Anda di halaman 1dari 7

Laporan Praktikum Hari, tanggal : Kamis, 22 Maret 2018

Teknologi Pati, Gula, Golongan : P4


Dan Sukrokimia Dosen : Dr Farah Fahma STP MT
Asisten :
1. Cynthia Audya F34140119
2. Reza Febryantara F34140132

PRODUKSI DAN KARAKTERISASI PRODUK BERBASIS PATI

I Gede Indra AP F34150108


Nur Faizah Putri F34150116
Ririn Sugiarti F34150129

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN


FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2018
Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki biodiversivitas yang tinggi.
Terlihat dari banyaknya jenis tanaman yang bermanfaat untuk memenuhi
kebutuhan manusia. Pangan merupakan salah satu kepentingan dalam memenuhi
kebutuhan manusia. Pemenuhan kebutuhan pangan terus dilakukan melalui
penelitian, pengembangan, dan produksi pangan yang ideal untuk dikonsumsi.
Karbohidrat merupakan salah satu kebutuhan makro yang dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Karbohidrat dapat diperoleh dari tanaman yang menghasilkan pati.
Indonesia memiliki banyak sumber pati potensial yang hingga saat ini belum
dimanfaatkan secara optimal. Sumber-sumber pati berpotensial di Indonesia adalah
ubi kayu, jagung, beras, sagu, ubi jalar, dan jenis kacang-kacangan.
Pati alami adalah pati yang dimanfaatkan tanpa melakukan modifikasi sifat
fisiko-kimianya. Pati alami banyak dimanfaatkan dalam industri sebagai bahan
filler (pengisi) dalam pembuatan tablet obat. Pemanfaatan pati saat ini sudah sangat
banyak ditemui di masyarakat. Pemanfaatannya tidak hanya melibatkan sektor
pangan tetapi juga telah meluas ke sektor non pangan. Pemanfaatannya yang luas
membuat pati menjadi sumber bahan baku yang ideal untuk dikembangkan.
Sumber karbohidrat tidak hanya dapat dipenuhi dari pati tetapi juga dapat
dipenuhi dari tepung-tepungan. Tepung merupakan komponen turunan pati yang
terdiri dari komponen yang kompleks. Secara umum, tepung dapat diperoleh dari
berbagai jenis tanaman yang mengandung polisakarida. Beberapa jenis komersial
yang beredar di pasaran adalah tepung tapioka, tepung jagung, tepung sagu, tepung
beras, dan tepung ubi kayu. Kesemua tepung tersebut memiliki peran yang penting
dalam pengembangan kebutuhan pangan manusia. Pengembagan yang dilakukan
membutuhkan metode inovasi yang unggul dan dapat bersaing secara komparatif.
Pengembangan dapat dilakukan dengan mengetahui teknik rekayasa proses. Untuk
mengetahui teknik rekayasa proses, perlu mengetahui prinsip dasar dalam
karakteristik, sifat fisiko-kimia, dan aspek teknologi proses yang digunakan untuk
melakukan rekayasa proses dalam pengolahan produk berbasis pati dan tepung.
Oleh karena itu, praktikum teknologi pengolahan pati dan tepung serta
karakterisasinya sangat penting dilakukan dalam proses pengembangan produk.

Tujuan

Praktikum ini bertujuan mempelajari proses pembuatan tepung dari umbi,


pisang dan serealia, cara mengekstraksi pati dari umbi-umbian, sagu pisang,
ganyong, serealia (jagung), leguminosa (kacang hijau) dan beras ketan serta
rendemen yang dihasilkan; juga menganalisa karakteristik tepung dan pati yang
dihasilkan dari berbagai bahan yakni uji parameter yang meliputi analisa fisik dan
kimia sehingga dapat memperlihatkan jenis maupun kualitas dari pati.
Hasil Uji Kesukaan

Uji ketiga yaitu uji kesukaan atau hedonik terhadap parameter aroma,
tekstur, dan penampakan pada produk modifikasi tepung casava (mocaf yeast,
mocaf BAL, rava, farina, gari, dan gaplek. Berdasarkan hasil uji yang didapatkan
yaitu pada parameter aroma yang disukai yaitu mocaf yeast, farina, dan gari. Pada
parameter tekstur halus untuk semua produk kecuali gari yang teksturnya sedikit
kasar. Pada parameter penampakan semua produk cenderung putih hingga putih
kekuningan. Pada parameter penerimaan, produk mocaf BAL dan rava tidak
diterima, sedangkan selain produk tersebut diterima. Hasil percobaan dibandingkan
literatur memiliki kesamaan pada parameter warna, aroma, dan rasa. Perbedaan-
perbedaan hasil pada beberapa parameter lainnya disebabkan karena metode
pembuatan, perbedaan bahan baku, dan mutu bahan baku.

Sumber: Codex Stan 176-2989 dalam Subagyo (2006).

Tepung mocaf memiliki kandungan nutrisi yang berbeda dengan tepung


terigu. Perbedaan kandungan nutrisi yang mendasar adalah tepung mocaf tidak
mengandung zat gluten, yaitu zat yang hanya terdapat pada terigu (Ratnasari 2014).
Selain itu, tepung mocaf berwarna putih, lembut, dan tidak berbau singkong.
Tepung mocaf dikatakan sebagai proses modifikasi sebab pada pembuatan mocaf
dilakukan proses khusus yang disebut dengan fermentasi atau pemeraman yang
melibatkan jasa mikrobia atau enzim tertentu, sehingga selama proses fermentasi
berlangsung terjadi perubahan baik dari aspek fisik, kimiawi, dan mikrobiologis
(Romlah 2011). Kandungan protein pada tepung mocaf berkisar 1,2% dan
kandungan protein pada tepung terigu berkisar 8-13% (Salim 2008). Walaupun dari
komposisi dan organoleptik kimianya tidak jauh berbeda, mocaf mempunyai
karakteristik fisik dan organoleptik yang spesifik jika dibandingkan dengan tepung
ubi kayu pada umumnya. Menurut Ismi (2012), mocaf memiliki keunggulan yaitu,
kandungan serat terlarut (soluble fiber) lebih tinggi dari pada tepung gaplek.
Kandungan mineral (kalsium) lebih tinggi dibanding padi dan gandum.
Oligasakarida penyebab flatulensi sudah terhidrolis. Mempunyai daya kembang
setara dengan gandum tipe II (kadar protein menengah). Daya cerna lebih tinggi
dibandingkan dengan tapioka gaplek.
Gari adalah makanan yang memiliki bentuk butiran dengan warna putih
kekuningan jika bercampur dengan minyak palm dalam masakan. Gari biasanya
dibuat oleh masyarakat di Afrika dan dapat disebut garri atau gali di beberapa
bagian Afrika sub-Sahara. Gari yang memiliki kualitas baik akan mengembang tiga
kali dari volume awal ketika bercampur dengan air. Batas kadar air yang aman
untuk penyimpanan gari adalah di bawah 12% (Balagopalan et al. 1988). Gari dapat
