Muhsin Un New
Muhsin Un New
Sampai pada pecahnya perang pasifik, unifikasi hukum perdata untuk seluruh
golongan penduduk tetap di pandang belum mungkin dilaksanakan. Keberatan-keberatan
awal bersebab dari pertimbangan-pertimbangan ekonomi pemerintahan tentang mahalnya
biaya untuk mendukung penyelenggaraan badan-badan pengadilan yang
akanmengoperasionalkan hukum yang akan di unifikasi secara menyeluruh untuk semua
golongan penduduk tanpa perkecualian itu, dan kemudian bersebab pada keberatan-keberatan
yang berpangkal pada keyakinan adanya relativisme budaya yang didukung oleh paham
liberalism kaum partikularis dan yang dipengaruhi oleh tesis-tesis puak pendukung
historisme.
1
Runtuhnya kekuasaan kolonial; unifikasi hukum privat dan unifikasi lembaga-
lembaga peradilan di Indonesia belumlah terwujud. Dualism hukum dengan hukum
Eropa yang telah termodifikasi dan hukum adat yang seklaipun plural namun di cita-citakan
pada suatu waktu akan dikodifikasikan tetap berjalan dan berlaku. Penggolongan rakyat ke
dalam tiga golongan yang bermula pada tahun 1844 menurut pasal 109 regeringsreglement
1854 tetap saja berlaku dan diteruskan sebagai pasal 163 indische staatsregling 1925 yang
berlaku sejak tahun 1925 itru sebagai pengganti regeringsreglement 1854. Penggolongan
rakyat yang tetap di pertahankan sampai berakhirnya kekuasaan kolonial ini mengisyaratkan
tetap akan dikukuhkanya dualism dan pluralism hukum kolonial di Indonesia.
Pluralisme hukum seperti ini dimata para yuris nasionalis Indonesia, yang
aktivitasnya mulai menggebu pada dasawarsa 1930-an pun terlihat sebagai kenyataan, dan
boleh dipakai sebagai dalih untuk “menolak” di berlakukanya hukum barat untuk orang-
orang pribumi. Pluralism atau dualism bukan cerminan kebijakan diskriminatif melainkan
diterima sebagai suatu kebijakan untuk mengakui keadaan golongan-golongan rakyat yang
berbeda-beda (namun yang harus diakui sebagai berkedudukan sama).
3
pemerintahan dan semua hukum dan peraturan yang selama ini berlaku tetap dinyatakan
berlaku kecuali apabila bertentangan dengan peraturan militer Jepang. Peraturan perundang-
undangan serupa juga di maklumatkan untuk 2 wilayah di bekas jajahan Belanda.
Bahwa pada saat itu pemerintah pendudukan Jepang memperoleh bantuan cukup
banyak dari orang dan para mantan pejabat kolonial berkebangsaan pribumi/Indonesia
sebenar-benarnya tidak terlalumengherankan benar. Lewat kesempatan ini pemuka Indonesia
dapat belajar dan menyiapkan diri dalam banyak pengelolaan pemerintahan dan kehakiman
sebuah Negara modern yang pada masa lampau lebih banyak di dominasi oleh orang-orang
Belanda. Dan ketika kemerdekaan Indonesia di proklamasikan beberapa saat kemudian pada
satu hari di tahun 1945.
4
Perkembangan Tata Hukum Di Indonesia Pada Masa Revolusi Fisik (1945-1950)
Mengenai persoalan ini Lev pun mengatakan bahwa perhatian para pemimpin
republik pada waktu itu banyak tersita untuk upaya-upaya merealisasi kesatuan dan persatuan
nasional saja, dan sedikit banyak mengabaikan inovasi-inovasi pranata dan kelembagaan
masyarakat dan Negara. Para pemimpin republik ini banyak berbicara soal cita-cita, akan
tetapi ketika tiba pada keharusan untuk merealisasikanya ternyata banyak yang tidak siap
dengan rencana strategi untuk menuntun perubahan-perubahan. Ketika dihadapkan pada
persoalan dan realita yang ada, para elit republik ini cenderung untuk mencari pemecahan
denganmerujuk ke petunjuk lama yang pernah merek akenal pada masa yang lalu. Usul
inovatif untuk membuat teroboan, seperti misalnya usul Muhammad yamin
untukmemberikan kewenangan kepada mahkamahagung guna melakukan perundang-
undangan yang ada terbentur pada keberatan Soepomo yang lebih menyuai model kelmeagan
ketatanegaraan yang selama ini sudah di kenal dengan baik oleh pakar-pakar hukum
indonesia.
Unifikasi badan pengadilan yang telah di perkenalkan oleh pemerintah Jepang
ternyata diteruskan oleh Indonesia, bahkan dengan melanjutkan proses penyederhanaanya.
5
Badan pengadilan tingkat pertama yang masih jamak dan beragam pada zaman pendudukan
Jepang kini disatukan (gun hoin) districtsgerets), ken hoin (regenchtsshapgerectch) dan keizai
hoin (landraad) kini ditiadakan dan fungsinya dialihkan ke tiho hoin (landraad) yang sejak
saat itu dinamkan pengadilan negeri. Terbilang ke dalam barisan sekutu yang menyatakan diri
sebagai pemenan perang, Belanda berrhasil memulihkan kekuasaan hidia Belanda tahun 1946
dkan di mulai mencoba merebut kembali teritori yang telah dikuasai oleh dan diakui bagian
dari daerah kekuasaan Indonesia. Bersejajar dengan apa yang berkembang di daerah Republik
Indonesia, dikawalan Hindia Belanda pasca perang, Langgerechten di teruskan untuk
mengadili perkara-perkara semua golongan penduduk.
Seperti dua UUD yangada sebelumnya, UUD Sementara inipun tetap menganut asas
tetap memberlakukan semua peraturan perundangan dan ketentuan tata usaha yang sudah ada
sebelumya. Pasal 142 UUD Sementara ini menyebutkan hal itu bahwa “ peraturan
perundang-undangan dan ketentuan tata usaha yangsudah ada pada tanggal 17 agustus 1950
tetap berlaku dengan tidak berubah sebagai peraturan peruindang-undangan dan ketentuan RI
sendiri selama dan sekedar peraturan perundangan tidak dicabut, ditambah diubah oleh UU
dan ketentuan tata usaha atas kuasa UUD (yangbaru) ini”, dengan demikian kevakuman
hukum yangmungkin akan mengundang suasana ketidak pastian dapat dicegah dan
persaingan politik (antara kelompok nasionalis pendukung huum adat dan muslim pendukung
hukum islam?) untuk merebutkan ruang vakum guna diisi dengan sistem hukum yang batru
akan dapat dicegah atau seidaknya di tunda.
