ALMAIDAH (C051171505)
Kencing manis atau penyakit gula, sudah dikenal sejak lebih kurang dua ribu tahun yang lalu.
Dalam dunia kedokteran dikenal dengan istilah diabetes melitus (bahasa latin: diabetes =
penerusan; melitus = manis). Diabetes melitus, penyakit gula, atau penyakit kencing manis,
diktahui sebagai suatu penyakit yang disebabkan oleh adanya gangguan menahun terutama
pada sistem metabolisme karbohidrat, lemak dan juga protein dalam tubuh. Gangguan
metabolisme tersebut disebabkan kurangnya produksi hormon insulin, yan diperlukan dalam
proses pengubahan gula menjadi tenaga serta sintesis lemak (Lanyawati, 2001: 7)
1. Faktor umur
Diabetes Melitus dapat menyerang warga penduduk dari berbagai lapisan ada
pula dari segi usia. Tua maupun muda dapat menjadi penderita DM. Umumnya
manusia mengalami perubahan fisiologi yang secara drastis menurun dengan cepat
setelah usia 40 tahun. Diabetes sering muncul setelah seseorang memasuki usia
rawan, terutama setelah usia 45 tahun pada mereka yang berat badannya berlebih,
sehingga tubuhnya tidak peka lagi terhadap insulin. Teori yang ada mengatakan
bahwa seseorang ≥45 tahun memiliki peningkatan resiko terhadap terjadinya DM dan
intoleransi glukosa yang di sebabkan oleh faktor degeneratif yaitu menurunya fungsi
tubuh, khususnya kemampuan dari sel β dalam memproduksi insulin. untuk
memetabolisme glukosa Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan DM di
Indonesia pada penduduk usia > 15 tahun meningkat dari 1,5-2,3% menjadi 5,6%
pada tahun 1993.(19) Hasil studi epidemiologi tentang DM di Manado juga
menunjukan angka yang lebih tinggi yaitu 6,1%. (Richardo, dkk. 2014: 409-410).
Penyakit Diabetes Mellitus ini sebagian besar dapat dijumpai pada perempuan
dibandingkan laki – laki. Hal ini disebabkan karena pada perempuan memiliki LDL
atau kolesterol jahat tingkat trigliserida yang lebih tinggi dibandingkan dengan laki –
laki, dan juga terdapat perbedaan dalam melakukan semua aktivitas dan gaya hidup
sehari – hari yang sangat mempengaruhi kejadian suatu penyakit, dan hal tersebut
merupakan salah satu factor risiko terjadinya penyakit Diabetes Mellitus. Jumlah
lemak pada laki – laki dewasa rata – rata berkisar antara 15 – 20 % dari berat badan
total, dan pada perempuan sekitar 20 – 25 %. Jadi peningkatan kadar lipid (lemak
darah) pada perempuan lebih tinggi dibandingkan pada laki- laki, sehingga faktor
risiko terjadinya Diabetes Mellitus pada perempuan 3-7 kali lebih tinggi dibandingkan
pada laki – laki yaitu 2-3 kali, (Jelantik. 2014)
3. Faktor ras dan kelompok etnis
Ras dan etnik berhubungan erat dengan kejadian diabetes melitus. Ras Asia
lebih berisiko terkena diabetes melitus dibanding dengan Eropa. Hal ini disebabkan
karen orang Asia kurang sering melakukan aktivitas dibanding orang Eropa.
Kelompok etnis tertentu seperti India, Cina, dan Melayu lebih berisiko kejadian
diabetes melitus. Pengaruh ras dan etnis terhadap kejadian diabetes Melitus sangat
kuat pada masa usia muda. Pada berbagi studi, kasus diabetes melitus pada pediatrik
terjadi pada ras non eropa Adapun ras dan etnis yang tergolong memiliki
kecenderungan lebih jarang (bahkan tidak pernah) melakukan pengontrolan kadar
gula darah.
6. Faktor nutrisi
Menurut Sugiyono dan Suiroka (2007), Faktor diet terlebih lagi gaya hidup
modern yang sering mengkomsumsi makanan siap saji saat ini mengakibatkan
peningkatan terhadap pengaruh resiko munculnya penyakit diaebete melitus,
konsumsi minuman yang mengandung pemanis gula berlebihan juga berhubungan
dengan peningkatan resiko. Konsumsi beras putih yang terlalu berlebih juga berperan
dalam meningkatkan resiko mencapai lebih dari 7%.
Hal ini juga didukung dengan pola makan yang tinggi lemak , garam dan gula
mengakibatkan masyarakat mengkomsumsi makanan secara berlebihan. Selain itu,
pola makanan yang serba instan saat ini memang sangat digemari oleh sebagian
masyarakat, tetapi dapat mengakibatkan peningkatan kadar gula darah.
7. Faktor kimia
Menurut Kristen Stewart (2014). Hubungan antara bahan kimia dan diabetes,
“Ada hubungan antara beberapa bahan kimia di lingkungan dan diabetes” kata
Kristina Thayer, PhD, Direktur Divisi Sistem Informasi Risiko Terpadu (IRIS) dari
Environmental Protection Agency (EPA) di Research Triangle Park, North Carolina.
