Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Telah diketahui bahwa tiga penyebab utama kematian ibu dalam bidang
obstetri adalah: pendarahan 45%, infeksi 15% dan hipertensi dalam kehamilan
(preeklampsia) 13%. Sisanya terbagi atas penyebab partus macet, abortus yang
tidak aman dan penyebab tidak langsung lainnya. Dalam perjalanannya, berkat
kemajuan dalam bidang anestesia, teknik operasi, pemberian cairan infus dan
transfusi dan peranan antibiotik yang semakin meningkat, maka penyebab
kematian ibu karena pendarahan dan infeksi dapat diturunkan dengan nyata.
Sebaliknya pada penderita preeklampsia, karena ketidaktahuan dan sering
terlambat mencari pertolongan setelah gejala klinis berkembang menjadi
preeklampsia berat dengan segala komplikasinya, angka kematian ibu bersalin
belum dapat diturunkan.1,2
Preeklampsia merupakan hipertensi akibat kehamilan yang ditandai
dengan tekanan darah tinggi dan proteinuria yang terjadi pada sekitar 2% hingga
5% wanita hamil di negara maju dan 8% pada negara berkembang. Hipertensi
menjadi salah satu penyumbang terbesar angka kematian ibu yaitu lebih dari
100.000 kematian setiap tahunnya. Penyebab dari preeklampsia bersifat
multifaktor. Sehingga beberapa pendekatan terapi sebagai upaya pencegahan
menjadi focus perhatian. Beberapa terapi pencegahan seperti kaslium,
unfractionated heparin, low molecular weight heparin, progesterone, antioksidan,
serta salah satunya aspirin.1,3
Aspirin merupakan salah satu obat antiplatelet yang sering digunakan
pada penderita jantung koroner. Pada dosis yang rendah aspirin juga digunakan
pada wanita hamil untuk pencegahan kelainan vascular seperti preeklampsia dan
IUGR. Namun indikasi penggunaan aspirin pada ibu hamil masih menjadi
kontroversi. Referat ini akan membahas mengenai manfaat penggunaan aspirin
dalam upaya pencegahan preeklampsia.1

BAB II

1
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Preeklampsia
Preeklampsia didefinisikan oleh peningkatan tekanan darah (> 140/90) dan
proteinuria (> 300mg / 24 jam) pada paruh akhir kehamilan. Sementara
manajemen obstetrik modern telah meminimalkan komplikasi dari sebelumnya,
namun masih dikaitkan dengan peningkatan angka kematian ibu dan janin dan
merupakan penyebab penting kelahiran prematur. Sulit untuk mengidentifikasi
kehamilan dengan risiko tinggi untuk preeklamsia sebelum muncul secara klinis.
Namun, ada beberapa faktor risiko yang diketahui seperti kehamilan pertama,
kehamilan pertama dengan ayah baru, hipertensi atau penyakit ginjal, diabetes,
dan preeklamsia sebelumnya.3,4,5
Sebagai gangguan medis umum selama kehamilan, preeklamsia
menyebabkan hipertensi (tekanan darah sistolik> 140 mmHg atau tekanan darah
diastolik> 90 mmHg), proteinuria (> 300mg / 24h), dan dalam kasus yang jarang
terjadi gejala tambahan seperti hiperrefleksia, kejang (eklampsia), gagal ginjal
akut , komplikasi paru, trias dari hemolisis, peningkatan enzim hati, dan platelet
rendah (HELLPsyndrome). Penyakit ini biasanya dimulai setelah kehamilan 20
minggu dan merupakan faktor yang bertanggungjawab terhadap kematian dan
morbiditas ibu dan janin. Satu-satunya pengobatan definitif adalah persalinan
bayi. Sementara patologi yang mendasari preeclampsia masih kurang dipahami,
timbulnya kondisi ini melibatkan invasi trofoblast yang dangkal saat plasentasi,
peradangan, disregulasi faktor angiogenik, dan iskemia yang lamban, yang
semuanya menyebabkan mekanisme sentral disfungsi endotel. Disfungsi endotel
menyebabkan, antara lain, aktivasi platelet, kenaikan kadar tromboksan, dan
kaskade pembekuan.2,5
Terdapat beberapa pathogenesis mengenai munculnya preeklampsia yang
melihat dari berbagai aspek :5
1. Remodeling Vaskular Plasenta yang buruk.
Implantasi dan perkembangan plasenta terjadi pada trimester pertama
kehamilan. Sitotrofoblas janin menginvasi arteri spiral ibu dan mengubah

2
resistensi otot polos yang kaku menjadi pembuluh elastis. Transformasi arteri
spiral yang tidak mencukupi sangat terkait dengan patologi preeklamsia berat.
Pada plasenta preeklampsia, invasi trofoblast dangkal dan menghambat
remodeling vaskular yang diperlukan, yang menyebabkan penurunan perfusi,
hipoksia, dan iskemia plasenta kronis.
2. Ketidakseimbangan Faktor Angiogenik5
Iskemia kronis yang disebabkan oleh vaskularisasi yang buruk dikaitkan
dengan produksi faktor angiogenik plasenta seperti faktor pertumbuhan endotel
vaskular (VEGF), faktor pertumbuhan plasenta (PlGF), dan kadar solublefms
seperti tirosin kinase-1 (sFlt-1). VEGF mendorong pertumbuhan pembuluh darah,
mendukung fungsi sel endotel yang tepat, dan merangsang produksi NO di
dinding vaskular. SFlt-1 adalah antagonis VEGF alami yang mengikat VEGF
bebas dan menempati reseptor VEGF. Percobaan dan model hewan menunjukkan
bahwa VEGF dan sFlt1 mungkin berperan dalam patogenesis preeklampsia.
Selama kehamilan yang sehat, tingkat faktor pertumbuhan plasenta (PlGF)
meningkat pada trimester pertama dan kedua dan jatuh pada trimester ketiga.
Tingkat faktor antiangiogenik sFlt1 biasanya tetap stabil selama bagian pertama
kehamilan dan meningkat selama trimester terakhir. Dalam sampel darah pasien
dengan preeklamsia, bagaimanapun, tingkat PlGF yang lebih rendah selama masa
kehamilan dan tingkat peningkatan kadar sFLt-1 pada usia kehamilan 26 dan 29
minggu dapat dideteksi. Rasio sFlt-1 / PlGF yang meningkat selama trimester
kedua, namun bukan trimester pertama, dapat membantu mendeteksi
preeklampsia bahkan sebelum presentasi gejala klinis. Peningkatan kadar sFlt-1
juga dapat ditemukan pada pasien lupus dengan preeklampsia.

3
3. Peradangan5
Peradangan maternal sistemik juga terlibat dalam patogenesis
preeklampsia. Tingkat mediator proinflamasi bersirkulasi seperti IL-6, IL-8,
TNFα, dan protein kemoattractant monosit (MCP-1) sangat tinggi pada kehamilan
preeklampsia dibandingkan pada kehamilan yang sehat. Infiltrasi leukosit pada
villi (janin) dan desidua ditemukan di plasenta preeklampsia, bersamaan dengan
peningkatan aktivasi sistem komplemen yang tidak terkontrol, dengan
peningkatan tingkat faktor aktivasi komplemen Bb. Aktivasi sistem komplemen
biasanya dilihat sebagai mekanisme penting yang menghubungkan peradangan
dan koagulasi.
4. Tromboksan5
Perfusi plasenta yang buruk menyebabkan aktivasi platelet dan kaskade
pembekuan, mengakibatkan ketidakseimbangan prostaglandin vasoaktif. Rasio
antara prostaglandin thromboxane dan prostacyclin memodulasi aliran darah
vaskular, dengan tromboksan A2 berperan sebagai vasokonstriktor dan
mempromosikan agregasi trombosit, sementara prostasiklin bertindak sebagai
vasodilator dan menghambat agregasi. Peningkatan tromboksan dan penurunan
kadar prostasiklin dikaitkan dengan infark dan vaskulopati trombotik, yang
merupakan ciri khas pada plasenta preeklampsia. Enzim konstitutif
siklooksigenase 1 menghasilkan tromboksan A2 pada trombosit dan terutama
prostasiklin pada sel endotel. Aspirin, penghambat siklooksigenase yang secara
umum ireversibel, bekerja terutama pada trombosit. Dampak penggunaan aspirin
pada pencegahan preeklampsia ditunjukkan oleh data yang menunjukkan
penurunan konsentrasi tromboksan dan rasio tromboksan A2 / prostasiklin yang
tidak seimbang. Aspirin meningkatkan aliran darah plasenta dan meminimalkan
risiko trombosis plasenta, yang merupakan alasan untuk pemberian aspirin dosis
rendah sebagai profilaksis untuk pencegahan preklampsia.

4
2.2Farmakologi Aspirin

5
Dalam sistem homeostasis, asam arakidonat diubah menjadi PGH2 oleh
COX1 serta COX2 dalam keadaa inflamasi, hipoksia, maupun stress oksidatif.
Proses ini dimediasi oleh sitokin serta faktor-faktor proinflamasi. Sintesis
prostaglandin bergantung pada PGH2 yang merupakan prekursor yang
mengaktifkan endotel untuk memproduksi PGI2 dan TXA2.4
Prostaglandin meripakan melekul lipofilik yang mengandung 20 rantai
karbon asam lemak. Langkah pertama dalam produksi prostaglandin adalah
dengan lepasnya asam arakidonat dari sel. Secara singkat produksi asam
arakidonat berkaitan dengan fosfolipase A2 dan fosfolipase C. Setelah dihasilkan
asam arakidonat akan diubah menjadi prostaglandin A2 oleh COX melalui reaksi
oksigenasi, kemudian diubah lagi menjadi PGH2 melalui reaksi peroksidase.
Selanjutnya PGH2 akan diubah oleh enzim prostaglandin synthase menjadi
berbagai jenis prostaglandin. Selain terdapat juga enzim prostasiklin synthase
yang akan memproduksi prostasiklin.4

Gambar 2.1 Biosontesis Prostaglandin

Ekspresi dari prostacyclin synthase menentukan pelepasan eikosanoid


pada beberapa jenis sel. Prostacyclin synthases diekspresikan oleh sel endotel,
namun tromboksan sintase diproduksi dalam jumlah kecil atau bahkan tidak sama

6
sekali. Sebaliknya, tromboksan sintase diekspresikan oleh trombosit, dan tingkat
sintesis prostasiklin sangat kecil. Jadi, terlepas dari ekspresi COX yang tinggi
pada 2 jenis sel ini, produksi prostaglandin memungkinkan fungsi efek biologis
yang bertentangan secara bersamaan.4,6
Interaksi platelet-endothelium berkaitan dengan regulasi
efek-efek prostaglandin. Dengan demikian, efek biologis
ditentukan oleh keseimbangan antara prostacyclin endotel dan
tromboksan trombosit. Tromboksan A2 (TXA2) diproduksi oleh
platelet, dan juga plasenta, dan bertanggung jawab untuk
vasokonstriksi, induksi remodelling vaskular, dan peningkatan
agregasi dan adhesi trombosit. Prostacyclins adalah mediator
vasodilatasi dan menghambat remodeling vaskular, agregasi
trombosit, dan adhesi platelet.7
Asam asetilsalisilat (aspirin) diubah menjadi asam salisilat, yang
menginduksi asetilasi serin di pusat COX dan mengikat ke sisi katalitiknya,
sehingga mencegah pengikatan asam arakidonat. Pemblokiran situs katalitik COX
ini bergantung pada dosis, stabil, kovalen, dan ireversibel. Hal ini terutama
bertanggung jawab atas penghambatan COX-1, enzim konstitutif, namun hanya
sedikit penghambatan pada COX-2. Durasi aksi aspirin bergantung pada kapasitas
sel untuk melakukan resinstsis COX. Waktu paruh asam asetilsalisilat sangat
singkat, neosintesis COX memungkinkan kembalinya produksi prostaglandin
beberapa jam setelah diberi aspirin. Dengan demikian, endotelium dapat
memulihkan keadaan fisiologisnya dengan sintesis COX de novo, yang
memastikan sekresi dasar PGI2. Platelet yang merupakan tempat di mana TXA2
disintesis, bersifat anukleus dan tidak dapat mengkompensasi keadaan asetilasi
ini. Penghambatan COX akan berlangsung sepanjang usia trombosit yaitu 7-10
hari. Aspirin dosis rendah setiap hari dengan cepat (\ 30menit) memberi tips
keseimbangan TXA2 / PGI2 yang mendukung PGI2, namun tidak berdampak
pada produksi PGI2. Ini menjelaskan paradoks aspirin, yang memiliki waktu
paruh pendek, namun efeknya berkepanjangan pada agregasi platelet.4,7,8