Dalam praktek penunjukan atau penyebutan secara khusus mana sajkah peraturan
perundangan dan ketentuan tata usaha yang hasih harus tetap dinyatakan berlaku dan mana
pulakah yang sudah dicabut, diubah atu ditambah tidaklah mudah dilakukan. Invetarisasi
6
yang kompeherensif dan handal tidak pernah (bisa) dilakukan, sebelum berlakunya UUDS ini
memang banyak peraturan perundangan dan ketentaun tata usaha yang pernah dibuat, tidak
hanya di buat pada dan terwarisi dari masa pemerintahan Belanda, akan tetapi juga yang
dibuat oleh dan diwarisi dari RIS itu sendiri. Maka disini kepastian hukumpun sebenarnya tak
juga mudah dijamin. Agaknya terjaminya kepastian hukum memang bukan yang palingdituju
oleh pasal peralihan seperti pasal 142 UUD RIS itu.
Mengenai pendapat terakhir ini, orang merujuk ke pasal 102 UU itu, yang
menegaskan bahwa “ hukum perdata dan hukum dagang, hukum pidana sipil maupun hukum
pidana militer, hukum acara perdata maupaun hukum acar pidana, susuna dan kekuyasaan
pengadilan diatur dengan UU dalam kitab-kitab hukum kecuiali jika perundang-undangan
mnganggap perlu untuk mengaturbeberapa hal dalam UU tersendiri .
Masalah yang dihadapi parlemen pada periode 1950-1959 ini memang berat.
Pluralism masyarakat terrefleksi dalam wujud pluralism aliran politik serta pluralism paham
dan pandangan di dalam parlemen Indonesia dari masa itu , telah menyebabkan parlemen
tidak dapat bekerja dengan efektif untuk menyelesaikan tugas-tugasnya, juga dalam tugas
pembuatan UU sebagaimana di perintahkan oleh pasal 102 UUDS. UUD ini sendiri dengan
memperhatikan maksud dua pasalnya ialah pasal 25 dan pasal 102 punmengobang
ambingkan orang antara beriontepretasi untuk meneruskan pluralism ataukah berinteprtasi
untuk segera menuju keunifikasi hukum. Semasa kekuasaan kolonialisme masih kuat
7
bertahan menjelang pecahnya PD II, sistem hukum Indonesia yang kompleks itu sebenarnya
merupakan hasil kompromi kolonial itu.
Atas kuasa UU Darurat ini, badan-badan pengadilan adat di luar jawa dan Madura
ditiadakan sehingga dengan demikian tidaklah aka nada peradilan resmi yang boleh
diselenggarakan kecuali peradilan yang diselenggarakan oleh Negara.
Unifikasi peradilan berlangsung lebih dahulu dari pada unifikasi hukum subtanstifnya
dapat diduga kalau akan menyebabkan terjadinya pergeseran titik kisar perkembnagan politik
hukum nasional. Akan tetapi kenyataan kemudian membuktikan bahwa para hakim ini pun
pada akhirnya tak bisa berbuat banyak.
Terlanjur terdoktrinasi dalam lingkungan ajaran civil law yang tak mengenal
kemahiraan ataupun keberanian untuk membuat hukum (melainkan hanya untuk menemukan
hukum saja) dan sementara itu juga sulitnya mengembangkan tradisi preseden serta
mekanisme untuk memungkinkan terwujudnya judge made law, para hakim yang rata-rata
masih muda pengalaman itu pun tak mampu membuat terobosan yang berarti dalam
perkembangan sistem hukum nasional.
8
Kebijakan untuk merealisasikan unifikasi hukum kolonial secara berangsur rupanya
terduplikasi (ataukah tepat dikatakan terteruskan) dalam pembangunan hukum nasional era
pasca koloial ini.
Konflik baru yang meletus dengan Belanda pada akhir dasawarsa dalam perkara
pengembalian irian barat ke pangkuan RI cenderung memperkuat kembali desakan kekuatan
politik di Indonesia untuk segera membebaskan diri dari pengaruh koloialisme, termasuk juga
upaya untuk mebebaskan diri dari pengaruh ide yang tersembunyi di dalam sistem
hukumnya. Dorongan amat kuatnya untuk segera meningkatkan transformasi hukum kolonial
ke dalam wujudya yang baru sebagai hukum nasional yang lebih cocok dengan kpribadian
bangsa notabene bangsa yang sedang melanjutkan revolusinya. Satu langkah yang sekalipun
simbolik namun pantas di perhatikan adalah di gantikanya symbol hukum Indonesia dari
figure dewi yustisia (yang didalam peradaban Eropa melambangkan keadilam) ke pohon
beringin (yang didalam lingkungan kebudayaan jawa melambangkan pengayoman).
Sesungguhnya pergantian symbol itu sendiri dan pencanangan pesan dan tekad yang
dikandungnya adalah pekerjaan yang tidak terlalu sukar. Akan tetapi mengubah substansi dan
esensi sebenarnya ternyata tidak semudah melukiskan lambing atau menuliskan niat.
Sekalipun mengklaim diri kepada hukum adat, UU Pokok agrarian tahun 1960 ini
ternyata mengabaikan banyak sekali kaidah-kaidah hukum adat local. Yang hendak tetap di
perhatikan hanyalah asas-asas umum yang terdapat dalam hukum adat Indonesia. Misi UU
Pokok Agraria ini adalah menciptakan hukum yang berlaku umum untuk seluruh rakyat
Indonesia. UU inimengingkari asas lama bahwa setiap golongan penduduk mempunyai
kebutuhan hukumnya sendiri, karena itu juga selayaknya memiliki dan/atau tunduk kepada
sistem hukumnya sendiri yang khusus dan ekslusif pula. Menurut kebijakan yang dituangkan
dalma naskah ini, hukum nasional akan berunsurkan nilai nasional yang bersifatkan seperti
itu tidak hanya akan berwawasan luas dan luwes akan tetapi juga secara tegas akan bersifat
anti kolonialisme, anti imperialism, anti feodalisme. Menangani hukum yang demikian itu,
para hakim sangat diharapkan kemampuanya untukmenghasilkan keputusan yang seragam
dan perkara tertentu, sehingga dengan demikian akan mampu pula menghasilakn keputusan-
keputusan yang seragakm dan perkara tertentu, sehingga dengan demikian akan mampu pula
menghasilkan keseragaman dan kepastian di dalam penerapan hukum tak tertulis.
