Anda di halaman 1dari 24

Laporan Kasus

Infark Miokard Akut Dengan Elevasi Segmen ST Pada Dinding Inferior

(ST Segment Elevation Acute Myocardial Infarction Inferior Wall)

Penyusun:

dr. Rifrita Fransisca Halim

Pembimbing:

dr. Giselle W. R. Tambajong

KESATUAN DAERAH MILITER XIII / MERDEKA


RUMAH SAKIT ANGKATAN DARAT ROBERT WOLTER MONGISIDI
MANADO
2018

1
BAB I

PENDAHULUAN

Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi. Sindrom
koroner akut (SKA) atau Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah kumpulan gejala klinis
akibat tersumbatnya arteri koroner, yang menyebabkan matinya sel-sel otot jantung pada
daerah vaskularisasi arteri koroner tersebut.1 Sindrom koroner akut (SKA) merupakan suatu
kegawatan kardiovaskular yang berpotensi fatal. Diagnosis harus ditegakkan secara cepat dan
tepat untuk mencegah mortalitas dan morbiditas, meliputi anamnesis nyeri dada tipikal,
pemeriksaan EKG, dan pemeriksaan penanda jantung.2

Infark miokard adalah suatu keadaan matinya sel dan jaringan otot jantung akibat
tersumbatnya arteri koroner. Arteri koroner memiliki dua cabang utama, yaitu right coronary
artery (RCA) dan left coronary artery (LCA). Selanjutnya LCA bercabang menjadi left
anterior descending (LAD) dan left circumflex (LCx).3 Pada populasi umum, atrioventricular
(AV) node dan SA node sebagian besar mendapat vaskularisasi dari RCA yaitu masing-masing
90% dan 60%; selain itu ventrikel kanan, sepertiga septum interventricular posterior, bagian
inferior ventrikel kiri dan sebagian posterior ventrikel kiri mendapat vaskularisasi dari RCA.
Penyumbatan RCA umumnya menimbulkan manifestasi klinis berupa sinus bradikardi, AV
block, infark ventrikel kanan, serta infark posteroinferior ventrikel kiri.4

Hal utama dalam mendiagnosis infark miokard meliputi anamnesis, pemeriksaan EKG
12 lead, dan pemeriksaan biomarker jantung. Tatalaksana infark miokard umum dan cepat
meliputi suplementasi oksigen, acetylsalicylic acid, nitroglyserin, morphine, dengan
clopidogrel atau disingkat menjadi Monaco. Terapi reperfusi definitif baik dengan fibrinolysis
atau dengan terapi invasif percutaneous coronary intervention (PCI).

2
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. JL
Agama : Kristen
Umur : 64 tahun
Alamat : Rumengkor, Manado
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Minahasa
Tanggal masuk : 01 Januari 2018
No. RM : 08-94-46

II. ANAMNESIS
a. Keluhan utama: Nyeri dada kiri sejak 5 jam SMRS
b. Riwayat penyakit sekarang:
Pasien datang ke IGD RSAD Robert Wolter Mongisidi Manado dengan
keluhan nyeri dada kiri sejak 5 jam SMRS. Nyeri pada awalnya dirasakan saat
pasien baru bangun tidur. Nyeri dirasakan seperti tertindih beban berat. Nyeri
dirasakan menjalar ke punggung dan lengan kiri. Nyeri tidak menghilang saat
beristirahat. Nyeri dada disertai mual dan sesak napas. Keringat dingin,
muntah, jantung berdebar, dan pingsan tidak ada.
c. Riwayat penyakit dahulu:
Riwayat nyeri dada sebelumnya pernah dialami tetapi hilang dengan
sendirinya dalam beberapa jam. Riwayat mudah lelah, sesak napas, terbangun
tengah malam karena sesak, ataupun kaki bengkak disangkal. Riwayat
penyakit hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, asma, alergi, dan
dislipidemia disangkal.
d. Riwayat pengobatan:
Pasien belum pernah berobat dan belum mengonsumsi obat apapun.
e. Riwayat penyakit keluarga:
Terdapat riwayat hipertensi dalam keluarga. Riwayat penyakit jantung dalam
keluarga disangkal.

3
f. Riwayat kebiasaan:

Pasien adalah seorang perokok, selama ±30 tahun. Dalam sehari pasien

merokok ½ - 1 bungkus rokok. Pasien suka mengkonsumsi makanan berlemak.