terbuat dari singkong, umbi-umbian, dan pulp putih dengan menggunakan mesin
penggiling Hasil gilingan tersebut dimasukkan ke dalam karung yute dan karung
terikat. Proses ini dilakukan dengan melakukan fermentasi tiga sampai tujuh hari
tergantung pada jenis gari yang akan dibuat. Langkah ini sangat penting, karena
proses fermentasi membantu mengurangi detoksifikasi sianida singkong. Pulp yang
telah difermentasi selanjutnya dikeringkan. Pulp yang telah kering digiling dan
diayak sehingga dihasilkan gari.
Farina merupakan ampas singkong yang telah dimodifikasi dengan bantuan
pemanasan. Umbi yang telah diparut cairannya diperasa dan kemudian ampasnya
disangrai hingga kering. Pemerasan pulp hasil parutan dilakukan dengan tujuan
untuk mengurangi kadar air, sedangkan penyangraian dilakukan dengan tujuan
untuk meratakan pengeringan. Hasil dari penyangraian kemudian digiling dan
diayak sehingga dihasilkan farina.
Rava atau Partial Parboiling Cassava Flour adalah makanan berbasis tepung
yang biasa digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan berbagai macam resep
sarapan, seperti uppuma dan halwa. Proses pembuatan rava terdiri dari gelatinisasi
parsial umbi singkong yang berbentuk irisan, pengeringan dan penghancuran.
Dengan gelatinisasi parsial, granula mengembang sedikit dan menghasilkan produk
yang berbentuk butiran (Balagopalan et al. 1988). Pembuatan rava hampir sama
dengan pembuatan tepung kasava termodifikasi. Perbedaannya, pada pengolahan
rava tidak dilakukan perendaman tetapi dilakukan perebusan selama 5 menit. Hal
itu membuat kadar air umbi menjadi lebih banyak. Oleh sebab itu, pengeringan
umbi dilakukan lebih lama yaitu selama 36 jam. Selanjutnya umbi yang telah kering
digiling dan diayak dengan saringan 80 mesh sehingga dihasilkan rava.
Gaplek merupakan salah satu tepung termodifikasi yang banyak digunakan di
Indonesia. Berdasarkan bentuknya, gaplek dibagi menjadi 5 kelompok, yaitu:
gaplek gelondong, gaplek chips (irisan tipis), gaplek pelet, gaplek tepung dan
gaplek kubus. Pada umumnya gaplek gelondong dan pelet digunakan sebagai bahan
baku pakan ternak, sedangkan gaplek dalam bentuk tepung digunakan sebagai
bahan makanan. Gaplek dalam bentuk chips digunakan sebagai bahan industri pati,
dekstrin, dan glukosa (Oramahi 2005). Pembuatan gaplek hampir sama dengan
pembuatan tepung kasava, yaitu adanya perendaman setelah umbi diiris setebal 2-
3 cm, namun pada pebuatan gaplek, perendaman dilakukan dalam larutan garam
dapur 5% selama 30 menit. Selanjutnya dilakukan pengeringan, penggilingan, dan
pengayakan sehingga dihasilkan gaplek.