Adapun juga cita-cita dan statemen serta retorika politiknya, sesunggunya nyata
dalamkenataan bahwa di balik semua ungkapan tentang pembaharuan hukum dan reformasi
9
atanan itu, pada dasarnya ide-ide tentang hukum nasional yang dicetuskan oleh para pakar di
lingkungan lembaga dan dikalangan ahli-ahli hukum Indonesia itu masih juga sulit
melepaskan diri dari kungkungan sistem berfikir vertical,bertolak dari konsep-konsep dasar
dalam pemikiran hukum kolonial. Kodifkasi, unifikasi,pembakuan menuju ke seragaman dan
kehendak untukmendahulukan kepastian hukum menurut ajaran hukum positif murni yang
kelsenian semua itu tetap saja bersikukuh dalam obsesi bagaikan suatu dogma (yang boleh
ditolak dalam ucapan akan tetapi sulit diingkari di dalam pikiran). Sebuah pemikiran atau
pendekatan yang mencoba menggoyahkan dan menggoncang pola berfikir yuridis yang telah
terlanjur mapan dan terstruktur selam ini terjadi pda tahun 1961, setahun setelah diaktifkanya
kembali lembaga pembinaan hukum nasional (yang dinilai presiden Soekarno sebagai suatu
lembaga yang hanya cepat dalam mengutarakan pernyataan niat akan tetapi kurang tegas
dalam mengayunkan langkah). Kecenderungan untuk tetap mendahulukan stabilitas dan
ketertiban yang penuh kemapanan, serta pula untuk terlalu mengukuhi kepastian hukum,
dinilai tidak cocok dengan cara berfikir revolusioner, suatu cara berfikir yang
akanmemberikan keberanian kepada seseorang untuk membongkar tatanan lama yang sudha
mapan secara radikal. Presiden mengkritik cara berfikir yuridik-dogmatik yang condong
begitu konservatif, sampai-sampai beliau mengutip William Liebknecht bahwa orang
memang tak akan bisa mengajak ahli hukum mencetuskan dan menyelesaikan revolusi.
Soepomo pemeran utama pembangunan hukum Indonesia sejak masa pendudukan Jepang
sampai ke akhir riwayat demokrasi parlementer dan selalu terlibat dalam perancangan semua
UUD yang pernah di kenal di Indonesia telah meninggal dunia pada tahun 1958 akan tetapi
tak urung tokoh-tokoh tua dari angkatan sebelum PD II jugalah rupanya yang harus mencoba
mendukung danmengimplementasikan ide dan teori hukum revolusioner lemparan presiden
Soekarno itu. Mereka ini adalah menteri kehakiman sahardjo dan ketua mahkamah agung
wirjono prodjodikoro (saudara kandung soesanto tirtoprodjo yang pada saat bersamaan
menjabat ketua lembaga pembinaan hukum nasional).
Sahardjo yang dicatat pertama tama paling tanggap dan cepat menemukan konstruksi
hukum yang dapat dipakai seagai alasan pembenar guna melepaskan diri dari
keterikatanoarng pada hukum lama yang kolonial. Pembinaan hukum nasional, rahardjo
menyarankan agar maksud pasal II semula ketentuan pasal ini ditafisir sebagai pembenaran
tetap berlakunya semua perundang-undangan dan ketentuan-ketentuan tata usaha pra
kemerdekaan (sampai nanti pada saatnya atrau kecuali apabila di cabut dengan peraturan
perundang-undangan atau ketentuan-ketentuan tata usaha yang baru). Namun seraya
10
mengingatkan adanya maklumat pemerintah bertanggal 10 oktober 1945 (pasal1) yang
menyatakan bahwa hukum lama itu ipso jure akan tak berlaku lagi apabila bertentangan
dengan ketentuanyang terkandung di dalam UUD 1945. Dengan lebih konkrit lagi untuk
dilaksanakanya pembaharuan hukum perdata di Indonesia, srahardjo menyarankan agar
berdasarkan interpretasi revolusioner sebagaimana di kemukakan di muka, burgerlijk
wetboek dan wetboek van koophandel peninggalan pemerintah kolonial tak seharusnya boleh
di padang lagi sebagai hukum positif yang masih lebih dari pantas kalau di perlakukan
sebagai buku hukum biasa satu buku hukum yang tertulis yang berlaku bagi mereka yang
selam initunduk kepada hukum yang dikodifikasikan dalam burgerlijk wetboek itu.
Disokong oleh kondisi yang menguntungkan ide sahardjo ini memperoleh anggukan
dari banyak pihak yang berpengaruh, antara lain dari ketua mahkamah agung wirjono
prodjodikoro. Ketua mahkamah ini mengemukakan pikiranya bahwa sebagian besar
dariketentuan-ketentuan burgerlijk wetboek buku II toh telah tidak berlaku oleh hukum
nasional tentang pertahanan. Yang masih belum pernah dicabut atau digantikan denganhukum
perundang-undangan nasional yang baru hanyalah buku I mengenai person dan buku II
mengenai kontrak. Akan halnya buku I buku ini boleh dianggap telah using dansudah
waktunya ditelaah ulang dengan mempertimbangkan perkembangan-perkembangan mutakhir
dalam hukum keluarga yang hidup di lingkungan masyarakat Cina. Sementara itu buku III
pun sudah waktunya ditinjau ulang dandiganti. Wirjono sendiri tengah mengaku tengah
merancang sebuah kitab undang-undang yang ringkas mengenai hukum kontrak ini untuk
pada saatnya nanti diusulkan sebagai pengganti II burgerlijk wetboek.