7
2.2 Patofisiologi Syok

Aspirin menyebabkan defek fungsional jangka panjang pada trombosit,


secara primer, berhubungan dengan inaktivasi permanen dari aktivitas

8
siklooksigenase trombosit dan menghambat reaksi sekretori trombosit resultan.
Aspirin mengasetilasi grup hidroksil residu serine tunggal pada sisi aktif enzim
siklooksigenase. Karena grup asetil dari aspirin terikat secara kovalen pada sisi
aktif siklooksigenase, hambatan terhadap enzim ini adalah irreversible. Metabolit
aspirin salisilat mengikat secara reversible pada atau dekat sisi aktif pada jalur
yang mencegah asetilasi enzim oleh aspirin. Walupun demikian, profil efek
konsentrasi aspirin dan salisilat in vivo mendukung bahwa proteksi salisilat
terhadap siklooksigenase adalah interaksi farmakodinamik yang nampaknya tidak
benar diikuti oleh aspirin oral pada manusia. TXA2 disintesis dan dilepaskan oleh
trombosit sebagai respon stimulasi yang bervariasi (seperti thrombin, kolagen,
adenosin difosfat) dan menyebabkan agregasi trombosit irreversible. Sehingga,
hal ini memberikan mekanisme untuk memperkuat respon trombosit untuk agonis
yang berbeda.4,5
Trombosit anucleate (tanpa inti) adalah target seluler yang unik untuk aksi
aspirin. Trombosit tidak dapat meresintesis siklooksigenase karena mereka
kekurangan inti. Sehingga, karena bentuk yang ireversibel dari inhibisi enzim
yang diinduksi aspirin, dosis yang menginhibisi TXA2 secara tidak komplit, jika
diberikan secara akut, akumulasi untuk inhibisi yang komplit selama pemberian
obat kronik. Sehingga, pemberian harian sebanyak 30 sampai 50 mg aspirin
menghasilkan supresi komplit secara nyata pada biosintesis trombosit TXA2
setelah 7 sampai 10 hari pada pasien yang tidak hamil.4

2.3 Mekanisme kerja aspirin terhadap vascular


Beberapa studi telah menunjukkan bahwa aspirin 60 sampai 80 mg juga
cukup untuk menghambat agregasi trombosit yang tergantung siklooksigenase,
melepaskan reaktivasi, dan produksi TXA2 serum pada kehamilan normal dan
pada hipertensi gestasional. Pemulihan kemampuan untuk memproduksi TXA2
tergantung pada sintesis trombosit baru, memerlukan waktu 10 sampai 12 hari
untuk turnover komplit. Dosis optimal aspirin untuk antitrombosis masih
diperdebatkan. Dosis sebesar 3.5 g/hari dan serendah 20 sampai 40 mg/hari telah

9
dilaporkan efektif dalam pencegahan kejadian trombosis. Pada kasus aspirin, hal
ini penting untuk menggunakan dosis efektif terendah karena efek konkomitannya
pada siklooksigenase dinding pembuluh darah dan hubungnan antara dosis aspirin
dan khususnya efek samping gastrointestinal. Aspirin juga menghambat
siklooksigenase endotelial; walaupun demikian, dinding pembuluh darah mungkin
kurang sensitif dan memiliki kapasitas untuk mensintesis siklooksigenase baru
ketika aspirin menghilang dari sistem.4,8,9,10
Mekanisme lain yang terlibat dalam menyebabkan selektifitas
“paradoksikal” aspirin dosis rendah pada siklooksigenase trombosit didasarkan
pada karakteristik farmakokinetik obat ini. Absorbsi dari dosis oral yang rendah
menyebabkan konsentrasi yang relatif tinggi pada sirkulasi portal, menyebabkan
inhibisi kumulatif terhadap siklooksigenase pada trombosit yang melalui kapiler-
kapiler usus, dimana konsentrasi di sirkulasi perifer (setelah deasetilisasi aspirin
di hati) tetap terlalu rendah untuk mempengaruhi siklooksigenase endotelial.
Secara aktual, inhibisi terhadap siklooksigenase adalah cepat, terjadi sebelum
aspirin tampak pada sirkulasi sistemik, dimana menunjukkan pentingnya
inaktivasi siklooksigenase trombosit di sirkulasi portal. Oleh karena itu, efek
antitrombosit aspirin tidak berhubungan dengan bioavaibilitas sistemik.