III. PEMERIKSAAN FISIK


a. Status generalis
 Keadaan umum : tampak sakit sedang
 Kesadaran : compos mentis
 Tekanan Darah : 95/60 mmHg
 Nadi : 88 x/menit, reguler, kuat angkat
 Frekuensi Nafas : 20 x/ menit, SpO2 98%.
 Suhu : 37,00 C
 Status gizi : TB ±160, BB ±54 kg

Kepala : Normocephal
Mata : Conjuctiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
THT : Tonsil tidak membesar, pharinx hiperemis (-)
Leher : Pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thorax :
Cor :
o Inspeksi : IC tidak tampak
o Palpasi : IC tidak kuat angkat
o Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
o Auskultas: Bunyi jantung I-II intensitas normal, reguler, murmur (-), gallop (-)
Pulmo :
o Inspeksi : Pengembangan dada kanan = kiri
o Palpasi : Fremitus raba dada kanan = kiri
o Perkusi : Sonor/Sonor
o Auskultasi : Suara dasar vesikuler (+/+), Ronki (-/-), wheezing (-/-)
Abdomen :
o Inspeksi : Dinding perut = dinding dada
o Palpasi : Supel, nyeri tekan (-), hepar lien tidak membesar
o Perkusi : Tympani
o Auskultasi : Peristaltik (+) normal
Ekstremitas : Edema (-), CRT < 2 detik

4
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

5
Hasil EKG: Irama bukan sinus, heart rate 96 x/menit, iregular, normoaxis, gelombang
P dan interval PR tidak dapat dinilai, kompleks QRS poor R wave progression di
sadapan V1-V4, elevasi ST di sadapan II, III, aVF, resiprokal depresi ST di sadapan I,
aVL, V2, V3, gelombang T terbalik di sadapan II, III, aVF.

Interpretasi: Atrial fibrilasi normoventrikular respons, ST elevasi di sadapan II, III,


aVF, resiprokal ST depresi di sadapan I, aVL, V2, V3, dan poor R wave progression
di sadapan V1-V4.

Kesan:
1. Atrial fibrilasi normoventrikular respons,
2. STEMI inferior posterior,
3. Old myocardial infarction anteroseptal

V. DIAGNOSIS KERJA
 Infark miokard dinding inferior akut dengan elevasi segmen ST

VI. RESUME
Seorang pasien laki-laki berusia 64 tahun datang ke IGD RSAD Robert Wolter
Mongisidi Manado dengan keluhan nyeri dada kiri sejak 5 jam smrs. Nyeri pada
awalnya dirasakan saat pasien baru bangun tidur. Nyeri dirasakan seperti tertindih
beban berat. Nyeri dirasakan menjalar ke punggung dan lengan kiri. Nyeri tidak
menghilang saat beristirahat. Nyeri dada disertai mual dan sesak napas. Riwayat
nyeri dada sebelumnya pernah dialami tetapi hilang dengan sendirinya dalam
beberapa jam. Riwayat hipertensi dalam keluarga. Pasien adalah seorang perokok,

selama ±30 tahun. Dalam sehari pasien merokok ½ - 1 bungkus rokok. Pasien

suka mengkonsumsi makanan berlemak.


Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang,
kesadaran compos mentis, tekanan darah 95/60 mmHg, nadi 88 x/menit, respirasi
20 x/menit, SpO2 98%, suhu 37,00C. Pada pemeriksaan penunjang EKG tampak
ST elevasi di lead II, III, aVF.

6
VII. TATALAKSANA
- O2 2-4 lpm via nasal kanul
- IVFD NS 0,9% 20 gtt/menit
- Loading aspilet 320 mg
- Loading CPG 300 mg
- Atorvastatin 1 x 40 mg
- Lansoprazole 2 x 1 tab
- Rujuk untuk pimary PCI di RSUP Prof. DR. R.D. Kandou Malalayang

7
BAB III

PEMBAHASAN

I. DEFINISI
Infark Miokard Akut (IMA) merupakan gangguan aliran darah ke jantung
yang menyebabkan matinya sel otot jantung. Gangguan aliran darah dapat
diakibatkan penurunan secara tiba-tiba aliran darah arteri koronaria ke jantung atau
terjadinya peningkatan kebutuhan oksigen secara tiba-tiba tanpa perfusi arteri
koronaria yang cukup. Aliran darah di pembuluh darah terhenti setelah terjadi
sumbatan koroner akut, kecuali sejumlah kecil aliran kolateral dari pembuluh
darah di sekitarnya. Daerah otot di sekitarnya yang sama sekali tidak mendapat
aliran darah atau alirannya sangat sedikit sehingga tidak dapat mempertahankan
fungsi otot jantung, dikatakan mengalami infark.5
Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial
Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri
atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST.
Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner
menurun secara mendadak akibat oklusi total trombus pada plak aterosklerotik
yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada
lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti
merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid.6

