Anda di halaman 1dari 23

TUGAS KEWARGANEGARAAN

PERKEMBANGAN HAM DI KABUPATEN NAGEKEO

OLEH

NO NAMA – NAMA KELOMPOK NO REG

1. MARIA L . T . NUWA 211 11 078

2. FEBIANA ASA 211 11 025

3. THERESIA S . SERAN 211 11 050

4. DIONISIUS IMPI 211 11 041

5. AGUSTINUS PATAL 211 11 064

6. YOHANES DON BOSKO TEDEMAKING 211 11 019

FAKULTAS TEKNIK

JURUSAN SIPIL

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDIRA

KUPANG

2012
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
berkatnya-lah kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul
“PERKEMBANGAN HAM DI KABUPATEN NAGEKEO “

Kami menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini tidak bisa di selesaikan
apabila tidak ada berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dosen
pembimbing dan kawan- kawan semua . Kami sebagai penulis menyadari bahwa
dalam proses penulisan makalah ini masih dari jauh dari kesempurnaan baik
materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya dengan
segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat selesai dengan
baik dan oleh karenanya kami dengan rendah hati dan dengan tangan terbuka
menerima masukan, saran dan usul guna penyempurnaan makalah ini.

Kami pun berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca
baik anak-anak,kaum muda maupun kaum lansia ( lanjut usia )

Kupang, Desember 2012

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................i

DAFTAR ISI .............................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................1

LATAR BELAKANG ...............................................................................1

TUJUAN .....................................................................................................1

MASALAH .................................................................................................1

BAB II ISI ..................................................................................................2

KRITIK SARTRE .........................................................................................2

KEBEBASAN MENURUT SARTRE ............................................................3.

MAKNA SEBUAH KEHIDUPAN ............................................................... 6

CONTOH KASUS YANG ADA DI KABUPATEN NAGEKEO ...................... 8

PELANGGARAN HAM TAHUN 2009 ........................................................... 15

BAB III PENUTUP ....................................................................................20

KESIMPULAN .........................................................................................20

SARAN......................................................................................................20
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Berbicara tentang hak asasi manusia berarti kita bersentuhan langsung dengan hak hidup
seorang anak manusia. Manusia diciptakan Allah untuk menjaga, dan memlihara hidupnya.
Tetapi manusia terkadang tidak menjaga dirinya sebagaimana dirinya adalah makluk mulia
dan luhur. Manusia tidak lagi menghargai anugerah Tuhan yang secara cuma-cuma diterima.
Dalam hubungan dengan masyarakat Nagekeo yang dikenal dengan masyarakat yang
berbudaya yang sangat menghargai hak hidup, kini semuanya jauh dari yang diharapkan.
Dengan hadirnya zaman globalisasi ini, manusia Nagekeo perlahan-lahan meninggalkan
budaya mereka yang menjadi ciri khasnya. Mereka lebih menghargai produk-produk asing
yang sebenarnya dapat menjerumuskan mereka ke jurang malapetaka.

Dari sini kami mau katakana bahwa polemik-polemik hak-hak asasi manusia dengan
kebudayaan dan agama tidak hanya menyingkap kesulitan untuk menyatukan gambaran-
gambaran manusia yang berakar dalam berbagai kebudayaan, melainkan juga
menyembunyikan kepentingan-kepentingan para elit politis. Dari sisi para elit politis negara-
negara non-Barat, hak-hak asasi manusia dipandang sebagai produk individualism barat
yang tidak cocok dengan kebudayaan-kebudayaan lain yang pada dasarnya kolektivitas.

1.2 TUJUAN

Tujuan kami dalam pembuatan makalah ini adalah selain sebagai salah satu syarat untuk
pemenuhan tugas kewarganegaraan juga agar kita bisa mengetahui HAM di kabupaten
NAGEKEO secara mendalam

1.3 MASALAH

Masalah yang akan kami angkat dalam pembuatan makalah ini adalah masalah – masalah
HAM yang ada di Kabupaten NAGEKEO baik itu yang berupa pro dan kontra yang ada di
sana maupun kekerasan – kekerasan fisik yang terjadi.
BAB II

ISI

2 . 1 KRITIK SARTRE

Tuhan di mata Sartre saat ia masih kecil adalah sosok penghukum yang mengawasinya di
manapun dia berada, oleh karenanya dia tidak suka kehadiran Tuhan. Tuhan juga tidak hadir
ketika dia ingin menemuinya. Oleh karena itu Sartre sudah menolak Tuhan yang tidak nyata
semenjak umur 12 tahun. Sartre yang tadi dididik secara Katolik berpindah kepada
kesusastraan, yang disebut sebagai agama baru baginya. Namun secara sistematis, dan khas
eksistesialis, penolakan atas Tuhan ini dilakukannya karena pemisahan radikal dalam
tulisannya Ada dan Ketiadaan terjemahan dari Being and Nothingness. Baginya, di dunia ini
tidak ada grand design yang mutlak, manusialah yang bisa mengatur dirinya sendiri dengan
eksistensinya. Eksistensi manusia mendahului esensinya; manusia ada dan kemudian
menentukan "siapa dirinya". Dia menyangkal Descartes tentang Aku berpikir, maka aku ada,
yang benar adalah Aku ada lalu aku berpikir. Dari sinilah dia meneruskannya dalam teori
eksistensial fenomenologisnya, bahwa segala sesuatu harus dipisahkan dalam dua bagian;
etre en soi / ada dalam dirinya sendiri atau etre-pour soi / ada untuk dirinya sendiri. Segala
sesuatu yang ada dalam dirinya sendiri berarti tidak pasif, tidak aktif, tidak afirmatif juga
tidak negatif, ada begitu saja, tanpa fundamen, tanpa dapat diturunkan dari sesuatu lain,
tidak berkembang. Sedangkan ada untuk dirinya sendiri adalah sebuah kesadaran], dan ini
khas manusia. Dari pemisahan inilah, dia melabel Tuhan orang Kristen yang tidak berubah
itu masuk dalam golongan ada dalam dirinya sendiri, maka dari itu dia tidak lebih besar dari
manusia yang memiliki kesadaran untuk memilih esensinya sendiri. Di sinilah penyangkalan
Tuhan itu terjadi, dia tidak mengakui Tuhan lebih tinggi dari manusia, maka Tuhan tidak
diperlukan lagi. Karena Tuhan tidak lagi ada, maka manusia menjadi bebas dan bisa
menentukan kondisi bangsanya. Di sinilah nilai positif Sartre yang kemudian menghabiskan
seluruh kegiatan hidupnya untuk kebaikan manusia (gerakan sosial). Bahkan dia pernah
memenangi nobel perdamaian karena pengabdiannya terhadap kemanusiaan, namun
ditolaknya.

Menurut Sartre, manusia adalah kebebasan. Oleh sebab itu, manusia dengan segala
kehendak bebasnya dapat melakukan segala sesuatu tanpa adanya larangan dan paksaan
yang ia terima.
2.2 KEBEBASAN MENURUT SARTRE

Berbicara mengenai kebebasan dapat dikatakan bahwa manusia tidak pernah sampai kepada
suatu pengertian yang pasti tentang apa itu kebebasan, karena terminologi kebebasan
memiliki cakupan yang sangat luas. Namun, apabila kebebasan difokuskan pada manusia,
maka kebebasan merupakan salah satu aspek yang tidak dapat dipisahkan dari manusia,
karena melalui kebebasan, manusia berusaha mengaktualisasikan atau merealisir dirinya
sebagai individu yang bereksistensi. Dengan kata lain, kebebasan tidak hanya mencakup
salah satu aspek dari manusia untuk diaktualisasikan atau direalisir tetapi seluruh hidup
manusia itu adalah kebebasan atau kebebasan mencakup seluruh eksistensi manusia.

Tilikan kebebasan dicetuskan oleh Jean Paul Sartre dalam bukunya yang berjudul
eksistensialisme humanisme. Sartre menggagas bahwa manusia adalah kebebasan. Konsep
kebebasan yang mengalir dari Sartre tidak dapat dipahami lepas dari gagasannya mengenai
cara berada manusia di dunia yang dia lukiskan secara radikal dalam dua bentuk, antara lain
“etre-pour-soi (being-for-itself) dan etre-en-soi (being-in-itself). Bagaimana Sartre
menggagas “kebebasan” dengan bertolak dari cara berada manusia akan saya uraikan berikut
ini.

 Latar Belakang Pemikiran Jean Paul Sartre

Titik berangkat pemikiran Sartre diawali dari pandangannya tentang manusia. Menurut
Sartre, manusia merupakan satu-satunya makhluk yang bereksistensi, artinya bahwa manusia
itu bukanlah sesuatu yang konseptual melainkan sesuatu yang aktual. Dengan demikian,
eksistensi pertama-tama bertolak dari manusia sebagai subjek. Oleh karena eksistensi
bertolak dari manusia sebagai subjek, maka eksistensi manusia tidak sama dengan objek-
objek yang lain, karena eksistensi manusia tidak dihasilkan dari sesuatu yang ditentukan
melainkan suatu penyangkalan terhadap objek tertentu. Pemahaman ini bertolak dari apa
yang dicetuskan oleh Sartre bahwa eksistensi mendahului esensi. Artinya, manusia itu
berada dulu baru ada. Berada dulu baru ada hendak mengatakan suatu pengertian bahwa
manusia pada awalnya adalah kosong. Tetapi, oleh karena pilihan bebasnya manusia
menjadi ada. Dengan kata lain, kebebasan manusia untuk memilih menjadikan
kekosongannya bereksistensi. Bereksistensi berarti bertindak sesuai dengan pilihan saya
sebagai satu-satunya individu yang bebas. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa manusia
itu “ada” sejauh ia bertindak terhadap sesuatu bagi dirinya sendiri dan apa yang dia lakukan
untuk dirinya sendiri adalah lahir dari kebebasan dan kesadarannya sebagai individu yang
menyadari sesuatu yang berarti bagi dirinya.

Eksistensialisme humanisme Sartre lahir sebagai gugatan terhadap aliran filsafat yang
menganut paham idealisme dan materialisme. Filsafat idealisme yang berpuncak pada Hegel
mengatakan bahwa manusia tidak lebih dari sekadar “roh” yang sedang berkembang dan
bergerak menuju kesempurnaan diri. Manusia dalam pandangan Hegel bukanlah individu
yang memiliki otonomi dan bereksistensi melainkan hanyalah suatu proses penyempurnaan
diri dari Roh untuk menjadi absolut. Oleh karena itu, menurut Hegel, manusia tidak
mencerminkan suatu kehidupan yang konkrit karena makna dan kedudukannya terserap
dalam kesadaran Roh Absolut. Demikian pula kaum materialis berpendapat bahwa manusia
tidak lebih dari sekadar materi sebagai berada di atas kesadaran manusia.

Berangkat dari gagasan di atas, Sartre berpendapat bahwa para filsuf idealis dan meterialis
telah mereduksi hakekat manusia sebagai individu yang bereksistensi ke dalam proses
dialektik kesadaran roh dan materi. Menurut Sartre, manusia tidak pernah dapat direduksir
ke dalam realitas roh dan materi, karena manusia adalah satu-satunya makhluk yang
memiliki kesadaran tentang dirinya sebagai individu yang bebas dan bereksistensi.

 Kebebasan Sebagai Kata Kunci

Kebebasan merupakan kata kunci dalam filsafat eksistensialisme humanisme Sartre. Bagi
Sartre, kebebasan itu mutlak dan otonom bagi manusia karena manusia tidak memiliki esensi
atau kodrat. Jika manusia itu telah memiliki esensi atau kodrat maka dia bukan lagi manusia
bebas melainkan manusia yang hidup dalam aturan-aturan atau norma-norma yang sudah
ditentukan.

Terhadap kebebasan yang digaungkan oleh Sartre, saya melihat bahwa gagasan ini memiliki
konsekuensi baik dari segi positif maupun dari segi negatif. Dari segi positif dapat dikatakan
bahwa Sartre mengemas sebuah filsafat yang tidak menempatkan manusia ke dalam realitas
materi dan roh sebagaimana dipahami oleh para filsuf idealisme dan materialisme.
Sebaliknya,dengan menggaungkan kebebasan, Sartre membuka kesadaran kita bahwa
melalui kebebasannya manusia dapat mengaktualisasikan dirinya dalam kesadarannya
sebagai indviidu yang bereksistensi. Selain itu, melalui kebebasan manusia dituntut untuk
bertanggungjawab penuh atas dirinya sendiri, atas pilihan bebasnya dan atas tindakan-
tindakannya. Dengan kata lain, melalui kebebasanku aku tidak hanya bertanggungjawab atas
diriku sendiri, tetapi juga aku bertanggungjawab atas semua orang. Dengan demikian,
melalui kebebasanku mengaktualisasikan diriku aku sadar bahwa aku benar-benar ada. Jadi
aku harus bertanggungjawab atas diriku sendiri. Sebaliknya, dari segi negatif, saya melihat
bahwa Sartre dalam menggagas kebebasan tidak memperhitungkan nilai-nilai moral. Harus
diakui bahwa bagaimanapun juga manusia tidak lepas dari hukum-hukum yang mengatur
kehidupan manusia. Maka, apabila kebebasan tidak memperhitungkan pertimbangan-
pertimbangan moral sebagaimana dicetuskan oleh Sartre, maka akibatnya adalah bahwa
manusia itu sendiri jatuh atau terperosok ke dalam ketiadaan nilai-nilai moral. Sehingga,
konsekuensinya adalah manusia hidup dalam keegoisan karena tidak menghargai satu sama
lain akibat kebebasannya.

 Kesimpulan Pemikiran Sartre Mengenai Kebebasan

Setelah membahas bagaimana Sartre menggagas kebebasan, saya melihat bahwa di satu
pihak gagasan Sartre mengenai kebebasan masih memiliki relevansi pada jaman sekarang
tetapi di lain pihak gagasan ini memiliki konsekuensi yang dapat menghancurkan manusia
itu sendiri. Dengan kata lain konsep kebebasan Sarterian tidak relevan. saya katakan bahwa
konsep kebebasan Sarterian memiliki relevansi dalam arti bahwa bagaimanapun kebebasan
manusia untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya harus diakui dan dihargai. Salah satu
contoh misalnya adalah kebebasan untuk memilih partai tertentu atau kebebasan untuk
beragama. Dalam hal ini manusia mempunyai kebebasan mutlak dan otonom. Namun,
sebaliknya kebebasan Sarterian ini menjadi tidak relevan ketika manusia mengabaikan
norma-norma moral yang berlaku. Di sinilah Sartre tidak konsekuen dengan apa yang di
kemukakan. Oleh karena itu, menurut penulis, kebebasan manusia tetap diakui dan dihargai
karena hanya dengan jalan demikian manusia sesungguhnya merealisir atau
mengaktualisasikan dirinya tetapi dengan kebebasan itu juga manusia tidak boleh
mengabaikan prinsip dan norma-norma moral sebab manusia tidak lepas dari sebuah
komunitas yang memiliki hukum dan norma.
2.3 MAKNA SEBUAH KEHIDUPAN

2.3.1 Hidup Sebagai Anugerah Dengan Nilai Asasi Yang Sangat Tinggi

Manusia pada dasarnya melihat kehidupan sebagai suatu anugerah dengan bertitik tolak
dari realitas hidupnya sehari-hari, dimana dalam kehidupannya, manusia tidak pernah luput
dari berbagai macam persoalan hidup seperti kesenangan, kegembiraan, kekecewaan, sakit
ataupun penderitaan, kematian yang mendadak diluar dugaan, dan lain-lain.

Bertolak dari hal tersebut ini maka muncul suatu keyakinan dalam diri manusia yang melihat
bahwa hidup ini benar adalah suatu anugerah dari Allah. Manusia memang menemukan dan
mewariskan kehidupan tetapi kehidupan itu sendiri tidak berasal dari padanya melainkan
berasal dari Tuhan sebagai penciptadan sumber kehidupan. Tuhanlah menjadi pemilik dari
kehidupan itu sendiri yang berkuasa mutlak atas hidup dan mati. Gagasan tentang Allah
sebagai Tuhan yang berkuasa mutlak atas hidup dan mati secara eksklusif antara lain
terdapat dalam Gaudium et Spees art 51: 2. Selain itu terdapat pula dalam amanat Paus Pius
X11 tanggal 20 Mei 1948, 29 September 1949, 29 Oktober 1951 dan 13 September 1952.
Gagasan tentang sucinya kehidupan tidak dapat diganggu gugat antara lain diuraikan dalam
Ensiklik Casti Connubis No. 64. Dibandingkan dengan Tuhan, hidup manusia itu adalah
suatu yang bersifat kontingen, artinya dapat ada tetapi sekaligus dapat tidak ada, tetapi
secara de facto ada karena diciptakan Tuhan Karena itu apapun alasannya, manusia tidak
mempunyai kuasa sedikitpun untuk mencabut atau menghilangkan nyawa orang lain ataupun
diri sendiri. Karena hidup itu tidak berasal dari padanya melainkan berasal dari Tuhan
sebagai pemilik tunggal dan syah atas kehidupan. Dan karena itu hanya Tuhanlah yang
berkuasa mutlak untuk mencabut kehidupan seseorang bila saatnya telah tiba. Sedangkan
manusia tidak punya kuasa sedikitpun. Karena itu manusia hanya diberi kuasa yang sifatnya
terbatas atas kehidupan. Mematikan kehidupan sama artinya memperlakukan kehidupan
dengan melanggar batas kewenangan yang sudah ditentukan Tuhan.

Dalam refleksi hidup manusia, disadari benar bahwa manusia adalah suatu nilai yang sangat
tinggi, bahkan dalam arti tertentu lebih tinggi dari nilai-nilai lainnya yang ada dalam dunia
fana ini. Hidup pertama-tama dilihat sebagai nilai dasar. Kiranya menjadi jelas bahwa tanpa

hidup sebenarnya nilai-nilai lain menjadi sesuatu yany absurd dan tidak berarti. Karena
itulah maka hidup dilihat sebagai nilai asasi yang sangat tinggi.
2.3.2 Hidup Sebagai Asasi Dan Nilai Yang Harus Dilindungi

Karena hidup merupakan anugerah dengan nilai asasi yang sangat tinggi, maka hidup
merupakan hak asasi manusia, dan karenanya juga harus dilindungi. Hidup bersifat asai bagi
manusia, karena kalau diambil maka eksistensinya sebagai mnusia dengan sendirinya akan
lenyap. Terhadap segala hal yang dilihat dapat mengancam dan mwmbahayakan hidup
membuat manusia harus berusaha untuk melindungi hidupnya. Hidup disni pertama-tama
dilihat sebagai anugerah dengan nilai asasi yang sangat tinggi. Karena menampakan hak
asasi manusia maka hal ini membuat manusia dengan berbagai cara berusaha untuk
melindungi hidupnya terhadap segala hal yang mengancamnya.

2.3.3 Hidup Sebagai Anugerah Yang Terbatas

Tak dapat dipungkiri bahwa betapapun indahnya hidup manusia, tidak jarang juga
dirasakan dan dialami keterbatasannya dalam berbagai dimensi kehidupan manusia.
Keterbatasan hidup manusia itu antara lain memupuk dalam perjalanan hidupnya. Dalam
perjalnan hidupnya tidak semua yang dialami dirasakan dapat menyenangkan. Dalam ziarah
hidunya, ditemukan pelbagai macam gangguan, kelemahan, dan sebagainya yang mana hal
ini dirasakan sebagai pengurangan suatu kehidupan. Salah satu keterbatasan ini terutama
juga nampak pada usia manusia yang cukup pendek. Maut senantiasa membayangi hidupya
dan pada suatu saat mengakhiri hidupnya. Hidup diberikan kepada manusia sebagai
anugerah, tetapi anugerah itu sifatnya terbatas dan harus dihayati dalam keterbatasannya.
Namun kepada manusia juga dijanjikan hidup kekal yang berarti cakrawala baru yang
melampaui batas hidupnya dan mengatasi maut.
2.4 CONTOH KASUS YANG ADA DI KABUPATEN NAGEKEO

2.4.1 Eutanasia

2.4.1.1 Antara Pro dan Kontra.

Nama lain untuk menyatakan kematian yang nyaman adalah pembunuhan belas kasih. Kata
euthanasia dalam Oxford Engllish Dictionery dirumuskan sebagai kematian yang lembut dan
nyaman: dilakukan terutama dalam kasus penyakit yang penuh dengan penderitaan yang tak
tersembuhkan.

Kata eutanasia digunakan secara eufemistik untuk melukiskan prakek-paktek dan motif-
motif yang tidak banyak berkaitan dengan belas kasih. Maka peristiwa pembunuhan pada
bayi-bayi pada masa lalu maupun masa yang sekarang disebut demikian karena diantara
mereka yang dibunuh ada anak-anak cacat. Kebiasaan seperti ini cenderung mengaburkan
fakta bahwa sepanjang sejarah kebanyakan bayi yang dibunuh pada saat lahir, bukan anak-
anak cacat melainkan bayi perempuan. Saat itu ada begitu banyak argumen yang
menginginkan agar melegalisasikan euthanasia. Namun sejauh ini masih banyak pihak yang
kontra dengan eutanasia. Dibeberapa Negara maju seperti di Eropa dan Amerika, banyak
terdengar suara-suara yang pro terhadap prisip adanya eutanasia ini. Mereka berusaha
mengadakan suatu gerakan untuk menguatkannya dalam undang-undang negaranya. Usulan
agar melegalkan “pembunuhan belaskasih” ini mengalami kerancuan dengan pertimbangan-
pertimbangan yang tidak ada hubungannya dengan belaskasih.

2.4.1.2 Argument-Argumen Para Pendukung Eutanasia

Beberapa alasan yang sering dikemukan oleh para pendukung eutanasia antara lain adanya
tesis filisofis yang mengatakan bahwa eutanasia mempunyai hak yang dapat dialihkan dan
tidak dapat dikurang untuk membunuh dirinya. Tesis ini sebenarnya bertolak dari pandangan
mereka yang melihat bahwa kematian yang perlahan dan mematikan dilihat sebagai
kematian yang tidak bermartabat. Atas asumsi para pendukung eutanasia mengatakan bahwa
setiap pribadi mempunyai hak yang tidak dapat dialihkan untuk membunuh dirinya. Lebih
dari itu para pendukung eutanasia ini membuat suatu analogi, dimana manusia dianalogikan
dengan sebuah bidang di atas papan catur yang menyedihkan. Kedua, anggapan mengenai
kepemilikan, anggapan bahwa kehidupan seseorang merupakan miliknya sendiri. Pandangan
ini ada kaitannya dengan apa yang dinamakan dengan eutanasia sukarela yang merupakan
pilihan pribadi. Disini para pendukung eutanasia mengatakan bahwa sebaiknya kita harus
mengormati otonomi diri pribadi yang ingin dieutanasiakan yaitu bahwa kita harus
membiarkan mereka menghayati hidupnya sendiri menurut keputusan-keputusan otonomya
sendiri, bebas dari campur tangan dan pakasaan orang lain dan bila individu itu memilih
secara otonom untuk mati maka kita harus menghormati bahkan membantu mereka untuk
melaksanakan apa yang mereka inginkan. Ketiga, adanya argumen yang mengatakan bahwa
eutanasia dapat meringankan beban keluarga dari ketegangan finansial yang berat. Para
pendukung eutanasia mengatakan bahwa eutanasia bukan hanya merupakan tindakan kasih
kepada orang yang akan mati tetapi juga kepada orang masih hidup. Itulah sebabnya
mengapa eutanasia dilihat sebagai sesuatu yang baik karena dengan itu justru dapat
meringankan beban keluarga antara lain dari ketegangan finansial yang berat selain beban
psikologis dan sosial.

Dalam kaitan dengan eutanasia sukarela para pendukung eutanasia mengatakan bahwa
intinya adalah pilihan pribadi dan kesadaran diri, yang mana di dalamnya juga terdapat
sedikit bantuan dari teman-teman sendiri. Salah satu pandangan para pendukung eutanasia
mengatakan agar membiarkan para pelaku rasional untuk menghayati hidupnya sendiri
menurut keputusan-keputusannya sendiri, bebas dari paksaan dan campur tangan orang lain.
Tetapi jika si pelaku rasional harus memilih secara otonom untuk mati, maka hormat pada
otonom itu, dapat membawa kita untuk membantu mereka melakukan apa yang mereka
inginkan.

Melihat pandangan para pendukung yang menginkan agar melegalkan eutanasia,


sebenarnya ada sesuatu yang salah dalam pemikiran mereka., dimana prinsip otonom dapat
membawa para dokter mematikan siapa saja termasuk orang sehat demi permintaan. Sebab
mengapa hanya orang sakit yang diberi otonomo dalam hal ini? Disinilah letaak kekliruan
para pendukung eutanasia.

Pandangan umum untuk mendukung eutanasia yang diandaikan dan eutanasia yang
dipakasakan mempunyai kaitan dengan rendahnya kualitas hidup. Dapat diamati bahwa
eutanasia yang diandaikan maupun yang dipakasakan tidak dapat dibela dengan mengajukan
alasan otonomi. Baik dalam eutanasia yang diandaikan maupun yang dipaksakan diandaikan
bahwa orang itu karena suatu sebab tidak dapat menggunakan otonominya sama sekali.
Dengan kata lain keputusan itu diambil orang lain. Sesungguhnya setiap jenis kehidupan
manusia menjadi layak untuk dihayati oleh orang banyak atau kebanyakan dari mereka yang
menghayatinya. Disini selalu ada alasan untuk menghayati bahwa suatu keputusan yang
berakibat hidup orang lain pasti tidak dapat dilanjutkan, tidak saja konsissten dengan
otonomi tetapi juga tetap seringkali justru merupakan pelanggaran.
2.4.1.3 Negara Pendukung Eutanasia

Hingga saat ini, hukum dan praktek yang mengizinkan eutanasia telah diterima dan kedua
negara barat yakni Belanda dan Australia bagian utara. Upaya untuk melegalkan praktek
yang sama diajukan di oregon, USA New Zeland. Hukum yang diajukan di Oregon
dikalahkan oleh hakim federal sebagai ikon institusional.; kasusnya naik banding. Di New
Zeland, legalisasi ditinggalkan setelah muncul protes berat dari orang Maori. Pada tanggal
10 April 2001, senat kerajaan Belanda lewat undang-undang eutanasia secara resmi
melegalkan eutanasia.

Data tahun 1999 menunjukan lebih dari 2.000 pasien minta dieutanasiakan dengan jarum
suntik. Bahkan angka tak resmi menyebutkan 5.000 kematian berlangsung secara
menyenangkan, tanpa rasa sakit. Keputusan ini didasarkan pada argumen pokok “habisnya
harapan pasien untuk disembuhkan. Sebagai penganut keputusan disebutkan pula hasil
survei yang menunjukan 90 responden mendukung eutanasia.

2.4.1.4 Eutanasia Dalam Perpektif Iman Kristen

Berbicara tentang eutanasia, sebenarnya sama seperti pengguguran kandungan. Itu berarti
tidak diperbolehkan mempercepat kematian seseorang secara aktif dan terencana, juga jika
secara medis seseorang tidak lagi dapat disembuhkan dan juga kalau dilakukan atas
permintaan pasien sendiri. Seperti halnya pengguguran kandungan, disini ada pertimbangan
moral secara jelas, juga dalam proses kematian, martabat seorang anak manusia haruslah
dihormati. Semua pihak sependapat bahwa tidak ada seorangpun yang berhak mengakhiri
kehidupan orang lain. Sekalipun rasa iba atau karena belas kasihan. Itu berarti manusia
tidak secara total berkuasa atas dirinya sendiri. Hidup manusia merupakan rahmat Allah dan
manusia tidak berhak mengakhiri hidupnya. Dalam hal ini konsili Vatikan 11 meneguhkan
secara resmi harkat dan martabat manusia secara khusus haknya atas hidup antara lain:
penggugran, eutanasia, termasuk juga bunuh diri secara sukarela.
Pendapat Gereja Katolik mengenai eutanasia disini sangat jelas yaitu bahwa ;

Tak seorangpun dapat membiarkan seseorang manusia yang tidak bersalah dibunuh, entah
itu janin, anak atau orang dewasa, orang jompo atau pasien yang tidak dapat sembuh
ataupun orang yang sedang sekarat. Selanjutnya tak seorangpun diperkenankan meminta
perbuatan pembunuhan entah itu untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain yang

dipercayakan kepadanya. Juga tidak ada penguasa yang dengan sah dapat memerintahkanya
atau mengizinkan perbuatan semacam itu.

Paus Pius X11 dalam amanatnya tanggal 24 Februari 1957 kepada para dokter dan ahli
bedah mengatakan bahwa setiap bentuk eutanasia yakni pemberian narkotik untuk
mendatangkan atau mempercepat kematian tidak dibenarkan.

Tentang eutanasia pasif, Gereja Katolik mempunyai satu pandangan yang sedikit lunak,
yakni bahwa Gereja Katolik memaklumi eutanasia pasif dalam arti menyerahkan nasib
pasien kepada Tuhan setelah dokter tidak lagi mampu untuk menolongnya. Tetapi Gereja
Katolik menentang keras prinsip eutanasia aktif.

Pandangan Gereja Katolik mengatakan bahwa hanya Tuhanlah yang berkuasa atas hidup dan
mati manusia., sedangkan kuasa manusia sangatlah terbatas dan hanya berupa tugas
memelihara kehidupan dan kesehatan yang terganggu. Gereja mengakui akan adanya makna
dalam penderitaan seorang manusia. Hal ini bertolak dari keyakinan bahwa Allah tidak
meninggalkan orang yang sedang dalam keadaan menderita. Itu berarti bahwa dengan
memikul penderitaan dan solidaritas maka kitapun turut serta menebus penderitaan.
2.4.1.5 Eutanasia Bertentangan Dengan Kekudusan Manusia

Hidup manusia adalah kudus. Hal ini bertolak dari asumsi yaitu manusia diciptakan menurut
gambar dan rupa Allah sendiri. Itu berarti hidup manusia kudus karena menyerupai Allah.
Karena itulah maka membunuh atau menghilangkan nyawa orang yang tidak bersalah adalah
suatu perbuatan yang keliru dan karena itu tidak dapat dibenarkan.

Manusia adalah makluk yang memiliki ratio (Kol. 3:10) dan bermoral. Manusia menyerupai
Allah dan secara moral bertanggung jawab kepada-Nya. Manusia dapat kudus sebagaimana
Allah adalah kudus (Im, 11:14). Bertolak dari kekudusan manusia inilah maka Gereja
berpendapat bahwa membunuh sesamanya adalah suatu perbuatan yang salah karena dengan
demikian secara tidak langsung Ia telah menyerang Allah.

2.4.1.6 Eutanasia Merupakan Suatu Bentuk Bunuh Diri Atau Pembunuhan

Karena bunuh diri merupakan suatu bentuk pembunuhan, maka itu berarti termasuk suatu
pelanggaran. Membunuh seseorang itu berarti menolak kedaulatan Allah atas hidup dan juga
menyerang kekudusan hidup.

Disini Kitab Suci bersikap tegas menyatakan bahwa pembunuhan itu salah seperti yang
terdapat dalam Dekalog atau sepuluh perintah Allah : “Jangan membunuh” (Kel.20:13).
Hukuman bagi orang yang melanggar perintah itu adalah kematian. Tidak menjadi masalah
apakah hidup manusia itu merupakan kepunyaan kita atau kepunyaan orang lain: hidup
manusia seturut gambaran Allah dan Dia berdaulat atasnya. Eutanasia itu bersifat sukarela
maupun tidak. Tetapi bilamana hal ini akibat perbuatan sendiri atau perbuatan orang lain
maka hal ini merupakan suatu bentuk pembunuhan. Dalam kasus seperti ini, Alkitab dengan
jelas melarangnya dengan tegas.

Bunuh diri secara khusus merupakan suatu bentuk kejahatan yang sangat menjijikan, sebab
hal ini jelas tidak hanya melanggar kedaulatan Allah serta kekudusan hidup, tetapi juga
gagal untuk bertanggung jawab atas kehidupan yang telah dipercayakan Allah kepada umat
manusia. Tindakan ini gagal memperlihatkan suatu sikap yang menghargai diri yang
mendasar yang dibicarakan oleh rasul Paulus.

Euthanasia dalam tinjauan agama-agama lain

Hampir semua penganut kepercayaan (orang yang beragama dan mengakui Tuhan) di dunia
ini tidak mendukung akan adanya prinsip euthanasia, termasuk semua agama di Indonesia,
juga menentang euthanasia dan berpendapat bahwa kehidupan dan kematian seseorang
berasal dari Tuhan sebagai Pencipta segala sesuatu. Karena itu semua penganut agama
menganut satu prinsip dasar yaitu tidak membenarkan perbuatan-perbuatan yang
menjerumuskan kepada tindakan-tindakan penghentian kehidupan yang berasal dari Tuhan
Yang Maha Esa, sebab perbatan itu jelas bertentangan dengan kehidupan Tuhan.

Dalam agama Islam yang secara mayoritas dianut oleh bangsa Indonesia, tidak menganut
prinsip euthanasia. Seperti halnya juga agama Katolik, agama Kristen Protestan pun
menganut paham yang sama yaitu melihat euthanasia sebagai suatu tundakan yang dilarang,
sebab hidup dan matinya seseorang berada dalam kuasa Tuhan sebagai Pencipta dan asal
segala makluk hidup. Sebagai contoh disinidiambil dari Kitab Suci Perjanjian Baru yang
berbunyi,”sebab itu Aku berkata kepadamu: janganlah kamu khuatir akan hal nyawamu,
yakni apakah yang hendak kamu pakai. Bukankah nyawa itu lebih daripada makannan dan
tubuh itu tebih daripada pakaian? (bdak. 1 Petrus 5:7, 1 Timo. 6:6 dan Ibrani 13:15)
2.4.2 Aborsi

2.4.2.1 Sebagai Tindakan Amoral

Penting terlebih dahulu menjelaskan definisi aborsi agar diperoleh pemahaman yang
sama. Aborsi (abortion, Latin) ialah pengeluaran hasil konsepsi dari uterus secara prematur
pada umur di mana janin itu belum bisa hidup di luar kandungan. Secara medis janin bisa
hidup di luar kandungan pada umur 24 minggu. Secara medis, aborsi berarti pengeluaran
kandungan sebelum berumur 24 minggu dan mengakibatkan kematian; sedangkan
pengeluaran janin sesudah umur 24 minggu dan mati tidak disebut aborsi tetapi pembunuhan
bayi (infanticide). Dalam terminologi moral dan hukum, aborsi berarti pengeluaran janin
sejak adanya konsepsi sampai dengan kelahirannya yang mengakibatkan kematian.

Aborsi Sebagai tindakan amoral dapat dimengerti sebagai tindakan menghilangkan nyawa
seseorang dengan sengaja (membunuh).

Geisler dengan cermat telah mengidentifikasi segala persoalan aborsi dan memberikan
penilaian yang tepat bahwa aborsi tidak dapat disetujui karena melanggar kekudusan hidup
yang ditetapkan Allah. Saya sepakat dengan Geisler bahwa kehidupan manusia harus
dihargai lebih utama (pro-life) dibandingkan memperjuangkan hak kebebasan memilih (pro-
choice) yang mengakibatkan kematian janin dan kemungkinan si ibu.

Aborsi sebagai tindakan amoral, bertentangan dengan ajaran iman Kristen yang menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan.
2.5 PELANGGARAN HAM TAHUN 2009

PIAR NTT sebagai Organisasi Non Pemerintah yang konsen dengan isu penegakan
HAM dan demokratisasi setiap tahunnya berupaya melakukan
monitoring/pemantauan terhadap Kasus-kasus Pelanggaran HAM dan Tindakan
Kekerasan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT). Pemantauan yang dilakukan
oleh PIAR NTT ini berbasiskan pada kasus pelanggaran HAM yang diadvokasi oleh
PIAR NTT dan Media Massa (NB: Media Cetak, Media Elektronik dan Media On-
Line). Pemantauan ini dilakukan guna mendeteksi perkembangan serta profil
pelanggaran HAM dan kekerasan di NTT.

Sudah sangat banyak instrumen hukum baik nasional maupun internasional yang
mengatur tentang perlindungan dan penegakkan HAM seperti UU 39 tahun 1999
tentang HAM, UU 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, UU 11 dan 12 tahun
2005 tentang Ratifikasi Kovenan Internasional Hak SIPOL dan EKOSOB, UU
Nomor 7 Tahun 1984 yang meratifikasi Konvensi Penghapusan Diskriminasi
terhadap Perempuan, Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang rafikasi Konvensi
Hak Anak pada tanggal 25 Agustus 1990, UU 23 tahun 2000 tentang Perlindungan
Anak, UU 23 tahun 2004 tentang Anti Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Namun kasus Tindakan Kekerasan dan kasus pelanggaran HAM masih saja menjadi
persoalan serius bagi bangsa Indonesia. Itu pertanda bahwa pemahaman masyarakat
dan pengambil kebijakan tentang perlindungan HAM masih menjadi masalah
bersama. Dalam konteks yang demikian maka PIAR NTT sebagai lembaga yang
konseren dengan isu penegakan HAM dan demokratisasi berupaya melakukan
pemantauan guna mendeteksi perkembangan serta profil pelanggaran HAM dan
kekerasan di NTT. Untuk mendapatkan gambaran tentang perkembangan
pelanggaran HAM dan kekerasan maka selama periode Januari - Desember 2009
PIAR NTT melakukan investigasi lapangan, pemantauan melalui media massa dan
mengupdate laporan atau pengaduan masyarakat.

Dari pantauan PIAR NTT selama ini ditemukan bahwa masalah pelanggaran HAM
dan tindak kekerasan masih tumbuh subur dan merajalela pada level dan dimensi
kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Hampir pada semua level dan
tataran masyarakat masih ditemukan adanya pelanggaran HAM dan kekerasan, tidak
terkecuali misalnya dalam dunia pendidikan dimana banyaknya peristiwa kekerasan
seksual yang dilakukan tenaga pendidik terhadap anak didiknya sekian banyak kasus
percabulan, penganiayaan, serta banyaknya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah
Tangga) dan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan oleh aparat kepolisian di
wilayah Nusa Tenggara Timur.
2.5.1 DESKRIPSI TINDAK KEKERASAN DAN PELANGGARAN HAM

Dalam pemantauan, PIAR NTT berusaha untuk mengamati dan mendeteksi tindakan
kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan oleh State Actor (Aparat Negara)
seperti yang dilakukan oleh Aparat Polri, TNI, PNS, Guru, Dosen, Aparat
kelurahan/desa) dan non state actor yang meliputi masyarakat umum dan sektor
swasta lainnya.

Dari pantauan tersebut, PIAR memperoleh deskripsi pelanggaran HAM yang


menyebutkan bahwa selama bulan Januari 2009 – Desember 2009, telah terjadi 385
peristiwa/kasus tindak kekerasan dan Pelanggaran HAM yang memakan korban
sebanyak 3.677 orang.

Peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM selama periode tersebut meliputi


tindakan percabulan, pemerkosaan, penganiayaan dan penyiksaan,
pembunuhan/penembakan, pembunuhan dengan latar belakang pemerkosaan,
intimidasi, pengrusakan, perampasan, pencurian, pungutan liar, penipuan,
Penangkapan sewenang-wenang, trafiking, perjudian, KDRT (Kekerasan dalam
Rumah Tangga), kekerasan terhadap perempuan, kekerasan terhadap anak,
kekerasan dalam pacaran, penelantaran, Aborsi, penghamilan dan lari dari
tanggungjawab, perselingkuhan, perzinahan, kekerasan oleh majikan, hak ekonomi
social budaya masyarakat, serta khusus disoroti tentang kekerasan aparat negara
(militer, Polri, PNS, guru, Dosen, aparat Desa/Kel, dan DPRD) yang juga mencakup
jenis-jenis kekerasan yang disebutkan sebelumnya. Berbagai tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM tersebut tersebar pada hampir semua wilayah provinsi NTT
seperti Kota Kupang, Kab. Kupang, TTS, TTU, Belu, Flores Timur, Sikka, Rote
Ndao, Manggarai, Manggarai Timur, Manggarai Barat, Alor, Sumba Barat Daya,
Sumba Timur, Ngada, Sabu, Lembata, Ende, dan Nagekeo.

Dari hasil monitoring Tindak Kekerasan dan Pelanggaran HAM didapatkan data
yang menyebutkan 129 kasus atau 33,51% dengan korban sebanyak 3.352 orang
dilakukan oleh Aparat Negara/state actor (Polisi, TNI, Aparat Desa, Dosen, Guru,
Anggota DPRD, dll) sedangkan 225 kasus lainnya atau 58,44% dilakukan oleh
masyarakat/non state actor seperti pengojek, pemulung, pedagang,petani, ayah
kandung/tiri, suami, istri, pacar, ayah, ibu, anak, kerabat dekat, siswa, mahasiswa,
dukun beranak dalam kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak-
anak serta penganiayaan. Pelaku yang tidak diketahui sejumlah 31 kasus atau 8,05
%.
Hasil analisis PIAR NTT, juga memukan bahwa pelaku tindak kekerasan dan
pelanggar HAM terbesar adalah aparat kepolisian karena dari 129 kasus yang
dilakukan aparat negara 40 kasusnya atau 31,00% dilakukan oleh aparat kepolisian.
Data juga menunjukkan bahwa jumlah kasus kekerasan terbanyak adalah kasus
penganiayaan sebanyak 95 kasus atau 24,67 %, Kekerasan Dalam Rumah Tangga 57
kasus atau 14,80%, Pemerkosaan 44 kasus atau 11,42%, Percabulan 43 kasus atau
11,16%, dan Perampasan serta pencurian 21 kasus atau 5,45%. Dilihat dari jumlah
korban, kasus dengan korban terbanyak yakni pelanggaran Hak Ekonomi Sosial
Budaya dengan korban sebanyak 3073 orang atau 83,57%, diikuti Trafiking 193
orang atau 5,24%, Penganiayaan 125 orang atau 3,39%, KDRT 59 orang atau 1,60%
dan Percabulan 53 orang atau 1,44%.

Tahapan proses hukum yang dilakukan terhadap kasus yang terjadi menunjukkan
data sebagai berikut, sebanyak 92 kasus atau 23,89% sampai pada tahap pelaporan
polisi, tahap Penyelidikan sebanyak 80 kasus atau 20,77%, tahap penyidikan
sebanyak 103 kasus atau 26,75%, tahap proses pengadilan sebanyak 34 kasus atau
8,83%, tahap putusan pengadilan sebanyak 37 kasus atau 9,61% dan kasus yang
tidak jelas proses hukumnya sebanyak 39 kasus atau 10,12%.

Selain tindak kekerasan dan pelanggaran HAM yang bersifat sipil politik, ada juga
pelanggaran HAM dari sisi hak ekonomi sosial dan budaya di mana negara tidak
mampu memenuhi kewajibannya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Dampaknya masyarakat masih tetap berkutat dengan masalah kemiskinan, ancaman
kekeringan, rawan pangan, gizi buruk, angka kematian ibu yang tinggi, anak-anak
yang terancam putus sekolah karena ketiadaan dana, korupsi yang merajalela, juga
masih adanya konflik sumber daya seperti perampasan tanah adat milik masyarakat
dll.

Dari hasil monitoring PIAR NTT, selama Januari – Desember 2009 telah terjadi 4
kasus atau 1,03% pelanggaran hak ekonomi sosial dan budaya dengan korban
terbanyak yakni sebanyak 3.073 orang.
2.5.2 DISKRIMINASI, IMPUNITAS DAN STAGNAM PROSES HUKUM

Ironisnya, proses hukum yang adil dan berpihak kepada hak-hak korban jarang
sekali dijumpai dalam penanganan kasus-kasus di tingkat aparatur hukum. Sanksi
hukum sepertinya hanya berlaku untuk masyarakat lemah dan tidak berdaya
sedangkan para pelaku yang tergolong aparat negara dan pejabat yang berduit sangat
sulit untuk dikenakan sanksi hukum. Misalnya para penegak hukum yang ketahuan
melakukan pelanggaran seperti kasus tewasnya tahanan di Polsek Nunpene yang
melibatkan Ketua DPRD TTU dan anggota polisi, hingga saat ini belum jelas bahkan
rancu karena beberapa saksi anggota polisi yang saat itu bertugas belum diambil
keterangan namun masyarakat yang hanya melakukan kasus-kasus kecil dapat
dikenakan sanksi hukum yang berat.

Hal lain yang melibatkan penegak hukum yang dapat dicermati dari fakta kecelakaan
karena tendangan seorang anggota polisi terhadap 2 (dua) siswa SMA yang
sementara berboncengan sepeda motor di depan Rumah Sakit Umum Kupang dan
mengakibatkan meninggalnya dua siswa tersebut namun prosesnya memakan waktu
yang cukup lama baru kemudian ditetapkan tersangkanya.

Publik Nusa Tenggara Timur mencium adanya perlakuan istimewa yang diterima
mereka. Alasan pembenaranpun diungkapkan untuk menutupi akan kepincangan
penegakan hukum. Fakta ini tentu bertolak belakang dengan kasus yang melibatkan
masyarakat kecil yang dicurigai langsung ditahan serta tanpa tedeng aling-aling
mengalami proses hukum dan dikenakan sanksi bahkan ada juga kasus salah tangkap
yang terjadi atas seorang karyawan Toko Piala Jaya yang dicurigai menggelapkan
uang bosnya sebanyak Rp. 300 juta yang saat itu langsung ditangkap dan diselidiki
oleh polisi. Ia mengalami penyiksaan yakni lehernya ditikam dengan bambu oleh
anggota polisi dan kuku kaki dari ibu jari kaki kirinya dicabut oleh seorang anggota
buser.

Di mata publik ini merupakan penegakan hukum yang pincang karena berlaku bagi
kaum yang tidak berjabat dan tidak beruang sedang para penguasa, pejabat dan kaum
berduit tidak tersentuh oleh proses hukum dan target penegakan hukum tersebut.

Berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian, terutama kasus
KDRT dan kekerasan terhadap perempuan berupa penghamilan dan Lari dari
Tanggung Jawab yang sangat tren di NTT, Ingkar Janji Nikah, Penganiayaan,
Penelantaran, Percobaan Pembunuhan terhadap kandungan yang tidak disetujui
sangat dominan dalam potret kekerasan dan pelanggaran HAM di NTT.

Tercatat oleh PIAR NTT setiap bulan 2-3 korban kekerasan yang datang mengadu
dan minta pendampingan. Ironisnya, tidak ada tindakan hukum yang tegas oleh
atasan para pelaku, kalaupun ada itupun tidak seimbang dengan perbuatan pelaku
dan hukuman yang diberikan pun tidak pro dengan penderitaan yang dialami
perempuan. Hal ini mendapat protes dari korban maupun keluarga korban.
Mungkinkah ini menunjukan bahwa produk hukum yang berlaku di kepolisian
belum memenuhi hak korban dan pro dengan kepentingan perempuan?
Masih juga ditemukan banyak kendala dalam upaya yang ditempuh oleh PIAR NTT
(bersama dengan elemen masyarakat sipil), korban kekerasan dan keluarganya dalam
penegakkan, pemenuhan dan perlindungan hak-hak korban-korban kekerasan,
selain itu masih adanya praktek-praktek impunitas hukum terhadap pelaku
kekerasan. Walaupun ada intervensi dan tindakan hukum yang diberikan oleh aparat
berwenang tapi masih tidak sebanding dengan akibat sosial, mental, psikis dan fisik
yang diderita oleh korban.

Seharusnya para Kepolisian di NTT dapat mencontohi tindakan yang pernah diambil
oleh MABES POLRI terhadap Mantan Kapolda Sulawesi Tenggara dengan
menNonJobkan beliau karena terbukti melakukan tindakan kekerasan seksual
terhadap sejumlah bawahannya. Realitas ini membuktikan perlakuan hukum di NTT
tidak adil dan masih memilah-milah, padahal semua orang tanpa terkecuali
mempunyai hak yang sama dimata hukum.
Pengusutan, penanggulangan serta upaya-upaya menekan tindakan kekerasan dan
kasus Pelanggaran HAM di NTT tidak ada kemajuan yang signifikan. Masih banyak
pelaku, terutama yang punya kuasa, jabatan dan senjata masih berkeliaran walaupun
atas ulah mereka banyak orang dirugikan, kehilangan haknya bahkan sampai yang
kehilangan nyawa. Pemahaman dan penerapan nilai-nilai HAM dalam praktek
bernegara dan bermasyarakat haruslah menjadi perhatian dan komitmen bersama,
baik sebagai state actor maupun sebagai non state actor. Hal tersebut harus juga
disertai dengan komitmen kuat aparat hukum dalam menegakkan Hukum dan HAM,
para pelaku pelanggaran HAM dan kekerasan harus dihukum sesuai aturan dan
perbuatannya. Jangan ada diskriminasi. PIAR NTT mengharapkan tahun-tahun ke
depan wajah buram kemajuan penegakkan HAM di NTT dapat ditekan atau bahkan
dihilangkan.
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Dari hasil di atas dapat kami simpulkan bahwa HAM di kabupaten Nagekeo semakin
meningkat oleh karena itu semua masyarakat harus lebih berhati-hati dan harus bisa
memberantas Ham –Ham tersebut agar tidak menyebar lebih luas lagi

3.2 SARAN

Dari hasil di atas kami menyarankan kepada masyarakat Nagekeo agar bisa mengatasi
masalah- masalah tersebut agar ke dapannya hidup semua masyarakat yang ada di sana
lebih terjamin,aman dan makmur

Anda mungkin juga menyukai