Anda di halaman 1dari 42

LONG CASE

BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Pesyaratan Kepanitraan Klinik


Bagian Ilmu Penyakit Saraf Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Diajukan Kepada Yth

dr. M. Ardiansyah Adi Nugroho, Sp.S.,M.Kes


NIK : 0524107502

Disusun Oleh

Nurmahida Mutia Sari

20174011155

BAGIAN ILMU PENYAKIT SARAF


PKU MUHAMMADIYAH WONOSOBO
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

LONG CASE

BENIGN PAROXYSMAL POSITIONAL VERTIGO

Telah Dipresentasikan pada tanggal :

18 Desember 2017

Oleh:

Nurmahida Mutia Sari

20174011155

Telah Disetujui Oleh :


Dosen Pembimbing Kepaniteraan Klinik
Bagian Ilmu Penyakit Saraf
PKU Muhammadiyah Wonosobo

dr. M. Ardiansyah Adi Nugroho, Sp.S.,M.Kes


NIK : 0524107502

2
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala limpahan nikmat, petunjuk dan
kemudahan yang telah diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan Presentasi Kasus
yang berjudul, “Benign Paroxysmal Positional Vertigo” dalam rangka melengkapi
persyaratan mengikuti ujian akhir program pendidikan profesi kedokteran di bagian ilmu
penyakit saraf PKU Muhammadiyah Wonosobo.
Penulisan long case ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak, oleh karena itu
maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. M. Ardiansyah Adi Nugroho, Sp.S.,M.Kes selaku dokter pembimbing dan dokter
Spesialis Saraf PKU Muhammadiyah Wonosobo.
2. Seluruh perawat bangsal dan Poli Saraf di PKU Muhammadiyah Wonosobo.
3. Teman-teman coass syaraf atas dukungan dan kerjasamanya .
Dalam penyusunan long case ini penulis menyadari bahwa masih memiliki banyak
kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan penyusunan di masa
yang akan datang. Semoga dapat menambah pengetahuan bagi penulis khususnya dan
pembaca pada umumnya.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Wonosobo, 16 Oktober 2017

Penulis

3
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................................................................... 2


KATA PENGANTAR ........................................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................................................... 7
STATUS PASIEN ................................................................................................................................. 7
A. Identitas Pasien ........................................................................................................................... 7
B. Anamnesis ................................................................................................................................... 7
C. Pemeriksaan Fisik ....................................................................................................................... 8
D. Pemerikasaan Penunjang........................................................................................................... 12
E. Diagnosis Kerja ......................................................................................................................... 14
F. Penatalaksanaan ........................................................................................................................ 14
G. Resume ..................................................................................................................................... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................... 20
A. Definisi...................................................................................................................................... 20
B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer .............................................................. 20
C. Epidemiologi ............................................................................................................................. 23
D. Etiologi...................................................................................................................................... 23
E. Klasifikasi ................................................................................................................................. 24
F. Patofisiologi .............................................................................................................................. 25
G. Diagnosis ................................................................................................................................... 27
H. Penatalaksanaan......................................................................................................................... 33
BAB III................................................................................................................................................. 38
PEMBAHASAN .................................................................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 41

4
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk BPPV Tipe Kanal Posterior16 ............................................ 31


Tabel 2. Perbedaan Positional Vertigo Penyebab Sentral dan Perifer15 .................................. 33

5
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Membranous labyrinth kanan3-5 ........................................................................... 21


Gambar 2. Patofisiologi BPPV 10............................................................................................. 27
Gambar 3. Dix-Hallpike Manuever ......................................................................................... 29
Gambar 4. Supine roll test16 ..................................................................................................... 30
Gambar 5. Manuver Epley18 .................................................................................................... 34
Gambar 6. Manuver Semont16 ................................................................................................. 35
Gambar 7. Manuver Lempert18 ................................................................................................ 35
Gambar 8 Brandt-Daroff Exercise17 ........................................................................................ 36

6
BAB I
STATUS PASIEN
A. Identitas Pasien
Nama : Ny. P
Usia : 72 tahun
Tanggal lahir : 31 Desember 1945
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sambek, Wonosobo
Pekerjaan : Tidak bekerja
Status Pernikahan : Sudah Menikah
Suku/ Bangsa : Jawa/ Indonesia
Tanggal Masuk RS : 07 Desember 2017
B. Anamnesis
Keluhan Utama : Pusing berputar
1. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan pusing berputar di seluruh kepala sudah
dirasakan sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit dengan puncak pusing dirasa
pada siang hari sebelum datang ke IGD. Pasien mengaku biasa mengalami pusing
berputar tetapi belum pernah pusing seberat saat ini. Pada awalnya pasien hanya
merasa pusing-pusing biasa, namun lama-kelamaan timbul pusing berputar
dengan skala berat sehingga pasien tidak bisa beraktivitas. Pasien merasa dirinya
diputar-putar begitu cepatnya sehingga untuk membuka mata untuk melihat
sekitar pun terasa berat. Pusing berputar terasa makin berat bila pasien
menggerakan kepalanya, merubah posisi dari tiduran ke duduk ataupun berdiri,
dan apabila terdapat suara yang mengganggu sehingga tidak memungkinkan
pasien untuk tidur. Pasien merasa nyaman atau pusing berkurang bila pasien
tiduran dengan memejamkan mata.
Pasien mengeluh mual jika sedang pusing berputar. Pasien bahkan sempat
muntah 3 kali sebelum diantar ke IGD oleh keluarganya. Selain itu, pasien
mengeluh BAB cair, susah tidur semenjak kepalanya pusing, dan nafsu makan
yang menurun. Pasien juga merasa badannya panas, batuk berdahak, dan suara
napasnya mengi.
2. Riwayat Penyakit Dahulu

7
Pasien mengaku memiliki riwayat hipertensi dan riwayat maag. Selain itu,
pasien pernah menjalani operasi katarak pada bulan Oktober 2017. Pasien juga
tidak memiliki riwayat tuberkulosis.
3. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit yang serupa, DM, jantung, dan hipertensi
disangkal.
4. Riwayat Personal Sosial
Pasien mengaku dahulunya adalah seorang pedagang sayur di warung yang
beliau kelola di rumahnya sendiri. Namun, karena usianya yang sudah tua, beliau
diajak untuk tinggal di rumah anaknya. Pasien mengaku merasa sedih karena
kehilangan kegiatan berjualannya karena di rumah anaknya, beliau dilayani dan
segala kebutuhannya dipenuhi oleh anaknya. Pasien memiliki 1 anak sulung laki-
laki dan 1 anak bungsu perempuan. Pasien tinggal dengan anak bungsu, menantu,
dan cucunya, sedangkan anak sulungnya telah meninggal beberapa tahun yang
lalu dengan alasan yang beliau kurang ketahui. Pasien memiliki seorang suami
yang sudah meninggal sejak lama. Pasien menikah pada umur 12 tahun. Selain itu,
pasien juga memiliki 5 saudara kandung.
Untuk sehari-hari, pasien mengaku makan rutin 3 kali sehari dengan nasi dan
sayur, jarang mengonsumsi daging jenis apapun karena pasien tidak terlalu suka.
Pasien tidak mengonsumsi kopi ataupun teh. Pasien juga tidak merokok, tetapi
terdapat anggota keluarga satu rumah yang merokok.
5. Anamnesis Sistem
a. Sistem Cerebrospinal : pusing berputar
b. Sistem Cardiovaskuler : berdebar-debar.
c. Sistem Respirasi : batuk, suara napas mengi
d. Sistem Gastrointestinal : mual dan muntah 3 kali, BAB cair
e. Sistem Urogenital : tidak ada keluhan
f. Sistem Integumentum : tidak ada keluhan
g. Sistem Muskuloskeletal : pegal linu pada kedua paha

C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Tampak lemas
2. Kesadaran : Kuantitatif : E4M6V5
Kualitatif : Compos Mentis

