Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

HIV (human immunodeficiency virus) merupakan golongan retrovirusyang menyerang


sistem kekebalan tubuh manusia terutama sel CD4+, sel T dan makrofag. AIDS ( Acquired
Immunodeficiency Syndrome) sendiri dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit
yang disebabkan oleh virus HIV yang dapat menyebabkan daya tahan tubuh seseorang
menurun sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi berat atau keganasan yang
menyebabkan kematian.

Sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan AIDS, bahkan saat ini
belum bisa dicegah dengan vaksin. Selama bertahun-tahun seseorang dapat terinfeksi HIV
sebelum akhirnya mengidap AIDS. Seseorang yang telahterinfeksi HIV belum tentu terlihat
sakit. Secara fisik dia akan sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Oleh karena itu
90% dari pengidap AIDS tidak menyadari bahwa mereka telah tertular virus AIDS, yaitu HIV
karena masa inkubasi penyakit ini termasuk lama dan itulah sebabnya mengapa penyakit ini
sangat cepat tertular dari satu orang ke orang lain.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) merupakan retrovirus bersifat limfotropik khas


yang menginfeksi sel-sel dari sistem kekebalan tubuh, menghancurkan atau merusak sel
darah putih spesifik yang disebut limfosit T-helper atau limfosit pembawa faktor T4
(CD4). Virus ini diklasifikasikan dalam famili Retroviridae, subfamili Lentiviridae,
genus Lentivirus.10,17 Selama infeksi berlangsung, sistem kekebalan tubuh menjadi
lemah dan orang menjadi lebih rentan terhadap infeksi.2 Tingkat HIV dalam tubuh dan
timbulnya berbagai infeksi tertentu merupakan indikator bahwa infeksi HIV telah
berkembang menjadi AIDS (Acquired Imunnodeficiency Syndrome).

AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.

2.2 EPIDEMIOLOGI

Laporan UNAIDS-WHO menunjukkan bahwa AIDS telah merenggut lebih dari 25


juta jiwa sejak pertama kali dilaporkan pada tahun 1981. Pada tahun 2009, jumlah odha
(orang dengan HIV/AIDS) diperkirakan mencapai 33,3 juta orang, dengan sebangian besar
penderitanya adalah usia produktif , 15,9 juta penderita adalah perempuan dan 2,5 juta adalah
anak-anak. Dengan jumlah kasus baru HIV sebanyak 2.6 juta jiwa. Dari jumlah kasus baru
tersebut, sekitar 370 ribu di antaranya terjadi pada anak-anak. Pada tahun yang sama, lebih
dari dua juta orang meninggal karena AIDS.

Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya
sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya
disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah
kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.

Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa
Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated
level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic).

Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru HIV
yang semakin cepat. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai September
2014 berjumlah 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus AIDS berjumlah 55.799
orang. Dari jumlah kumulatif kasus HIV tersebut, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6%
adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3%
pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal.
Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008
mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–
29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun.

Dari 33 propinsi seluruh Indonesia yang melaporkan, peringkat pertama jumlah


kumulatif kasus HIV yang dilaporkan berasal dari propinsi DKI Jakarta sebesar 3.782 kasus,
disusul Jawa Timur dengan 19.24 kasus, kemudian diikuti oleh Papua, Jawa Barat dan Bali
dengan masing-masing jumlah kasus secara berurutan 13.507 kasus, 9.637 kasus, dan 9.219
kasus AIDS.

2.3 ETIOLOGI

HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili
Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar
(envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit
dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV
dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
reverse (reverse transcriptase enzyme).

Gambar 1: struktur virus HIV-1

Sumber : Fauci AS at al, 2005

Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya.
Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang
berhubungan erat dengan Afrika Barat.

2.4 MODE PENULARAN

Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum
suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi
vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas
kesehatan.

Tabel 1 : Risiko penularan HIV dari cairan tubuh


.
Risiko tinggi Risiko masih sulit Risiko rendah selama
ditentukan tidak terkontaminasi
darah
Darah, serum Cairan amnion Mukosa seriks
Semen Cairan Muntah
Sputum serebrospinal Feses
Sekresi vagina Cairan pleura Saliva
Cairan peritoneal Keringat
Cairan perikardial Air mata
Cairan synovial Urin
Sumber : Djauzi S, 2002

Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah
sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum atau
luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan
akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%.

2.5 PATOGENESIS

Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.

Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan
invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,
mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit
CD8, sel retina dan epitel ginjal.

Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks
molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell
specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini
diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 4 7

sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan
HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan
mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan
bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan
DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut
sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan
bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi
dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua
protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan
membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.

Siklus replikasi virus HIV digambarkan secara ringkas melalui gambar 2.