II. Epidemiologi
Data dari WHO tahun 2004 menyatakan penyakit infark miokard akut
merupakan penyebab kematian utama di dunia. Terhitung sebanyak 7.200.000
(12,2%) kematian terjadi akibat penyakit ini di dunia. Satu juta orang di Amerika
Serikat diperkirakan menderita infark miokard akut tiap tahunnya dan 300.000
orang meninggal karena infark miokard akut sebelum sampai ke rumah sakit.
Jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap dan rawat jalan di
rumah sakit di Indonesia mencapai 239.548 jiwa. Case Fatality Rate (CFR)
tertinggi terjadi pada infark miokard akut (13,49%) dan kemudian diikuti oleh
gagal jantung (13,42%) dan penyakit jantung lainnya (13,37%). Tahun 2013
kurang lebih 478.000 pasien di Indonesia didiagnosa Penyakit Jantung Koroner

8
(PJK). Sedangkan saat ini, prevalensi STEMI meningkat dari 25% ke 40% dari
presentasi semua kejadian infark miokard.

III. Etiologi dan Faktor Resiko


Faktor resiko biologis infark miokard yang tidak dapat diubah, yaitu usia,
jenis kelamin, ras, dan riwayat keluarga. Resiko aterosklerosis koroner meningkat
seiring bertambahnya usia. Penyakit yang serius jarang terjadi sebelum usia 40
tahun. Faktor resiko lain masih dapat diubah, sehingga berpotensi dapat
memperlambat proses aterogenik. Faktor- faktor tersebut adalah abnormalitas
kadar serum lipid, hipertensi, merokok, diabetes, obesitas, faktor psikososial,
konsumsi buah-buahan, diet dan alkohol, dan aktivitas fisik. Wanita mengalami
kejadian infark miokard pertama kali 9 tahun lebih lama daripada laki-laki.
Perbedaan onset infark miokard pertama ini diperkirakan dari berbagai faktor
resiko tinggi yang mulai muncul pada wanita dan laki-laki ketika berusia muda.
Wanita agaknya relatif kebal terhadap penyakit ini sampai menopause, dan
kemudian menjadi sama rentannya seperti pria. Hal diduga karena adanya efek
perlindungan estrogen.6
Abnormalitas kadar lipid serum yang merupakan faktor resiko adalah
hiperlipidemia. Hiperlipidemia adalah peningkatan kadar kolesterol atau
trigliserida serum di atas batas normal. The National Cholesterol Education
Program (NCEP) menemukan kolesterol LDL sebagai faktor penyebab penyakit
jantung koroner. The Coronary Primary Prevention Trial (CPPT) memperlihatkan
bahwa penurunan kadar kolesterol juga menurunkan mortalitas akibat infark
miokard.6
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah sistolik sedikitnya 140 mmHg
atau tekanan diastolik sedikitnya 90 mmHg. Peningkatan tekanan darah sistemik
meningkatkan resistensi vaskuler terhadap pemompaan darah dari ventrikel kiri.
Akibatnya kerja jantung bertambah, sehingga ventrikel kiri hipertrofi untuk
meningkatkan kekuatan pompa. Bila proses aterosklerosis terjadi, maka
penyediaan oksigen untuk miokard berkurang. Tingginya kebutuhan oksigen
karena hipertrofi jaringan tidak sesuai dengan rendahnya kadar oksigen yang
tersedia.6

9
Merokok meningkatkan resiko terkena penyakit jantung kororner sebesar
50%. Seorang perokok pasif mempunyai resiko terkena infark miokard. Di Inggris,
sekitar 300.000 kematian karena penyakit kardiovaskuler berhubungan dengan
rokok dan konsumsi tembakau dihubungkan dengan kejadian miokard infark akut
prematur di daerah Asia Selatan.6
Obesitas meningkatkan resiko terkena penyakit jantung koroner. Sekitar
25-49% penyakit jantung koroner di negara berkembang berhubungan dengan
peningkatan indeks masa tubuh (IMT). Overweight didefinisikan sebagai IMT >
25-30 kg/m dan obesitas dengan IMT > 30 kg/m2. Obesitas sentral adalah obesitas
dengan kelebihan lemak berada di abdomen. Biasanya keadaan ini juga
berhubungan dengan kelainan metabolik seperti peninggian kadar trigliserida,
penurunan HDL, peningkatan tekanan darah, inflamasi sistemik, resistensi insulin
an diabetes melitus tipe II.6
Faktor psikososial seperti peningkatan stres kerja, rendahnya dukungan
sosial, personalitas yang tidak simpatik, ansietas dan depresi secara konsisten
meningkatkan resiko terkena aterosklerosis. Resiko terkena infark miokard
meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang
vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau
dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark
miokard. Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil
per hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit.6