Beberapa penyebab lain yang diduga berkontribusi terhadap epidemi diabetes
adalah bahan kimia tertentu dapat secara langsungmeningkatkan risiko penyakit,
sementara yang lain mungkin berkontribusi terhadap obesitas.
Phthalates dan Bisphenol A (BPA) yaitu bahan kimia umum yang ditemukan
dalam sabun, cat kuku, sempritan rambut, parfum, dan pelembab. Dalam sebuah
penelitian yang diterbitkan pada bulan Juli 2012 di Jurnal Environmental Health
Perspectives, para peneliti menemukan bahwa wanita dengan kadar Phthalates
tertinggi dalam air kencing mereka memiliki risiko diabetes 70 persen lebih tinggi
dibandingkan wanita dengan tingkat Phthalates terendah dalam tubuh mereka.
Sebuah studi yang diterbitkan pada bulan Juni 2014 dalam Jurnal
Environmental Health Perspectives menemukan bahwa paparan Phthalates dapat
dikaitkan dengan risiko diabetes pada wanita paruh baya (tetapi tidak lebih tua),
mungkin karena wanita premenopause mungkin lebih rentan terhadap gangguan
endokrin karena kadar estrogen yang lebih tinggi.
Arsenik, Pcb, Dan Dioksin
8. Faktor lingkungan
Menurut David Spero (2014) Faktor lingkunyang yang dapat menyebabkan diabetes
melitus adalah:
Isolasi sosial, orang-orang tidak menyadari betapa mobilitas sosial dan
bergerak sepanjang waktu membahayakan kesehatan. Isolasi meningkat, dan
itu membuat stress. Orang-orang merasa lebih baik dan lebih kuat ketika kita
memiliki orang lain di pihak kita.
Malas bergerak, orang-orang bergerak dan melakukan aktivitas baik itu
perjalanan ke kantor, mencari makan dan rekreasi. Tetapi sekarang lebih
banyak menggunakan mesin seperti penggunaan alat transportasi dan
membuat makanan instan. Sehingga orang-orang malas bergerak dan terlalu
bergantung pada mesin.
Stress, hal ini adalah respon tubuh terhadap masalah yang sering disebut “fight
or flight”. Artinya hormon stress terutama kortisol dapat meningkatkan kadar
glukosa darah dan tekanan darah.
9. Faktor ekonomi
Faktor ekonomi merupakan pemantauan kadar glukosa darah dalam hasil penelitian
ini. Beberapa partisipan menyatakan kemampuan mereka untuk menanggung semua
biaya pemeriksaan kadar glukosa darah karena masih terjangkau dengan kemampuan
mereka tanpa diharuskan memanfaatkan kartu jaminan kesehatan yang mereka miliki.
Menurut penelitian sebelumnya didapatkan bahwa penderita DM dengan kondisi
ekonomi yang terbilang rendah melaksanakan upaya mengontrol dengan cara
memanfaatkan kartu jaminan kesehatan dari pemerintah untuk mendapatkan
pengobatan. Sebaliknya, untuk penderita DM dengan tingkat ekonomi mampu
melakukan upaya mengontrol kesehatannya dengan pemeriksaan kesehatan secara
rutin dan juga konsumsi makanan yang dapat dikontrol dengan leluasa. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan kondisi ekonomi penderita
DM dengan upaya yang dilakukan penderita DM untuk mengontrol kadar gula darah
(Fajrunni’mah dkk. 2017: 178-179).
DAFTAR PUSTAKA
Betteng, Richardo, Damayanti Pangemanan dan Nelly Mayulu. 2014. Analisis faktor resiko
penyebab terjadinya diabetes melitus tipe 2 pada wanita usia produktif dipuskesmas
wawonasa. Jurnal e-Biomedik (eBM). Volume 2. Nomor 2.
Fajrunni’mah, Rizana, Diah Lestari, dan Angki Purwanti. 2017. Faktor Pendukung dan
Penghambat Penderita Diabetes Melitus dalam Melakukan Pemeriksaan Glukosa
Darah. Global Medical and Health Communication (GMHC). Vol. 5 No. 3. pISSN
2301-9123.
Hasdianah. 2012. Mengenal diabetes mellitus pada orang dewasa dan anak-anak dengan
solusi herbal. Nuha Medika6: Yogyakarta
Jelantik , I Gusti Made Geria dan Erna Haryati. 2014. Hubungan Faktor Risiko Umur, Jenis
Kelamin, Kegemukan Dan Hipertensi Dengan Kejadian Diabetes Mellitus Tipe Ii Di
Wilayah Kerja Puskesmas Mataram. Media Bina Ilmiah. Volume 8, No. 1. ISSN
No. 1978-3787.
Kristen Stewart. 2014. Five Environmental Causes of Diabetes: Diabetes Self Management.
https://www.everydayhealth.com . diakses 29 Maret 2018.
Sugiyono dan Suiroka. 2007. Diabetes Melitus. Jurnal Kedokteran Masyarakat. Vol 23. No 3