8
3. Tanda Vital
a. Temperatur : 38.9°C
b. Nadi : 120 kali per menit. Reguler, isi dan tegangan cukup.
c. Pernapasan : 22 kali per menit
d. Tekanan Darah : 100/60 mmHg
4. Status Generalis
a. Kepala
1) Bentuk : Mesocephal
2) Mata : Palpebra tidak edema, konjungtiva palpebral dan konjungtiva
bulbi tidak anemis, sklera tidak ikterik, tidak ditemukan eksoftalmus
anemis, reflek cahaya positif pada kedua mata dan pupil bulat isokor.
3) Hidung : bentuk normal, tidak ditemukan kelainan septum dan lubang
hidung normal, tidak terdapat sekret dari hidung dan tidak ada epistaksis.
4) Telinga : bentuk normal, daun telinga normal, terdapat liang telinga,
tidak ditemukan sekret dari telinga.
5) Mulut : bibir tidak sianosis, tidak tampak bibir kering, tidak terdapat
gusi berdarah, mukosa mulut kering, pembesaran tonsil tidak ada.
b. Leher
Trakhea letak tengah, tidak ada peningkatan JVP, tidak ada pembesaran KGB,
tidak ada pembesaran kelenjar tiroid.
c. Thorax dan Pulmo
1) Inspeksi : bentuk dada normal, pergerakan dinding dada kanan dan kiri
simetris, tidak ada ketinggalan gerak, tidak ada retraksi dinding dada.
2) Palpasi : vokal fremitus paru kanan sama dengan paru kiri, tidak ada
krepitasi, tidak terdapat nyeri tekan pada dada.
3) Perkusi : suara sonor pada seluruh lapang paru.
4) Auskultasi : suara dasar vesikuler pada paru-paru kanan dan kiri,
ditemukan wheezing pada kedua lapang.
d. Cor
1) Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
2) Palpasi : Ictus cordis tidak teraba
3) Perkusi : batas jantung normal
4) Auskultasi : Bunyi jantung I > II murni , irama regular, murmur (-), gallop
(-).

9
e. Abdomen
1) Inspeksi : Datar, tidak tampak distensi, tidak ada jejas
2) Auskultasi : Bising usus normal
3) Palpasi : Supel, tidak ada nyeri tekan, tidak teraba massa,
hepar tidak teraba, lien tidak teraba, tidak ada ballotement, tidak terdapat
nyeri ketok ginjal
4) Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
f. Genitalia
Pasien berjenis kelamin perempuan, tidak dilakukan pemeriksaan.
g. Ekstremitas : akral hangat, tidak ditemukan edema, tidak ditemukan tanda
sianosis.
5. Pemeriksaan Neurologis
a. Nervus Cranialis
1) N.I (Olfaktorius)
Daya penghidu : Normosmia Normosmia
2) N II (Opticus)
Ketajaman penglihatan : Baik / Baik
Pengenalan warna : Tidak dilakukan
Lapang pandang : Baik / Baik
Funduscopy : Tidak dilakukan
3) N III, IV, VI (Oculamotorius,Trochlearis,Abducens)
Ptosis : (-) (-)
Strabismus : (-) (-)
Gerakan bola mata:
Lateral : (+) (+)
Medial : (+) (+)
Atas : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
Pupil
Ukuran pupil : Ǿ3 mm Ǿ3mm
Bentuk pupil : bulat bulat
Isokor/anisokor: isokor
Rf cahaya langsung : (+) (+)
Rf cahaya tdk langsung: (+) (+)

10
4) N V (Trigeminus)
Menggigit : (+)
Membuka mulut : Simetris
Sensibilitas Atas : (+) (+)
Tengah : (+) (+)
Bawah : (+) (+)
5) N VII (Facialis)
Mengerutkan dahi : simetris kanan dan kiri
Mengerutkan alis : simetris kanan dan kiri
Menutup mata : simetris kanan dan kiri
Meringis : simetris kanan dan kiri
Menggembungkan pipi : simetris kanan dan kiri
6) N. VIII ( Acusticus )
Mendengarkan suara gesekan jari tangan : (+) (+)
Mendengar detik arloji : (+) (+)
7) N. IX ( Glossopharyngeus )
Arcus pharynk : simetris
Posisi uvula : Di tengah
8) N.X ( Vagus )
Denyut nadi : teraba,reguler
Arcus faring : simetris
Bersuara : normal
Menelan : tidak ada gangguan
9) N. XI ( Accesorius )
Memalingkan kepala : normal
Sikap bahu : simetris
Mengangkat bahu : dapat dilakukan
10) N.XII ( Hipoglossus )
Menjulurkan lidah : simetris
Atrofi lidah : tidak ada
Artikulasi : jelas
Tremor lidah : tidak ada
b. Motorik
Kekuatan : 5 5

11
5 5
c. Reflek Fisiologis
Refleks Biseps : (++) normal (++) normal
Refleks Triseps : (++) normal (++) normal
Refleks Patella : (++) normal (++) normal
Refleks Achilles : (++) normal (++) normal
d. Refleks Patologis : kanan kiri
Hoffmann Tromner : (-) (-)
Babinzki : (-) (-)
Chaddock : (-) (-)
Oppenheim : (-) (-)
Gordon : (-) (-)
Schaefer : (-) (-)
Rosolimo : (-) (-)
Mendel Bechterew : (-) (-)
e. Fungsi vestibuler/ serebeler
Uji Romberg :+
Stepping test : pasien miring ke kanan
Tandem Gait : pasien melangkah menuju ke arah kanan
Past-pointing Test : mata terbuka (+) mata tertutup (+)

D. Pemerikasaan Penunjang
1) Darah Rutin
Hemoglobin : H 16.1 g/dl (11.7 – 15.5)
Leukosit : H 13.5 x 103 / µL (4.5 - 12.5)
Eosinofil : L 0.10 % (2.00 – 4.00)
Basofil : 0.40 % (0 - 1.00)
Netrofil : H 78.40 % (50 - 70)
Limfosit : L 10.10 % (25 - 40)
Monosit : H 10.30 % (2 - 8)
Hematokrit : H 49 % (35 - 47)
Eritrosit : H 5.4 x 106/ µL (3.8 - 5.2)
Trombosit : 247 x 103 / µ (150 - 400)
MCV : 91 fL (80 - 100)

12
MCH : 30 pg (26 - 34)
MCHC : 33 g/dl (32 - 36)
2) Kimia Klinik
Gula Darah Stik IGD : 100 mg/dL (70 – 150)
Ureum : 23.0 mg/dL (< 50)
Kreatinin : 0.66 mg/dL (0.40 – 0.90)
Asam Urat : 4.8 mg/dL (2.0 – 7.0)
Cholesterol Total : 169 mg/dL (< 220)
HDL Cholesterol : 62.2 mg/dL (> 35)
LDL Cholesterol : 86.0 mg/dl (< 130)
Trigliserida : 104 mg/dL (70.0 – 140.0)

SGOT : H 40.5 U/L (0 – 35)


SGPT : 20.1 U/L (0 – 35)
3) Rontgen Thorax AP

Kesan :

13
 Cor : Cardiomegali
 Pulmo : Gambaran bronchitis
4) EKG

Kesimpulan :
 Sinus takikardia
 RAH
 T inverted
 OMI

E. Diagnosis Kerja
Benign Paroxysmal Positional Vertigo
F. Penatalaksanaan
Infus Ringer Laktat 20 tpm
Nebulizer Ventolin / Pulmicort tiap 8 jam
Inj. Ondansetron 2 x 8 mg
Inj. Mecobalamin 2 x 500 mg
Inj. Ketorolac 2 x 30 mg
Betahistin 3 x 12 mg
Flunarizin 2 x 5 mg
Eperison 2 x 50 mg

14
G. Resume
Tanggal Subjective Objective (O) Assessment Plan (P)
(S) (A)
8/12/201 Pusing TD: 100/70 BPPV  Infus Ringer
7 berputar
HR: 104 kpm Laktat 20 tpm
berat, terasa
bertambah  Inj.
RR: 21 kpm
pusing ketika
Ondansetron 2
tidak T : 39,9 0C
berbaring, x 8 mg
nafsu makan -KU sedang
 Inj.
menurun
-Kesadaran CM Mecobalamin 2
-Pernafasan : Reguler x 500 mg
-Kepala : CA (-/-)  Betahistin 2 x

SI (-/-) 12 mg
 Flunarizin 2 x 5
-Leher : tak
mg
-Cor : S1>S2, irama
regular
-Pulmo : SDV (+/+)
-Abdomen : Datar,
supel, BU (+), NT (-),
tympani
-Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-
-Nistagmus : +