IV. Klasifikasi
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
elektrokardiogram (EKG), dan pemeriksaan marka jantung, Sindrom Koroner
Akut dibagi menjadi7:
1. Infark miokard dengan elevasi segmen ST (STEMI: ST segment elevation
myocardial infarction)
2. Infark miokard dengan non elevasi segmen ST (NSTEMI: non ST segment
elevation myocardial infarction)
3. Angina pektoris tidak stabil (UAP: Unstable angina pectoris)
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan
indikator kejadian oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini
memerlukan tindakan revaskularisasi untuk mengembalikan aliran darah dan

10
reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa menggunakan agen
fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer. Diagnosis
STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pectoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan hasil peningkatan marka jantung.7
Diagnosis NSTEMI dan angina pectoris tidak stabil ditegakkan jika terdapat
keluhan angina pektoris akut tanpa elevasi segmen ST yang persisten di dua
sadapan yang bersebelahan. Rekaman EKG saat presentasi dapat berupa depresi
segmen ST, inversi gelombang T, gelombang T yang datar, gelombang T pseudo-
normalization, atau bahkan tanpa perubahan. Sedangkan, angina pektoris tidak
stabil dan NSTEMI dibedakan berdasarkan kejadian infark miokard yang ditandai
dengan peningkatan marka jantung. Marka jantung yang lazim digunakan adalah
Troponin I/T atau CK-MB. Bila hasil pemeriksaan biokimia marka jantung terjadi
peningkatan bermakna, maka diagnosis menjadi Infark Miokard Akut Segmen ST
Non Elevasi (Non ST-Elevation Myocardial Infarction, NSTEMI). Pada angina
pektoris tidak stabil marka jantung tidak meningkat secara bermakna. Pada
sindrom koroner akut, nilai ambang untuk peningkatan CK-MB yang abnormal
adalah beberapa unit melebihi nilai normal atas (upper limits of normal, ULN).
Jika pemeriksaan EKG awal tidak menunjukkan kelainan (normal) atau
menunjukkan kelainan yang nondiagnostik sementara angina masih berlangsung,
maka pemeriksaan diulang 10-20 menit kemudian. Jika ulangan EKG tetap
menunjukkan gambaran nondiagnostik sementara keluhan angina sangat sugestif
SKA, maka pasien dipantau selama 12-24 jam. EKG diulang tiap 6 jam dan setiap
terjadi angina berulang.7

V. Patofisiologi
Kejadian infark miokard diawali dengan terbentuknya aterosklerosis yang
kemudian ruptur dan menyumbat pembuluh darah. Penyakit aterosklerosis ditandai
dengan formasi bertahap fatty plaque di dalam dindin garteri. Lama-kelamaan plak
ini terus tumbuh ke dalam lumen, sehinggadiameter lumen menyempit.
Penyempitan lumen mengganggu aliran darah kedistal dari tempat penyumbatan
terjadi. Faktor-faktor seperti usia, genetik, diet, merokok, diabetes mellitustipe II,
hipertensi, radikal bebas dan inflamasi menyebabkan disfungsi dan aktivasi
endotelial. Pemaparan terhadap faktor-faktor di atas menimbulkan injury bagi sel

