampu menjelaskan tentang fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula dan menegakkan
diagnosis berdasarkan pemeriksaan klinis (A3B4)
Mampu melakukan komunikasi dengan pasien dan keluarganya mengenai segala sesuatu
yang berkaitan dengan fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula dan penanganannya serta
hal-hal yang mungkin terjadi selama dan sesudah penanganan (A3B4)
Mampu melakukan penanganan non-operatif optimal pada fraktur simfisis dan parasimfisis
mandibula (A3B4)
Mampu melakukan penanganan operatif optimal pada fraktur simfisis dan parasimfisis
mandibula (A3B4)
Mampu mendeteksi dan menangani komplikasi yang terjadi pasca tindakan operatif (A3B4)
III. KOMPETENSI
IV. REFERENSI
Syllabus :
1.1. Etiologi dan patofisiologi fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula
1.2. Cara pemeriksaan klinis dan radiologis pada fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula
1.3. Komunikasi yang bersifat empatik (diberikan dalam kuliah bedah dan praktek bedah pada
umumnya)
1.4. Metode penanganan non-operatif pada fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula
1.5. Metode penanganan operatif pada fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula
1.6. Perawatan pasca operasi fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula
1.7. Komplikasi pasca penanganan fraktur simfisis dan parasimfisis mandibula dan merujuk ke
spesialis bedah plastik bila terdapat indikasi operasi
1.1. Introduksi
a. Definisi
Fraktur simfisis dan parasimfisis adalah yang berlokasi di bagian anterior mandibula
diantara gigi-gigi taring. Meliputi pula area dagu dan insersi otot anterior dasar mulut.
Karena fraktur jenis ini umumnya tidak disertai dislokasi, fraktur simfisis dan parasimfisis
ini dapat menjadi masalah dalam penegakan diagnosis.
b. Klasifikasi
Tipe fraktur dapat diklasifikasikan menjadi : simple, greenstick, compound, kominutif
atau patologik. Lebih lanjut lagi dibedakan apakah disertai dislokasi atau tidak. Pada
pasien yang bergigi, fraktur jenis ini digolongkan sebagai fraktur terbuka karena garis
fraktur berjalan melewati alveolus.
c. Klinis
Secara klinis hematoma sublingual dapat menjadi satu-satunya gejala. Gejala lain yang
dapat ditemukan adalah krepitasi, ekimosis pada dasar mulut, gangguan pergerakan
mandibula, nyeri pada waktu membuka mulut sampai trismus. Kemungkinan bahwa
fraktur ini disertai oleh fraktur condyle atau subcondyle harus disingkirkan.
d. Radiologis
Foto polos posteoanterior
Regio simfisis paling bak dievaluasi dengan posisi ini. Jika menggunakan foto
panoramik, akan terjadi distorsi signifikan pada regio simfisis karena cara
pengambilannya. Hal ini dapat menutupi gambaran fraktur.
CT scan
d. Fraktur kominutif
Fragmen fraktur direduksi menggunakan dental splint dan MMF. Area fraktur
dijembatani oleh plate rekonstruksi 2.4. Distorsi ujung garis fraktur utama harus
dihindari dengan menggunakan plate holes dengan cara netral. Hal ini sangat penting
terutama pada pasien yang bergigi. Harus berhati-hati agar tidak meletakkan screw
terlalu dekat dengan garis fraktur. Fragmen tulang yang lebih tebal dapat difiksasi
dengan plate yang dikencangkan dengan screw. Tidak dianjurkan untuk melakukan
stripping periosteum lingual karena dapat mengganggu aliran darah ke fragmen-fragmen
tulang yang lebih kecil.
Perhatian khusus harus diberikan pada area condylar karena sebagian besar fraktur dagu
kominutif terjadi bersamaan dengan fraktur condylar atau subcondylar. Khususnya bila
ditemukan bersamaan dengan fraktur panfasial, fraktur kominutif ini harus distabilkan
secara internal, se-anatomis mungkin.
1.3. Komplikasi
Pada fraktur parasimfisis mandibula besar kemungkinan untuk terjadi respiratory distress.
