Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

Asma adalah penyakit saluran napas kronik yang penting dan merupakan
masalah kesehatan masyarakat yang serius di berbagai negara di seluruh dunia.
Asma dapat bersifat ringan dan tidak mengganggu aktiviti, akan tetapi dapat
bersifat menetap mengganggu aktiviti bahkan kegiatan harian. Produktiviti
menurun akibat mangkir kerja atau sekolah, dan dapat menimbulkan disability
(kecacatan), sehingga menambah penurunan produktiviti serta menurunkan kualiti
hidup.1
Prevalensi asma di seluruh dunia adalah sebesar 8-10% pada anak dan 3-
5% pada dewasa, dan dalam 10 tahun terakhir ini meningkat sebesar 50%.
sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10% anak wanita dapat menderita asma
pada suatu saat selama masa kanak-kanak. Beberapa survei menunjukkan bahwa
penyakit asma menyebabkan absensi 16 % pada anak sekolah di Asia, 43% anak-
anak di Eropa, dan 40% hari pada anak-anak di Amerika Serikat. Serangan asma
yang terjadi pada anak-anak tersebut, didiagnosis oleh para ahli sebagai asma
ekstrinsik yang dapat disebabkan oleh alergen. Di Indonesia prevalensi asma
belum diketahui secara pasti, namun hasil penelitian pada anak sekolah usia 13-14
tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (Internationla Study on Asthma
and Allergy in Children) tahun 1995 prevalensi asma masih 2,1%, sedangkan
pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%.1,2
World Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta
penduduk dunia menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus
bertambah hingga mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain
menyebutkan bahwa pasien asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia
dan terus meningkat selama 20 tahun belakangan ini. Apabila tidak dicegah dan
ditangani dengan baik, maka diperkirakan akan terjadi peningkatan prevalensi
yang lebih tinggi lagi pada masa akan datang.1
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya,
dan tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan
untuk menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya

1
penurunan frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama
adalah menghindari faktor penyebab.2

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan
banyak sel dan elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan
hiperesponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa
mengi, sesak napas, yang menimbulkan gejala episodik berulang dan mengi, sesak
napas, dada terasa berat dan batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Episodik
tersebut berhubungan dengan obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan
seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan.2,3
Definisi asma menurut WHO pada tahun 1975, yaitu keadaan kronik yang
ditandai oleh bronkospasme rekuren akibat penyempitan lumen saluran napas
sebagai respon terhadap stimulus yang tidak menyebabkan penyempitan serupa
pada banyak orang.(Kartasasmita CB ; 2008). Global Initiative for Asthma
(GINA) mendefinisikan asma sebagai gangguan inflamasi kronis salura n nafas
dengan banyak sel berperan, khususnya sel mast, eosinofil, dan limfosit T. Pada
orang yang rentan inflamasi tersebut menyebabkan episode mengi berulang, sesak
nafas, rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari. Gejala
tersebut biasanya berhubungan dengan penyempitan jalan napas yang luas namun
bervariasi, yang paling tidak sebagian bersifat reversibel baik secara spontan
maupun dengan pengobatan. Inflamasi tersebut juga berhubungan dengan
hiperreaktivitas jalan nafas terhadap berbagai rangsangan.3,4

2.2 Etiologi
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai
teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya gangguan
parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan Simpatis (blok pada
reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor alfa adrenergik).
Gambar 1 : tipe asma
Berdasarkan penyebabnya, asma bronkhial dapat diklasifikasikan menjadi
3 tipe, yaitu : (seperti pada gambar 1)4
1. Ekstrinsik (alergik)

3
Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, obat-obatan
(antibiotic dan aspirin) dan spora jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan
dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi. Oleh karena itu jika ada
faktor-faktor pencetus spesifik seperti yang disebutkan di atas, maka akan terjadi
serangan asma ekstrinsik.
2. Intrinsik (non alergik)
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus
yang tidak spesifik atau tidak diketahui, seperti udara dingin atau bisa juga
disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan emosi. Serangan asma ini
menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat
berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan.
3. Asma gabungan
Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari
bentuk alergik dan non-alergik.
http://doctorology.net/wp-content/uploads/2009/03/tipe-asma.jpg
Gambar 1 : tipe asma