11
endotel. Akibat disfungsi endotel, sel-sel tidak dapat lagi memproduksi molekul-
molekul vasoaktif seperti NO, yang berkerja sebagai vasodilator, anti-trombotik
dan anti-proliferasi. Sebaliknya, disfungsi endotel justru meningkatkan produksi
vasokonstriktor, endotelin-1,dan angiotensin II yang berperan dalam migrasi dan
pertumbuhan sel. Leukosit yang bersirkulasi menempel pada sel endotel
teraktivasi. Kemudian leukosit bermigrasi ke sub endotel dan berubah menjadi
makrofag. Di sini makrofag berperan sebagai pembersih dan bekerja
mengeliminasi kolesterol LDL. Sel makrofag yang terpajan dengan kolesterol
LDL teroksidasi disebut sel busa (foam cell). Faktor pertumbuhan dan
trombositmenyebabkan migrasi otot polos dari tunika media ke dalam tunika
intima dan proliferasi matriks. Proses ini mengubah bercak lemak menjadi ateroma
matur. Lapisan fibrosa menutupi ateroma matur, membatasi lesi dari
lumen pembuluh darah. Perlekatan trombosit ke tepian ateroma yang kasar
menyebabkan terbentuknya trombosis. Ulserasi atau ruptur mendadak lapisan
fibrosa atau perdarahan yang terjadi dalam ateroma menyebabkan oklusi arteri.8
Penyempitan arteri koroner segmental banyak disebabkan oleh
formasi plak. Kejadian tersebut secara temporer dapat memperburuk keadaan
obstruksi, menurunkan aliran darah koroner, dan menyebabkan manifestasi klinis
infark miokard. Lokasi obstruksi berpengaruh terhadap kuantitas iskemia miokard
dan keparahan manifestasi klinis penyakit. Oleh sebab itu, obstruksi kritis pada
arteri koroner kiri atau arteri koroner desendens kiri berbahaya. Pada saat episode
perfusi yang inadekuat, kadar oksigen ke jaringan miokard menurun dan dapat
menyebabkan gangguan dalam fungsi mekanis, biokimia dan elektrikal miokard.
Perfusi yang buruk ke subendokard jantung menyebabkan iskemia yang lebih
berbahaya. Perkembangan cepat iskemia yang disebabkan oklusi total atau subtotal
arteri koroner berhubungan dengan kegagalan otot jantung berkontraksi dan
berelaksasi. Selama kejadian iskemia, terjadi beragam abnormalitas metabolisme,
fungsi dan struktur sel. Miokard normal memetabolisme asam lemak dan glukosa
menjadi karbon dioksida dan air. Akibat kadar oksigen yang berkurang, asam
lemak tidak dapat dioksidasi, glukosa diubah menjadi asamlaktat dan pH intrasel
menurun. Keadaaan ini mengganggu stabilitas membran sel. Gangguan fungsi
membran sel menyebabkan kebocoran kanal K+ dan ambilan Na+ oleh monosit.
Keparahan dan durasi dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen menentukan apakah kerusakan miokard yang terjadi reversibel (<20

12
menit) atau ireversibel (>20 menit). Iskemia yang ireversibel berakhir pada infark
miokard.8
Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri
koroner, maka terjadi infark miokard tipe elevasi segmen ST. Perkembangan
perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI karena dalam rentang
waktu tersebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral. Dengan kata lain
STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat cepat. Non STEMI merupakan
tipe infark miokard tanpa elevasi segmen ST yang disebabkan oleh obstruksi
koroner akibat erosi dan ruptur plak. Erosi da nruptur plak ateroma menimbulkan
ketidakseimbangan suplai dan kebutuhan oksigen. Pada Non STEMI, trombus
yang terbentuk biasanya tidak menyebabkan oklusi menyeluruh lumen arteri
koroner.8
Infark miokard dapat bersifat transmural dan subendokardial
(nontransmural). Infark miokard transmural disebabkan oleh oklusi arteri koroner
yang terjadi cepat yaitu dalam beberapa jam hingga minimal 6-8 jam. Semua otot
jantung yang terlibat mengalami nekrosis dalam waktu yang bersamaan. Infark
miokard subendokardial terjadi hanya di sebagian miokard dan terdiri dari bagian
nekrosis yang telah terjadi pada waktu berbeda-beda.8

Gambar 1. Mekanisme infark miokard

13
VI. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala umum infark miokard adalah nyeri dada retrosternal. Pasien
sering mengeluh rasa ditekan atau dihimpit, yang lebih dominan dibanding rasa
nyeri. Keluhan-keluhan yang mengarah pada infark miokard antara lain:
 Rasa tekanan yang tidak nyaman, rasa penuh, diremas, atau nyeri dada
retrosternal dalam beberapa menit, sehingga penderita memegang dadanya
atau yang lebih dikenal sebagai Levine sign, yang merupakan tanda khas
untuk penderita pria.1
 Nyeri yang menjalar ke bahu, leher, satu atau kedua tangan atau rahang
bawah, ke punggung.9
 Nyeri dada yang disertai rasa sempoyongan, mau jatuh, berkeringat, atau
mual muntah (khas untuk infark miokard inferior).1
 Sesak napas yang tidak dapat dijelaskan, yang dapat terjadi dengan atau tanpa
nyeri dada; seperti pada penderita dengan riwayat diabetes atau hipertensi
yang mengeluh nyeri perut yang menyerupai keluhan penderita batu empedu.1
Hal-hal lain yang dapat menyerupai nyeri dada akibat infark miokard:
Diseksi aorta, emboli paru akut, efusi pericardial akut dengan tamponade jantung,
dan tension pneumothorax.9