Otot akan menarik segmen distal mandibula kearah posterior sehingga dapat terjadi
obstruksi orofaring oleh lidah. Untuk menghindari resiko obstruksi jalan napas tersebut,
pasien diposisikan miring atau duduk, dengan lidah atau mandibula di-support, dapat juga
dipasang intubasi nasofaring atau endotrakeal.
Pasca operasi untuk reduksi terbuka dapat terjadi komplikasi sebagai berikut :
o Perdarahan
Pasca operasi, hal ini dapat disebabkan pemasangan maxillomandibular fixation (MMF)
jika isi lambung teraspirasi. Hal ini dapat dicegah dengan suction nasogastrik yang
adekuat saat operasi.
o Infeksi
Fiksasi yang inadekuat sering berkontribusi terhadap terjadinya infeksi, karena proses
penyembuhan yang terganggu.
o Nekrosis avaskular dan osteitis
Bila aliran darah ke fragmen tulang terganggu, seperti dapat disebabkan denudasi tulang
dari perlekatan otot dan periostealnya, tulang yang fraktur dapat mengalami nekrosis
avaskular. Soft tissue stripping yang sering dilakukan untuk memudahkan reduksi fraktur
juga membuat tulang terpisah dari aliran darah sekundernya (yaitu melalui cabang
arteri fasialis yang memasuki perlekatan tulang ke soft tissue.
o Osteomyelitis
Akhir-akhir ini komplikasi ini jarang ditemukan dengan penggunaan antibiotika yang
adekuat. Bila memang ada osteomielitis, dapat terlihat dengan jelas pada foto polos
1.5. Follow Up
Pasien harus datang setiap minggu, terutama yang masih menggunakan MMF. Pemantauan
dapat dilakukan secara klinis ataupun radiologis. Pada tiap kunjungan follow-up, maximal
mouth opening harus diukur. Distansia inter-incisal yang normal adalah 40 mm.
VII. ALGORITMA
Pemasangan MMF
Reduksi anatomis segmen
fraktur
Fraktur simfisis dan parasimfisis adalah yang berlokasi di bagian anterior mandibula diantara
gigi-gigi taring. Karena fraktur jenis ini umumnya tidak disertai dislokasi, fraktur simfisis dan
parasimfisis ini dapat menjadi masalah dalam penegakan diagnosis.
Secara klinis hematoma sublingual dapat menjadi satu-satunya gejala. Kemungkinan bahwa
fraktur ini disertai oleh fraktur condyle atau subcondyle harus disingkirkan.
Umumnya digunakan approach intraoral lewat insisi pada mukosa vestibulum. Approach
ekstraoral dapat digunakan pada kasus-kasus dengan laserasi kulit. Fraktur yang simpel
dapat ditangani dengan anestesi lokal.
Pada fraktur parasimfisis mandibula besar kemungkinan untuk terjadi respiratory distress.
Otot akan menarik segmen distal mandibula kearah posterior sehingga dapat terjadi
obstruksi orofaring oleh lidah. Untuk menghindari resiko obstruksi jalan napas tersebut,
pasien diposisikan miring atau duduk, dengan lidah atau mandibula di-support, dapat juga
dipasang intubasi nasofaring atau endotrakeal.
IX. KEPUSTAKAAN
a. Assael LA. Craniofacial fractures. In Prein J, ed: Manual of Internal Fixation in the Cranio-
Facial Skeleton: Techniques as Recommended by the AO/ASIF Group. New York,
Springer-Verlag, 1998.
b. Grabb and Smith’s Plastic Surgery 6th ed.
c. McCarthy Plastic Surgery
d. Plastic Surgery : Indications, Operations and Outcomes
e. Manson PN. Facial fractures. In Mathes SJ, ed: Mathes Plastic Surgery, 2 nd edition, vol.3,
part 2. Philadelphia; Saunders Elseviers, 2006 : 77 – 366.
f. Mueller RV. Facial trauma: soft tissue injuries. In Mathes SJ, ed: Mathes Plastic Surgery,
2nd edition, vol.II, part 2. Philadelphia; Saunders Elseviers, 2006: 77 – 366.
g. Costello BJ, Ruiz RL. Mandible fractures : principles of treatment. In Booth PW, Eppley
BL, Schmelzeisen R, eds: Maxillofacial Trauma and Esthetic Facial Reconstruction.
London, New York; Churchill-Livingstone, 2003 : 261-278.