Hasil Uji Suhu Gelatinisasi

Uji keenam yaitu suhu gelatinisasi. Zat pati dari butiran-butiran kecil yang
disebut granula. Granula pati bervariasi dalam bentuk dan ukuran, ada yang
berbentuk bulat, oval, atau bentuk tidak beraturan demikian juga ukurannya, mulai
kurang dari 1μm sampai 150μm tergantung sumber patinya (Meyer 2006). Menurut
Saati (2010), sebaran dan ukuran granula sangat menentukan karakteristik fisik pati
serta aplikasinya dalam produk pangan. Bentuk granula pati ialah semi kristal yang
terdiri dari unit kristal dan unit amorf (Meyer 2006). Granula pati tidak larut dalam
air dingin, tetapi akan mengembang dalam air panas atau hangat (Greenwood
1970). Pengembangan granula pati tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika
tidak melewati suhu gelatinisasi dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible)
jika telah mencapai suhu gelatinisasi. Meyer (2006), menyatakan bahwa
pengembangan granula pati dalam air dingin dapat mencapai 25-30 % dari berat
semula. Pada keadaan tersebut granula pati tidak terlarut dalam air dingin, tetapi
berbentuk suspensi dengan makin naiknya suhu suspensi pati dalam air, maka
pengembangan granula semakin besar. Winarno (1985), menambahkan bahwa
pembengkakan diawali pada bagian amorf atau bagian yang kurang rapat, merusak
ikatan antara molekul yang lemah dan menghidrasinya. Dengan meningkatnya
suhu, air mulai memasuki daerah kristalin, sehingga miselin mulai rusak. Granula
terus mengembang menjadi jaringan yang membengkak, namun masih terikat oleh
misela yang belum rusak. Sebagian amilosa akan keluar dari granula dan melarut
dalam larutan. Viskositas meningkat mencapai maksimum yang berkolerasi dengan
jumlah volume yang membengkak dan menunjukkan hidrasi maksimum.
Berdasarkan pengujian didapatkan hasil suhu gelatinisasi untuk masing-
masing bahan yaitu, pati singkong yaitu 55°c, pati pisang suhunya 85°c, pati ketan
hitam suhunya 85°c, pati jagung suhunya 75°c, pati ubi merah suhunya 75°c, dan
pati ubi ungu suhunya 70°c. Granula pati singkong sudah terpecah sempurna
dibawah suhu 80oC, karena memiliki daya ikat yang lemah. Dari hasil percobaan
dapat diperoleh bahwa suhu gelatinisasi dilakukan pada pati yang berasal dari
beberapa bahan terdapat pada suhu antara 55-85°C. Dalam kasus ini dapat diberi
pernyataan bahwa kandungan amilosa yang lebih rendah menyebabkan granula pati
lebih sedikit menyerap air dan struktur granula patinya lebih kompak, agak lebih
sukar terdispersi dalam air. Akibatnya pengembangan granula terjadi pada suhu
yang lebih tinggi. Peningkatan suhu gelatinisasi ini disebabkan oleh makin
banyaknya daerah amorf yang akan menyebabkan naiknya derajat kristal pati. Hal
lain yang menyebabkan naiknya suhu gelatinisasi adalah barkurangnya kapasitas
pembengkakan sehingga konsistensi pasta juga lebih rendah. Dari hasil praktikum
diketahui suhu gelatinisasi tertinggi adalah pati pisang dan pati ketan hitam yaitu
85°C dan suhu gelatinisasi terendah yaitu pati singkong sebesar 65°C.
Proses gelatinisasi menurut Heiman (1980), dibedakan menjadi tiga fase.
Fase pertama, air secara perlahan-lahan dan bolak-balik berimbibisi ke dalam
granula, fase kedua pada suhu 60-85oC granula akan mengembang dengan cepat
dan akhirnya kehilangan sifat “birefringence” amilosa terdifusi keluar granula.
Gelatinisasi merupakan fenomena pembentukan gel yang diawali dengan
pembengkakan granula pati akibat penyerapan air. Gelatinisasi merupakan
pembengkakan granula pati yang tidak kembali kebentuk semula. Secara umum
perubahan yang terjadi selama proses pemanasan suspensi pati diikuti dengan
pendinginan, adalah : 1). Pengembangan granula yang disebabkan oleh imbibisi air
karma kelemahanya ikatan hydrogen. 2). Hilangnya sifat birefringence atau
kristalinitasnya yang dapat diamati dengan mengunakan mikroskop electron (EM).
3).kejernihan yang meningkat dan 4).kenaikan kekentalan secara cepat. Ke empat
tahapan perubahan tersebut dapat terjadi secara serentak atau bertahap, oleh karma
itu biasanya suhu glatinisasi tidak dinyatakan dalam satu suhu akan tetapi
merupakan suatu kisaran (Winarno 1988).
Perbedaan hasil yaitu suhu gelatinisasi pada jenis pati yang berbeda akan
menghasilkan suhu yang berbeda pula. Hal ini terjadi karena perbedaan kandungan
amilosa dan ukuran pada jenis granula pati. Granula pati yang berukuran kecil lebih
tahan terhadap gelatinisasi dibandingkan dengan granula yang berukuran besar.
Makin tinggi suhu gelatinisasi makin banyak pula molekul amilosa dan amilopektin
yang terlepas dari granulanya untuk membentuk struktur jaringan yang elastis
(Greenwood 1970).