VII. Diagnosis
Diagnosis IMA dengan ST menurut European Society of
Cadiology/ACFF/AHA/World Heat Federation Task Force for the Universal
Definition of Myocardial Infarction ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada
yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST baru pada titik J ≥ 2 mm pada
pria atau ≥ 1,5 mm pada wanita, minimal pada 2 sandapan V2-V3 dan atau ≥ 1
mm pada sandapan dada yang lain atau sandapan ekstremitas. LBBB baru atau
diduga baru dipertimbangkan sebagai STEMI equivalent. Perubahan gelombang T
hiperakut jarang dijumpai pada fase paling awal STEMI, sebelum berkembang
menjadi elevasi ST. Pemeriksaan enzim jantung terutama toponin T yang
meningkat, memperkuat diagnosis, namun keputusan memberikan terapi tak perlu
menunggu hasi pemeriksaan enzim.

14
a. Anamnesis
Pasien yang datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis
secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau luar jantung.
Selanjutnya perlu dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan.
Perlu dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya, serta
faktor-faktor risiko antara lain hipertensi, DM, dislipidemia, merokok, stres, serta
riwayat sakit jantung koroner pada keluarga. Pada hampir setengah kasus, terdapat
faktor pencetus sebelum terjadi STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stres emosi
atau penyakit medis atau bedah. Walaupun STEMI dapat terjadi sepanjang hari
atau malam, variasi sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam
setelah bangun tidur.
Nyeri dada. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pasien
IMA. Sifat nyeri dada angina :
 Lokasi: sub/retrosternal, prekordial
 Sifat: rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, ditusuk,
diperas, dan dipelintir
 Penjalaran: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi,
punggung/interskapula, perut, dan dapat juga ke lengan kanan
 Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau nitrat
 Faktor pencetus: latihan fisik, stres emosi, udara dingin dan sesudah makan
 Gejala penyerta: mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas.
b. Pemeriksaan fisis
Sebagian besar pasien cemas dan gelisah. Sering kali ekstremitas pucat disertai
keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat
dicurigai kuat adanya STEMI. Seperempat pasien infark anterior memiliki manifestasi
hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan/atau hipertensi) dan hampir setengah
pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatis (bradikardia dan/atau
hipotensi).
Tanda fisis lain pada disfungsi ventrikular adalah S4 dan S3 gallop, penurunan
intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat
ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena
disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai
38 0C dapat dijumpai pada minggu pertama pasca STEMI.

15
c. Elektrokardiografi (EKG)
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan terapi
karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat mengidentifikasi pasien
yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik
untuk STEMI tapi pasien tetap simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG
serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinu
harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada
pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan. Sebagian besar pasien dengan presentasi
awal STEMI mengalami evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya
didiagnosis sebagai infark miokard gelombang Q. sebagian kecil menetap menjadi
infark miokard non-gelombang Q. jika obstruksi trombus tidak total, obstruksi bersifat
sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen
ST. pasien tersebut biasanya mengalami angina tidak stabil atau non-STEMI.

Tabel 1. Lokasi Infark Miokard


Anatomi Lead dengan EKG abnormal Arteri koroner yg terlibat
Inferior II, III, Avf RCA
Anteroseptal V1, V2 LAD
Anteroapical V3, V4 LAD (distal)
Anterolateral V5, V6, I, Avl LCX
Posterior V1, V2 (gel. R tinggi, bukan Q) RCA

Gambar 2. Evolusi EKG pada STEMI

16
d. Laboratorium
Petanda (biomarker) kerusakan jantung. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah
creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific troponin (cTn) T atau cTn I dan
dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien
STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan
diikuti peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi
reperfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung pemeriksaan biomarker.

Gambar 3. Biomarker jantung


Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal menunjukkan ada
nekrosis jantung (infark miokard).
 CKMB: meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak
dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4 hari. Operasi jantung, miokarditis
dan kardioversi elektrik dapat meningkatkan CKMB
 cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila
infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat
dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari
 Pemeriksaan lainnya: mioglobin, creatinine kinase (CK) dan lactic dehidrogenase
(LDH)
Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat
terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari.
Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL.