9/12/201 Pusing TD: 110/70 BPPV, LBP  + inj. Ketorolac


7 berputar 2 x 30 mg
berat, HR: 120 kpm  + Eperison 2 x
pinggang 50 mg
RR: 19 kpm
hingga kaki
terasa pegal, T : 38,4 0C
lemas, batuk
berdahak -KU sedang
-Kesadaran CM
-Pernafasan : Reguler
-Kepala : CA (-/-)
SI (-/-)

15
-Leher : tak
-Cor : S1>S2, irama
regular
-Pulmo : SDV (+/+),
wheezing pada kedua
lapang paru
-Abdomen : Datar,
supel, BU (+), NT (-),
timpani
-Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-
-Nistagmus : +

10/12/20 Pusing TD: 100/70 BPPV, LBP  Terapi lanjut


17 berputar,
nyeri HR: 104 kpm
punggung
RR: 20 kpm
menjalar
hingga ke T : 38 0C
kaki
-KU membaik
-Kesadaran CM
-Pernafasan : Reguler
-Kepala : CA (-/-)
SI (-/-)
-Leher : tak
-Cor : S1>S2, irama
regular
-Pulmo : SDV (+/+),
wheezing pada kedua
lapang paru
-Abdomen : Datar,
supel, BU (+), NT (-),
tympani
-Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-

11/12/20 Pusing TD: 100/60 BPPV,  Terapi lanjut


17 berputar LBP, PPOK
HR: 44 kpm  + Nebulizer
berkurang,

16
batuk RR: 21 kpm (Ventolin :
meningkat,
T : 36,6 0C Pulmicort) tiap
dada terasa
sakit, nafsu 8 jam
-KU membaik
makan
 Konsul
menurun, -Kesadaran CM
lemas Spesialis Paru
-Pernafasan : Reguler
-Kepala : CA (-/-)
SI (-/-)
-Leher : tak
-Cor : S1>S2, irama
regular
-Pulmo : SDV (+/+),
wheezing pada kedua
lapang paru
-Abdomen : Datar,
supel, BU (+), NT (-),
tympani
-Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-
-Nistagmus : +
-Uji Romberg : +
-Tandem Gait : +
-Stepping test : +
-Past pointing test : +

12/12/20 Pusing dirasa TD: 100/60 BPPV,  Terapi lanjut


17 sangat LBP,
berkurang, HR: 44 kpm Bronkhitis
batuk masih Kronis
RR: 21 kpm
ada, masih eksaserbasi
susah tidur, T : 36,6 0C akut
nafsu makan
menurun -KU baik
-Kesadaran CM
-Pernafasan : Reguler
-Kepala : CA (-/-)

17
SI (-/-)
-Leher : tak
-Cor : S1>S2, irama
regular
-Pulmo : SDV (+/+),
wheezing pada kedua
lapang paru
-Abdomen : Datar,
supel, BU (+), NT (-),
tympani
-Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-
-Nistagmus : -
-Uji Romberg : -

-Stepping test : +
-Tandem gait : +
-Past pointing test :
mata terbuka (+) mata
tertutup (-)

13/12/20 pusing sudah TD: 110/80 BPPV,  Boleh pulang


17 tidak terasa, LBP,
HR: 82 kpm  Betahistin 3 x 6
batuk masih Bronkitis
ada, sudah kronis mg
RR: 20 kpm
bisa tidur, eksaserbasi
 Meloxicam 2 x
sudah mau T : 37,9 0C akut
makan bubur 15 mg
-KU baik
 Flunarizin 2 x 5
-Kesadaran CM mg
-Pernafasan : Reguler  Eperison
-Kepala : CA (-/-)  Obat tambahan

SI (-/-) dari dokter


spesialis paru
-Leher : tak
-Cor : S1>S2, irama
regular
-Pulmo : SDV (+/+),
wheezing pada kedua

18
lapang paru
-Abdomen : Datar,
supel, BU (+), NT (-),
tympani
-Ekstremitas : Akral
hangat, edema -/-
-Nistagmus : -
-Uji Romberg : -

-Stepping test : -
-Tandem gait : -
-Past pointing test :
mata terbuka (-) mata
tertutup (-)

19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi

Vertigo secara singkatnya diartikan dengan pusing yaitu sebuah ilusi yang
bergerak dan tidak menyenangkan juga dikenali dengan vertigo subjektif atau dunia luar
yang bergerak dengan nama lainnya vertigo objektif.1 Sensasi pergerakan yang dirasakan
bisa seperti berputar, pergerakan bolak-balik dan perasaan ingin jatuh.2 Benign
paroxysmal positional vertigo adalah vertigo yang berulang kali disebabkan oleh
perubahan kepala dari satu posisi ke satu posisi yang lainnya. Hal ini terjadi beberapa
detik setelah dari perubahan posisi kepala yang berlangsung kurang dari satu menit.2

B. Anatomi dan Fisiologi Sistem Keseimbangan Perifer

20
Gambar 1. Membranous labyrinth kanan3-5

Alat vestibuler terletak di telinga dalam (labirin), terlindung oleh tulang yang
paling keras yang dimiliki oleh tubuh. Labirin secara umum adalah telinga dalam, tetapi
secara khusus dapat diartikan sebagai alat keseimbangan. Labirin terdiri atas labirin
tulang dan labirin membrane. Labirin membrane terletak dalam labirin tulang dan
bentuknya hampir menurut bentuk labirin tulang.
Labirin dapat dibagi kedalam dua bagian yang saling berhubungan, yaitu:
1. Labirin anterior yang terdiri atas kokhlea yang berperan dalam pendengaran.
2. Labirin posterior, yang mengandung tiga kanalis semisirkularis, sakulus dan
utrikulus. Berperan dalam mengatur keseimbangan. (di utrikulus dan sakulus sel
sensoriknya berada di makula, sedangkan di kanalis sel sensoriknya berada di
krista ampulanya)
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan disekitarnya
tergantung kepada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visual dan
proprioseptif. Gabungan informasi ketiga reseptor sensorik tersebut akan diolah di SSP,
sehingga menggambarkan keadaan posisi tubuh pada saat itu. 3-5
Reseptor sistem ini adalah sel rambut yang terletak dalam krista kanalis
semisirkularis dan makula dari organ otolit. Secara fungsional terdapat dua jenis sel. Sel-
sel pada kanalis semisirkularis peka terhadap rotasi khususnya terhadap percepatan
sudut, sedangkan sel-sel pada organ otolit peka terhadap gerak linier, khususnya
percepatan inier dan terhadap perubahan posisi kepala relatif terhadap gravitasi.
Perbedaan kepekaan terhadap percepatan sudut dan percepatan linier ini disebabkan oleh
geometridari kanalis dan organ otolit serta ciri-ciri fisik dari struktur-struktur yang
menutupi sel rambut. 3-5
a. Sel rambut
Secara morfologi sel rambut pada kanalis sangat serupa dengan sel rambut
pada organ otolit. Masing-masing sel rambut memiliki polarisasi struktural yang
dijelaskan oleh posisi dari stereosilia relatif terhadap kinosilim. Jika suatu
gerakan menyebabkan stereosilia membengkok kearah kinosilium, maka sel-sel
rambut akan tereksitasi. Jika gerakan dalam arah yang berlawanan sehingga
stereosilia menjauh dari kinosilium maka sel-sel rambut akan terinhibisi. 3-5
b. Kanalis semisirkularis