Hasil Uji Kejernihan Pasta

Uji kesembilan yaitu kejernihan Pasta. Kejernihan pasta merupakan salah


satu parameter penting dalam menentukan kualitas pasta pati disamping viskositas
pasta, terutama berdasarkan penampakan visual terkait pada sifat jernih atau buram
dari pasta yang dihasilkan. Pada sebagian jenis makanan, pasta pati diharapkan
berwujud jernih seperti untuk bahan pengisi kue. Namun ada pula makanan yang
menghendaki pasta pati berwujud buram (opaque) seperti pada salad dressing.
Konsentrasi larutan pasta untuk mengukur kejernihan dekstrin, menurut
Reilly (1985) sekitar 30 – 50 %. Beberapa pati dalam bentuk pasta akan mengalami
pengembangan dan perubahan menjadi keruh akibat pengaruh suhu. Kejernihan
pasta memiliki hubungan dengan sifat kelarutan dimana semakin tinggi kelarutan
maka akan semakin tinggi juga tingkat kejernihan pasta yang dihasilkan.
Kejernihan diipengaruhi oleh ISSP (Insoluble Strach Particles) dalam pati. ISSP
adalah partikel – partikel pati yang tersusun atas sejumlah besar amilosa yang saling
bergandengan membentuk rantai lurus (linear). Kandungan ISSP didalam pati slain
dipengaruhi oleh tanaman penghasilnya, dapt terbentuk jika campuran antara α-
amilase dan pati mendapat perlakuan pemanasan secara bertahap.
Pengujian terhadap tingkat kejernihan pasta pati dapat dilakukan dengan
mengukur nilai transmisi cahaya yang dilewatkan melalui sampel pasta pati. Alat
yang digunakan untuk mengukur kejernihan pasta adalah spektrofotometer yang
dinyatakan dengan % transmisi. Di dalam praktikum ini, nilai yang dibaca terhadap
pasta adalah persen transmittan. Transmittan adalah banyaknya cahaya yang
dilewatkan oleh suatu zat. Jadi semakin tinggi nilai persen transmittan yang terbaca
maka, pasta yang diukur semakin jernih.
Berdasarkan pengujian yang dilakukan pada berbagai pati dan berbagai pati
termodifikasi. Hasil yang didapatkan yaitu pati singkong absorbansinya 0,226 ; pati
pisang 0,707; pati ketan hitam absorbansinya 1,814; pati jagung absorbansinya
0,924; pati ubi merah absorbansinya 0,471; dan pati ubi ungu absorbansinya 0,635.
Sedangkan pada produk pati termodifikasi yaitu pati sitrat absorbansinya 0,336;
cold water soluble starch absorbansinya 0,055; pirodekstrin absorbansinya 0,066;
heat-moisture treated starch absorbansinya 0,168; oxidized strach absorbansinya
0,237; dan pada lintnerized starch absorbansinya 0,444. Pengukuran persen
transmisi pasta pati dapat digunakan sebagai indikator perubahan kadar zat warna
yang terdapat dalam pasta pati tersebut. Kejernihan hidrolisat pati berkaitan dengan
kandungan partikel yang larut. Kejernihan hidrolisat pati berkisar 0,9-84,3 %
transmisi yang menunjukkan warna kuning kecoklatan. Warna coklat pada
hidrolisat dapat disebabkan oleh reaksi antara gula pereduksi dengan senyawa
nitrogen (reaksi Maillard). Hasil reaksi maillard gula pentosa menghasilkan
furfural yang berwarna coklat. Hidrolisat berwarna kuning kecoklatan
menunjukkan terdapatnya senyawa furfural dan hidroksimetilfurfural (Jacobs
1994). Hasil pengamatan praktikum menunjukkan hasil persen transmittan yang
tertinggi adalah pati jagung yaitu 94,4%, sedangkan persen transmittan yang paling
rendah dimiliki oleh pirodekstrin yaitu sebesar 5,5%. Semakin tinggi nilai %
transmisi, maka semakin kecil kadar zat warna yang terdapat dalam larutan pati
tersebut dengan kata lain tingkat kejernihan pastanya makin tinggi pula. Artinya,
pati jagung memiliki kandungan ISSP yang rendah atau memiliki tingkat kejernihan
pasta yang paling tinggi. ISSP sendiri merupakan partikel-partikel yang tersusun
atas sejumlah besar amilosa yang saling bergandengan membentuk rantai lurus
(linear). ISSP merupakan partikel yang larut dalam larutan pasta sehingga dengan
demikian mempengaruhi kejernihan dari pasta, ini merupakan faktor yang
mempengaruhi kejernihan pasta. Kandungan ISSP di dalam pati selain dipengaruhi
oleh jenis tanaman penghasilnya, dapat terbentuk jika campuran antara α-amilase
dan pati mendapat perlakuan pemanasan secara bertahap.

DAFTAR PUSTAKA

SIMPULAN

Anda mungkin juga menyukai