17
Gambar 4. Alur diagnosis STEMI

18
VIII. Tatalaksana
Tujuan utama penatalaksanaan IMA adalah mendiagnosis secara cepat,
menghilangkan nyeri dada, menilai dan mengimplementasikan strategi reperfusi
yang mungkin dilakukan, memberi antithrombotik dan anti platelet, serta memberi
obat penunjang. Terdapat beberapa pedoman (guideline) penatalaksanaan STEMI
yaitu dari ACC/AHA dan ESC, tetapi perlu disesuaikan dengan kondisi sarana /
fasilitas di masing-masing tempat dan kemampuan ahli yang ada.
Tatalaksana awal di ruang emergensi (10 menit pertama setelah pasien datang):
 Tirah baring (bed rest total)
 Oksigen 4 L/menit (saturasi O2 dipertahankan > 90%)
 Aspirin 160-325 mg (dikunyah) dilanjutkan dengan 75-162 mg per hari
 Nitrat 5 mg sublingual (dapat diulang 3 kali) lalu drips bila masih nyeri
 Clopidogrel 300 mg per oral (jika belum pernah diberikan)
 Morfin IV bila nyeri tidak teratasi dengan nitrat
 Tentukan pilihan revaskularisasi (memperbaiki aliran darah koroner) dan
reperfusi miokard harus dilakukan pada pasien STEMI akut dengan presentasi
< 12 jam.

Tatalaksana umum10
Oksigen (sungkup atau nasal canule) harus diberikan pada pasien yang sesak
nafas, hipoksik, atau yang juga menderita gagal jantung, serta pada pasien yang
saturasi oksigennya < 90%. Pertanyaan mengenai apakah oksigen juga harus diberikan
kepada pasien tanpa sesak nafas atau gagal jantung masih belum jelas. Monitoring
saturasi oksigen dapat sangat membantu untuk memutuskan apakah pasien
membutuhkan bantuan oksigen atau ventilator. Semua pasien STEMI tanpa
komplikasi dapat diberikan oksigen selama 6 jam pertama.
Mengurangi nyeri sangat penting karena nyeri berhubungan dengan aktivasi
simpatik yang menyebabkan vasokonstriksi dan peningkatan beban kerja jantung.
Titrasi opioid IV (seperti morfin) merupakan obat yang paling sering digunakan.
Morfin dapat diberikan dengan dosis 2-4 mg dan dapat diulang dengan interval 5-15
menit sampai dosis total 20 mg. Tidak boleh diberikan dalam bentuk injeksi IM. Efek
sampingnya dapat berupa mual dan muntah, hipotensi dengan bradikardi, dan depresi
pernafasan. Obat antiemetik dapat diberikan bersamaan dengan opioid untuk
mengurangi mual.

19
Percutaneous Coronary Intervention10
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan pada beberapa jam pertama infark miokard akut.
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan memiliki outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih
baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien <
75 tahun), resiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2
atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat
fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya
terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya pada beberapa rumah sakit.

Fibrinolitik10
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to
needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah
merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat
fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase
(TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi
plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin. Fibrinolitik dianggap berhasil jika
terdapat resolusi nyeri dada dan penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit
pemberian fibrinolitik. Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga
pada pasien pasca CABG yang datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai
adalah PCI.
Kontraindikasi terapi fibrinolitik:
A. Kontraindikasi absolut
1. Setiap riwayat perdarahan intraserebral
2. Terdapat lesi vaskular serebral struktural (contoh : malformasi AV)
3. Terdapat neoplasma ganas intrakranial
4. Stroke iskemik dalam 3 bulan kecuali stroke iskemik akut dalam 3 jam
5. Dicurigai adanya diseksi aorta
6. Perdarahan aktif atau diastasis berdarah (kecuali menstruasi)
7. Trauma muka atau kepala tertutup yang bermakna dalam 3 bulan

20
B. Kontraindikasi relatif
1. Riwayat hipertensi kronik berat, tak terkendali
2. Hipertensi berat tak terkendali saat masuk (TDS > 180 mmHg atau TDD > 110
mmHg)
3. Riwayat stroke iskemik sebelumnya > 3 bulan, demensia, atau diketahui ada
patologi intrakranial yang tidak termasuk kontraindikasi
4. Resusitasi jantung paru traumatik atau lama (> 10menit) atau operasi besar (< 3
minggu)
5. Perdarahan internal baru dalam 2-4 minggu
6. Pungsi vaskular yang tak terkompresi
7. Untuk streptase / anisreplase : riwayat penggunaan > 5 hari sebelumnya atau
reaksi alergi sebelumnya terhadap obat ini
8. Kehamilan
9. Ulkus peptikum aktif