10
Peningkatan dosis aspirin dapat mempengaruhi interaksi komponen lain antara
trombosit dan endotelium yang mungkin membantu mencegah atau membatasi
pembentukan trombus, tapi dosis yang lebih besar memiliki efek-efek lain yang
potensial. Dosis analgesik aspirin dapat memberikan beberapa efek fibrinolitik,
tetapi dosis aspirin yang rendah tidak mempunyai efek dalam hal ini. Aspirin tidak
menghambat pelepasan adenosin difosfat yang diinduksi trombosit alpha granule.
Aspirin memberikan lebih banyak efek yang mempunyai nilai potensial dalam
terapi untuk mencegah preeklampsia. Dalam suatu studi klinik terhadap wanita
hamil dengan risiko preeklampsia, Walsh, dkk. membuktikan bahwa dosis aspirin
rendah menghasilkan penurunan yang signifikan dalam konsentrasi plasma
maternal (TXA2 dan lipid peroksida). Efek inhibitor yang lebih besar adalah pada
kadar TXA2 dibandingkan pada kadar lipid peroksida karena sumber-sumber
selain cyclooxygenase memberikan kontribusi terhadap formasi lipid peroksida.
Studi ini menunjukkan bahwa formasi lipid peroksida kurang berikatan dengan
produksi TXA oleh enzim cycloxygenase. Terapi aspirin dosis rendah untuk pre
eklampsia mungkin memberikan efek-efek yang menguntungkan karena aksi
inhibitor ini.1,5,7,9
Mempertimbangkan keterlibatan dari interaksi abnormal leukosit-endotelial
dalam patogenesis preeklampsia, efek lain dari aspirin dalam trombosit-induced
endotelial release IL-8 memerlukan perhatian khusus. Tin-ting Xu, dkk.
membuktikan bahwa trombosit menginduksi sekresi IL-8 oleh sel-sel endotel
melalui aktivitas membran IL-1. Aspirin dapat menghambat pelepasan trombosit-
induced endothelial IL-8 sebesar 90%.10

2.3 Respon platelet terhadap aspirin


Konsep respons trombosit yang suboptimal terhadap aspirin dihubungkan
dengan iskemia kardiovaskular dan serebrovaskular berulang dan kematian, yang
telah diketahui luas dalam penelitian kardiovaskular dan stroke selama 20 tahun
terakhir. Respon platelet suboptimal didefinisikan sebagai kegagalan biokimia
untuk menghambat aktivasi platelet pada individu yang diobati dengan aspirin,
dinilai berdasarkan uji laboratorium. Respons suboptimal terhadap aspirin juga
telah dijelaskan secara klinis sebagai kambuhnya kejadian iskemik meskipun
pengobatan aspirin sudah pada dosis yang dianjurkan. Penyebab utama diduga

11
akibat interaksi obat dan jumlah platelet yang meningkat, seperti selama masa
pasca operasi dan kehamilan. Predisposisi genetik juga cenderung berpengaruh;
Namun, ketidakpatuhan juga menjadi faktor pada populasi kardiologi yang
ditunjukkan dalam literatur dan kemungkinan merupakan penentu utama.4,5
Efikasi aspirin tampaknya tunduk pada efek kronobiologis,
sejak percobaan acak yang dilakukan di Spanyol menunjukkan
efek yang menguntungkan pada regulasi tekanan darah diurnal
dan pengurangan efek kehamilan saat aspirin diminum pada
malam hari atau menjelang tidur, dibandingkan dengan waktu
pagi [ rasio hazard 0,19, interval keyakinan 95% (CI) 0,10-0,39].
Efek bermanfaat ini terutama bergantung pada ritme sirkadian
yang dikombinasikan dengan siklus aktivitas-istirahat pasien.
Aspirin tampaknya memiliki efek kecil saat dikonsumsi dalam
dosis pagi pada saat bangun tidur. Dalam uji coba secara acak,
Bonten dkk menemukan bahwa aktivitas platelet COX-1- secara
signifikan berkurang saat bangun tidur setelah aspirin dosis
rendah diminum pada malam sebelumnya atau saat istirahat.
Aktivitas trombosit COX-1-independen tidak terpengaruh oleh
asupan aspirin atau waktunya. Oleh karena itu, tes laboratorium
mengkonfirmasikan data klinis yang mendukung asupan aspirin
dosis rendah pada malam atau waktu tidur.4,6,8

2.4 Manfaat aspirin dalam pencegahan preeklampsia


Selama kehamilan normal, trombosit TXA2 (aktivator trombosit dan
vasokonstriktor) dan endotel prostasiklin (platelet inhibitor dan vasodilator)
membantu menyeimbangkan prostasiklin. Keseimbangan ini mengatur agregasi
trombosit dan vasoreaktivitas perifer selama kehamilan dan mempertahankan
aliran darah uteroplasenta yang cukup baik. Preeklampsia merupakan komplikasi
kehamilan akibat disfungsi plasenta. Awalnya, remodeling pembuluh darah uterus
terganggu, menyebabkan penurunan suplai darah ibu ke plasenta. Secara
progresif, hipoksia plasenta dan stres oksidatif menyebabkan disfungsi umum dari
vili trofoblas.10,11