4
Ada beberapa hal yang merupakan faktor predisposisi dan presipitasi
timbulnya serangan asma bronkhial.4,5
1. Faktor predisposisi
Genetik. Dimana yang diturunkan adalah bakat alerginya, meskipun
belum diketahui bagaimana cara penurunannya yang jelas. Penderita dengan
penyakit alergi biasanya mempunyai keluarga dekat juga menderita penyakit
alergi. Karena adanya bakat alergi ini, penderita sangat mudah terkena penyakit
asma bronkhial jika terpapar dengan foktor pencetus. Selain itu hipersentifisitas
saluran pernafasannya juga bisa diturunkan.
2. Faktor presipitasi
a. Alergen, dimana alergen dapat dibagi menjadi 3 jenis, yaitu :
Inhalan, yang masuk melalui saluran pernapasan (debu, bulu binatang,
serbuk bunga, spora jamur, bakteri dan polusi)
Ingestan, yang masuk melalui mulut (makanan dan obat-obatan)
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit (perhiasan, logam dan
jam tangan)
b. Perubahan cuaca
Cuaca lembab dan hawa pegunungan yang dingin sering
mempengaruhi asma. Atmosfir yang mendadak dingin merupakan faktor
pemicu terjadinya serangan asma. Kadang-kadang serangan berhubungan
dengan musim, seperti musim hujan, musim kemarau, musim bunga. Hal ini
berhubungan dengan arah angin serbuk bunga dan debu.
c. Stress
Stress/gangguan emosi dapat menjadi pencetus serangan asma, selain
itu juga bisa memperberat serangan asma yang sudah ada. Disamping gejala
asma yang timbul harus segera diobati penderita asma yang mengalami
stress/gangguan emosi perlu diberi nasehat untuk menyelesaikan masalah
pribadinya. Karena jika stressnya belum diatasi maka gejala asmanya belum
bisa diobati.
d. Lingkungan kerja
Mempunyai hubungan langsung dengan sebab terjadinya serangan
asma. Hal ini berkaitan dengan dimana dia bekerja. Misalnya orang yang

5
bekerja di laboratorium hewan, industri tekstil, pabrik asbes, polisi lalu lintas.
Gejala ini membaik pada waktu libur atau cuti.
e. Olahraga/ aktifitas jasmani yang berat
Sebagian besar penderita asma akan mendapat serangan jika
melakukan aktifitas jasmani atau olahraga yang berat. Lari cepat paling mudah
menimbulkan serangan asma. Serangan asma karena aktifitas biasanya terjadi
segera setelah selesai aktifitas tersebut.

2.3 Epidemiologi
Prevalensi asma meningkat di seluruh dunia. Hal ini disebabkan terutama
oleh pengertian yang salah mengenai asma, pedoman dan pelaksanaan
pengelolaan asma yang tidak lengkap atau sistimatis, serta sangat kurangnya data
dan perencanaan lanjutan. Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilaksanakan
strategi pengelolaan asma berdasarkan pedoman pengelolaan yang lengkap dan
sistimatik. Kerjasama yang erat di antara para dokter dan petugas medik lainnya
dengan penderita asma sangatlah diperlukan untuk mencapai hasil yang sebaik-
baiknya. Dengan upaya ini diharapkan akan tercapai penyebarluasan cara
pengelolaan asma preventif dan kuratif yang sesuai dengan perkem-bangan dan
metoda pengelolaan asma yang mutakhir. Dan akan tercapai pula penurunan
angka morbiditas maupun mortalitas yang diakibatkan oleh asma ataupun
komplikasinya.1,3
Menurut WHO, sebanyak 100 hingga 150 juta penduduk dunia adalah
penyandang Asma. Jumlah ini terus bertambah sebanyak 180.000 orang setiap
tahunnya. Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti, namun
diperkirakan 2 – 5 %5 (3-8%2 dan 5-7%7) penduduk Indonesia menderita asma.
Berdasarkan laporan Heru Sundaru (Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI/RSCM), prevalensi asma di Bandung (5,2%), Semarang (5,5%), Denpasar
(4,3%) dan Jakarta (7,5%)8. Di Palembang, pada tahun 1995 didapatkan
prevalensi asma pada siswa SMP sebesar 8,7% dan siswa SMA pada tahun 1997
sebesar 8,7% dan pada tahun 2005 dilakukan evaluasi pada siswa SMP didapatkan
prevalensi asma sebesar 9,2%2. Penyakit Asma dapat mengenai segala usia dan
jenis kelamin, 80-90% gejala timbul sebelum usia 5 tahun9. Pada anak-anak,
penderita laki-laki lebih banyak daripada perempuan, sedangkan pada usia dewasa

6
terjadi sebaliknya. Sementara angka kejadian Asma pada anak dan bayi lebih
tinggi daripada orang dewasa.1,6

2.4 Patogenesis
Gejala asma, yaitu batuk, sesak dengan mengi merupakan akibat dari
obstruksi bronkus yang didasari oleh inflamasi kronik dan hiperaktivitas bronkus.
Hiperaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas
bronkus ini dapat diukur secara tidak langsung. Pengukuran ini merupakan
parameter objektif untuk menentukan beratnya hiperaktivitas bronkus yang ada
pada seseorang pasien. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas
bronkus ini, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin,
inhalasi antigen maupun inhalasi zat nonspesifik.7,8
Pencetus (trigger) serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor
antara lain alergen, virus, dan iritan yang dapat menginduksi respon inflamasi akut
yang terdiri atas reaksi asma dini (early asthma reaction = EAR) dan reaksi asma
lambat (late asthma reaction = LAR). Setelah reaksi asma awal dan reaksi asma
lambat, proses dapat terus berlanjut menjadi reaksi inflamasi sub-akut atau kronik.
Pada keadaan ini terjadi inflamasi di bronkus dan sekitarnya, berupa infiltrasi sel-
sel inflamasi terutama eosinofil dan monosit dalam jumlah besar ke dinding dan
lumen bronkus.6
Penyempitan saluran napas yang terjadi pada asma merupakan suatu hal
yang kompleks. Hal ini terjadi karena lepasnya mediator dari sel mast yang
banyak ditemukan di permukaan mukosa bronkus, lumen jalan napas dan di
bawah membran basal. Berbagai faktor pencetus dapat mengaktivasi sal mast.
Selain sel mast, sel lain yang juga dapat melepaskan mediator adalah sel makrofag
alveolar, eosinofil, sel epitel jalan napas, netrofil, platelet, limfosit dan monosit.8
Inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen, makrofag
alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan
oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan
memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa, sehingga memperbesar reaksi
yang terjadi.8