21
Polarisasi adalah sama pada seluruh sel rambut pada tiap kanalis, dan pada
rotasi sel-sel dapat tereksitasi ataupun terinhibisi. Ketiga kanalis hampir tegak
lurus satu dengan yang lainnya, dan masing-masing kanalis dari satu telinga
terletak hampir satu bidang yang sama dengan kanalis telinga satunya. Pada
waktu rotasi, salah satu dari pasangan kanalis akan tereksitasi sementara yang
satunya akan terinhibisi. Misalnya, bila kepala pada posisi lurus normal dan
terdapat percepatan dalam bidang horizontal yang menimbulkan rotasi ke kanan,
maka serabut-serabut aferen dari kanalis hirizontalis kanan akan tereksitasi,
sementara serabut-serabut yang kiri akan terinhibisi. Jika rotasi pada bidang
vertikal misalnya rotasi kedepan, maka kanalis anterior kiri dan kanan kedua sisi
akan tereksitasi, sementara kanalis posterior akan terinhibisi. 3-5
c. Organ otolit
Ada dua organ otolit, utrikulus yang terletak pada bidang kepala yang
hampir horizontal, dan sakulus yang terletak pada bidang hampir vertikal.
Berbeda dengan sel rambut kanalis semisirkularis, maka polarisasi sel rambut
pada organ otolit tidak semuanya sama. Pada makula utrikulus, kinosilium
terletak di bagian samping sel rambut yang terdekat dengan daerah sentral yaitu
striola. Maka pada saat kepala miring atau mengalami percepatan linier,
sebagian serabut aferen akan tereksitasi sementara yang lainnya terinhibisi.
Dengan adanya polarisasi yang berbeda dari tiap makula, maka SSP mendapat
informasi tentang gerak linier dalam tiga dimensi, walaupun sesungguhnya
hanya ada dua makula. 3-5
Hubungan-hubungan langsung antara inti vestibularis dengan motoneuron
ekstraokularis merupakan suatu jaras penting yang mengendalikan gerakan mata
dan refleks vestibulo-okularis (RVO). RVO adalah gerakan mata yang
mempunyai suatu komponen lambat berlawanan arah dengan putaran kepala
dan suatu komponen cepat yang searah dengan putaran kepala. Komponen
lambat mengkompensasi gerakan kepal dan berfungsi menstabilkan suatu
bayangan pada retina. Komponen cepat berfungsi untuk kembali mengarahkan
tatapan ke bagian lain dari lapangan pandang. Perubahan arah gerakan mata
selama rangsangan vestibularis merupakan suatu contoh dari nistagmus normal.
3-5

22
C. Epidemiologi
Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV) adalah tipe umum dari vertigo.
Secara keseluruhan dari populasi umum insiden dari BPPV adalah 60 / 100000 orang
per tahun, namun angka kejadian tersebut meningkat menjadi 120 / 100.000 per
tahun pada individu di atas usia 50 tahun. Kebanyakan kasus berkembang dari
disfungsi semicircular canal perifer.6
Benign paroxysmal positional vertigo bisa terjadi pada setiap golongan dari anak-anak
hinggalah ke usia lanjut, namun bagi kasus idiopatik selalunya pada usia lanjut yang
memuncak pada dekade enam hingga tujuh. Lebih dari 90 % kasus diklasifikasikan
sebagai degeneratif atau idiopatik dengan rasio antara perempuan dengan laki-laki
adalah 2:1. Namun kasus yang simptomatik rasio antara perempuan dan laki-laki
adalah 1:1 dengan penyebab yang paling sering adalah trauma kepala (17%) atau
vestibular neuritis (15%). BPPV juga sering terjadi pada kasus pasien dengan tirah
baring yang lama akibat dari penyakit lainnya atau pasca operasi.7

D. Etiologi
Vertigo terdapat 2 tipe, yaitu tipe sentral dan perifer. Pada vertigo tipe sentral,
etiologi umumnya adalah gangguan vaskuler, sedangkan pada vertigo tipe perifer,
etiologinya idiopatik. Biasanya vertigo jenis perifer berhubungan dengan manifestasi
patologis di telinga. Berbagai penyakit atau kelainan dapat menyebabkan vertigo.5
Berikut ini dikemukakan penyebab yang sering dijumpai :
Vertigo jenis perifer :
1. Neurinitis vestibuler
2. Vertigo posisional benigna
3. Penyakit Meniere
4. Trauma
5. Fisiologis
6. Obat-obatan
7. Tumor di fosa posterior, misalnya neuroma akustik
Vertigo jenis sentral :
1. Stroke batang otak, atau TIA vertebrobasiler
2. Neoplasma
3. Migren basilar
4. Trauma
5. Perdarahan di serebelum
23
6. Infark di batang otak/serebelum
7. Degenerasi spinoserebelar
Lain-lain :
1. Toksik (misalnya oleh antikonvulsan, sedative)
2. Infeksi
3. Hipotiroidi.5

E. Klasifikasi
1. Vertigo Perifer
Vertigo perifer biasanya berhubungan dengan gangguan fungsi organ
vestibular seperti kanal semisirkularis, utrikulus, dan sakulus. Salah satu pola
terpenting dalam presentasi gangguan vestibular perifer ini adalah durasi dari
vertigo. Berdasarkan parameter ini, dapat diklasifikasikan gangguan vestibular
perifer.
a. Vertigo berdurasi menit sampai jam
Ideopathic endolymphatic hydrops (Ménière’s disease)
Secondary endolymphatic hydrops:
o Otic syphilis
o Delayed endolymphatic hydroops
o Cogan’s disease
o Recurrent vestibulopathy
b. Vertigo berdurasi detik (Benign paroxysmal positional vertigo)
c. Vertigo berdurasi hari (Vestibular neuritis)
d. Vertigo dengan durasi bervariasi
 Fistula telinga dalam
 Trauma telinga dalam
o Trauma nonpenetrasi
o Trauma penetrasi
o Barotrauma
 Familial vestibulopathy

2. Vertigo Sentral
Vertigo sentral biasanya berhubungan dengan gangguan fungsi dari nervus
VIII bagian vestibular atau gangguan pada nuklei vestibular di batang otak.

24
Beberapa penyebab dari vertigo sentral adalah iskemia dan infark pada batang
otak, penyakit demielinisasi seperti multiple sclerosis, tumor pada cerebellopontine
angle, neuropati kranial, dan gangguan heredofamilial seperti degenerasi
spinocerebellar.
Sebagian besar tumor pada cerebellopontine angle terjadi karena adanya
Schwannoma, tumor ini muncul di nervus VIII bagian vestibular di dalam kanal
auditori internal. Gejala penyakit ini adalah hilangnya pendengaran secara
progresif dan tinitus. Sedangkan neuropati kranial biasa terjadi pada penyakit fokal
atau sistemik seperti pada vaskulitis.

3. Vertigo Sistemik
Vertigo sistemik merupakan vertigo sekunder yang dapat berupa vertigo
perifer atau vertigo sentral atau bahkan keduanya. Berbagai hal yang dapat
menyebabkan vertigo sistemik adalah obat seperti antikonvulsan, hipnotik,
antihipertensi, alkohol, analgesik; hipotensi postural yang biasanya merupakan
efek samping dari agen antihipertensi, diuretik, dan dopaminergik; presinkop;
penyakit infeksi seperti sifilis, meningitis virus dan bakteri, dan infeksi sistemik;
penyakit endokrin seperti diabetes dan hipotiroidisme; vaskulitis pada penyakit
kolagen vaskular dan vaskulitis yang diinduksi oleh obat; dan kondisi sistemik lain
seperti gangguan hematologi dan toksin sistemik.

F. Patofisiologi

Pada telinga dalam terdapat 3 kanalis semisirkularis. Ketiga kanalis


semisirkularis tersebut terletak pada bidang yang saling tegak lurus satu sama lain.
Pada pangkal setiap kanalis semisirkularis terdapat bagian yang melebar yakni
ampula. Di dalam ampula terdapat kupula, yakni alat untuk mendeteksi gerakan
cairan dalam kanalis semisirkularis akibat gerakan kepala. Sebagai contoh, bila
seseorang menolehkan kepalanya ke arah kanan, maka cairan dalam kanalis
semisirkularis kanan akan tertinggal sehingga kupula akan mengalami defleksi ke
arah ampula. Defleksi ini diterjemahkan dalam sinyal yang diteruskan ke otak
sehingga timbul sensasi kepala menoleh ke kanan. Adanya partikel atau debris dalam
kanalis semisirkularis akan mengurangi atau bahkan menimbulkan defleksi kupula ke
arah sebaliknya dari arah gerakan kepala yang sebenarnya. Hal ini menimbulkan