Sahardjo dan wirdjono dalam suatu duet sama-sama berpendapat bahwa interpretasi
revolusioner yang menggugurkan burgerlijk wetboek sebagai hukum positif danuntuk
seterusnya hanya berlaku bagi himpunan komentar akan memungkinkan para hakim
menerapkan hukumyang diskriminatif dan berasal dari zaman kolonial itu secara lebih
tersesuaikan dengan kondisi-kondisi baru sebuah negeri yang suah merdeka, dimana
penggolongan-penggolongan rakyat sudah tidak boleh diteruskan lagi. Perkembangan penting
berikutnya, yang bermaksud untuk lebih menegaskan lagi niat dan kebijakan untuk
menghentikan berlakunya kitab undang-undang hukum perdata sebagai hukum positif adalah
di tulis dan di kirimkanya surat edaran ketua mahkamah agung bertanggal 5 september 1963
kepada ketua-ketuya pengadilan negeri di Indonesia. Surat edaran yang di tangani oleh ketua
mahkamah agung (yang sampai saat itu masih dijabat oleh wirjono prodjodikoro)
menyatakan dalampembukaanya suatu penyesalan bahwa di Indonesia yang telah merdeka
11
inimasihbanyak hukum yang di latar belakangi pemikiran kolonialisme masih saja dipakai di
pengadilan-pengadilan. Demikian itu juga berlaku berkenaan dengan burgerlijk wetboek yang
sebenarnya dulu dibuat untuk kepentingan bangsa Belanda sendiri. Sehubungan dengan hal
itu sudah sepantasnya kalau kita hukum Sementara itu para pencari keadilan dan para
pengacara juga menjadi amat gelisah, karena mereka akan kehilangan kepastian atau setidak-
tidaknya akan sulit berpartisipasi hukum apa yang kira-kira akan ditemukan para hakim untuk
mengadili suatu perkara, yang secara obyektif bisa dianggap cara penyelesaian yangpaling
cocok dengan tuntutatn masyarakat indoensia merdeka. Kekhawatiran timbul, jangan-jangan
dengan gampang-gampangan saja (atas dalih hukum revolusi) hakim-hakim malah akan
bertindak sangat subyektif dan semena-mena. Di lingkungan para akademisi, surat edaran
itupun dianggap sebagai langkah ngawur yang tak mengindahkan tatakrama, bukan saja
karena sudah tidakmenghormati asas kepastian hukum akan tetapi juga karena merusak
ajaran stuffenban yang di kemukakan kelsen tentang tertib hirarki perundang-undangan. Di
pertanyakan, bagaimana mungkin secarik surat edaran boleh membatalkan berlakunya sebuah
wet atau ordonansi?
Anti kolonialisme dan anti imperialism tidak lagi di kumandangkan secara khusus
sebagai bagian strategi nasional. Akan gantinya soal kemiskinan dan kesulitan hidup ekonomi
di kedepankan sebagai permasalahan yang paling mendesak untuk di pecahkan. Secara
berangsur, namun dalam waktu yang singkat perhatian seluruh bangsa diarahkan dan
dipusatkan kea rah upaya perlunya segera mengatasi masalah-masalah pendapatan rakyat
yang buruk di tambah angka buta aksara yang tinggi, kesehatan yang buru dan pertambahan
12
penduduk yang belum terkendali. Tak pelak pembangunan ekonomi dalam negeri lalu
memperoleh porsi perhatian yang sangat besar. Prioritas kebijakan di berikan kepada
kebijakan untuk menahan laju inflasi, memperbaiki insfrastruktur, menggalakkan investasi,
meningkatkan daya ekspor, menambah kemampuan untuk berswasembada pangan dan
mencukupi sandang dan papan untuk kesejahteraan penduduk. Pada tahun 1967 tak lama
setelah lahirnya surat perintah sebelas maret yang memberikan dasar legitimasi kepada
jenderal soeharto untuk mengambil alih kekuasaan pemerintahan, perusahaan-perusahaan
Asing diambil alih semasa pemerintahan presiden soekarno telah dikembalikan ke tangan
pemiliknya. Undang-undangpenanaman modal.
Tahun 1968 dengan dibentuknya kabinet baru yang disebut cabinet pembangunan
adalah tahun yang boleh di catat sebagai titik awal perubahan kebijakan pemerintah secara
menyeluruh, dari kebijakan “politik revolusioner sebagai panglima” kebijakan pembangunan
ekonomi sebagai bagian dari perjuangan orde baru. Peran partai-partai politik dan masyarakat
sipil menjadi amat terkurangi, sedangkan peran militer dalam konteks doktrin dwi fungsi abri
menjadi lebih dominan. Stabilitas nasional di perlukan untuk memungkinkan didahulukanya
pembangunan ekonomi oleh par ateknokrat tanpa di ganggu oleh gejolak politik yang tak
perlu. Bagaikan penari yang secara bijak mengubah gerak tarinya karena terjadinya
perubahan irama gendang, hukum Indonesia pun tertenggarai benar telah mengalami
perubahan dan perkembangan yang mengesankan perananya lain dulu lain sekarang. Dalam
situasi perkembangan yang mengarah kepada konfigurasi-konfigurasi politik dan kebijakan-
kebijakan pemerintah yang sudah berbeda, peran hukum tampak sekali berubah dari peranya
ynag tersubordinasi untuk mensukseskan revolusi nasional melawan neo kolonialisme dan
imperialism ke peranya yangbaru sebagai bagian dari sarana pembangunan. Dalam
perkembangan yang baru ini adagium “Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum” . Ide
bahwa hukum harus berkhidmat pada tujuan-tujuan revolusi tak lagi punya tempat dalam era
orde baru. Perkembangan hukum nasional dalam era orde baru diarahkan balik ke upaya-
upaya untuk memulihkan kewibawaan hukum dan menentang setiap bentuk usaha untuk
memperhamba hukum kepada kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan politik. Doktrin
kepastian hukum di pulihkan kembali dan tata hirarki perundang-undangan menurut konsep
kesenian dihidupkan kembali. Pada tahun 1966 dengan ketetapan MPR sementara no XX
(bertanggal 5 juli 1966), telah ditetapkan sumber tertib hukum RI dan tata urutan peraturan
perundang-undangan RI yang dimaksudkan melaksanakan UUD 1945 secara murni
dankonsekuen. Ketetapan majlis ini menyatakan bahwa sumebr tertib hukum Indonesia yang
13
akan disebut juga sebagai “sumber dari segala sumber hukum” adalah pancasila, proklamasi
kemerdekaan 17 agustus 1945, dekrit 5 juli 1959, Undang-undang proklamasi dan surat
perintah 11 maret 1966.
Menurut rencana pembangunan lima tahuun I itu apa yang dimaksud dengan rule of
law itu mencakup tiga unsure kebijakan tersebut berikut ini : pertama, bahwa hak asasi
manusia diakui dan dilindungi, kedua bahwa peradilan harus bebas dan tidak memihak, dan
ketiga, bahwa asas legalitas akan dipegang teguh baik dalam hal memberlakukan hukum
formil maupun dalam hal memberlakukan hukum materiil. Memperkuat ide rule of law yang
hendak menjamin kebebasan hakim dan aparat kehakiman, sebuah undang-undang tentang
kekuasaan kehakiman (UU Pokok nomor 14 tahun 1970 tentang kekuasaan kehakiman) di
buat dan diumumkan berlakunya pada tahun 1970.