7
Mediator inflamasi secara langsung maupun tidak langsung menyebabkan
serangan asma, melalui sel efektor sekunder seperti eosinofil, netrofil, platelet dan
limfosit. Sel-sel inflamasi ini juga mengeluarkan mediator yang kuat seperti
leukotriens, tromboksan, PAF dan protein sitotoksis yang memperkuat reaksi
asma. Keadaan ini menyebabkan inflamasi yang akhirnya menimbulkan
hipereaktivitas bronkus. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi
asma:7,8,9
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila
terpajan dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi
pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma.
Apabila seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu
(enhancer) maka terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses
inflamasi yang berlangsung lama atau proses inflamasinya berat secara klinis
berhubungan dengan hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus
(trigger) maka akan terjadi serangan asma (mengi).
Faktor-faktor pemicu (inducer/sensitisizer) antara lain: Alergen dalam
ruangan: tungau debu rumah, binatang berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen
kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok; pemacu: Rinovirus, ozon,
pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus (enhancer): Semua faktor pemicu dan
pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin.

2.5 Klasifikasi
Menurut Global Initiative for Asthma (Medical Communications
Resources, Inc ; 2006.) (Tabel 3)4
1. Intermiten
Gejala kurang dari 1 kali, serangan singkat, gejala nokturnal tidak lebih
dari 2 kali/bulan (FEV1 ≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik
individu, variabilitas PEV atau FEV1<20%)
2. Persisten ringan

8
Gejala lebih dari 1 kali/minggu tapi kurang dari 1 kali/hari, serangan dapat
mengganggu aktivitas dan tidur, gejala nokturnal >2 kali/bulan (FEV1
≥80% predicted atau PEF ≥80% nilai terbaik individu, variabilitas PEV
atau FEV120-30%)
3. Persisten sedang
Gejala terjadi setiap hari, serangan dapat mengganggu aktivitas dan tidur,
gejala nokturnal >1 kali/ minggu, menggunakan agonis-β2 kerja pendek
setiap hari (FEV1 60-80% predicted atau PEF 60-80% nilai terbaik
individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%).
4. Persisten berat
Gejala terjadi setiap hari, serangan sering terjadi, gejala asma nokturnal
sering terjadi (FEV1 ≤60% predicted atau PEF ≤60% nilai terbaik
individu, variabilitas PEV atau FEV1>30%)
Tabel 3. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis (sebelum
pengobatan)4
Derajat Gejala Gejala malam Faal
paru
Intermiten Gejala kurang dari 1x/minggu Kurang dari 2 kali APE >
dalam sebulan 80%
Asimtomatik
Persisten -Gejala lebih dari 1x/minggu tapi Lebih dari 2 kali dalam APE
ringan kurang dari 1x/hari sebulan >80%

-Serangan dapat menganggu


Aktivitas dan tidur
Persisten -Setiap hari, Lebih 1 kali dalam APE 60-
sedang seminggu 80%
-serangan 2 kali/seminggu, bisa
berahari-hari.

-menggunakan obat setiap hari

-Aktivitas & tidur terganggu

9
Persisten - gejala Kontinyu Sering APE
berat <60%
-Aktivitas terbatas

-sering serangan
Sumber : Buku Ajar Respirologi ;2008

Klasifikasi asma berdasarkan level terkontrolnya menurut Global Initiative


for Asthma (GINA) 2011 yakni 4:
Tabel 1. Level Kontrol Asma.
No Karakteristik Terkontrol Terkontrol Tidak
parsial Terkontrol
1 Gejala siang Tidak ada atau ≤ > 2x / minggu 3 atau lebih
2x / minggu keadaan
2 Hambatan aktivitas Tidak ada Ada terkontrol
3 Gejala malam/ bangun Tidak ada Ada parsial*
waktu malam
4 Perlu reliever / Tidak ada atau ≤ > 2x / minggu
bantuan inhalasi 2x / minggu)
5 Fungsi paru PEF atau Normal < 80% prediksi
FEV1)** atau hasil terbaik
(bila ada)

*secara definisinya, bila terjadi eksaserbasi maka disebut sebagai asma tidak
terkontrol.
**tanpa pemberian bronkodilator, pemeriksaan fungsi paru tidak dapat digunakan
pada anak usia ≤ 5 tahun.
Selain itu, asma dapat dibedakan berdasarkan derajat beratnya serangan
asma menurut GINA 20114:
Tabel 2. Derajat serangan asma.
Parameter Ringan Sedang Berat Respiratory
arrest imminent
Aktifitas Dapat Dapat Saat istirahat
berjalan berbicara
Duduk
Dapat Lebih suka membungkuk
berbaring duduk ke depan
Bicara Beberapa Kalimat Kata demi
kalimat terbatas kata
Kesadaran Mungkin Biasanya Biasanya Terganggu
terganggu terganggu terganggu