12
Disfungsi plasenta ini menyebabkan pelepasan faktor-faktor stress oksidatif
(radikal bebas, lipid teroksidasi, sitokin, sFlt-1) ke dalam sirkulasi maternal yang
menyebabkan disfungsi endotel umum, yang menyebabkan munculnya tanda
klinis penyakit ini. Disfungsi endotel ini melibatkan peningkatan peroksidase lipid
endotel yang terkait dengan penurunan kadar antioksidan. Peroksidasi lipid
mengaktifkan COX dan menghambat sintesis prostasiklin, sehingga menyebabkan
ketidakseimbangan yang cepat pada rasio TXA2 / prostacyclin (PGI2) yang
mendukung TXA2. TXA2 menyebabkan vasokonstriksi sistemik, yang sedikit
dikompensasi dalam konteks ini oleh efek vasodilator prostasiklin, yang
tingkatnya menurun tajam. Sebagai tambahan, modifikasi epigenetik oleh daerah
promoter gen thromboxane synthase (TBXAS1) selama preeklampsia juga ikut
berperan. Analisis DNA pasien dengan preeklampsia telah memberikan bukti
penurunan metilasi promotor TBXAS1, yang menyebabkan peningkatan ekspresi
tromboksin sintase. Secara in vitro, aspirin tampaknya memperbaiki sinsitialisasi
trofoblas yang rusak dengan mengubah produksi sitokin spesifik, mengurangi
apoptosis, dan mengubah agregasi sel dan fusi. Aspirin tidak berpengaruh pada
invasi trofoblastik.8,11,12
Pada preeklampsia, platelet TXA2 meningkat secara signifikan,
sedangkan prostasiklin turun tajam. Ketidakseimbangan ini muncul pada 13
minggu kehamilan pada pasien dengan risiko tinggi. Ketidakseimbangan TXA2 /
PGI2 dapat dikembalikan dengan pengobatan 2 minggu dengan aspirin dosis
rendah, yang menghambat sekresi TXA2, dan dengan juga agregasi trombosit,
tanpa mengubah sekresi prostateclin endotel (PGI2), sehingga mendukung untuk
terjadiya vasodilatasi sistemik.7
Pemahaman terkini tentang pengaruh faktor angiogenik terhadap
hemodinamika plasenta selama kehamilan menentukan efek aspirin pada sekresi
faktor-faktor ini pada plasenta manusia. Dalam kondisi hipoksia, aspirin
menghambat ekspresi sFlt-1 pada trofoblas manusia, dan dengan demikian
menunjukkan aktivitas proangiogenik. sFlt-1 adalah bentuk reseptor VEGF yang
dapat larut, yang mengikat faktor pertumbuhan plasenta (PlGF) dan faktor
pertumbuhan endotel vaskular (VEGF), berperan sebagai faktor anti angiogenik
yang poten. sFlt-1 hadir dalam kadar yang tinggi pada sirkulasi pasien dengan

13
preeklampsia dan bertanggung jawab atas ketidakseimbangan angiogenik yang
terlihat pada patogenesis preeklampsia.13,14
Tolcher dkk. mempublikasikan hasil studi prospektif untuk pertama kalinya
tentang efek-efek dari aspirin dosis rendah dalam mencegah preeklampsia.
Kesimpulan berdasarkan ulangan terhadap uji 7 dosis aspirin pertama pada
pasien-pasien dengan risiko tinggi menunjukkan bahwa aspirin dosis rendah
efektif dalam menurunkan insiden hipertensi kehamilan (30%), preeklampsia
(85%) dan pertumbuhan Janin Terhambat/PJT (50%). Sebagian besar dari studi ini
menggunakan riwayat obstetri untuk mengidentifikasikan pasien-pasien dengan
risiko tinggi; studi-studi lain menggunakan velosimetri Doppler untuk sirkulasi
uteroplasenta, tes Ag II infusion dan bahkan tes roll-over. Walaupun hasil-hasil
dari uji random ini sangat menjanjikan, efek menguntungkan dari aspirin dosis
rendah ini belum dapat disimpulkan karena keterbatasan dari studi-studi awal.
Maka, uji-uji yang lebih besar dan berseri disarankan untuk mengkonfirmasi atau
meluruskan hasil-hasil yang menjanjikan tersebut yang mana ditemukan pada uji
berskala kecil pada pasien-pasien risiko tinggi.9
Park, dkk melaporkan hasil dari uji aspirin dosis rendah yang dilakukan
pada wanita yang punya risiko sedang untuk eklampsia. Wanita-wanita yang
dipilih adalah berdasarkan kriteria profilaksis yaitu: umur <18 tahun atau > 40
tahun, hipertensi kronik, nefropati, riwayat kehamilan dengan hipertensi atau
dengan PJT dan kehamilan kembar, juga kriteria terapi yaitu adanya peningkatan
tekanan darah atau tanda-tanda dini PJT pada kehamilan terakhir; 583 wanita
lainnya sebagai plasebo. Penulis menemukan tidak ada perbedaan yang signifikan
antara kelompok aspirin dan kelompok kehamilan 37 mg dan kelompok-
kelompok ini tidak berbeda dalam frekuensi kehamilan dengan hipertensi dengan/
tanpa proteinuria (51(15,2%)) vs (81(19,3%)). Karena uji tersebut tidak
doubleblind atau kontrol plasebo, mungkin terdapat bias. Sebenarnya ini adalah
studi pertama yang melaporkan adanya penemuan negatif mengenai aspirin dosis
rendah. Jumlah pasien yang tidak terfollow up pada kelompok plasebo (46/523;
8,8%) lebih banyak dibandingkan pada kelompok yang diterapi aspirin (18/ 583;
3,1%). Peneliti menyatakan bahwa perbedaan ini menunjukkan bahwa para klinisi
menfolow-up wanita pada kelompok aktif dengan lebih cermat.10