Gambar 5. Pendekatan manajemen STEMI


21
IX. Komplikasi6
1. Disfungsi Ventrikular
Ventrikel kiri mengalami perubahan serial dalam bentuk ukuran, dan ketebalan
pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodelling
ventricular yang sering mendahului berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam
hitungan bulan atau tahun pasca infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan
yang terjadi dikaitkan dengan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca
infark pada apeks ventrikel kiri yang mengakibatkan penurunan hemodinamik yang
nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk.
2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di
rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi dengan
tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya.
3. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik ditemukan pada saat masuk (10%), sedangkan 90% terjadi
selama perawatan. Biasanya pasien yang berkembang menjadi syok kardiogenik
mempunyai penyakit arteri koroner multivesel.
4. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan menyebabkan tanda gagal ventrikel kanan yang berat
(distensi vena jugularis, tanda Kussmaul, hepatomegali) dengan atau tanpa hipotensi.
5. Aritmia paska STEMI
Mekanisme aritmia terkait infark mencakup ketidakseimbangan sistem saraf
autonom, gangguan elektrolit, iskemi, dan perlambatan konduksi di zona iskemi
miokard.
6. Ekstrasistol ventrikel
Depolarisasi prematur ventrikel sporadis terjadi pada hampir semua pasien
STEMI dan tidak memerlukan terapi. Obat penyekat beta efektif dalam mencegah
aktivitas ektopik ventrikel pada pasien STEMI.
7. Takikardia dan fibrilasi ventrikel
Takikardi dan fibrilasi ventrikel dapat terjadi tanpa bahaya aritmia sebelumnya
dalam 24 jam pertama.

22
8. Fibrilasi atrium
9. Aritmia supraventrikular
10. Asistol ventrikel
11. Bradiaritmia dan Blok
12. Komplikasi Mekanik: ruptur muskulus papilaris, ruptur septum ventrikel, ruptur
dinding ventrikel.

X. Prognosis

Terdapat beberapa sistem untuk menentukan prognosis pasca IMA11:


1) Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3 gallop,
kongesti paru dan syok kardiogenik
Tabel 2. Klasifikasi KILLIP pada Infark Miokard Akut
Kelas Definisi Mortalitas (%)
I Tak ada tanda gagal jantung 6
II +S3 dan atau ronki basah 17
III Edema Paru 30-40
IV Syok kardiogenik 60-80

2) Klasifikasi Forrester berdasarkan monitoring hemodinamik indeks jantung dan


pulmonary capillary wedge pressure (PCWP)
Tabel 3. Klasifikasi Forrester pada Infark Miokard Akut
Kelas Indeks Kardiak PCWP (mmHg) Mortalitas (%)
2
(L/min/m )
I >2,2 <18 3
II >2,2 >18 9
III <2,2 <18 23
IV <2,2 >18 51

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Boyle AJ, Jaffe AS. Acute myocardial infarction. In: Crawford MH, editor. Current
diagnosis & treatment cardiology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill; 2009.p. 51-72.
2. ESC guideline for the management of acute myocardial infarction in patients presenting
with ST-segment elevation. Europe Heart Journal 2012;33:2569-619.
3. Goldstein J. Pathophysiology and management of right heart ischemia. J Am Coll
Cardiol. 2002;40:841-53.
4. Myocardial infarction. Available from:
http://www.emedicine.medscape.com/article/155919.htm. Accessed February, 28th 2018.
5. Guyton AC. Hall, JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. 2007
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing. 2010.
7. Irmalita, Juzar DA, Andrianto, Setianto BY, Tobing DPL, et al. Pedoman tatalaksana
sindrom koroner akut. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia (PERKI).
3rd ed. Jakarta: Centra Communications;2015.
8. Lilly LS, editor. Pathophysiology of heart disease. Ed 5. Philadelphia, Lippincot
Williams & Wilkins; 2011.
9. Karo-karo S, Rahajoe AU, Sulistyo S eds. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung
Lanjut. Jakarta: PERKI; 2008:70-81.
10. O’Gara PT, Kushner FG, Ascheim DD, Casey DE, Chung MK, de Lemos JA, et al.
ACCF/AHA Guideline for the Management of ST-Elevation Myocardial Infarction: A
Report of the American College of Cardiology Foundation/American Heart Association
Task Force on Practice Guidelines. Circulation. 2013. DOI:
10.1161/CIR.0b013e3182742cf6.
11. Manning, JE "Fluid and Blood Resuscitation" in Emergency Medicine: A Comprehensive
Study Guide. JE Tintinalli Ed. McGraw-Hill: New York. 2004. p.227.

24

Anda mungkin juga menyukai