10
Frekuensi Meningkat Meningkat Sering
napas > 30x/menit
Retraksi otot- Umumnya Biasanya Biasanya Gerakan
otot tidak ada paradoksikal
pernapasan torako-abdominal
Mengi Lemah Keras Biasanya Tidak ada
sampai keras
sedang
Frekuensi < 100 100-120 >120 Bradikardi
nadi
Pulsus Tidak ada Mungkin ada Sering ada Tidak ada
paradoksus <10 mmHg 10-25 mmHg > 25 mmHg (kelemahan otot
pernapasan)
PEF sesudah > 80% 60-80% <60%
bronkodilator (<100 lpm)
inisial atau respon
bertahan < 2
jam
PaO2 (on air) Normal > 60 mmHg < 60 mmHg
(biasanya Bisa terjadi
tidak perlu sianosis
diperiksa)

Dan/atau < 45 mmHg < 45 mmHg > 45 mmHg;


PaCO2 bisa terjadi
gagal napas
SaO2 (on air) > 95% 91-95% < 90%

2.6 Manifestasi Klinis


Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak, disertai fase
inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan diikuti bunyi
mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang kumat-kumatan.
Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan, sedang atau berat
dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin lama makin
meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. Hal ini sering terjadi terutama pada
penderita dengan rhinitis alergika atau radang saluran napas bagian atas.
Sedangkan pada sebagian besar penderita keluhan utama ialah sukar bernapas
disertai rasa tidak enak di daerah retrosternal. Mengi (wheezing) terdengar
terutama waktu ekspirasi.7,9
Suara mengi ini sering kali dapat didengar dengan jelas tanpa
menggunakan alat. Keadaan ini tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang

11
keluar-masuk paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan,
mengi (wheezing) akan terdengar lemah atau tidak terdengar sama sekali. Sedang
batuk hampir selalu ada, bahkan sering kali diikuti dengan dahak putih berbuih.
Selain itu, makin kental dahak akan memberikan keluhan sesak napas yang lebih
berat, apalagi penderita mengalami dehidrasi.10
Dalam keadaan sesak napas hebat, penderita lebih menyukai posisi duduk
membungkuk dengan kedua telapak tangan memegang kedua lutut. Tanda lain
yang menyertai sesak napas berat ialah pergerakan cuping hidung yang sesuai
dengan irama pernapasan, otot bantu pernapasan ikut aktif dan penderita tampak
gelisah. Frekuensi pernapasan terlihat meningkat (takipneu), selain karena sesak
napas mungkin pula karena rasa takut. Pada fase permulaan sesak napas akan
diikuti dengan penurunan PaO2 dan PaCO2, tetapi pH normal atau sedikit naik.
Hipoventilasi yang terjadi kemudian akan memperberat sesak napas, karena
menyebabkan penurunan PaO2 dan pH serta meningkatkan PaCO2 darah. Selain
itu terjadi kenaikan tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130 kali/menit,
karena peningkatan konsentrasi katekolamin dalam darah. Bila tanda-tanda
hipoksemia tetap ada (PaO2 <60 mmHg) diikuti dengan hiperkapnia (PaCO2 <45
mmHg), asidosis respiratorik, sianosis, gelisah, kesadaran menurun, papiledema
dan pulsus paradoksus, berarti asma makin memberat.8,9,10
Pada perkusi dada, suara napas normal sampai hipersonor. Pada asma
ringan letak diafragma masih normal, dan menjadi datar serta rendah pada asma
berat. Suara vesikuler meningkat, disertai ekspirasi memanjang. Kalau ada sekret,
terdengar ronki kasar waktu inspirasi dan tumpang tindih dengan wheezing waktu
inspirasi. Suara napas tambahan yang bersifat lokal, mungkin menunjukkan ada
bronkiekstasis atau pneumonia dan kadang-kadang karena atelektasis ringan.8

2.7 Diagnosis
Seperti pada penyakit lain, diagnosis penyakit asma dapat ditegakkan
dengan anamnesis yang baik. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan faal paru akan
lebih meningkatkan nilai diagnostik.
1. Anamnesis
Anamnesis yang baik meliputi riwayat tentang penyakit/gejala, yaitu7,9:

12
 Asma bersifat episodik, sering bersifat reversibel dengan atau tanpa
pengobatan
 Asma biasanya muncul setelah adanya paparan terhadap alergen,
gejala musiman, riwayat alergi/atopi, dan riwayat keluarga pengidap
asma
 Gejala asma berupa batuk, mengi, sesak napas yang episodik, rasa
berat di dada dan berdahak yang berulang
 Gejala timbul/memburuk terutama pada malam/dini hari
 Mengi atau batuk setelah kegiatan fisik
 Respon positif terhadap pemberian bronkodilator
2. Pemeriksaan fisis
Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pemeriksaan fisik
dapat normal. Kelainan pemeriksaan fisik yang paling umum ditemukan
pada auskultasi adalah mengi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat
terdengar normal walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah
terdapat penyempitan jalan napas. Oleh karena itu, pemeriksaan fisik akan
sangat membantu diagnosis jika pada saat pemeriksaan terdapat gejala-
gejala obstruksi saluran pernapasan10.
Sewaktu mengalami serangan, jalan napas akan semakin mengecil
oleh karena kontraksi otot polos saluran napas, edema dan hipersekresi
mukus. Keadaan ini dapat menyumbat saluran napas; sebagai kompensasi
penderita akan bernapas pada volume paru yang lebih besar untuk
mengatasi jalan napas yang mengecil (hiperinflasi). Hal ini akan
menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa batuk, sesak napas, dan
mengi10.
3. Pemeriksaan faal paru
Pengukuran faal paru sangat berguna untuk meningkatkan nilai
diagnostik. Ini disebabkan karena penderita asma sering tidak mengenal
gejala dan kadar keparahannya, demikian pula diagnosa oleh dokter tidak
selalu akurat. Faal paru menilai derajat keparahan hambatan aliran udara,
reversibilitasnya, dan membantu kita menegakkan diagnosis asma. Akan
tetapi, faal paru tidak mempunyai hubungan kuat dengan gejala, hanya