Tak hendak ketinggalan untuk diikut sertakan dalam proses pembangunan, banyak
pihak di kalangan yuris mencoba mempelajari cara-cara pendekatan baru dalam studi hukum
14
yang diperkirakan oleh mereka akan dapat di pakai untuk merelevansikan permasalahan
hukuim dan fungsi hukum dengan permasalhan makro yang tak Cuma terbatas pada
persoalan normative dan litigatif. Mohtar berargumentasi bahwa pendaya gunaan hukum
sebagai sarana untuk merekayas amasyarakat menurut scenario kebijakan pemerintah (dalam
hal ini eksekutif) amatlah terasa sangat diperlukan oleh Negara-negara sedang berkembang,
jauh melebihi kebutuhan yang dirasakan negara industry maju yang sudah mapan. Negara
maju memiliki mekanisme hukum yang telah “jalan” untuk mengakomodasikan perubahan-
perubahan di dalam masyarakatnya, sedangkan Negara-negara yang berkembang tidaklah
demikian. Sebelum diputuskan apa yang hendak di kembangkan sebagai hukum nasional,
mohtar menganjurkan agar dilakukan penelitian terlebih dahulu untuk Harting out in areas of
law innovations can be introduced which are as left alone.
Pikiran mohtar ini sekalipun secara teoritik sebenarnya tidak terlalu istimewa dan
khusus mohtar pun kemudian nyata bukan satu-satunya berfikiran tentang fungsi aktif hukum
sebagai perekayasa sosial . Akan tetapi saran-saran kohtar harus diakui sangat penting dan
berpengaruh dalam menetapkan arah perkembangan hukum nasional pada era orde baru.
Jelas rupanya bahwa tidak semua pikiran dan pendapat setuju dengan pemikiran untuk
mengembangkan hukum nasional menurut cara yang disarankan ahli hukum dari universitas
padjajaran. Pengembangan hukum nasional dengan cara mengembangkan hukum baru atas
dasar prinsip yang telah diterima denganmaksud untuk memperoleh sarana untuk
membangun infrstruktur sosial budaya yang tidak netral atau belum dapat di netralkan di
pandang oleh mereka yang tidak bersetuju sebagai suatu upaya yang terlalu menyebal dari
tradisi.
Ada dua pihak ahli hukum yang terbilang ke dalam pihak yang tak setuju. Mereka ini
adalah puak yang percaya bahwa harus ada kontinuitas perkembangan hukum dri yang lalu
(kolonial) ke yang kini (nasional) dan puak yang percaya bahwa hukum nasional haruslah
berakar, berangkat dan diangkat dari hukum rakyat yang ada ialah hukum adat. Berikut secara
berturut-turut akan di paparkan pendapat kedua puak yang lebih bersiteguh pada sinergi
pengembangan hukum menurut tradisi Eropa barat dan menurut tradisi hukumj adat.
16
modal dasar hukum kolonial yang telah dikaji ulang berdasarkan grundnorm pancasila adalah
upaya yang harus di pandang paling logis.
Bell menyebut nama-nama pengacara Jakarta antara lain Suardi Tasrif, Adnan
Buyungnasution, Sulistio (yang mencoba mendirikan law center di Jakarta) dan lain-lain
(apakah Yap Thiam Dien) sebagai penyokong pendapat dan paham ini. Sementara itu di
kampus-kampus disadari atau tidak para penganut garis paham tetap menyebut hukum yang
mengatur soal-soal tata niaga dengan nama hukum dagang dalam tradisi handelsrecht
Belanda, dengan kitab hukumnya yang dikenali dengan nama watboek van koophandel.
Penyebutan ini membedakan puak ini dari puak pengahut paham hukum sebagai sarana
perekayasa sosial yang menyebut hukum sejenis itu dengan sebutan hukum ekonomi.
Di UGM, misalnya yang diajarkan sebagai mana ajaran hukum dagang adalah topik-topik
yang diatur di dalam wetboek van koophadel itu, seklaipun didalamnya terdapat juga topik
tambahan. Seperti leAsing, kondominium, dan beberpa yang lain, sedangkan di universitas
padjajaran yang berpaham aliran lain, topik yang sama (tentang soal perdagnagan,
perburuhan, agrarian perpajakan dan pertambangan ) diajarkan dengan nama “hukum
ekonomi”. Sering di kesan orang bahwa hukum dagang mengikuti tradisi Belanda, masih
dikualifikasikan sebagai hukum privat (perdata) sedangkan hukum ekonomi sebenarnya
sudah banyak berunsurkan ihwal tindakan-tindakan public administrative pemerintah. Maka
hukum dagang lebih tepat dilihat sebagai bagian dari pengatur mekanisme ekonomi pasar
17
bebas, sedangkan hukum ekonomi lebih jelas dilihat sebagai bagian dari pengatur mekanisme
ekonomi berencana.
Bagaimana sekarang halnya dengan eksponen hukum adat yang masih mengingat
causa belli untuk memperjuangkan eksistensi dan fungsi hukum hingga saat pasca kolonial?
Paham ketiga yang merupakan kelanjutan gerakan yang telah berumur tua namun
tampaknya sekalipun pernah bersedia mundur atau minggir dari kesertaan dalam percaturan
politik membangun hukum nasional adalah paham yang hendakmengangkat hukum rakyat,
yaitu hukuam adat menjadi hukum nasional. Penyokong-penyokong ide ini sebenarnya
terbilang pewaris ide tua.
Namun ketika orde baru bermula dan pencaharian model hukum nasional yang paling
memenuhi panggilan zaman untuk menjadi dasar-dasar utama pembangunan hukum nasional
di perdebatkan para eksponen, puak hukumadat rupanya sudah kehilangan pencetus-pencetus
ide baru yang mampu bersaing. John ball, pengamat perkembangan hukum di Indonesia
agaknya sulit menemukan nama-nama yang boleh ditampilkan, kecuali nama djojodigoeno
(dari Universitas Gadjah Mada) dan Koesnoe ( dari Universitas Airlangga) . Yang kedua-
duanya pada saat kritis itu tidak menduduki posisi-posisi yang dekat dan berpengaruh pada
eksekutif pembuat kebijakan dan kata putus, khususnya di tingkat nasional. Pada dasarnya
puak penganjur dipromosikanya hukum adat ke fungsinya yang baru sebagai hukum nasional
bertolak dari paham savignian yang historic itu, bahwa huku itu tak mungkin di buat dan
dibebankan dari atas (sebagai atau tidak sebagai sarana perekayasa sosial) melainkan akan
danharus tumbuh kembang beriring dengan tumbuh kembangnya masyarakat itu sendiri.