14
Reberge dkk menyatakan bahwa perbedaan tersebut mungkin merupakan
penyebab pada beberapa pasien yang berada pada grup plasebo yang memutuskan
untuk keluar dari studi ini karena mereka ingin mendapatkan aspirin atau untuk
mencari perawatan antenatal dari dokter yang bersedia untuk memberikan terapi.
Faktanya adalah pasien-pasien dengan motivasi kuat untuk perilaku seperti ini
berisiko tinggi memberikan bias yang serius. Penjelasan lain untuk mengenai
adanya kesenjangan antara studi-studi awal dan studi ini dan hal ini juga nyata
secara mayor pada studistudi lain yang berskala besar adalah bahwa uji-uji ini
menunjukkan penurunan insiden dari pre eklampsia pada wanita yang berisiko
lebih tinggi dibandingkan pada wanita di studi Italian; pada uji-uji awal, rerata
preeklampsia di antara kelompok kontrol berkisar dari 11%-35%; dibandingkan
dengan 2,7% yang dilaporkan oleh Park,dkk.1,10
Masalah tambahan pada studi Italian ini adalah mengenai dosis aspirin yang
digunakan, yaitu 50 mg/hari. Menurut Walsh, dosis aspirin mungkin tidak cukup
untuk mencapai plasenta guna menghmbat TXA plasenta dan biosintesis lipid
peroksida, yang mana hal ini diperhitungkan sebagai suatu kekurangan dalam
studi ini. Jika produksi plasenta dari lipid peroksida tidak cukup dihambat, lipid
peroksida mungkin berlaku sebagai stimulus yang kuat dan berkesinambungan
untuk sintesis TXA plasenta lebih lanjut.4,5
Sampai saat ini, preeklamsia telah resisten terhadap beberapa pengobatan
preventif. Namun aspirin dosis rendah menunjukkan efek menguntungkan dalam
berbagai uji klinis untuk pencegahan komplikasi kehamilan terkait gangguan
plasenta. Sementara itu definisi risiko tinggi untuk preeklampsia belum
sepenuhnya konsisten antar penelitian, pasien yang diidentifikasi berisiko tinggi
biasanya memiliki riwayat preeklamsia atau gangguan pertumbuhan janin, arteri
uterine yang abnormal, hipertensi esensial, obesitas, dan / atau diabetes mellitus.
Beberapa penelitian juga melibatkan wanita dengan gangguan vaskular atau
penyakit autoimun, namun jumlah pasien yang diteliti yang memiliki penyakit
rheumatologis sangat kecil.5
Dua meta analisis menunjukkan efek aspirin yang menguntungkan untuk
pencegahan preeklampsia pada perempuan berisiko tinggi untuk terjadi
komplikasi, pemberian antiplatelet mengurangi risiko sebesar 17-21%. Dalam

15
analisis Trivedi, kejadian preeklampsia pada kelompok berisiko tinggi adalah
10,7% dengan pemberian aspirin dosis rendah dan 12,5% dengan pemberian
plasebo. Namun pada kelompok risiko rendah tidak menunjukkan adanya
perbedaan yang signifikan pada angka kejadian preeklampsia dengan aspirin
(4,3%) dan dengan plasebo (4,4%). Meta-analisis ini mencakup penelitian yang
cukup heterogen, dengan inisiasi aspirin dosis rendah yang berkisar antara 7
sampai 32 minggu masa kehamilan.13,14
Temuan yang lebih kuat muncul dari dua meta analisis yang membatasi
penelitian di mana aspirin dosis rendah dimulai sebelum usia kehamilan 16
minggu. Satu analisis menemukan bahwa aspirin dosis rendah yang diberikan
pada usia kehamilan <16 minggu menurunkan risiko preeklamsia berat, kematian
perinatal, dan gangguan pertumbuhan janin, inisiasi aspirin dosis rendah setelah
16 minggu masa kehamilan tidak memberikan efek perlindungan ini. Villa et al.
Memaparkan bahwa secara signifikan risiko preeklamsia (RR 0,6, CI 0,27 0,83)
dan preeklamsia berat (RR 0,3, CI 0,11-0,69) mengalami penurunan dengan
pemberian aspirin dosis rendah pada wanita dengan abnormalitas aliran arteri
uterina. Roberge dkk. menemukan bahwa pemberian aspirin dosis rendah
menghasilkan pengurangan risiko 89% untuk preeklampsia preterm namun tidak
menurunkan risiko preeklamsia pada kehamilan aterm. Berdasarkan data ini,
tampak bahwa inisiasi dini aspirin dosis rendah penting dan ini mungkin paling
efektif untuk mencegah preeklamsia preterm dan berat.7,14
Kisaran dosis aspirin dengan efek positif tampaknya cukup fleksibel. Di
seluruh penelitian, pemberian aspirin dosis rendah yang diberikan adalah antara
40 dan 160 mg / hari, namun tidak ada perbedaan potensial. Percobaan
sebelumnya juga menyelidiki outcome kehamilan ibu dan bayi yang terpapar
aspirin dosis rendah, dan pengobatan tampaknya aman untuk ibu dan bayi baru
lahir. Dibandingkan dengan wanita dalam kelompok kontrol, misalnya, wanita
hamil yang diobati dengan aspirin dosis rendah tidak mengalami perbedaan
signifikan dalam risiko perdarahan ibu atau bayi baru lahir. Data Case Control
juga menunjukkan tidak ada peningkatan risiko kelainan bawaan. Dan, tidak
seperti NSAID dosis tinggi, aspirin dosis rendah tampaknya tidak meningkatkan
risiko penutupan duktus arteriosus.11

16
2.5 Dosis dan waktu pemberian aspirin pada preeklampsia
Pada penelitian Rahmi et al didapatkan 401 ibu hamil usia kehamilan 16-24
minggu yang dilakukan pemeriksaan USG doppler velocimetry arteri uterina, 295
ibu hamil (73,56%) dengan hasil USG doppler yang normal dan 106 ibu hamil
(26,43%) dengan hasil USG doppler velocimetry arteri uterina abnormal. Dari 99
orang ibu hamil setelah diberikan aspirin 125 mg/hari selama 4 minggu
didapatkan; 76 (76,76%) orang ibu hamil yang terjadi penurunan resistensi arteri
uterina menjadi normal sedangkan yang tidak berubah atau masih tetap abnormal
23 (23,23%) orang. Hasil uji statistik didapatkan nilai p < 0,05 yang berarti aspirin
dosis rendah 125 mg/hari signifikan menurunkan resistensi arteri uterina pada ibu
hamil dengan USG doppler velocimetry arteri uterina abnormal usia kehamilan
16-24 minggu. Hampir ¼ (23,23%) ibu hamil dengan hasil USG doppler II yang
masih abnormal etelah diberikan aspirin 125 mg/hari, adapun faktorfaktor ibu
yang mungkin mempengaruhi resistensi arteri uterina seperti; umur ibu, usia
kehamilan, paritas, indeks massa tubuh (BMI) dan tekanan darah arteri rata-rata
(MAP) telah kami lakukan analisis regresi logistik. Namun, tidak ada yang
signifikan mempengaruhi hasil pemeriksaan doppler velocimetry arteri uterina
pada hasil penelitian ini.3,7,11
Penelitian lain yang pernah dilakukan oleh Tolcher dkk, menunjukkan
pemberian aspirin dosis rendah (100 mg/hari ) selama empat minggu pada ibu
hamil dengan USG doppler arteri uterina abnormal 17-23 minggu dapat
menurunkan resistensi arteri uterina sebesar 45% hampir sama dengan hasil
penelitian Kurdi, dkk pada usia kehamilan 19-21 minggu sebesar 43,4%.7,24
Adapun beberapa faktor yang dapat membedakan masing-masing hasil penelitian
tersebut antara lain; seperti usia kehamilan saat dilakukan penelitian, definisi USG
doppler abnormal, dan juga perbedaan populasi yang diperiksa.5,25 Penelitian
Harrington dkk, menyimpulkan aspirin dosis rendah signifikan dapat
meningkatkan luaran kehamilan dengan mengurangi kejadian komplikasi yang
terkait dengan insufisiensi uteroplasenta secara keseluruhan.9
Lebih dari 12 meta-analisis dan systematic review telah diterbitkan sejak
tahun 1990 tentang LDA, dan banyak di antaranya didasarkan pada penelitian