13
sebagai informasi tambahan akan kadar kontrol terhadap asma. Banyak
metode untuk menilai faal paru, tetapi yang telah dianggap sebagai
standard pemeriksaan adalah: (1) pemeriksaan spirometri dan (2) peak
flow meter 11.
Pemeriksaan spirometri merupakan pemeriksaan hambatan jalan
napas dan reversibilitas yang direkomendasi oleh GINA (2009).
Pengukuran volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1) dan kapasiti
vital paksa (KVP) dilakukan dengan manuver ekspirasi paksa melalui
spirometri. Untuk mendapatkan hasil yang akurat, diambil nilai tertinggi
dari 3 ekspirasi. Banyak penyakit paru-paru menyebabkan turunnya angka
VEP1. Maka dari itu, obstruksi jalan napas diketahui dari nilai VEP1
prediksi (%) dan atau rasio VEP1/KVP (%) 11.
4. Uji provokasi bronkus
Jika pemeriksaan spirometri normal, untuk menunjukaan adanya
hiperreaktivitas bronkus dilakukan uji provokasi bronkus. Tes ini
menggunakan histamin, metakolin, kegiatan jasmani, udara dingin, larutan
garam hipertonik. Bila terjadi penurunan VEP1 sebesar 20% maka
dianggap bermakna. Uji jasmani dilakukan dengan meminta penderita
berlari cepat selama 6 menit sehingga mencapai denyut jantung 80-90 %
kemudian dievaluasi. Jika terjadi penurunan arus puncak ekspirasi minimal
10% maka dapat dinyatakan positif 10.

5. Pemeriksaan sputum
Dahak atau sputum mukoid berwarna jernih, terdiri dari mukopolisakarida
dan serabut glikoprotein, bila disebabkan alergi murni, umumnya dahak
sukar dikeluarkan saat batuk. Dahak yang sangat kental sering kali
menyebabkan penyumbatan yang disebut airways plugging. Dahak
purulen berwarna kuning atau kuning kehijauan, umumnya berjumlah
banyak, dengan konsistensi kenyal atau lunak, berasal dari jaringan epitel
yang mengalami kerusakan (nekrotik) bercampur dengan sel-sel radang
dan bakteri. Pada pemeriksaan mikroskopis, tampak gambaran spiral
Churschmann, badan Creola, dan kristal Charcot-Leyden serta 90% dahak
mengandung sel eosinofil 10.

14
6. Pemeriksaan eosinofil
Pada asma tipe alergi, eosinofil dapat meningkat sampai 800-1000/mm3.
Bila eosinofil tetap tinggi setelah diberi kortikosteroid, maka asma tipe ini
disebut steroid resistant bronchial asthma 10.
7. Uji kulit
Tujuannya untuk menunjukkan antibodi IgE spesifik dalam tubuh.
Uji ini hanya menyokong anamnesis, karena uji allergen yang positif
tidak selalu merupakan penyebab asma, demikian pula sebaliknya 10.
8. Pemeriksaan kadar IgE total dan IgE spesifik dalam sputum
Pemeriksaan kadar IgE total dilakukan untuk menyokong
adanya atopi. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna dilakukan bila
uji kulit tidak dapat dilakukan atau hasilnya kurang dapat
dipercaya10.

9. Analisis gas darah


Pemeriksaan ini dilakukan pada asma yang berat. Pada fase
awal serangan, terjadi hipoksemia dan hipokapnia (PaCO₂ < 35 mmHg)
kemudian pada stadium yang lebih berat PaCO₂ justru mendekati
normal sampai normo-kapnia. Selanjutnya pada asma yang sangat
berat terjadinya hiperkapnia (PaCO₂ ≥ 45 mmHg), hipoksemia dan
asidosis respiratorik.10

10. Radiologi
Gambaran radiologi asma ringan umumnya normal, tetapi pada
asma berat dapat dijumpai bermacam-macam gambaran radiologi yang
disebabkan oleh komplikasi seperti atelektasis, pneumotoraks,
pneumomediastinum, atau pneumonia. Pada asma yang disertai obstruksi
berat, didapatkan gambaran radiologi hiperlusen, dengan pelebaran sela
antar iga, diafragma letak rendah, penumpukan udara di daerah retrosternal
tetapi jantung masih dalam batas normal.11

2.8 Terapi

15
Penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma
akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.

a) Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)


Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui
oleh pasien. Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah
(lihat bagan 1), dan apabila tidak ada perbaikan segera ke fasilitas pelayanan
kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan dengan derajat serangan.
Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk gejala,
pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.12
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah bronkodilator (β2
agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) dan kortikosteroid sistemik. Pada
serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya
diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara
sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin
oral.12
Pada keadaan tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya)
kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5
hari. Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid
oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV
(bolus atau drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi
maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian
cairan IV.7,12
Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2
agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin
IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan
dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung
dirujuk ke ICU.12
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi
menggunakan nebulizer. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (Inhalasi Dosis
Terukur) dengan alat bantu (spacer).