Namun dengan konsep seperti itu, puak penganjur hukum adat inimulai kesulitan ketika harus
mengunifikasikan hukum rakyat yang terbagi-bagi (sebagai akibat latar belakang sejarah
masyarakat pendukungnya yang berbagi-bagi pula) itu. Disini orang dihadapkan kepada
kenyataan yang sulit bahwa mengukuhi hukum adat berarti mengukuhi pluralism hukum dan
tidak berpihak kepada hukum nasional yang diunifikasikan ( dalam wujud kodifikasi).
Tak pelak riwayat hukum adat adalah riwayat ide-ide oposan. Para pendukungnya
melawan ide-ide kodifikasi danunifikasi yang di prakarsai oleh pemerintah kolonial yang
berwawasan universalistis dengan dalih bahwa hukum adat adalah hukum yang memiliki
18
keunggulan dalam hal keluwesan dan kegayutanya dengan perasaan keadilan masyarakat
local yang berbagi-bagi itu. Dalam pengembangan hukum nasional yang sungguhmendesak,
ialah ketika pembangunan di segala bidang harus segera di kerjakan sebagai bagian dari
komitmen pemerintahan orde baru, agaknya puak pembela hukum adat kalah cerdas di
banding puak penganjur law as a tool of sosial engineering baru siap dengan rambu-rambu
pembatas, dan belum siap dengan alternative positif yang segera bisa diwujudkan
Mengenai contoh konsep dalam hukum adat yang bermotif atau bertujuan dengan
fungsi yang sama dengan apa yang didapati dalam hukum internasional, soerojo menyebut
konsep tanah wewengkon atau tanah ulayat yang didalam hukuminternasional dikenali
dengan sebutan teritorialitas atau daerah yurisdiksi. Disebutnya juga oleh soerojo dalam
hubungan ini konsep hak meminta perlindungan ke bawah kekuasaan seseorang penguasa
agar terhindar dari sanksi adat yang didalam hukum internasional di sebut hak asylum atau
hak meminta suaka.
Ketidak mampuan hakim Indonesia untuk bertindak mandiri dan bebas dalam proses
dan fungsi pembaharuan hukum nasional itu sesugguhnya tidak hanya bersebab pada status
para hakim (sebagai pegawai negeri) yang sebenarnya kurang menjamin kemandirianya akan
tetapi juga oleh sebab lain. Pendidikan kehukuman dan kehakiman di Indonesia telah
terlanjur sangat menekankan cara berfikir deduktif lewat silogisme logika formal, tanpa
pernah mencoba membedah mahasiswa juga kearah cara berfikir induktif yang diperlukan
untuk menganalisis kasus-kasus danberanjak dari kasus-kasus itu untuk mengembagkan case
laws.
Tak pelak lagi alternative pengembangan hukum nasional yang lebih mengandalkan
komitmen proses legislative dari pada proses yudisial akan lebih cepat marak dan terpilih
serta mendahulu, untuk kemudian mendominasi percaturan. Pendukung paham hukum
nasioanal sebagai hukum perekayasa (dengan mengandalkan prakarsa dan kebijakan
perundangundangan pemeritah) dapat di mengerti kalau dengan begitu dapat dengan cepat
memperoleh tempat dalam kerangka kebijakan pemerintahan orde baru yang pada awal tahun
1970-an berhasil mengkonsolidasi diri ( dengan dukungan partisipasi politik militer yang kuat
dan topangan birokrasi yang distrukturkan secara monolitik dan mudah di control secara
sentral).
Jelas sekali dalam proses ini bahwa peran hukum adat dalam percaturan
pembangunan hukum nasional kian terdesak, dari maknanya pun secara riil tak tercatat terlalu
19
besar, kecuali klaim-klaimnya akan kebenaran moralnya sedangkan manakala soal
operasionalisasi dan pengefektifan sudah mulai di bicarakan, paham hukum sebagai
perekayasa di tangan pemeritah . Itulah yang nyata-nyata kalau lebih mampu berbicara
danbangkit untuk berperan secara efektif. Yang pertama ialah karena ada dan selalu
didayagunakanya wewenang konstitusional badan-badan eksekutif untuk terlibat dan
melibatkan diri ke dalam praktek (karena dikuasinya sumber daya yang relative berlebih)
akan menyebabkan eksekutif mampu lebih banyak berprakarsa. Alih-alih ide dan kebijakan
yang diprakarsai lembaga-lembaga perwakilan yang seharusnya mendahului, dalam banyak
peristiwa justru ide-ide dan prakarsa-prakarsa eksekutif itulah yang lebihbnayak merintis
danmengontrol perkembangan.
Yang kedua adalah kenyataan bahwa dalam perkembangan yang terjadi pada zaman
orde baru, kekuatan politik yang berkuasa di seluruh jajaran eksekutif ternyata juga mempu
bermanufer dan mendominasi DPR dan MPR. Sebagai hasil kompromi-kompromi politik
yang di peroleh sebagai hasil trades offs antara berbagai kekuatan politik yang terjun ke
dalam kancah percaturan politik pada awal tahun 1970-an, disepakati bahwa tidak semua
anggota dewan dan angota majlis merupakan hasil pilihan. Pada pemilihan umum tahun
1973, misalnya 100 dari 360 anggota dewan yang diangkat karena ditunjuk oleh eksekutif.
Mereka adalah anggota-anggota dewan dari fraksi ABRI, yang di tunjuk dan diangkat sebagai
konsensi tidak ikut sertanya anggota-anggota ABRI dalam pemilihan umum untuk
menggunakan hak pilihnya.
Dalam korelasi da konstruksi seperti itu, bolehlah secara bebas di katakana disini
bahwa hukum di Indonesia dalam perkembanganya di akhir abad ke 20 inibenar-benar secara
sempurna menjadi government sosial control dan berfungsi sebagai tool of sosial engineering.