25
sinyal yang tidak sesuai dengan arah gerakan kepala, sehingga timbul sensasi berupa
vertigo.7,9-11
Terdapat 2 teori yang menjelaskan patofisiologi BPPV, yakni teori
kupulolitiasis dan kanalolitiasis. 7,9-11
1. Teori Kupulolitiasis
Pada tahun 1962, Schuknecht mengajukan teori kupulolitiasis untuk
menjelaskan patofisiologi BPPV. Kupulolitiasis adalah adanya partikel yang
melekat pada kupula krista ampularis. Schuknecht menemukan partikel basofilik
yang melekat pada kupula melalui pemeriksaan fotomikrografi. Dengan adanya
partikel ini maka kanalis semisirkularis menjadi lebih sensitif terhadap gravitasi.
Teori ini dapat dianalogikan sebagai adanya suatu benda berat yang melekat pada
puncak sebuah tiang. Karena berat benda tersebut, maka posisi tiang menjadi sulit
untuk tetap dipertahankan pada posisi netral. Tiang tersebut akan lebih mengarah ke
sisi benda yang melekat. Oleh karena itu kupula sulit untuk kembali ke posisi netral.
Akibatnya timbul nistagmus dan pening (dizziness).9,10
2. Teori Kanalitiasis7,9-11
Teori ini dikemukakan olleh Epley pada tahun 1980. Menurutnya gejala BPPV
disebabkan oleh adanya partikel yang bebas bergerak (canalith) di dalam kanalis
semisirkularis. Misalnya terdapat kanalit pada kanalis semisirkularis posterior. Bila
kepala dalam posisi duduk tegak, maka kanalit terletak pada posisi terendah dalam
kanalis semisirkularis posterior. Ketika kepala direbahkan hingga posisi supinasi,
terjadi perubahan posisi sejauh 90°. Setelah beberapa saat, gravitasi menarik kanalit
hingga posisi terendah. Hal ini menyebabkan endolimfa dalam kanalis semisirkularis
menjauhi ampula sehingga terjadi defleksi kupula. Defleksi kupula ini
menyebabkan terjadinya nistagmus. Bila posisi kepala dikembalikan ke awal, maka
terjadi gerakan sebaliknya dan timbul pula nistagmus pada arah yang berlawanan. 7,9-
11

Teori ini lebih menjelaskan adanya masa laten antara perubahan posisi kepala
dengan timbulnya nistagmus. Parnes dan McClure pada tahun 1991 memperkuat
teori ini dengan menemukan adanya partikel bebas dalam kanalis semisirkularis
poster. Saat melakukan operasi kanalis tersebut. 7,9-11
Bila terjadi trauma pada bagian kepala, misalnya, setelah benturan keras,
otokonia yang terdapat pda utikulus dan sakulus terlepas. Otokonia yang terlepas ini
kemudian memasuki kanalis semisirkularis sebagai kanalit. Adanya kanalit didalam

26
kanalis semisirkularis ini akan memnyebabkan timbulnya keluhan vertigo pada
BPPV. Hal inilah yang mendasari BPPV pasca trauma kepala. 7,9-11

Gambar 2. Patofisiologi BPPV 10

G. Diagnosis
Diagnosis BPPV dapat ditegakkan dengan :
1. Anamnesis6-13
Melalui anamnesis penyebab dari vertigo dapat dikenal pasti. Penyebab
vertigo dapat dibedakan dengan : 8
Dizziness

Fisiologik Patologik
1. Mabuk gerakan
2. Mabuk angkasa
3. Vertigo ketinggian Non-vestibular

Vestibular Syncope Psikogenik


Disquilibrium

Perifer Sentral
a. Labirin 1. Infark brainstem
1. BPPV 2. Tumor otak
2. Meniere’s 3. Radang otak
3. Ototoksik 4. Insufisiensi Arteri vetebro basilar

27
4. Labirintitis 5. Epilepsi
b. Saraf vestibuler 6. MS
1. Neuritis
2. Neuroma acustikus

BPPV terjadi secara tiba-tiba. Pasien biasanya mengeluh vertigo dengan onset
akut kurang dari 10-20 detik akibat perubahan posisi kepala. Kebanyakan pasien
menyadari saat bangun tidur, ketika berubah posisi dari berbaring menjadi duduk.
Pasien merasakan pusing berputar yang lama kelamaan berkurang dan hilang.
Terdapat jeda waktu antara perubahan posisi kepala dengan timbulnya perasaan
pusing berputar. Pada umumnya perasaan pusing berputar timbul sangat kuat pada
awalnya dan menghilang setelah 30 detik sedangkan serangan berulang sifatnya
menjadi lebih ringan. Gejala ini dirasakan berhari-hari hingga berbulan-bulan.6-13
Pada banyak kasus, BPPV dapat mereda sendiri namun berulang di kemudian
hari. Bersamaan dengan perasaan pusing berputar, pasien dapat mengalami mual
dan muntah. Sensasi ini dapat timbul lagi bila kepala dikembalikan ke posisi
semula, namun arah nistagmus yang timbul adalah sebaliknya. 6-13
2. Pemeriksaan fisik6-13
Pemeriksaan fisik standar yang dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis
BPPV adalah Dix-Hallpike manuever.
a. Pemeriksaan Dix-Hallpike Manuver
Merupakan pemeriksaan klinis standar untuk pasien BPPV. Dix-
Hallpike manuever secara garis besar terdiri dari dua gerakan yaitu Dix-
Hallpike manuever kanan pada bidang kanal anterior kiri dan kanal posterior
kanan dan Dix- Hallpike manuever kiri pada bidang posterior kiri. Untuk
melakukan Dix-Hallpike manuever kanan, pasien duduk tegak pada meja
pemeriksaan dengan kepala menoleh 450 ke kanan. Dengan cepat pasien
dibaringkan dengan kepala tetap miring 450 ke kanan sampai kepala pasien
menggantung 20-300 pada ujung meja pemeriksaan, tunggu 40 detik sampai
respon abnormal timbul. Penilaian respon pada monitor dilakukan selama ±1
menit atau sampai respon menghilang. Setelah tindakan pemeriksaan ini dapat
langsung dilanjutkan dengan canalith repositioning treatment (CRT) atau
particle repositioning manuver (PRM). Bila tidak ditemukan respon yang
abnormal atau bila manuver tersebut tidak diikuti dengan CRT/PRM, pasien

28
secara perlahan-lahan didudukkan kembali. Lanjutkan pemeriksaan dengan
Dix-Hallpike manuver kiri dengan kepala pasien dihadapkan 450 ke kiri,
tunggu maksimal 40 detik sampai respon abnormal hilang. Bila ditemukan
adanya respon abnormal, dapat dilanjutkan dengan CRT/PRM, bila tidak
ditemukan respon abnormal atau bila tidak dilanjutkan dengan tindakan
CRT/PRM, pasien secara perlahan-lahan didudukkan kembali.
Dix dan Hallpike mendeskripsikan tanda dan gejala BPPV sebagai berikut : 7,13
1) Terdapat posisi kepala yang mencetuskan serangan
2) Nistagmus yang khas
3) Adanya masa laten
4) Lamanya serangan terbatas
5) Arah nistagmus berubah bila posisi kepala dikembalikan ke posisi awal
6) Adanya fenomena kelelahan/fatique nistagmus bila stimulus diulang
Dix-hallpike manuver lebih sering digunakan karena pada manuver
tersebut posisi kepala sangat sempurna untuk canalith repositioning treatment.
Pada pasien BPPV, Dix-Hallpike manuver akan mencetuskan vertigo dan
nistagmus.

Gambar 3. Dix-Hallpike Manuever

b. Tes Supine Roll 14,16,6


Jika pasien memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV dan hasil tes
Dix-Hallpike negatif, dokter harus melakukan supine roll test untuk
memeriksa ada tidaknya BPPV kanal lateral. BPPV kanal lateral atau disebut

29
juga BPPV kanal horisontal adalah BPPV terbanyak kedua. Pasien yang
memiliki riwayat yang sesuai dengan BPPV, yakni adanya vertigo yang
diakibatkan perubahan posisi kepala, tetapi tidak memenuhi kriteria
diagnosis BPPV kanal posterior harus diperiksa ada tidaknya BPPV kanal
lateral.15

Gambar 4. Supine roll test16


Dokter harus menginformasikan pada pasien bahwa manuver ini
bersifat provokatif dan dapat menyebabkan pasien mengalami pusing yang
berat selama beberapa saat. Tes ini dilakukan dengan memposisikan pasien
dalam posisi supinasi atau berbaring terlentang dengan kepala pada posisi
netral diikuti dengan rotasi kepala 90 derajat dengan cepat ke satu sisi dan
dokter mengamati mata pasien untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.
Setelah nistagmus mereda (atau jika tidak ada nistagmus), kepala kembali
menghadap ke atas dalam posisi supinasi. Setelah nistagmus lain mereda,
kepala kemudian diputar/ dimiringkan 90 derajat ke sisi yang berlawanan,
dan mata pasien diamati lagi untuk memeriksa ada tidaknya nistagmus.16,17
Diagnosis BPPV pada kanalis posterior dan anterior dapat ditegakkan dengan
memprovoksi dan mengamati respon nistagmus yang abnormal dan respon vertigo
dari kanalis semisirkularis yang terlibat. Pemeriksaan dapat memilih Dix-Hallpike
manuever.
1. Diagnosis BPPV Tipe Kanalis Posterior
Dokter dapat mendiagnosis BPPV tipe kanal posterior ketika nistagmus
posisional paroksismal dapat diprovokasi dengan manuver Dix-Hallpike. Manuver
ini dilakukan dengan memeriksa pasien dari posisi berdiri ke posisi berbaring

30
(hanging position) dengan kepala di posisikan 45 derajat terhadap satu sisi dan
leher diekstensikan 20 derajat. Manuver Dix-Hallpike menghasilkan torsional
upbeating nystagmus yang terkait dalam durasi dengan vertigo subjektif yang
dialami pasien, dan hanya terjadi setelah memposisikan Dix-Hallpike pada sisi
yang terkena. Diagnosis presumtif dapat dibuat dengan riwayat saja, tapi nistagmus
posisional paroksismal menegaskan diagnosisnya. 14
Nistagmus yang dihasilkan oleh manuver Dix-Hallpike pada BPPV kanal
posterior secara tipikal menunjukkan 2 karakteristik diagnosis yang penting.
Pertama, ada periode latensi antara selesainya manuver dan onset vertigo rotasi
subjektif dan nistagmus objektif. Periode latensi untuk onset nistagmus dengan
manuver ini tidak spesifik pada literatur, tapi berkisar antara 5 sampai 20 detik,
walaupun dapat juga berlangsung selama 1 menit pada kasus yang jarang. Yang
kedua, vertigo subjektif yang diprovokasi dan nistagmus meningkat, dan kemudian
mereda dalam periode 60 detik sejak onset nistagmus.16
Riwayat Pasien melaporkan episode berulang dari vertigo yang terjadi
karena perubahan posisi kepala

Pemeriksaan Fisik Setiap kriteria berikut terpenuhi:

 Vertigo berkaitan dengan nistagmus diprovokasi oleh tes


Dix-Hallpike
 Ada periode laten antara selesainya tes Dix-Hallpike
dengan onset vertigo dan nistagmus
 Vertigo dan nistagmus yang diprovokasi meningkat dan
kemudian hilang dalam periode waktu 60 detik sejak
onset nistagmus.

Tabel 1. Kriteria Diagnosis untuk BPPV Tipe Kanal Posterior 16


Komponen nistagmus yang diprovokasi oleh manuver Dix-Hallpike
menunjukkan karakteristik campuran gerakan torsional dan vertikal (sering disebut
upbeating-torsional). Dalam sekejap, nistagmus biasanya mulai secara lembat,
meningkat dalam hal intensitas, dan kemudian berkurang dalam hal intensitas
ketika ia menghilang. Ini disebut sebagai crescendo-decrescendo nystagmus.
Nistagmus sekali lagi sering terlihat setelah pasien kembali ke posisi kepala tegak
dan selama bangun, tetapi arah nystagmus mungkin terbalik. Karakteristik lain dari
nistagmus pada BPPV kanal posterior adalah nistagmusnya dapat mengalami

31
kelelahan (fatigue), yakni berkurangnya keparahan nistagmus ketika manuver
tersebut diulang-ulang. Tetapi karakteristik ini tidak termasuk kriteria diagnosis. 16
2. Diagnosis BPPV Tipe Kanal Lateral
BPPV tipe kanal lateral (horisontal) terkadang dapat ditimbulkan oleh Dix-
Hallpike manuver.15 Namun cara yang paling dapat diandalkan untuk
mendiagnosis BPPV horisontal adalah dengan supine roll test atau supine head turn
maneuver (Pagnini-McClure maneuver). 15,16 Dua temuan nistagmus yang potensial
dapat terjadi pada manuver ini, menunjukkan dua tipe dari BPPV kanal lateral.16
a. Tipe Geotrofik
Pada tipe ini, rotasi ke sisi patologis menyebabkan nistagmus horisontal yang
bergerak (beating) ke arah telinga paling bawah. Ketika pasien dimiringkan ke
sisi lain, sisi yang sehat, timbul nistagmus horisontal yang tidak begitu kuat,
tetapi kembali bergerak ke arah telinga paling bawah. 16
b. Tipe Apogeotrofik.
Pada kasus yang lebih jarang, supine roll test menghasilkan nistagmus yang
bergerak ke arah telinga yang paling atas. Ketika kepala dimiringkan ke sisi
yang berlawanan, nistagmus akan kembali bergerak ke sisi telinga paling atas.16

Pada kedua tipe BPPV kanal lateral, telinga yang terkena diperkirakan adalah
telinga dimana sisi rotasi menghasilkan nistagmus yang paling kuat. Di antara kedua
tipe dari BPPV kanal lateral, tipe geotrofik adalah tipe yang paling banyak.14 16
3. Diagnosis BPPV Tipe Kanal Anterior dan Tipe Polikanalikular14
Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe kanal anterior berkaitan dengan
paroxysmal downbeating nystagmus, kadang-kadang dengan komponen torsi
minor mengikuti posisi Dix-Hallpike. Bentuk ini mungkin ditemui saat mengobati
bentuk lain dari BPPV. Benign Paroxysmal Positional Vertigo kanal anterior kronis
atau persisten jarang. Dari semua tipe BPPV, BPPV kanal anterior tampaknya tipe
yang paling sering sembuh secara spontan. Diagnosisnya harus dipertimbangkan
dengan hati-hati karena downbeating positional nystagmus yang berhubungan
dengan lesi batang otak atau cerebellar dapat menghasilkan pola yang sama.14
Benign Paroxysmal Positional Vertigo tipe polikanalikular jarang, tetapi
menunjukkan bahwa dua atau lebih kanal secara bersamaan terkena pada waktu
yang sama. Keadaan yang paling umum adalah BPPV kanal posterior
dikombinasikan dengan BPPV kanal horisontal. Nistagmus ini bagaimanapun juga

32
tetap akan terus mengikuti pola BPPV kanal tunggal, meskipun pengobatan
mungkin harus dilakukan secara bertahap dalam beberapa kasus.14
4. Perbedaan antara Penyebab Sentral dan Perifer14
Benign Paroxysmal Positional Vertigo yang khas biasanya mudah dikenali
seperti di atas dan merespon terhadap pengobatan. Bentuk-bentuk vertigo
posisional yang paling sering menyebabkan kebingungan adalah mereka dengan
downbeating nystagmus, atau mereka dengan nistagmus yang tidak benar-benar
ditimbulkan oleh manuver posisi, tetapi tetap terlihat saat pasien berada pada posisi
kepala menggantung. Tabel dibawah menguraikan beberapa fitur yang mungkin
membantu membedakan vertigo sentral dari vertigo perifer. Sebagai aturan umum,
jika nistagmus tidak khas, atau jika gagal merespon terhadap terapi posisi,
penyebab sentral harus dipertimbangkan.14
Karakteristik Sentral Perifer
Nausea berat + +++

Memburuk dengan pergerakan kepala non spesifik ++ -

Paroxysmal upbeating dan torsional nystagmus dengan - +++


manuver Dix-Hallpike

Nistagmus horizontal (geotrofik atau apogeotrofik) + ++


dipicu oleh supine head turning/supine roll test

Nistagmus downbeating persisten pada posisi apapun +++ -

Nistagmus berkurang (Fatigue) dengan pengulangan - +++


posisi

Nistagmus dan vertigo sembuh mengikuti manuver - +++


terapi posisi

Tabel 2. Perbedaan Positional Vertigo Penyebab Sen tral dan Perifer 15

H. Penatalaksanaan
1. Non-Farmakologi
Benign Paroxysmal Positional Vertigo adalah suatu penyakit yang ringan dan
dapat sembuh secara spontan dalam beberapa bulan. Namun telah banyak
penelitian yang membuktikan dengan pemberian terapi manuver reposisi partikel/
Particle Repositioning Maneuver (PRM) dapat secara efektif menghilangkan
vertigo pada BPPV, meningkatkan kualitas hidup, dan mengurangi risiko jatuh
pada pasien. Keefektifan dari manuver-manuver yang ada bervariasi mulai dari

33
70%-100%. Beberapa efek samping dari melakukan manuver seperti mual,
muntah, vertigo, dan nistagmus dapat terjadi, hal ini terjadi karena adanya debris
otolitith yang tersumbat saat berpindah ke segmen yang lebih sempit misalnya saat
berpindah dari ampula ke kanal bifurcasio. Setelah melakukan manuver,
hendaknya pasien tetap berada pada posisi duduk minimal 10 menit untuk
menghindari dari jatuh.18
Tujuan dari manuver-manuver yang dilakukan adalah untuk mengembalikan
partikel ke posisi awalnya yaitu pada makula utrikulus. Ada 5 manuver yang dapat
dilakukan tergantung dari tipe BPPV nya.18
a. Manuver Epley
Manuver Epley adalah yang paling sering digunakan pada kanal vertikal.
Pasien diminta untuk menolehkan kepala ke sisi yang sakit sebesar 450, lalu
pasien berbaring dengan kepala tergantung dan dipertahankan 1-2 menit. Lalu
kepala ditolehkan 900 ke sisi sebaliknya, dan posisi supinasi berubah menjadi
lateral dekubitus dan dipertahan 30-60 detik. Setelah itu pasien
mengistirahatkan dagu pada pundaknya dan kembali ke posisi duduk secara
perlahan.18

Gambar 5. Manuver Epley18


b. Manuver Semont
Manuver ini diindikasikan untuk pengobatan cupulolithiasis kanan
posterior. Jika kanal posterior terkena, pasien diminta duduk tegak, lalu kepala

34
dimiringkan 450 ke sisi yang sehat, lalu secara cepat bergerak ke posisi
berbaring dan dipertahankan selama 1-3 menit. Ada nistagmus dan vertigo
dapat diobservasi. Setelah itu pasien pindah ke posisi berbaring di sisi yang
berlawanan tanpa kembali ke posisi duduk lagi.18

Gambar 6. Manuver Semont16

c. Manuver Lempert
Manuver ini dapat digunakan pada pengobatan BPPV tipe kanal
lateral. Pasien berguling 3600, yang dimulai dari posisi supinasi lalu pasien
menolehkan kepala 900 ke sisi yang sehat, diikuti dengan membalikkan tubuh
ke posisi lateral dekubitus. Lalu kepala menoleh ke bawah dan tubuh
mengikuti ke posisi ventral dekubitus. Pasien kemudian menoleh lagi 900 dan
tubuh kembali ke posisi lateral dekubitus lalu kembali ke posisi supinasi.
Masing-masing gerakan dipertahankan selama 15 detik untuk migrasi lambat
dari partikel-partikel sebagai respon terhadap gravitasi.18

Gambar 7. Manuver Lempert18


d. Brandt-Daroff exercise

35
Manuver ini dikembangkan sebagai latihan di rumah dan dapat
dilakukan sendiri oleh pasien sebagai terapi tambahan pada pasien yang tetap
mengalami simptom setelah melakukan manuver Epley atau Semont. Latihan
ini juga dapat membantu pasien menerapkan beberapa posisi sehingga dapat
menjadi kebiasaan.18

Gambar 8 Brandt-Daroff Exercise17


2. Farmakologi
Penatalaksanaan dengan farmakologi untuk BPPV tidak secara rutin
dilakukan. Beberapa pengobatan hanya diberikan untuk jangka pendek untuk gejala-
gejala vertigo, mual dan muntah yang berat yang dapat terjadi pada pasien BPPV,
seperti setelah melakukan terapi PRM. Pengobatan untuk vertigo yang disebut juga
pengobatan suppresant vestibular yang digunakan adalah golongan benzodiazepine
(diazepam, clonazepam) dan antihistamine (meclizine, dipenhidramin).
Benzodiazepines dapat mengurangi sensasi berputar namun dapat mengganggu
kompensasi sentral pada kondisi vestibular perifer. Antihistamine mempunyai efek
supresif pada pusat muntah sehingga dapat mengurangi mual dan muntah karena
motion sickness. Harus diperhatikan bahwa benzodiazepine dan antihistamine dapat
mengganggu kompensasi sentral pada kerusakan vestibular sehingga penggunaannya
diminimalkan.16
3. Operasi
Operasi dapat dilakukan pada pasien BPPV yang telah menjadi kronik dan
sangat sering mendapat serangan BPPV yang hebat, bahkan setelah melakukan
manuver-manuver yang telah disebutkan di atas. Dari literatur dikatakan indikasi
untuk melakukan operasi adalah pada intractable BPPV, yang biasanya mempunyai
klinis penyakit neurologi vestibular, tidak seperti BPPV biasa.19

36
Terdapat dua pilihan intervensi dengan teknik operasi yang dapat dipilih, yaitu
singular neurectomy (transeksi saraf ampula posterior) dan oklusi kanal posterior
semisirkular. Namun lebih dipilih teknik dengan oklusi karena teknik neurectomi
mempunyai risiko kehilangan pendengaran yang tinggi.1

37
BAB III
PEMBAHASAN

Vertigo adalah halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi


pasien atau pasien serasa berputar mengelilingi lingkungan sekitar. Vertigo berasal dari
bahasa Latin vertere yang artinya memutar merujuk pada sensasi berputar sehingga
mengganggu rasa keseimbangan seseorang, umumnya disebabkan oleh gangguan pada sistim
keseimbangan. Hampir tiap orang merasakan vertigo sebagai suatu rasa pusing berputar
transien yang muncul mendadak setelah menoleh dengan cepat beberapa kali. Vertigo dapat
pula dipresepsikan sebagai rasa bergoyang atau berayun. Vertigo merupakan suatu gejala,
bukan suatu diagnosis. Vertigo muncul karena asimetri pada sistem vestibuler akibat
kerusakan atau disfungsi labirin, nervus vestibuler, atau struktur vestibuler pada batang otak.
Vertigo merupakan suatu gejala dengan sederet penyebab antara lain akibat kecelakaan,
stres, gangguan pada telinga dalam. Obat-obatan, terlalu sedikit atau banyak aliran darah ke
otak dan lain-lain. Tubuh merasakan posisi dan mengendalikan keseimbangan melalui saraf
yang berhubungan dengan area tertentu di otak. Vertigo bisa disebabkan oleh kelainan
didalam telinga, didalam saraf yang menghubungkan telinga dengan otak dan didalam otak
itu sendiri.
Vertigo posisi paroksismal jinak (VPPJ) atau disebut juga Benign Paroxysmal
Positional Vertigo (BPPV) merupakan bentuk vertigo posisional yang paling sering ditemui,
dengan sekitar 1,5 dari seluruh jumlah pasiennya memiliki disfungsi vestibuler. BPPV sering
kali disebabkan debris kalsium dalam kanal semisirkularis posterior, atau yang disebut
dengan kanalitiasis. BPPV merupakan kondisi episodic, sembuh sendiri, dicetuskan oleh
gerakan kepala mendadak atau karena ada perubahan posisi seperti berguling ditempat
tidur.11
Diagnosis BBPV ditegakkan apabila pasien memiliki episode vertigo rekuren yang
singkat (< 1 menit) yang dipicu oleh jenis gerakan kepala spesifik dan dikonfirmasi dengan
dengan adanya nistagmus selama maneuver picuan tersebut.
Diagnosis BPPV menjadi tidak pasti apabila tidak didapatkan adanya nistagmus pada
pemeriksaan fisik. Tetapi, pengobatan secara empiris dengan maneuver liberatory pada
setting ini sering kali efektif jika pada anamnesis mendukung diagnosis BPPV. Uji diagnostic
lain dapat dilakukan pada pasien yang tidak membaik dengan pemberian obat empiris dalam
beberapa hari.

38
Dari data anamnesis didapatkan keterangan mengenai seorang pasien perempuan, umur
72 tahun datang ke IGD RSUD Wonosobo dengan keluhan berupa suatu kumpulan gejala
berupa pusing berputar, mual, muntah, bertambah jika pasien berubah posisi, membaik jika
berbaring, tidak disertai penglihatan ganda, telinga berdenging, dan gangguan pendengaran,
sehingga dari anamnesis lebih menguatkan kepada vertigo perifer. Keluhan utama yang
dialami pasien adalah pusing berputar atau yang disebut dengan vertigo. Vertigo adalah
halusinasi gerakan lingkungan sekitar serasa berputar mengelilingi pasien atau pasien serasa
berputar mengelilingi lingkungan sekitar. Keluhan vertigo harus benar-benar dicermati pada
saat anamnesis karena sering kali dikacaukan dengan nyeri kepala atau keluhan lain yang
bersifat psikosomatis.
Pemeriksaan fisik difokuskan pada sifat nistagmus, beratnya ataksia, ada tidaknya
gejala yang berhubungan dengan gangguan serebellum misalnya dismetri dan abnormalitas
nervus kraniales misalnya ophtalmoplegi, diplopia atau disartri. Pada pemeriksaan juga
didapatkan sistem motoric dalam batas normal sehingga melemahkan ke arah vertigo sentral.
Tes romberg (+), gangguan pendengaran(-), stepping tes(+), pada saat berbaring keadaan
pasien membaik maka hasil ini mendukung ke arah Benign Paroxysmal Positional Vertigo
(BPPV).
Pasien mendapatkan terapi obat Betahistin. Betahistin merupakan obat antivertigo yang
bekerja dengan memperlebar sphincter prekapiler sehingga meningkatkan aliran darah pada
telinga bagian dalam, dengan demikian menghilangkan endolymphatic hydrops. Betahistin
juga memperbaiki sirkulasi serebral dan meningkatkan aliran darah arteri karotis interna.
Pemberian betahistin diindikasikan untuk mengurang vertigo yang berhubungan dengan
gangguan keseimbangan yang terjadi pada gangguan sirkulasi darah atau sindroma meniere
dan vertigo perifer.
Ondansetron merupakan antiemetik antagonis reseptor 5-HT3 selektif yang memblok
serotonin, baik secara perifer di terminal nervus vagal maupun secara pusat di chemoreceptor
trigger zone.
Flunarizin adalah calcium channel blocker selektif yang dapat mencegah overload
kalsium seluler dengan mengurangi influks kalsium transmembran eksesif; juga mempunyai
sifat antihistamin. Flunarizin juga memiliki efek yang lebih besar dalam menurunkan
frekuensi munculnya serangan migren dibanding menurunkan derajat keparahan ataupun
durasi serangan.
Mecobalamin atau metilkobalamin adalah metabolit dari vitamin B12 yang berperan
sebagai koenzim dalam proses pembentukan methionin dari homosystein. Reaksi ini berguna

39
dalam pembentukan DNA, serta pemeliharaan fungsi saraf. Melalui reaksi metilasi
metilkobalamin juga berperan dalam pembentukan lesithin, suatu protein yang sangat
berperan pada regenerasi saraf tepi termasuk proses pembentukan myelin.
Ketorolac adalah obat anti inflamasi nonsteroid (NSAID). Indikasi penggunaan
ketorolac adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu penggunaan maksimal selama 5
hari. Ketorolac selain digunakan sebagai anti inflamasi juga memiliki efek anelgesik yang
bisa digunakan sebagai pengganti morfin. Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin.
Kerjanya menghambat enzim siklooksogenase (prostaglandin sintetase). Selain menghambat
sintese prostaglandin, juga menghambat tromboksan A2. ketorolac tromethamine
memberikan efek anti inflamasi dengan menghambat pelekatan granulosit pada pembuluh
darah yang rusak, menstabilkan membrane lisosom dan menghambat migrasi leukosit
polimorfonuklear dan makrofag ke tempat peradangan.
Eperison adalah obat antispasmodic yang dapat merelaksasikan otot skeletal dan otot
polos vaskuler, serta efek-efek lainnya, seperti mengurangi miotonia, meningkatkan sirkulasi,
dan supresi refleks nyeri. Obat ini tidak diperdagangkan dibeberapa negara, seperti Amerika
Serikat, tetapi tersedia di negara-negara tertentu seperti India, Korea Selatan, dan Indonesia.
Meloxicam secara reversibel menghmabat enzim siklooksigenasi-1 dan 2 (COX-1 dan
2), yang menyebabkan penurunan formasi precursor prostaglandin; memiliki sifat antipiretik,
analgesic, dan anti inflamasi. Mekanisme lainnya masih belum diketahui pasti, diantaranya
mekanisme menghambat kemotaksis, alterasi aktivitas limfosit, menghambat
agregasi/aktivasi neutrophil, dan menurunkan kadar sitokin pro inflamasi.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Reinhard Rohkamm MD. Color Atlas of Neurology. Rüdigerstrasse 14, 70469


Stuttgart, Germany: Georg Thieme Verlag; 2004. 58-9 p.
2. Mazzoni PP, Toni Shih; Rowland, Lewis P. Merritt's Neurology Handbook, 2nd
Edition: Lippincott Williams & Wilkins; 2006. 34,5 p.
3. Frank H. Netter MD. Atlas of Human Anatomy. 5th edition ed. United State Of
America: Saunders; 2011. 95 p.
4. Sherwood L. Human Physiology From Cells to Systems. 7th Edition ed: Yolanda
Cossio; 2010. 224-6 p.
5. Gerard J. Tortora BD. Principles of Anatomy & Physiology. 13th Edition ed. United
States of America: John Wiley & Sons, Inc.; 2012. 659-70 p.
6. Larry E. Davis MD, Molly K. King, M.D., Jessica L. Schultz, M.D. Fundamentals of
Neurologic Disease. 386 Park Avenue South, New York, New York 10016: Demos
Medical Publishing, Inc; 2005. 212-7 p.
7. Thomas Brandt MD, Michael Strupp. Vertigo and Dizziness Common Complaints.
United States of America: Springer-Verlag London Berlin Heidelberg; 2004. 41-53 p.
8. Indonesia KSVPDSS. Pedoman Tata Laksana Vertigo2012. 25-6 p.
9. BPPV B. (Benign Paroxysmal Positional Vertigo). 2009; Available from: Available
from :http://www.drtbalu.com/BPPV.html.
10. Hain TC. Benign Paroxismal Positioning Vertigo.; Available from: Diakses dari :
http://www.dizziness-and-balance.com/disorders/bppv/bppv.htm.
11. Li J. Benign paroxysmal positioning vertigo.; Available from: Diakses dari :
http://emedicine.medscape.com/article/884261-overview#a0104.
12. Joseph M. Furman M.D P, Stephen P. Cass. BENIGN PAROXYSMAL
POSITIONAL VERTIGO. The New England Journal of Medicine. 1999:1-7.
13. Walter G. Bradley DM, F.R.C.P et all. Neurology in Clinical Practice Principles of
Diagnosis and Management. Fourth Edition ed: Elsevier Inc; 2004
14. D.T. F. Benign Paroxysmal Positional Vertigo. . Semin Neurol Journal 2009;29:5008.
15. Lorne S. Parnes SKA, Jason Atlas. Diagnosis and management of benign paroxysmal
positional vertigo (BPPV). CMAJ. 2003:681-93. Epub SEPT. 30.
16. Bhattacharyya N BFR, Orvidas L. Clinical practice guideline: Benign paroxysmal
positional vertigo. American Academy of Otolaryngology–Head and Neck Surgery
Foundation. 2008;139:47-81.
17. Practice Parameter: Therapies for benign paroxysmal positional vertigo (an evidence-
based review). American Academy of Neurology, 2008.

41
18. Bittar et al. Benign Paroxysmal Positional Vertigo: Diagnosis and Treatment. .
International Tinnitus Journal 2011;16(2):135-45.
19. Leveque et al. Surgical Therapy in Intrctable Benign Paroxysmal Positional Vertigo.
Otolaryngology-Head and Neck Surgery. 2007;136:693-8.

42

Anda mungkin juga menyukai