16
b) Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma
dan mencegah serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan
klasifikasi beratnya asma. Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1)
Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan pelega); dan Menjaga kebugaran.6
Edukasi yang diberikan mencakup: kapan pasien berobat/ mencari
pertolongan, mengenali gejala serangan asma secara dini, mengetahui obat-obat
pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya, mengenali dan
menghindari faktor pencetus, kontrol teratur. Alat edukasi untuk dewasa yang
dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi asma (bagan 6), sedangkan
pada anak digunakan lembaran harian.6,7
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan
pada saat serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan
serangan asma dan diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk
mengontrol asma digunakan anti inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak,
kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum diberikan kortikosteroid dan dosis
diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah terkontrol. Obat asma yang
digunakan sebagai pengontrol antara lain: Inhalasi kortikosteroid, β2 agonis kerja
panjang, antileukotrien, teofilin lepas lambat.12

Tabel 3. Jenis obat asma


Bentuk/kemasan
Jenis obat Golongan Nama generik
obat
Pengontrol Steroid inhalasi Flutikason propionat IDT
(Anti Budesonide IDT, turbuhaler
inflamasi) Antileukokotrin Zafirlukast Oral(tablet)
Kortikosteroid Metilprednisolon Oral(injeksi)
sistemik Prednison Oral
Agonis beta-2 Prokaterol Oral
Pelega kerjalama Formoterol Turbuhaler
(Bronkodilat Salmeterol IDT
or) kombinasi steroid Flutikason + IDT
dan Salmeterol. Turbuhaler
Agonis beta-2 Budesonide +
kerjalama formoterol Oral, IDT, rotacap
Agonis beta-2 solution
kerja cepat Salbutamol Oral, IDT,
turbuhaler, solution,

17
Terbutalin ampul (injeksi)
IDT
Prokaterol IDT, solution
Antikolinergik Fenoterol IDT, solution
Metilsantin Ipratropium bromide Oral
Teofilin Oral, injeksi
Aminofilin Oral
Teofilin lepas lambat
Kortikosteroid Oral, inhaler
sistemik Metilprednisolon Oral
Prednison

18
BAB III
LAPORAN KASUS

1. IDENTITAS PASIEN
 Nama : Ny. Nunik Sri Rahayu
 Umur : 58 tahun
 Alamat : Neuheun, Aceh Besar
 Agama : Islam
 Status Perkawinan : Menikah
 Suku : Aceh
 Nomor CM : 0-11-22-59
 Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
 Tanggal Masuk : 27 Oktober 2017
 Tanggal Pemeriksaan : 30 Oktober 2017

2. ANAMNESA
Keluhan Utama : Sesak Napas
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan setiap hari dan
memberat 1 hari ini. Sesak napas memberat dengan aktivitas. Sesak napas
memberat terutama dirasakan saat berjalan jauh. Sesak napas juga muncul di
malam hari dan pasien lebih nyaman menggunakan lebih dari 1 bantal saat tidur.
Pasien mengaku tidak ada pencetus saat sesak napas seperti cuaca dingin, debu,
serbuk sari, dan pencetus lainnya. Sesak napas disertai batuk berdahak warna
putih jernih encer. Pasien mengaku tidak ada riwayat nafas berbunyi. Riwayat
batuk darah dan nyeri dada (-). Pasien tidak mengeluhkan demam, penurunan
berat badan, dan keringat malam.
Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat hipertensi (-) dan diabetes mellitus (+) sejak 5 tahun. Pasien
didiagnosa dengan Congestive Heart Failure pada tahun 2013.
Riwayat obat-obatan:
Riwayat penggunaan obat semprot (-). Riwayat minut obat 6 bulan (-)

19
Riwayat Penyakit Keluarga:
Riwayat asma (-) dm(-) ht(-)
Riwayat Kebiasaan Sosial :
Pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, tidak memiliki riwayat
merokok, dan mengunakan kompor gas untuk masak sehari-hari.