Wal hasil hukum perundang-undangan sepanjnag sejarah perkembangan pemerintahan yang
terlegitimasi (secara formal-yuridis) dan tidak selamanya merefleksikan konsep keadilan,
asas-asas moral dan wawasan kearifan yang sebenarnya, sebagaimana yang sesungguhnya
hidup di dalam kesadaran hukum masyarakat awam. Dalam situasi seperti itulah gerakan-
gerakan dari bawah untuk menuntut hak-hak asasi lalu meletup secara terbuka, yang dikesan
justru terdengar lebuh kuat dan lebih santer dari apa yang semasa jaya-jayanya ide hukum
revolusi di awal tahun 1960-an.
20
POLITIK DAN PENEGAKAN HUKUM ERA REFOMASI.
Pengalaman selama masa Orde Lama dan Orde Baru cukup memberikan kesan yang
mendalam dalam sistem politik Indonesia. Peran elit yang terlalu dominan membuat
masyarakat tidak berdaya untuk membangun dirinya dan terlibat dalam menciptakan sistem
politik yang stabil, malah sebaliknya timbul beberapa persoalan yang tidak terselesaikan.
Masyarakat atau rakyat merupakan penentu berjalannya suatu sistem politik, karena
masyarakat dianggap sebagai subjek dan objek dari sistem politik yang ada. Menurut Nico
Schulte Nordholt1 (dalam Juliansyah), kekuatan sistem politik memerlukan tingkat dukungan
yang tinggi dari berbagai peran yang ada di dalam sistem politik itu sendiri.7 Kalau kita
secara sepintas meninjau kelima persyaratan yang disebutkan oleh Linz dan Stepan, maka
dengan sendirinya kita dapat menarik kesimpulan bahwa kondisi bangsa dan negara
Indonesia masih jauh dari keadaan yang memadai. Lima syarat itu sangat penting bagi proses
transisi menuju sistem dmokrasi. Pertama, civil society yang bebas dan aktif. Kedua,
masyarakat politik, termasuk elit parpol-parpol, yang relatif otonom. Ketiga, penegakan
hukum. Keempat, birokrasi yang profesional. Kelima, masyarakat ekonomi yang relatif
otonom dari negara dan pasar murni.
Masyarakat sipil (civil society) diberikan ruang yang bebas dan aktif agar dapat
memberikan peran politiknya guna menentukan arah perjalanan bangsa dan negara.
Masyarakat sipil (civil society) mempunyai peran yang sangat penting untuk menentukan
arah tindakan demi terciptanya masyarakat yang berdaya dalam menentukan nasibnya
sendiri. Peran warga masyarakat tidak hanya tercermin melalui berbagai tindakan-tindakan
politik, seperti memberikan suara dalam Pemilu secara bebas dan bertanggung jawab, tetapi
termasuk menentukan nasib sendiri. Dalam hubungan ini, peranan pemerintah menjadi
katalisator bagi tumbuhnya masyarakat sipil yang berdaya melalui berbagai program
kebijakan pemerintah di bidang sosial, ekonomi, dan kebudayaan. Masyarakat tidak hanya
pasif dan bersifat menunggu apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sebaliknya,
masyarakat merupakan mitra pemerintah untuk mencapai tujuan negara sebagaimana
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat: “... melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
1
Evi Juliansyah, Sistem Politik Indonesia Pasca Reformasi , ( Bandung, Mandar Mago , 2013 ) hl. 47
21
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, ...”.
Kedudukan partai politik menjadi sangat strategis pada saat Indonesia memasuki babak
baru dalam sistem politik yang lebih terbuka. Partai politik dan elit politik tidak hanya
tergantung pada kekuatan yang berada di luar kerangka sistem politik. Persoalannya sekarang
adalah partai politik dan elit politik belum memiliki kemampuan untuk mempercayai dirinya
sendiri dalam menentukan sikap, termasuk sangat tergantung pada backing seperti yang
terjadi pada masa Orde Baru. Budaya backing tersebut menjadi penyebab lemahnya partai
politik berikut kaum elit politik untuk bersikap otonom dalam menentukan proses kompetisi
politik dan menentukan sikap politik. Kemandirian partai politik dan kaum elit politik sangat
dibutuhkan agar tidak memiliki rasa ketergantungan kepada pemerintah, termasuk
dalammenentukansikappolitikuntukmelakukan oposisi atau koalisi. Keberanian partai politik
untuk menentukan sikap sangat diperlukan untuk menjaga kontaminasi kepentingan rezim
yang berkuasa dengan kepentingan rakyat. Pengawasan dan pengendalian kekuasaan oleh
oposisi menunjukkan berjalannya check and balances system dalam sistem politik. Jika ini
tidak terjadi dikhawatirkan kegiatan extra parlementer untuk melakukan tekanan terhadap
pemerintah akan semakin marak.
Demokrasi yang sedang berjalan dengan baik harus didukung oleh kekuatan masyarakat
sipil (civil society) sehingga kaum elit politik dapat menjalankan hasil keputusan politik yang
dibuat dalam sistem politik dengan baik. Keputusan yang dibuat untuk kepentingan dan
keberlangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu peran penegak hukum untuk
menjalankan keputusan politik yang sudah dibuat menjadi sangat penting. Kesadaran yang
terjadi adalah penegakan hukum sesuai dengan norma hukum yang berlaku, jangan sampai
hukum dijadikan sebagai alat politik untuk mempertahankan kekuasaan. Perangkat hukum
yang dibuat dipastikan dapat dijalankan untuk menegakkan kebenaran, keadilan, dan
kepentingan bersama. Walhasil penegakan hukum tidak berlaku diskriminatif, tetapi
berdasarkan pada bukti dan fakta hukum.
Penegakan hukum diberlakukan sesuai dengan rasa keadilan, kejujuran, dan kebenaran
sebagai prinsip utama dalam menjalankan proses penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Hukum dibuat untuk menjaga ketertiban dan keberlangsungan hidup masyarakat politik,
karena itu politik memerlukan hukum untuk menciptakan rasa kepastian hukum, keteraturan,
dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam negara demokrasi, hukum dibuat dan
22
dilaksanakan untuk menciptakan kepastian dan menumbuhkan kepercayaan dalam
amsyarakat, sehingga masayarakat akan terlindungi hak-haknya dan penindakan terhadap
pelaku tindak pidana untuk menciptakan keteraturan sosial.