17
yang relatif kecil. Metaanalisis saat ini mencakup 29 RCT berkualitas tinggi yang
melibatkan 21.403 wanita; Tiga dari penelitian ini berasal dari China (389
wanita), yang belum pernah disertakan dalam metaanalysis sebelumnya. Meta-
analisis ini meneliti cakupan hasil yang luas baik bagi ibu dan janin dan mampu
memberikan metaanalisis yang bagus untuk semua hasil tersebut. Di sisi lain,
terlalu sedikit penelitian dalam tinjauan kami yang melaporkan data hasil untuk
LDA yang dimulai lebih awal dari 16 minggu, sehingga tidak mungkin bagi kami
untuk membandingkan dampak LDA dini atau akhir terhadap risiko komplikasi.
Metaanalisis ini juga dibatasi oleh heterogenitas data, yang mungkin
mencerminkan perbedaan di tiap negara, waktu inisiasi LDA (13-32 minggu
gestasional), dan dosis aspirin (50-150 mg / d) dari hasil telaah penelitian ini.
Meskipun demikian, I2 untuk sebagian besar hasil adalah <50%, memungkinkan
kita untuk menggunakan meta-analisis ini.2,8,11
Saat ini belum ada tolak ukur ideal kapan terapi aspirin dosis rendah dapat
dimulai. WHO menyarankan pemberian aspirin setidaknya dimulai dari usia
kehamilan 12 hingga 20 minggu. Pemberian aspirin sebelum kehamilan 20
minggu berhubungan dengan penurunan signifikan risiko kematian neonatus dan
bayi.18 USPSTF merekomendasikan penggunaan aspirin dosis rendah dimulai
pada usia kehamilan 12 hingga 28 minggu.13,14 Banyak studi lain memilih untuk
memulai terapi aspirin setelah trimester pertama (12 minggu) dan sebelum usia
kehamilan 16 minggu. International Society for the Study of Hypertension in
Pregnancy (ISSHP) juga menyarankan terapi aspirin dimulai sebelum usia
kehamilan 16 minggu dan sebaiknya dikonsumsi pada malam hari. Di Indonesia,
rekomendasi saat ini menyarankan penggunaan aspirin dosis rendah untuk
mencegah preeklampsia sebaiknya dimulai sebelum usia kehamilan 20 minggu.7
Terapi aspirin yang dimulai sebelum kehamilan 16 minggu berhubungan
dengan penurunan kejadian preeklampsia, preeklampsia dengan fitur berat, PJT,
kelahiran prematur, BBL rendah, dan kematian prenatal. Selain itu, terjadi
penurunan signifikan risiko preeklampsia, preeklampsia dengan fitur berat,
preeklampsia sebelum kehamilan 37 minggu, insidens PJT, dan kematian
perinatal. Berat badan lahir bayi yang lebih tinggi juga didapatkan pada wanita
yang mengonsumsi aspirin sebelum 16 minggu kehamilan.7 Saat 16 minggu

18
dipilih karena sesuai dengan saat implantasi plasenta dan transformasi arteri
spiralis uterina; efek menguntungkan aspirin diperkirakan terkait dengan
perbaikan transformasi ini. Penggunaan aspirin setelah usia kehamilan 16 minggu
tidak menurunkan risiko PJT ataupun insidens preeklampsia secara signifikan.
Beberapa studi tidak mendapatkan perbedaan manfaat aspirin sebelum ataupun
setelah usia kehamilan 16 minggu; tidak didapatkan perbedaan kejadian
preeklampsia, kelahiran prematur, kematian perinatal, ataupun kelahiran secara
seksio sesarea. 6,11
Saat penghentian terapi masih bervariasi, berkisar antara dua minggu
sebelum perkiraan saat kelahiran hingga saat persalinan. Saat ini ISSHP
menyatakan bahwa terapi dapat dilanjutkan hingga persalinan. Penghentian
terencana atau penggunaan hingga persalinan tidak berhubungan dengan hasil
ataupun risiko komplikasi, sehingga penggunaan aspirin disarankan dilanjutkan
hingga kelahiran. Studi lain menyarankan penggunaannya hingga usia kehamilan
36 minggu saja untuk menghindari kemungkinan adanya efek merugikan pada
neonatus, mengingat keuntungan terapi telah dicapai pada usia kehamilan ini.
Manfaat terapi akan maksimal ketika aspirin dikonsumsi menjelang tidur karena
berhubungan dengan penurunan signifikan tekanan darah sistolik dan diastolik
selama kehamilan. Penggunaan ini aman untuk wanita berisiko tinggi.7,8,9
Dosis aspirin dianggap rendah jika kurang dari 300 mg/hari.13
Rekomendasi dosis terapi profilaksis berkisar antara 60 mg hingga 150 mg/hari.
WHO menyarankan dosis 75 mg/hari, jika tak tersedia digunakan dosis yang
paling mendekati. Penggunaan aspirin dengan dosis serupa juga
direkomendasikan di Indonesia. Dosis 60 mg hingga 150 mg/ hari mengurangi
risiko preeklampsia hingga 24%, risiko kelahiran prematur hingga 14%, dan risiko
PJT hingga 20%. Efek penurunan risiko terutama kematian fetus dan neonatus
cenderung meningkat seiring meningkatnya dosis, tanpa efek signifikan pada
kejadian abrupsio plasenta. Dosis 162 mg/hari dapat diberikan pada wanita yang
resisten dengan dosis 81 mg untuk mengurangi kejadian preeklampsia berat.
Diabetes dan obesitas merupakan faktor risiko resistensi aspirin sehingga
memerlukan dosis yang lebih tinggi. Beberapa studi sebenarnya tidak
mendapatkan hubungan signifikan antara dosis dan respons.8,9