3. TANDA VITAL
 Keadaan Umum : sakit sedang
 Tekanan Darah : 100/60 mmHg
 Nadi : 86 x/menit
 Suhu : 36,3oC
 Pernafasan : 26 x/menit
 Berat Badan : 65 kg
 Tinggi Badan : 158 cm

4. STATUS GENERALISATA
Kepala
 Rambut : Hitam
 Wajah : simetris, oedema (-)
 Mata : Conjunctiva anemi (-/-), ikterik (-/-), sekret (-/-),
 Telinga : Serumen (-/-)
 Hidung : Sekret (-/-) septum deviasi (-)
 Mulut
o Bibir : simetris, bibir pucat (-), mukosa licin(+), sianosis (-)
o Tonsil : Hiperemis (-/-), T1/T1
o Faring : Hiperemis (-)
Leher
 Inspeksi : Simetris, retraksi (-)
 Palpasi : TVJ R+3 cmH2O, pembesaran KGB (-)
Paru
Anterior
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis

20
Kanan Kiri
Palpasi Fremitus Normal Fremitus Normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Ekspirasi memanjang, Ekspirasi memanjang,
Ronchi (-) wheezing (+) Ronchi (-) wheezing (+)
lapangan tengah dan bawah lapangan tengah dan
paru bawah paru

Posterior
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis
Kanan Kiri
Palpasi Fremitus Normal Fremitus Normal
Perkusi Sonor Sonor
Auskultasi Sonor memendek Sonor memendek
Ronchi (-) wheezing (+) Ronchi (-) wheezing (+)
lapangan tengah dan bawah lapangan tengah dan
paru bawah paru

Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, murmur (-), S3 gallop (+)
Abdomen
Inspeksi : Simetris
Palpasi : Nyeri tekan abdomen (-), defans muscular (-)
Hepar : Tidak teraba
Lien : Tidak teraba
Ginjal : Ballotement (-)
Perkusi : Timpani, shifting dullness (-),
Auskultasi : Peristaltik 3x/menit, kesan normal
Ekstremitas
Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri

Sianosis - - - -

21
Oedema - - - -

Fraktur - - - -

6. Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium 27 Oktober 2017


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan

Hemoglobin 13,6 14,0-17,0 g/dL

Hematokrit 40 45-55 %

Eritrosit 4,2 4,7-6,1 106/mm³

Trombosit 107 150-450 10³/mm³

Leukosit 5,6 4,5-10,5 10³/mm³

Natrium(Na) 134 135-145 mmol/L

Kalium (K) 3,6 3,5-4,5 mmol/L

Clorida (Cl) 107 90-110 mmol/L

Gluko Darah sewaktu 223 60-110 mg/dL

Ureum 22 13-43 mg/dl

Kreatinin 0,62 0,67-1,17 mg/dl

Foto Lumbosacral AP/Lateral

Kesan :
a. Inspirasi kurang

22
b. Cor / aorta CTR 58% Boot shape apppearence. Aorta elongasi dan
dilatasi dan kalsifikasi
c. Lung : Hillus normal, corakan bronkovaskular paru normal
d. Soft tissue : normal. Tampak wering pada CV 4-5
e. Skeletal : normal
Kesimpulan :
Cardiomegaly dengan LVH/LVD/LAD/RVD

9. Diagnosis
- Asma akut serangan sedang pada asma persisten berat
- CHF
- DM Tipe II

10. Terapi
- IVFD RL 10 gtt/i
- 02 2-4 L/mnt
- Nebule Ventolin 1 respule/6 jam
- Nebule Pulmicort 1 respule/12 jam
- Inj Omeprazole 40 mg/12 jam
- Cefixime 2x100 mg PO
- Cetirizin 2x1 PO
- Codein 3x1

11. Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad malam
Quo ad sanactionam : dubia ad malam

23
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien datang dengan keluhan sesak nafas yang dirasakan setiap hari dan
memberat 1 hari ini. Sesak napas memberat dengan aktivitas. Sesak terutama
dirasakan saat berjalan jauh. Sesak napas juga muncul di malam hari dan pasien
lebih nyaman menggunakan lebih dari 1 bantal saat tidur. Pasien mengaku tidak
ada pencetus saat sesak napas seperti cuaca dingin, debu, serbuk sari, dan
pencetus lainnya. Sesak napas merupakan gejala yang dapat ditimbulkan dari
sistem pernafasan maupun sistem diluar pernafasan. Oleh karena itu harus
dibedakan berdasarkan karakteristik sesak nafas dan temuan klinisnya. Keluhan
sesak nafas yang terjadi secara terus menerus dan memberat dengan aktivitas
mengarah pada beberapa penyakit seperti PPOK dan CHF. Kondisi yang
memperberat gejala sesak napas pada pasien ini adalah saat tidur malah hari.
Kondisi pasien akan lebih baik jika menggunakan lebih dari satu bantal mengarah
pada gejala orthopneu yaitu sesak napas yang muncul saat berbaring. Keluhan
sesak yang sering muncul pada malah hari mengarah pada gejala malam asma
akibat cuaca dingin atau bisa mengarah pada suatu keadaan paroxysmal nocturnal
dispneu (PND).6,7,9
Sesak napas disertai batuk berdahak warna putih jernih encer. Pasien
mengaku tidak ada riwayat nafas berbunyi. Gejala penyerta pada pasien ini
mengarah pada suatu proses eksaserbasi akut yang mirip dengan kondisi asma
ataupun ppok. Keluhan utama penderita asma ialah sesak napas mendadak,
disertai fase inspirasi yang lebih pendek dibandingkan dengan fase ekspirasi, dan
diikuti bunyi mengi (wheezing), batuk yang disertai serangan sesak napas yang
kumat-kumatan. Pada beberapa penderita asma keluhan tersebut dapat ringan,
sedang atau berat dan sesak napas penderita timbul mendadak, dirasakan makin
lama makin meningkat atau tiba-tiba menjadi lebih berat. 8,9
Sebelumnya pada tahun 2013 pasien didiagnosa dengan CHF dan
mendapat terapi rutin. Pasien juga menderita DM tipe 2 sejak 5 tahun lalu.
Kondisi CHF berhubungan erat dengan munculnya sesak napas yang dialami
pasien. Adanya bendungan pada jantung mengakibatkan terjadi edema paru yang
menggangu proses ventilasi/perfusi paru. Namun sesak napas yang muncul pada