Roda pemerintahan akan dapat berjalan bila kepentingan politik dipisahkan dengan
kepentingan birokrasi. Birokrasi dibentuk untuk menjalankan tugas-tugas politik atau
kebijakan politik yang sudah dibuat. Peranan birokrasi dapat memberikan dukungan yang
kuat bagi berjalannya roda pemerintahan. Tugas dan fungsi birokrasi dapat terlihat dengan
jelas jika demokrasi terbuka lebar. Artinya, birokrasi tidak masuk dalam proses politik,
melainkan lebih banyak pada pelaksana kebijakan politik. Persoalan pokok yang muncul
adalah bagaimana meletakkan dasar-dasar bagi terbentuknya suatu sistem politik yang
demokratis. Menurut Alfred Stepan, keputusan rezim memulai reformasi menuju demokrasi
biasanya terjadi karena didasari pertimbangan kelompok elit bahwa kepentingan jangka
panjang mereka akan lebih bisa terjamin bila diperjuangkan dalam lingkungan yang
demokratis. Tetapi jalur reformasi dari atas umumnya menghasilkan beberapa
kecenderungan. Pertama, proses demokratisasi bisa saja dihentikan oleh pemegang
kekuasaan karena situasi yang muncul pada masa liberalisasi itu dianggap terlalu mahal
biayanya ketimbang biaya represi. Kedua, karena demokratisasi dari atas itu dikaitkan dengan
pemeliharaan kepentingan elit, maka kecenderungan yang terjadi adalah munculnya
demokrasi terbatas. Ketiga, kekuatan militer akan terus melakukan usaha-usaha untuk
mempertahankan hak-haknya dan hal ini sangat mengganggu proses demokratisasi.
Reformasi yang diharapkan oleh golongan mahasiswa dan masyarakat akan mengalami
perubahan yang tidak sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, para pemegang kekuasaan
harus berupaya mengontrol proses demokrasi yang sedang berjalan. Pertimbangan tersebut,
dengan berbagai alasannya, tidak untuk membenarkan segala tindakan pemerintah (penguasa)
hanya untuk mempertahankan kekuasaan, baik berupa alasan ekonomi biaya tinggi dalam
kegiatan demokrasi, stabilitas politik dengan melakukan penyederhanaan partai politik,
maupun melakukan eliminasi peran Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan kata lain, tidaklah
dapat dibenarkan jika pemegang kekuasaan semata-mata berorientasi untuk mempertahankan
kekuasaan, terutama jika ditempuh melalui cara-cara yang kurang simpatik dan merugikan
kepentingan rakyat. Pada era demokrasi, terdapat peran-peran lembaga lain yang merasa
dirugikan akibat dibatasinya kewenangan untuk melakukan berbagai kegiatan politik,
23
terutama aktivitas militer yang dirugikan melalui pembatasan ruang geraknya untuk
memberikan pengaruh berbagai keputusan politik.
24
POLITIK HUKUM INDONESIA PASCA REFORMASI
Semenjak Indonesia merdeka hingga reformasi bangsa Indonesia belum memiliki
sistem hukum yang murni bersumber dari nialai-nilai sosial budaya bangas Indonesia sendiri
tetapi memanfaatkan peraturan perundang-undangan peninggalan pemerintah kolonial
Belanda. Kendati demikian upaya pembenahan hingga saat ini senantiasa dilakukan dengan
cara memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan pasal-pasal dalam UUD 1945 yang
banyak pihak menilai ada pasal yang tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman
dengan mengganti hukum yang baru yang bersumber dari nilai-nilai budaya bangsa Indonesia
sesuai dengan perkembangan Indonesia saat ini. Sejalan dengan itu, politik hukum
sangat berperan bagi penguasa atau pemerintah untuk membangun hukum nasional di
Indonesia yang dikehendaki. Peran politik hukum terhadap pembangunan hukum nasional di
indonesia tidak bisa dilepas dari kontek sejarah. Sepanjang sejarah Negara Republik
Indonesia telah terjadi perubahan-perubahan politik secara bergantian (bedasarkan periode
sistem politik) antara politik yang demokratis dan politik otoriter. Sejalan dengan perubahan-
perubahan politik itu, karakter produk hukum juga berubah. Terjadinya perubahan itu karena
hukum merupakan produk politik, maka karakter produk hukum berubah jika politik yang
melahirkannya berubah. Pada masa reformasi 1998 misalnya terjadi perubahan pada berbagai
undang-undang, seperti undang-undang tentang partai politik, pemilu dan Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD dan lain-lain. Selain itu perubahan juga terjadi peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi yakni penghapusan Ketetapan Majelis
Pemusyawaratan rakyat (Tap MPR) dan perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Setiap negara terdapat politik hukum yang perannya sebagai kebijakan dasar bagi
penyelenggara negara untuk menentukan arah, bentuk maupun isi hukum yang akan
dibentuk. Sebagaimana pengertian politik hukum menurut Padmo Wahjono dengan
mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara tentang apa yang
dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu yang di dalamnya mencakup pembentukan,
penerapan, dan penegakan hukum.1 Persoalannya adalah bagaimana penyelenggara negara
mengelolaannya. Ada negara yang menyusun secara berencana dan sistematis politik
hukumnya, dan berkehendak menyusun kembali secara menyeluruh tatanan hukum baik
karena alasan idiologis atau karena perubahan sistem politik. Misalnya dari negara jajahan
menjadi negara merdeka atau dari negara kerajaan menjadi negara republik. Akan berbeda
halnya dengan negara yang sudah memiliki sistem hukum yang sudah mapan. Politik
25
hukumnya dilakukan dengan lebih sederhana yaitu lebih dikaitkan pada kebutuhan yang
bersifat khusus daripada yang pokok atau asas-asanya. Indonesia nampaknya berada pada
posisi negara yang menyusun politik hukumnya secara sistematis dan terprogram, baik karena
alasan dari negara jajahan menjadi merdeka maupun alasan idiologis amanat rechtsidea yaitu
cita hukum yang termuat dalam konstitusi dan pembukaan UUD 1945. Ada kehendak bahkan
kebutuhan untuk terus memperbaiki, mengganti atau menyempurnakan hukum-hukum
peninggalan kolonial dengan hukum yang baru. Ditengah perdebatan mengenai penggantian
hukum kolonial itu muncul berbagai tuntutan dan perdebatan tentang hukum apakah yang
mewarnai dalam pembangunan hukum nasional Indonesia modern. Sebagian kalangan
memandang bahwa hukum barat peninggalan kolonial itu perlu dipertahankan dengan hanya
memperbaharuinya dengan berbagai perkembangan baru dalam masyarakat. Pada sisi lain
kelompok pelopor hukum adat menghendaki diberlakukan dan diangkatnya hukum adat
menjadi hukum nasional Indonesia dan kelompok lain mengusulkan agar syariat Islam perlu
diintrodusir sebagai hukum nasional Indonesia.
26