Anda di halaman 1dari 4

Penatalaksanaan Fraktur

Menurut Brunner & Suddarth (2005) selama pengkajian primer dan resusitasi, sangat penting
untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma muskuloskeletal. Perdarahan dari
patah tulang panjang dapat menjadi penyebab terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi
dengan seksama dan lengkap. Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah
kerusakan soft tissue pada area yang cedera.
Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan pengembalian fungsi serta
kekuatan normal dengan rehabilitasi.
a. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan
rotasi anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi tergantung
pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
1) Reduksi tertutup
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang
kembali keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual
2) Reduksi terbuka
Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan
bedah dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, plat
sekrew digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya
sampai penyembuhan solid terjadi.
3) Traksi
Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner &
Suddarth (2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk
meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta mengurangi
deformitas. Jenis – jenis traksi meliputi:
a) Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
b) Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan
menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan pada traksi skeletal 7
kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai efek traksi.
b. Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Fiksasi eksterna dapat menggunakan
pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin dan teknik gips. Fiksator interna dengan
implant logam.
c. Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian
fungsi dan harga diri.

Komplikasi
1) Infeksi
Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal fiksasi
yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak steril
(Adams, 1992).
2) Delayed union
Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang tetapi
terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya peredaran darah
ke fragmen (Adams, 1992).
3) Non union
Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5 bulan mungkin
disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan pergerakan pada tempat fraktur
(Garrison, 1996).
4) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi suplay
darah (Apley, 1995).
5) Mal union
Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti adanya
angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan (Adams, 1992). Komplikasi yang
berhubungan dengan tindakan operasi yaitu kerusakan. jaringan dan pembuluh darah
pada daerah yang dioperasi karena incisi. Pada luka operasi yang tidak steril akan terjadi
infeksi yang dapat menyebabkan proses penyambungan tulang dan penyembuhan tulang
terlambat.

Diagnosis Fraktur
Dalam mendiagnosis fraktur yang dapat dilakukan pertama kali adalah anamnesis baik
dari pasien maupun pengantar pasien. Informasi yang digali adalah mekanisme cedera, apakah
pasien mengalami cedera atau fraktur sebelumnya. Pasien dengan fraktur tibia mungkin akan
mengeluh rasa sakit, bengkak dan ketidakmampuan untuk berjalan atau bergerak, sedangkan
pada fraktur fibula pasien kemungkinan mengeluhkan hal yang sama kecuali pasien mungkin
masih mampu bergerak (Norvell,2017).
Selain anamnesis, pemeriksaan fisik juga memiliki peranan yang penting. Pemeriksaan
fisik yang dibutuhkan dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu look, feel, move. Yang pertama
look atau inspeksi di mana kita memperhatikan penampakan dari cedera, apakah ada fraktur
terbuka (tulang terlihat kontak dengan udara luar). Apakah terlihat deformitas dari ekstremitas
tubuh, hematoma, pembengkakan dan lain-lain. Hal kedua yang harus diperhatikan adalah feel
atau palpasi. Kita harus mempalpasi seluruh ekstremitis dari proksimal hingga distal termasuk
sendi di proksimal maupun distal dari cedera untuk menilai area rasa sakit, efusi, maupun
krepitasi. Seringkali akan ditemukan cedera lain yang terjadi bersamaan dengan cedera utama.
Poin ketiga yang harus dinilai adalah move. Penilaian dilakukan untuk mengetahui ROM (Range
of Motion) (Buckley, 2018).. Seringkali pemeriksaan ROM tidak bisa dilakukan karena rasa sakit
yang dirasakan oleh pasien tetapi hal ini harus tetap didokumentasikan (Patel, 2018).
Pemeriksaan ekstremitas juga harus melingkupi vaskularitas dari ekstrimitas termasuk
warna, suhu, perfusi, perabaan denyut nadi, capillary return (normalnya < 3 detik) dan pulse
oximetry. Pemeriksaan neurologi yang detail juga harus mendokumentasikan fungsi sensoris dan
motoris (Patel, 2018).
Tegantung dari kondisi pasien, pemeriksaan foto thorax dapat dilakukan. Dalam pemeriksaaan
radiologi untuk cedera dan fraktur diberlakukan rule of two yaitu:
a. Dua sudut pandang
b. Dua Sendi
c. Dua ekstrimitas
d. Dua waktu (Buckley, 2018).

Buckley R dkk. General Principle of Fracture Workup. Diakses di


http://emedicine.medscape.com/article/1270717-workup . Diakses tanggal 11 Februari
2012. Update terakhir 15 anuari 2010.

Patel M dkk. Open Tibial Fracture. Diakses di


http://emedicine.medscape.com/article/1249761-overview . Tanggal akses 11 Februari
2012. Update Terakhir 23 Mei 2011.

Norvell J G, Kulkarni R. Tibial and Fibular Fracture. Diakses di


http://emedicine.medscape.com/article/826304-overview . tanggal akses 11 Februari
2012. Update Terakhir 16 Maret 2011

Adams, C. J, 1992; Outline of Fracture Including Joint Injuries; Tenth edition,


Churchill Livingstone.
Appley, G. A and Solomon, Louis, 1995; Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley;
Edisi ketujuh, Widya Medika, Jakarta.
Garrison, S. J, 1996; Dasar-dasar Terapi Latihan dan Rehabilitasi Fisik;
Terjemahan Hipocrates, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai