Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Swamedikasi (Pengobatan sendiri) merupakan upaya yang dilakukan oleh


masyarakat dalam pengobatan tanpa adannya resep dari dokter atau tenaga medis
lainnya. Swamedikasi dilakukan berdasarkan dari pengalaman pasien atau dari
rekomendasi orang lain. Pengobatan sendiri dilakukan untuk mengatasi
keluhankeluhan ringan (Merianti et al., 2013), menurut World Health Organization
(WHO) peran pengobatan sendiri adalah untuk mengatasi dan menanggulangi
secara cepat dan efektif keluhan yang tidak memerlukan konsultasi medis,
mengurangi beban biaya dan meningkatkan keterjangkauan masyarakat terhadap
pelayanan medis (Supardi & Notosiswoyo, 2005).
Salah satu penyakit ringan yang dapat diatasi dengan pengobatan sendiri
adalah penyakit batuk. Batuk merupakan simptom umum bagi penyakit respiratori
dan non-respiratori (Haque, 2005). Timbulnya respon batuk bisa dikarenakan
beragam hal salah satunya adalah keberadaan mukus pada saluran pernafasan.
Normalnya, mukus membantu melindungi paru-paru dengan menjebak partikel
asing yang masuk. Namun apabila jumlah mukus meningkat, maka mukus tidak
lagi membantu malahan mengganggu pernafasan (Koffuor dkk., 2014). Oleh karena
itu, tubuh memiliki respon batuk untuk mengurangi mukus yang berlebihan
tersebut.
Selain oleh mukus, batuk dapat disebabkan oleh faktor luar seperti debu
maupun zat asing yang dapat mengganggu pernafasan. Semakin banyak partikel
asing yang harus dikeluarkan, semakin banyak pula frekuensi batuk seseorang.
Frekuensi batuk yang terlalu tinggi dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang.
Secara umum batuk dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu batuk kering yang
merupakan batuk yang disebabkan oleh alergi, makanan, udara, dan obat-obatan.
Batuk kering dapat dikenali dari suaranya yang nyaring, sedangkan yang kedua
adalah batuk berdahak yang disebabkan oleh adanya infeksi mikroorganisme atau
virus dan dapat dikenali dari suaranya yang lebih berat dengan adanya pengeluaran

1
dahak (Djunarko & Hendrawati, 2011). Kesulitan dalam pengeluaran dahak akan
berdampak pada sulitnya bernafas yang bisa menyebabkan sianosis, kelelahan,
apatis serta merasa lemah (Nugroho & Kristianti, 2011).
Swamedikasi batuk diperlukan pengetahuan mengenai pemilihan obat yang
rasional sesuai batuk yang dialami oleh pasien, untuk batuk berdahak digunakan
obat golongan mukolitik (pengencer dahak) dan ekspektoran (membantu
mengeluarkan dahak), sementara untuk batuk kering digunakan obat golongan
antitusif (penekan batuk) (Djunarko & Hendrawati, 2011). Obat batuk banyak
diiklankan dan bisa diperoleh tanpa resep dokter atau dikenal sebagai obat bebas
(over-the-counter medicine). Menurut Corelli (2007) jenis obat batuk bebas yang
sering ada di pasaran adalah jenis ekspektoran dan antitusif.
Masyarakat hari ini saat batuk tidak meminum obat batuk tetapi melakukan
swamedikasi non farmakologi seperti minum air hangat, minum perasan jeruk dan
adapula yang meminum obat yang berdasarkan iklan yang berasal dari media social.
Obat-obat yang dipilih mengandung lebih dari satu zat aktif yang kurang sesuai
untuk pengobatan batuk. Menurut Kartajaya (2011) alasan masyarakat Indonesia
melakukan swamedikasi atau peresepan sendiri karena penyakit dianggap ringan
(46%), harga obat yang lebih murah (16%) dan obat mudah diperoleh (9%),
walaupun jumlah dokter dan rumah sakit bertambah, hal ini tidak mempengaruhi
masyarakat untuk melakukan tindakan swamedikasi (Kartajaya et al., 2011). Maka
pengetahuan mengenai obat batuk sangat dibutuhkan dalam memilih obat yang
benar saat mengalami batuk (Djunarko & Hendrawati, 2011).
Oleh karena itu makalah ini dilakukan untuk menjadi bahan dalam pemilihan
obat pada swamedikasi batuk, sehingga dimaksudkan akan berdampak positif
kepada apoteker untuk lebih dapat menjelaskan dengan benar fungsi dari masing-
masing obat batuk yang akan dipilih oleh pasien (Kartajaya et al., 2011).

II. Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apa yang dimaksud dengan batuk?
2. Bagaimana tanda dan gejala dari batuk?

2
3. Apa faktor penyebab terjadinya batuk?
4. Bagaimana penatalaksanaan terapi pada batuk?

Tujuan

Adapun tujuan penulisan dari makalah ini adalah:


1. Untuk mengetahui pengertian batuk
2. Untuk mengetahui tanda dan gejala dari batuk
3. Untuk mengetahui penyebab terjadinya batuk
4. Untuk mengetahui penatalaksanaan terapi pada batuk

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi

Batuk merupakan mekanisme pertahanan diri paling efisien dalam


membersihkan saluran nafas yang bertujuan untuk menghilangkan mukus, zat
beracun dan infeksi dari laring, trakhea, serta bronkus. Batuk juga bisa menjadi
pertanda utama terhadap penyakit pernafasan sehingga dapat menjadi petunjuk bagi
tenaga kesehatan yang berwenang untuk membantu penegakan diagnosisnya
(Chung, 2003). Orang sehat hampir tidak batuk sama sekali berkat mekanisme
pembersihan dari bulu getar di dinding bronchi, yang berfungsi menggerakkan
dahak keluar dari paru-paru menuju batang tenggorok. Batuk bukan penyakit, tetapi
merupakan gejala atau tanda adanya gangguan pada saluran pernafasan (Tjay dan
Rahardja, 2007).

II. Etiologi Batuk


Batuk dapat dipicu oleh berbagai iritan yang memasuki cabang
trakeobronkial melalui inhalasi (asap, debu, asap rokok) atau melalui aspirasi
(sekresi jalan nafas, benda asing, isi lambung). Jika batuk disebabkan karena iritasi
oleh adanya sekresi jalan nafas (seperti post nasal drip) atau isi lambung, faktor
pemicunya mungkin tidak dikenali dan batuknya bersifat persisten. Paparan
terhadap iritan semacam itu yang berkepanjangan dapat menimbulkan inflamasi
jalan nafas, yang dapat memicu batuk dan menyebabkan jalan nafas menjadi lebih
sensitif.
Berbagai gangguan yang menyebabkan inflamasi, konstriksi, dan kompresi
jalan nafas dapat juga menyebabkan batuk. Inflamasi biasanya disebabkan oleh
infeksi pernafasan, baik karena virus dan bakteri. Penggunaan obat golongan ACEI
sering dihubungkan dengan kejadian batuk non produktif dan terjadi pada 5-20%
pasien yang menggunakan obat ini (Ikawati, 2002).
Penyebab batuk lainnya adalah peradangan dari jaringan paru (pneumonia),
tumor dan juga akibat efek samping beberapa obat (ACEI). Batuk juga merupakan

4
gejala terpenting pada penyakit kanker paru. Penyakit tuberkulosa di lain pihak,
tidak selalu disertai batuk, walaupun gejala ini sangat penting. Selanjutnya batuk
adalah gejala lazim pada penyakit tifus dan pada dekompensasi jantung, terutama
pada manula, begitu pula pada asma dan keadaan psikis. Disamping gangguan-
gangguan tersebut, batuk bisa juga dipicu oleh stimulasi reseptor-reseptor yang
terdapat di mukosa ari seluruh napas, (termasuk tenggorok), juga dalam lambung
(Tjay dan Rahardja, 2007).
III. Patofisiologi
Batuk adalah bentuk refleks pertahanan tubuh yang penting untuk
meningkatkan pengeluaran sekresi mukus dan partikel lain dari jalan pernafasan
serta melindungi terjadinya aspirasi terhadap masuknya benda asing. Setiap batuk
terjadi melalui stimulasi refleks arkus yang kompleks. Hal ini diprakarsai oleh
reseptor batuk yang berada pada trakea, carina, titik percabangan saluran udara
besar, dan saluran udara yang lebih kecil di bagian distal, serta dalam faring. Laring
dan reseptor tracheobronchial memiliki respon yang baik terhadap rangsangan
mekanis dan kimia. Reseptor kimia yang peka terhadap panas, asam dan senyawa
capsaicin akan memicu refleks batuk melalui aktivasi reseptor tipe 1 vanilloid
(capsaicin). Impuls dari reseptor batuk yang telah dirangsang akan melintasi jalur
aferen melalui saraf vagus ke „pusat batuk‟ di medula. Pusat batuk akan
menghasilkan sinyal eferen yang bergerak menuruni vugus, saraf frenikus dan saraf
motorik tulang belakang untuk mengaktifkan otot-otot ekspirasi yang berguna
membantu batuk.
Batuk dimulai dari suatu rangsangan pada reseptor batuk. Reseptor ini berupa
serabut saraf non myelin halus yang terletak baik di dalam maupun di luar rongga
toraks. Yang terletak di dalam rongga toraks antara lain terdapat pada laring, trakea,
bronkus, dan di pleura. Jumlah reseptor akan semakin berkurang pada cabang-
cabang bronkus yang kecil, dan sejumlah besar 6 reseptor di dapat di laring, trakea,
karina dan daerah percabangan bronkus. Serabut aferen terpenting terdapat pada
cabang nervus vagus yang mengalirkan rangsang dari laring, trakea, bronkus,
pleura, lambung, dan juga rangsangan dari telinga melalui cabang Arnold dari
nervus vagus. Nervus trigeminus menyalurkan rangsang dari sinus paranasalis,

5
nervus glosofaringeus menyalurkan rangsang dari faring dan nervus frenikus
menyalurkan rangsang dari perikardium dan diafragma. Rangsangan ini oleh
serabut afferen dibawa ke pusat batuk yang terletak di medula, di dekat pusat
pernafasan dan pusat muntah. Kemudian dari sini oleh serabut-serabut aferen
nervus vagus, nervus frenikus, nervus interkostalis dan lumbar, nervus trigeminus,
nervus fasialis, nervus hipoglosus, dan lain-lain menuju ke efektor. Efektor ini
berdiri dari otot-otot laring, trakea, bronkus, diafragma, otot-otot interkostal, dan
lain-lain.

Di daerah efektor ini mekanisme batuk kemudian terjadi. Pada dasarnya


mekanisme batuk dapat dibagi menjadi empat fase yaitu :
1. Fase iritasi
Iritasi dari salah satu saraf sensorik nervus vagus di laring, trakea, bronkus
besar, atau serat aferen cabang faring dari nervus glosofaringeus dapat
menimbulkan batuk. Batuk juga timbul bila reseptor batuk di lapisan faring dan
esofagus, rongga pleura dan saluran telinga luar dirangsang.
2. Fase inspirasi
Pada fase inspirasi glotis secara refleks terbuka lebar akibat kontraksi otot
abduktor kartilago aritenoidea. Inspirasi terjadi secara dalam dan cepat,
sehingga udara dengan cepat dan dalam jumlah banyak masuk ke dalam paru.
Hal ini disertai terfiksirnya iga bawah akibat kontraksi otot toraks, perut dan
diafragma, sehingga dimensi lateral dada membesar mengakibatkan

6
peningkatan volume paru. Masuknya udara ke dalam paru dengan jumlah
banyak memberikan keuntungan yaitu akan memperkuat fase ekspirasi
sehingga lebih cepat dan kuat serta memperkecil rongga udara yang tertutup
sehingga menghasilkan mekanisme pembersihan yang potensial.
3. Fase kompresi
Fase ini dimulai dengan tertutupnya glotis akibat kontraksi otot adductor
kartilago aritenoidea, glotis tertutup selama 0,2 detik. Pada fase ini tekanan
intratoraks meningkat hingga 300 cm H2O agar terjadi batuk yang efektif.
Tekanan pleura tetap meninggi selama 0,5 detik setelah glotis terbuka . Batuk
dapat terjadi tanpa penutupan glotis karena otot-otot ekspirasi mampu
meningkatkan tekanan intratoraks walaupun glotis tetap terbuka.
4. Fase ekspirasi
Pada fase ini glotis terbuka secara tiba-tiba akibat kontraksi aktif otot ekspirasi,
sehingga terjadilah pengeluaran udara dalam jumlah besar dengan kecepatan
yang tinggi disertai dengan pengeluaran benda-benda asing dan bahan-bahan
lain. Gerakan glotis, otot-otot pernafasan dan cabang-cabang bronkus
merupakan hal yang penting dalam fase mekanisme batuk dan disinilah terjadi
fase batuk yang sebenarnya. Suara batuk sangat bervariasi akibat getaran sekret
yang ada dalam saluran nafas atau getaran pita suara (Putri, 2012).

IV. Klasifikasi
Berdasarkan durasinya, batuk dibedakan menjadi batuk akut, subakut, dan
batuk kronis. Batuk akut yaitu batuk yang terjadi kurang dari 3 minggu. Batuk
subakut yaitu batuk yang terjadi selama 3-8 minggu, sedangkan batuk kronis yaitu
batuk yang terjadi lebih dari 8 minggu. Dari durasi batuk maka dapat diprediksi
penyakitnya. Misalnya batuk akut yang biasanya disebabkan oleh infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA) atau bisa juga karena pnemonia dan gagal jantung kongestif.
Batuk subakut bisa disebabkan oleh batuk pasca infeksi, bakteri sinusitis maupun
batuk karena asma. Sedangkan batuk kronis bila terjadi pada perokok biasanya
merupakan penyakit chronic obstructive pulmonary disease (COPD) dan pada non

7
perokok kemungkinan adalah post-nasal drip, asma dan gastroesophageal reflux
disease (GERD).
Bila berdasarkan tanda klinisnya, batuk dibedakan menjadi batuk kering dan
batuk berdahak. Batuk kering merupakan batuk yang tidak dimaksudkan untuk
membersihkan saluran nafas, biasanya karena rangsangan dari luar. Sedangkan
batuk berdahak merupakan batuk yang timbul karena mekanisme pengeluaran
mukus atau benda asing di saluran nafas (Ikawati, 2009).
Menurut Digpinigaitis (2009) batuk secara definisinya bisa diklasifikasikan
mengikut waktu yaitu batuk akut yang berlangsung selama kurang dari tiga minggu,
batuk sub-akut yang berlangsung selama tiga hingga delapan minggu dan batuk
kronis berlangsung selama lebih dari delapan minggu.
1. Batuk Akut
Batuk akut berlangsung selama kurang dari tiga minggu dan merupakan
simptom respiratori yang sering dilaporkan ke praktik dokter. Kebanyakan
kasus batuk akut disebabkan oleh infeksi virus respiratori yang merupakan self-
limiting dan bisa sembuh selama seminggu (Haque, 2005). Dalam situasi ini,
batuk merupakan simptom yang sementara dan merupakan kelebihan yang
penting dalam proteksi saluran pernafasan dan pembersihan mukus. Walau
bagaimanapun, terdapat permintaan yang tinggi terhadap obat batuk bebas yang
kebanyakannya mempunyai bukti klinis yang sedikit dan waktu yang diambil
untuk konsultasi ke dokter tentang simptom batuk (Digpinigaitis, 2009).
2. Batuk Kronis
Batuk kronis berlangsung lebih dari delapan minggu. Batuk yang berlangsung
secara berterusan akan menyebabkan kualitas hidup menurun yang akan
membawa kepada pengasingan sosial dan depresi klinikal (Haque, 2005).
Penyebab sering dari batuk kronis adalah penyakit refluks gastro-esofagus,
rinosinusitis dan asma. Terdapat juga golongan penderita minoritas yang batuk
tanpa dengan diagnosis dan pengobatan diklasifikasikan sebagai batuk idiopatik
kronis. Batuk golongan ini masih berterusan dipertanyakan apa sebenarnya
penyebabnya yang pasti (Haque, 2005).

8
Berdasarkan produktivitasnya, batuk dapat dibedakan menjadi menjadi 2
jenis, yaitu batuk berdahak (batuk produktif) dan batuk kering (batuk non
produktif).

1. Batuk berdahak (batuk produktif)


Batuk berdahak ditandai dengan adanya dahak pada tenggorokan. Batuk
berdahak dapat terjadi karena adanya infeksi pada saluran nafas, seperti influenza,
bronchitis, radang paru, dan sebagainya. Selain itu batuk berdahak terjadi karena
saluran nafas peka terhadap paparan debu, polusi udara, asap rokok, lembab yang
berlebihan dan sebagainya (Tjay, 2007).
2. Batuk kering (batuk non produktif)
Batuk yang ditandai dengan tidak adanya sekresi dahak dalam saluran nafas,
suaranya nyaring dan menyebabkan timbulnya rasa sakit pada tenggorokan. Batuk
kering dapat disebabkan karena adanya infeksi virus pada saluran nafas, adanya
faktor-faktor alergi (seperti debu, asap rokok dan perubahan suhu) dan efek
samping dari obat (misalnya penggunaan obat antihipertensi kaptopril) (Tjay,
2007).

V. Penatalaksanaan Terapi
A. Farmakologi
Menurut Beers (2003) batuk memiliki peran utama dalam
mengeluarkan dahak dan membersihkan saluran pernafasan, maka batuk yang
menghasilkan dahak umumnya tidak disupresikan. Yang diutamakan adalah
pengobatan kausa seperti infeksi, cairan di dalam paru, atau asma. Misalnya,
antibiotik akan diberikan untuk infeksi atau inhaler bisa diberi kepada
penderita asma. Bergantung pada tingkat keparahan batuk dan penyebabnya,
berbagai variasi jenis obat mungkin diperlukan untuk pengobatan. Banyak
yang memerlukan batuknya disupresikan pada waktu malam untuk
mengelakkan dari gangguan tidur.
Menurut KKM (2007) sangat penting untuk mengobati batuk dengan
jenis obat batuk yang benar. Menurut Beers (2003) pengobatan batuk secara
umumnya dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis batuknya berdahak atau

9
tidak. Jenis-jenis obat batuk yang terkait dengan batuk yang berdahak dan tidak
berdahak yang dibahaskan di sini adalah mukolitik, ekspektoran dan antitusif.

 Mukolitik
Golongan mukolitik bekerja dengan menurunkan viskositas atau dahak,
sehingga memudahkan ekspektorasi. Biasanya digunakan pada kondisi
dimana dahak cukup kental dan banyak seperti pada penyaki paru obstrulsi
kronis (PPOK), asma, bronkiektasis dan sistik fibrosis. Contok obat-obat
mukolitik sebagai berikut : N-asetilsistein, karbosistein, ambroksol,
bromheksin dan mesistein.
Dosis Oral Untuk Obat Mukolitik
Obat Dosis dan Interval
Dewasa Anak-anak

Ambroksol HCl 60 mg 2 x sehari 6-12 tahun : 30 mg, 2-3 x


sehari
2-6 tahun : 15 mg, 3x
sehari

Asetilsistein 200 mg, 3 x sehari 100 mg, 3 x sehari

Bromheksin 8 mg 3-4 x sehari >10 tahun : 8 mg 3 x


sehari
3-10 tahun : 4 mg 3 x
Karbosistein Awal : 750 mg 3 x 2-5 tahun : 65,5-125 4 x
sehari, kemudian : 1,5 g sehari
sehari dosis terbagi 6-12 tahun : 250 mg 3 x
sehari

 Ekspektoran
Ekspektoran ditunjukkan untuk merangsang batuk sehingga memudahkan
pengeluaran dahak atau ekspektorasi. Obat bebas yang sering digunakan
adalah guaifenesin. Zat-zat yang terdapat pada obat ekspektoran
memperbanyak produksi dahak yang encer dan dengan demikian

10
mengurangi kekentalannya, sehingga mempermudah pengeluarannya
dengan batuk.

 Antitusif
Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant merupakan
obat batuk yang menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat
batuk di otak dan menekan respirasi. Misalnya dekstrometorfan dan
folkodin yang merupakan opioid lemah. Terdapat juga analgesik opioid
seperti kodein, diamorfin dan metadon yang mempunyai aktivitas
antitusif.
Antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan derivatnya
termasuk morfin, kodein, dekstrometorfan, dan fokodin.
Kebanyakannya berpotensi untuk menghasilkan efek samping termasuk
depresi serebral dan pernafasan. Juga terdapat penyalahgunaan.

Dosis Oral Beberapa Antitusif


Obat Dosis dan Interval
Dewasa Anak-anak
Kodein 10-20 mg setiap 4-6 6-12 tahun : 5-10 mg setiap
jam 4-6 jam prn (tidak boleh
Jika perlu (tidak lebih dari 60 mg/hari)
boleh lebih dari 120 2-6 tahun : 0,25 mg/kg
mg/hari) sampai 4 x sehari
Noskapin 25 mg/ 5 ml sirup 0-4 tahun : 1,25 ml
setiap 8 jam 4-10 tahun : 2,5 ml
10-15 tahun : 3,75 ml tiap 8
jam
Dekstromertofan 10-20 mg tiap 4 jam 1 mg/kg per hari dalam 3-4
/ 30 mg tiap 6-8 jam dosis terbagi
maksimal 120
mg/hari

11
Terapi Spesifik Penyebab Paling Umum Batuk Kronis :
Penyebab Batuk Terapi
Postnasal drip
Rinitis alergi Penghindaran iritan lingkungan steroid
spray intranasal
Kombinasi anti histamin-dekongestan
intranasal ipratropium bromide (atrovent),
Untuk rhinitis vasomotor.
Sinusitis Antibiotik
Dekongestan nasal
Kombinasi antihistamin-dekongestan
Asma Bronkodilator
Inhalasi kortikosteroid
Terapi asma lainnya
Gastroesophageal Makanan tinggi protein, rendah lemak,
reflux diease (GERD) makan 3 x sehari, tidak makan atau minum
2-3 jam sebelum berbaring
Obatnya :
 antagonis reseptor H2 (ranitidin,
simetidin, famotidin)
 inhibitor pompa proton (omeprazole,
lanzoprazole)
 agen prokinetik (cisaprid)
Bronkitis kronis Berhenti merokok, mengurangi atau
menghindari iritan atau polutan.

B. Non-Farmakologi
Antara penjagaan sendiri untuk pencegahan batuk yang dianjurkan dalam
situs resmi KKM adalah :
1. Tidak merokok.
2. Minum air yang banyak, untuk membantu mengencerkan dahak,
mengurangi iritasi atau rasa gatal.

3. Cough drops.

4. Menjauhi dari penyebab batuk seperti etiologi abu dan asap rokok.

5. Meninggikan kepala dengan menggunakan bantal tambahan pada waktu


malam untuk mengurangkan batuk kering.

12
6. Hindari paparan debu yang merangsang tenggorokan, dan udara malam
yang dingin.

Evaluasi dan Pemantauan Terapi


Pasien dengan batuk kronis perlu dipantau secara hati-hati dan sistematik
terhadap beberapa indikator diagnostik spesifik, seperti radiografi dada, atau uji
fungsi paru dengan spirometri. Jika batuknya produktif disertai dahak yang purulen,
perlu dipertimbangkan adanya bronkiekstasis. Pada pasien dengan batuk non
spesifik dengan memiliki faktor resiko asma, perlu dicoba penggunaan obat jangka
pendek (short trial, 2-4 minggu) misalnya dengan beklometason atau budesonid.
Dalam penatalaksanaan batuk, terutama untuk batuk akut, farmasis dapat
turut berperan dalm pemilihan jenis obat batuk yang sesuai dengan batuknya. Untuk
batuk kronis, pasien perlu direkomendasikan untuk pemeriksaan dokter lebih lanjut
untuk memastikan etiologinya(Ikawati,2002).

13
BAB IV
PEMBAHASAN

Batuk adalah suatu proses alami dan reflex proteksi yang dimiiki oleh semua
individu yang sehat. Refleks ini penting untuk menjaga agar tenggorokan dan
saluran napas senantiasa bersih. Namun demikian, batuk yang berlebihan mungkin
menandakan adanya suatu penyakit atau gangguan kesehatan yang memerlukan
perhatian dan penanganan medis (MIMS, 2016).

Batuk dapat bersifat kering atau produktif. Batuk kering atau batuk non
produktif, tidak disertai sputum (dahak) dan seringkali menimbulkan rasa gatal
pada tenggorokan. Batuk jenis ini dapat menyebabkan suara menjadi serak atau
hilang. Batuk kering biasanya dipicu oleh partikel-partikel makanan yang kecil atau
asap iritan yang terhirup oleh saluran pernapasan, asap rokok, perubahan suhu
udara, kelembaban udara yang rendah (kering) atau udara yang tercemar. Juga dapat
disebabkan karena infeksi virus, flu, atau selesma yang belum lama terjadi sehingga
terkadang disebut juga batuk pasca infeksi virus. Adakalanya batuk kering juga
merupakan salah satu tanda dari penyakit lainnya seperti: asma, penyakit refluks
gastro esophagus (PRGE), atau gagal jantung kongestif dan juga dapat dipicu oleh
obat-obat tertentu (ACE inhibitor, beta-blockers, aspirin) (MIMS, 2016).

Sedangkan batuk produktif adalah jenis batuk yang disertai pengeluaran


sputum (dahak). Batuk produktif mungkin merupakan gejala yang tetap tinggal
setelah nyeri tenggorokan atau hidung tersumbat dan kongesti sinus. Batuk juga
dapat berlangsung akut dan kronik. Batuk akut muncul secara tiba-tiba, berlangsung
selama kurang dari 2 atau 3 minggu, dan seringkali disebabkan oleh selesma, flu,
atau imfeksi virus. Batuk kronik berlangsung lebih lama dari 2-3 minggu.

Langkah awal dalam terapi batuk kering atau non produktif yaitu mengobati
penyakit/gangguan yang mendasarinya, misalnya asma, bronkitis kronik, gagal
jantung dengan kongesti paru, kanker paru, refluks esofagitis, postnasal drip,
sarkoidosis, atau trakeitis.

14
Jika penyebab batuk tidak diketahui atau jika terapi spesifik yang telah
diberikan tidak berhasil meredakan batuk, pemberian terapi simtomatik misalnya
obat penekan batuk untuk batuk kering, atau espektoran dan mukolitik untuk batuk
produktif (batuk berdahak) adakalanya bermanfaat.

Menurut Martin (2007) antitusif atau cough suppressant merupakan obat


batuk yang menekan batuk, dengan menurunkan aktivitas pusat batuk di otak dan
menekan respirasi. Misalnya dekstrometorfan dan folkodin yang merupakan opioid
lemah. Terdapat juga analgesik opioid seperti kodein, diamorfin dan metadon yang
mempunyai aktivitas antitusif.
Antitusif yang selalu digunakan merupakan opioid dan derivatnya termasuk morfin,
kodein, dekstrometorfan, dan fokodin. Kebanyakannya berpotensi untuk
menghasilkan efek samping termasuk depresi serebral dan pernafasan. Juga
terdapat penyalahgunaan.
Ekspektoran merupakan obat yang dapat merangsang pengeluaran dahak
dari saluran pernafasan (ekspektorasi). Penggunaan ekspektoran ini didasarkan
pengalaman empiris. Tidak ada data yang membuktikan efektivitas ekspektoran
dengan dosis yang umum digunakan. Mekanisme kerjanya diduga berdasarkan
stimulasi mukosa lambung dan selanjutnya secara refleks merangsang sekresi
kelenjar saluran pernafasan lewat nervus vagus, sehingga menurunkan viskositas
dan mempermudah pengeluaran dahak. Obat yang termasuk golongan ini ialah
ammonium klorida dan gliseril guaiakoiat (Estuningtyas, 2008).
Mukolitik merupakan obat yang bekerja dengan cara mengencerkan secret
saluran pernafasan dengan jalan memecah benang-benang mukoprotein dan
mukopolisakarida dari sputum (Estuningtyas, 2008). Agen mukolitik berfungsi
dengan cara mengubah viskositas sputum melalui aksi kimia langsung pada ikatan
komponen mukoprotein. Agen mukolitik yang terdapat di pasaran adalah
bromheksin, ambroksol, dan asetilsistein (Estuningtyas, 2008).
Adapun terapi farmakologi dengan tujuan penjagaan sendiri untuk pencegahan
batuk yang dianjurkan dalam situs resmi KKM adalah :
1. Tidak merokok.

15
2. Minum air yang banyak, untuk membantu mengencerkan dahak, mengurangi
iritasi atau rasa gatal.
3. Cough drops.
4. Menjauhi dari penyebab batuk seperti etiologi abu dan asap rokok.
5. Meninggikan kepala dengan menggunakan bantal tambahan pada waktu malam
untuk mengurangkan batuk kering.
6. Hindari paparan debu yang merangsang tenggorokan, dan udara malam yang
dingin.
Obat herbal telah diterima secara luas di hampir seluruh Negara di dunia.
Menurut WHO, negara-negara di Afrika, Asia dan Amerika Latin menggunakan
obat herbal sebagai pelengkap pengobatan primer yang mereka terima. Bahkan di
Afrika, sebanyak 80% dari populasi menggunakan obat herbal untuk pengobatan
primer (WHO, 2003).
Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat herbal di negara
maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat prevalensi penyakit
kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit
tertentu di antaranya kanker serta semakin luas akses informasi mengenai obat
herbal di seluruh dunia (Sukandar E Y, 2006).
WHO merekomendasi penggunaan obat tradisional termasuk herbal dalam
pemeliharaan kesehatan masyarakat, pencegahan dan pengobatan penyakit,
terutama untuk penyakit kronis, penyakit degeneratif dan kanker. WHO juga
mendukung upaya-upaya dalam peningkatan keamanan dan khasiat dari obat
tradisional (WHO, 2003).
Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada
penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan karena obat tradisional memiliki efek
samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern.

16
DAFTAR PUSTAKA

Merianti, N. W. E., Goenawi, L. R., & Wiyono. W., 2013. Dampak penyuluhan
pada pengetahuan masyarakat terhadap pemilihan dan penggunaan obat
batuk swamedikasi di kecamatan malalayang, Jurnal Ilmiah Farmasi,
2(03), pp.100–103.

Haque, R. A., Chung, K. F., 2005. Cough: Meeting The Needs of A Growing Field,
London. Available from: http://www.coughjournal.com/content/1/1/1/.
[Accessed 27 March 2017]

Djunarko, I., & Hendrawati, D., 2011. Swamedikasi yang Baik dan Benar. Citra Aji
Parama,Yogyakarta.

Nugroho, A., & Kristianti, E., 2011. Stikes RS. Baptis Kediri. Batuk Efektif Dalam
Pengeluaran Dahak Pada Pasien Dengan Ketidakefektifan Bersihan Jalan
Nafas Di Instalasi Rehabilitasi Medik Rumah Sakit Baptis Kediri, 4(2).

Corelli, R. L., 2007. Therapeutic & Toxic Potential of Over-the-Counter Agents. In


: Katzung, B. G., Basic and Clinical Pharmacology. 10th ed. USA :
McGraw Hill, 1045-1046.

Kartajaya, H., Taufik., Mussry, J., Setiawan, I., Asmara, B., Winasis, N.T., 2011.
Self-Medication. Who Benefit and Who Is At Loss. Mark Plus Insight,
Indonesia.

Koffuor, G.A., Ofori-Amoah, J., Kyei, S., Antwi, S. dan Abokyi, S, 2014, Anti-
tussive, Mucosuppressant and Expectorant Properties, and the Safety
Profile of a Hydro-ethanolic Extract of Scoparia dulcis, International
Journal of Basic and Clinical Pharmacology, 3 (3), 447-453.

Chung, K.F., 2003, Management of Cough, dalam Chung, K.F., Widdicombe, J.G.,
Boushey, H.A., (Eds.), Cough: Causes, Mechanisms and Therapy, 283-
297, Blackwell Publishing Ltd., U.K.

17
Yahya, R.C., 2007, Batuk – Definisi, Jenis dan Penyebab Batuk Kronis,
http://www.jevuska.com/2014/02/24/batuk-definisi-jenis-dan-penyebab-
batuk-kronis/, 27 Maret 2017.

Ikawati, Z., 2009, Bahan Ajar Kuliah Materi Batuk, Fakultas Farmasi Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta.

Digpinigaitis, P., V., 2009. Acute Cough: A Diagnostic and Therapeutic Challenge,
USA. Available from: http://www.coughjournal.com/content/5/1/11.
[Accessed 27 Maret 2017]

Putri, C.A., Retorini, E., Irdiah, Wardani, P.K. dan Surtina, 2012, Obat-obat Saluran
Pernafasan, Poltekkes Kemenkes RI Pangkal Pinang, Bangka Belitung.

Kementerian Kesihatan Malaysia, 2007. Medicines for Cough. Perbadanan


Putrajaya: Kementerian Kesihatan Malaysia. Available from:
http://www.knowyourmedicine.gov.my/newsmaster.cfm?&menuid=20&
action=view&retrieveid=14&lang=EN. [Accessed 27 Maret 2017]

Beers, M. H., Fletcher, A. J., Jones, T. V., Porter, R., 2003. The Merck Manual of
Medical Information. 2nd ed. New York : Pocket Books.

Estuningtyas, A., Arif, A., 2008. Obat Lokal. In: Gunawan, S. G., Setiabudy, R.,
Nafrialdi, Farmakologi dan Terapi. 5th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 531-532.

Martin, E. A., 2007. Oxford Concise Medical Dictionary. 7th ed. New York: Oxford
University Press.

Sukandar E Y, Tren dan Paradigma Dunia Farmasi, Industri-Klinik-Teknologi


Kesehatan, disampaikan dalam orasi ilmiah Dies Natalis ITB,

WHO, 2003, Traditional medicine, http://www.who.int/mediacentre/


factsheets/fs134/en/, diakses Maret 2017

18

Anda mungkin juga menyukai