19
2.6 Profil keamanan aspirin
Aspirin dosis rendah tidak meningkatkan risiko abrupsio plasenta,
perdarahan antepartum, perdarahan post-partum, dan kelahiran secara seksio
sesarea. Tidak ditemukan pula kelainan seperti perdarahan intrakranial fetus,
kelainan kongenital, serta kematian perinatal pada bayi. Tidak didapatkan
peningkatan risiko kejadian eklampsia, abortus spontan, kematian maternal, skor
APGAR rendah (skor 5 menit <7), transfer neonatus ke NICU, kriptorkidsme, dan
kelainan jantung kongenital ataupun penutupan prematur duktus arteriosus.
Kejadian lain seperti kelainan perdarahan, sefalhematoma, perawatan prenatal
maternal, durasi perawatan di rumah sakit, induksi kelahiran, komplikasi
perdarahan pada anestesi epidural, ataupun kejadian transfusi juga tak berbeda
pada wanita hamil yang mengonsumsi aspirin dan yang tidak. Tidak ditemukan
pula kelainan perkembangan hingga usia 18 bulan pada anak yang terpapar aspirin
dosis rendah saat intrauterin.4
Beberapa studi menyatakan adanya peningkatan risiko dan insidens kejadian
abrupsio plasenta pada terapi. Fenomena ini mungkin berhubungan dengan
manfaat terapi yang meningkatkan usia kehamilan, sehingga periode risiko
abrupsio plasenta secara langsung juga turut meningkat. Namun, bila
dibandingkan dengan manfaat signifikan mengurangi risiko preeklampsia hingga
kelahiran prematur dan PJT, risiko ini tidaklah berarti. Pertimbangan ini didukung
oleh nilai number needed to harm (NNH) yang cukup tinggi untuk kejadian
abrupsio plasenta. Bila diasumsikan NNH sebesar 2%, 294 wanita ditatalaksana
sebelum satu kasus abrupsio plasenta terjadi.4

BAB III
KESIMPULAN

Preeklampsia merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas pada


ibu hamil beserta bayinya. Aspirin dosis rendah merupakan pilihan terapi
profilaksis yang terbukti aman dan efektif hanya pada wanita berisiko tinggi untuk

20
mengurangi kejadian preeklampsia, risiko terjadinya PJT, dan kelahiran prematur
yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas neonatus. Aspirin dosis rendah
penting sebagai terapi primer untuk mencegah preeklampsia beserta
komplikasinya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Roberge S, Odibo AO, Bukold E. Aspirin for the prevention of


preeclampsia and Intrauterine Growth Restriction. Clin Lab Med; 2016.

21
2. Xu T, Zhou F, Deng CY, Huang G. Low Dose Aspirin for Preventing
bPreeclampsia and its Complications : A Meta-Analysis. The Journal of
clinical intervention; 2015;17(7).
3. Rachmi, Sulistyono A. Aspirin dosis rendah efektif menurunkan resistensi
arteri uterine yang abnormal pada ibu hamil usia kehamilan 16-24 minggu.
Majalah Obstetri dan Ginekologi: 2016;24(1).
4. Atallah A, Lecarpentier E, Goffinet F. Aspirin for prevention of
preeclampsia. Drugs: 2017: 77;1819-1831.
5. Schramm AM, Clowse MEB. Aspirin for prevention of preeclampsia in
lupus pregnancy. Autoimmune disease. 2014.
6. Roberts JM, Himes KP. Screening and aspirin therapy for prevention of
preeclampsia. Nature reviews: 2017.
7. Sibai BM. Low dose aspirin to reduce the risk of preeclampsia. Nature
reviews: 2014.
8. Navaratnam K, Alvirevic A, Alvirevic Z. Low dose aspirin and pregnancy:
How important is aspirin resistence?. BJOG: 2016.
9. Tolcher MC, Chu DM, Hollier LM. Impact of USPSTF recommendations
for aspirin for prevention of recurrant preclampsia. AJOG: 2017.
10. Park F, Russo K, William P. Prediction and prevention of early onset
preeclampsia: impact of aspirin after first trimester screening. Ultrasound
obstet gynecol: 2015 :46.
11. Tong S, Ben W, Walker SP. Preventing preeclampsia with aspirin: does
dose or timing matter?. AJOG: 2017.
12. Greene MF, Solomon CG. Aspirin to prevent preeclampsia. NEJM. 2017
13. Mone F, Mulcahy C, Peter M. Should we recommend universal aspirin for
all pregnant women?. AJOG : 2016.
14. Roberge S, Nicolaides K, Demers S. The role of aspirin dose on the
prevention of preeclampsia and fetal groeth restriction: systematic review
and meta-analysis. AJOG: 2017.

22

Anda mungkin juga menyukai