24
pasien bisa tumpah tindih dengan gejala sesak nafas akibat asma dan ppok. Pada
kasus ini pasien merupakan seorang ibu rumah tangga, tidak memiliki riwayat
merokok, dan mengunakan kompor gas untuk masak sehari-hari. Tidak adanya
faktor risiko tersebut penting untuk menyingkirkan kemungkinan ppok.9
Dari hasil pemeriksaan tanda vital dan status generalisata didapatkan
pasien sesak dengan frekuensi pernafasan 26x/menit, terdapat peningkatan TVJ
serta suara jantung S3 gallop pada auskultasi jantung. Pada auskultasi paru
didapatkan ekspirasi memanjang dengan wheezing di kedua lapangan paru.
Adanya temuan wheezing menandakan adanya obtruksi saluran pernafasan. Suara
mengi ini sering kali dapat didengar dengan jelas tanpa menggunakan alat.
Keadaan ini tergantung cepat atau lambatnya aliran udara yang keluar-masuk
paru. Bila dijumpai obstruksi ringan atau kelelahan otot pernapasan, mengi
(wheezing) akan terdengar lemah atau tidak terdengar sama sekali. Sedang batuk
hampir selalu ada, bahkan sering kali diikuti dengan dahak putih berbuih. Selain
itu, makin kental dahak akan memberikan keluhan sesak napas yang lebih berat,
apalagi penderita mengalami dehidrasi. Temuan peningkatan TVJ dan adanya S3
gallop mengkonfirmasi adanya bendungan pada sistem kardiovaskular dengan
kesimpulan CHF.7,9
Pada kondisi sesak nafas akut, beberapa pemeriksaan penunjang seperti
spirometeri, peakflow meter, uji bronkodilator tidak dapat dilakukan.
Pemeriksaan-pemeriksaan tersebut dapat dilakukan saat kondisi pasien sudah
stabil. Sehingga diagnosa lebih baik menggunakan anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang teliti dan cermat.7
Pada kasus ini pasien didiagnosa dengan asma akut serangan sedang pada
asma persisten berat. Penegakan diagnosis asma terbagi menjadi dua kategori
yaitu asma dalam serangan dan diluar serangan (dalam kondisi stabil). Pada kasus
ini pasieng sedang dalam serangan akut yang dikategorikan sedang dilihat dari
klinis dan pemeriksaan fisik pasien. Sedangkan diagnosa diluar serangan pada
pasien ini adalah asma persisten berat. Hal ini didasarkan dari frekuensi gejala
harian dan gejala malam Pasien ini mengalami gejala sesak nafas dan batuk setiap
hari dan mengganggu aktivitas. 11,12

25
Pada kasus ini pasien ditatalaksana sesuia dengan pedoman tatalksana
asma yaitu dengan pemberian bronkodilator golongan SABA dan SAMA atau
kombinasi keduanya. Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah
bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida) dan kortikosteroid
sistemik. Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat
yang sebaiknya diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat
diberikan secara sistemik. Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan
teofilin/aminofilin oral. Pemberian antibiotik pada asma masih kontroversi
mengenai manfaatnya. Namun pada kasus ini dicurigai munculanya asma akibat
adanya infeksi di saluran pernafasan. Oleh karena pada kasus ini diberi antibiotik
spektrum luas.11,12

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik


Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.

2. Antariksa, Budhi. 2009. Diagnosis dan Penatalaksanaan Asma. Jakarta:


Departemen Pulmonologi dan ilmu kedokteran Respiratori FKUI.

3. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.


Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;
2006.

4. GINA (Global Initiative for Astma). 2006. Levels of Asma Control.


http://ginastma.com.

5. John M. Weiler, Sergio Bonini, Robert Coifman, Timothy Craig, Luı´s


Delgado, Miguel Capa o-Filipe. Asthma & Immunology Work Group
Report : Exercise-induced asthma. Iowa City, Iowa, Rome and Siena,
Italy, Millville, NJ, Hershey, Pa, Porto, Portugal, and Colorado Springs,
Colo : American Academy of Allergy : 2007

6. Hermawan, H.M., 2006. Imunobiologi Asma Bronkial. Dexa – Media:


Denpasar.

7. Croccket, Anthony. 1997. Penanganan Asma Dalam Perawatan Primer.


Jakarta: Hipokrates.

8. Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Di Indonesia. Perhimpunan


Dokter Paru Indonesia.2004

9. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,


Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.

10. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,


Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.

11. Jenkin S and Turker B. 1998. Patients Problems, Management and


Outcomes. In J Prior Jebe E (ed) Physiotherapy for Respiratory and
Cardiac Problem, Edinburg Churchill Livingstone.

12. Kabat. 2004. Asma Bronkial. Dalam: Hood Alsagaff. (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Paru, pp: 41-54

27

Anda mungkin juga menyukai