Gambar 2 : Visualisasi siklus HIV


Pada pemeriksaan laboratorium yang umum dilakukan untuk melihat defisiensi imun,
akan terlihat gambaran penurunan hitung sel CD4, inverse rasio CD4-CD8 dan
hipergammaglobulinemia. Respon imun humoral terhadap virus HIV dibentuk terhada
berbagai antigen HIV seperti antigen inti (p24) dan sampul virus (gp21, gp41). Antibodi
muncul di sirkulasi dalam beberapa minggu setelah infeksi. Secara umum dapat dideteksi
pertama kali sejak 2 minggu hingga 3 bulan setelah terinfeksi HIV. Masa tersebut disebut
masa jendela. Antigen gp120 dan bagian eksternal gp21 akan dikenal oleh sistem imun yang
dapat membentuk antibodi netralisasi terhadap HIV. Namun, aktivitas netralisasi antibodi
tersebut tidak dapat mematikan virus dan hanya berlangsung dalam masa yang pendek.
Sedangkan respon imun selular yang terjadi berupa reaksi cepat sel CTL (sel T sitolitik yang
sebagian besar adalah sel T CD8). Walaupun jumlah dan aktivitas sel T CD8 ini tinggi tapi
ternyata tidak dapat menahan terus laju replikasi HIV.

Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada
pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus.

2.6 PERJALANAN PENYAKIT

Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran
penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.

Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat
(non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan
gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-
lainnya.

Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV

Kelompok Gejala Kekerapan (%)


Umum Demam 90
Nyeri otot 54
Nyeri sendi -
Rasa lemah -
Mukokutan Ruam kulit 70
Ulkus di mulut 12
Limfadenopati 74
Neurologi Nyeri kepala 32
Nyeri belakang mata -
Fotofobia -
Depresi -
Meningitis 12
Saluran cerna Anoreksia -
Nausea -
Diare 32
Jamur di mulut 12
Sumber : (Djauzi S, 2002)

Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan
menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS.
Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit
CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati
generalisata yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan
turnover HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun
tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas
ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.

Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi
yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari.

Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada
ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus
dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika
suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini
akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan
virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain
itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan
penyakitnya biasanya lebih progresif.

Secara ringkas, perjalanan alamiah penyakit HIV/AIDS dikaitkan dengan hubungan


antara jumlah RNA virus dalam plasma dan jumlah limfosit CD4+ ditampilkan dalam gambar
3.

Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan
penurunan viremia.

Gambar 3: perjalanan alamiah infeksi HIV


sumber : http://www.aegis.org/factshts/NIAID/1995
Selanjutnya terjadi periode laten dan penurunan jumlah sel T CD4 terus terjadi hingga
mencapai di bawah batas kritis yang akan memungkinkan terjadinya infeksi oportunistik.

2.7 DIAGNOSIS

2.7.1. Anamnesis

Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV , pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu dilakukan pada setiap odha saat kunjungan
pertama kali ke sarana kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,
diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium, memastikan pasien
memahami tentang infeksi HIV, dan untuk menentukan tata laksana selanjutnya. Dari
anamnesis, perlu digali factor resiko HIV AIDS, Berikut ini mencantumkan, daftar tilik
riwayat penyakit pasien dengan tersangaka ODHA (table 3 dan table 4).

Tabel 3. Faktor risiko infeksi HIV

- Penjaja seks laki-laki atau perempuan


- Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang)
- Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL) dan transgender (waria)
- Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks komersial
- Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual (IMS)
- Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah
- Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.

Sumber : Depkes RI 2007

Table 4: Daftar tilik riwayat pasien

Sumber :Depkes RI 2007

2.7.2 Pemeriksaan fisik

Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada
tabel 6
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik

Sumber :Depkes RI 2007

Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau
kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma
serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang
sering ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat
badan, sariawan, dan diare, seperti pada tabel 5 .
Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo

Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005

2.7.3 Pemeriksaan penunjang

Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium


yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap
HIV, deteksi virus atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam
tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load, dan tes hitung jumlah
limfosit Sedangkan untuk kepentingan surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat
infeksi oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3 (Tabel 7) .

Tabel 7. Anjuran pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan pada odha

Tes antibodi terhadap HIV (AI);


Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI);
HIV RNA plasma (viral load) (AI);
Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT, SGPT, BUN dan kreatinin,
urinalisis, tes mantux, serologi hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan
pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII);
Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada pasien dengan risiko penyakit
kardiovaskular dan sebagai penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII);

Sumber : Yayasan Spiritia 2006.


Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-tes dan biasanya
dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama hubungan seks yang tidak aman atau
penggunaan narkotika suntikan). Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi
menular seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda yang mengarah
adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya akan diberitahukan, untuk itu,
konseling pasca tes juga diperlukan. Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan
memenuhi 3C yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling), dan
hanya dilakukan dengan informed consent. (Djoerban Z dkk,2006)

Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA yang memiliki


sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring ini menyatakan hasil yang reaktif,
maka pemeriksaan dapat dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan
adanya infeksi oleh HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan teknik
Western Blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan adanya otoantibodi, penerima
vaksin HIV, dan kesalahan teknik pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu
HIV positif belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang berasal
dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan sehingga pada kondisi ini, tes perlu
diulang pada usia anak > 18 bulan.

Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO
menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes
tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau
apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko
tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif.
Tabel 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV

Sumber : Depkes,2011

2.7.4 Penilaian Klinis

Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan
stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di
masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan
pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta
mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan
terapi.

2.7.5 Stadium Klinis

WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS),
lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat
dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai
atau mengubah terapi ARV.

AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa
sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun
individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus
menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.

Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak
memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang
terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare. Penderita
AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang
khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara
mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah
bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang
lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-
gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-
gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.

Faktor-faktor yang mempengaruhi berkembangnya HIV menjadi AIDS belum


diketahui jelas. Diperkirakan infeksi HIV yang berulang – ulang dan pemaparan terhadap
infeksi-infeksi lain mempengaruhi perkembangan kearah AIDS. Menurunnya hitungan sel
CDA di bawah 200/ml menunjukkan perkembangan yang semakin buruk. Keadaan yang
buruk juga ditunjukkan oleh peningkatan B2 mikro globulin dan juga peningkatan I9A.

Perjalan klinik infeksi HIV telah ditemukan beberapa klasifikasi yaitu :


a. Infeksi Akut : CD4 : 750 – 1000
Gejala infeksi akut biasanya timbul sedudah masa inkubasi selama 1-3 bulan. Gejala yang
timbul umumnya seperti influenza, demam, atralgia, anereksia, malaise, gejala kulit (bercak-
bercak merah, urtikarta), gejala syaraf (sakit kepada, nyeri retrobulber, gangguan kognitif
danapektif), gangguan gas trointestinal (nausea, diare). Pada fase ini penyakit tersebut sangat
menular karena terjadi viremia. Gejala tersebut diatas merupakan reaksi tubuh terhadap
masuknya unis yang berlangsung kira-kira 1-2 minggu.

b. Infeksi Kronis Asimtomatik : CD4 > 500/ml


Setelah infeksi akut berlalu maka selama bertahun-tahun kemudian, umumnya sekitar 5
tahun, keadaan penderita tampak baik saja, meskipun sebenarnya terjadi replikasi virus secara
lambat di dalam tubuh. Beberapa penderita mengalami pembengkakan kelenjar lomfe
menyeluruh, disebut limfa denopatio (LEP), meskipun ini bukanlah hal yang bersifat
prognostic dan tidak terpengaruh bagi hidup penderita. Saat ini sudah mulai terjadi penurunan
jumlah sel CD4 sebagai petunjuk menurunnya kekebalan tubuh penderita, tetapi masih pada
tingkat 500/ml.

c. Infeksi Kronis Simtomatik


Fase ini dimulai rata-rata sesudah 5 tahun terkena infeksi HIV. Berbagai gejala penyakit
ringan atau lebih berat timbul pada fase ini, tergantung pada tingkat imunitas pemderita.

1) Penurunan Imunitas sedang : CD4 200 – 500


Pada awal sub-fase ini timbul penyakit-penyakit yang lebih ringan misalnya reaktivasi dari
herpes zoster atau herpes simpleks. Namun dapat sembuh total atau hanya dengan
pengobatan biasa. Keganasan juga dapat timbul pada fase yang lebih lanjut dari sub-fase ini
dan dapat berlanjut ke sub fase berikutnya, demikian juga yang disebut AIDS-Related (ARC).

2) Penurunan Imunitas berat : CD4 < 200


Pada sub fase ini terjadi infeksi oportunistik berat yang sering mengancam jiwa penderita.
Keganasan juga timbul pada sub fase ini, meskipun sering pada fase yang lebih awal. Viremia
terjadi untuk kedua kalinya dan telah dikatakan tubuh sudah dalam kehilangan kekebalannya.

Sindrom klinis stadium simptomatik yang utama:

• Limfadenopati Generalisata yang menetap


• Gejala konstutional: Demam yang menetap > 1 bulan, penurunan BB involunter >
10% dari nilai basal, dan diare >1 bulan tanpa penyebab jelas.
• Kelainan neurologis: Ensefalopati HIV, limfoma SSP primer, meningitis aseptik,
mielopati, neuropati perifer, miopati.
• Penyakit infeksiosa sekunder: pneumonia, Candida albicans, M. Tuberculosis,
Cryptococcus neoformans, Toxxoplasma gondii, Virus Herpes simpleks
• Neoplasma Sekunder: Sarkoma Kaposi (kulit dan viseral), neoplasma limfoid
• Kelainan lain: Sindrom spesifik organ sebagai manifestasi prmer penderita TB atau
komplikasi

Untuk memastikan apakah seseorang kemasukan virus HIV, ia harus memeriksakan


darahnya dengan tes khusus dan berkonsultasi dengan dokter. Jika dia positif mengidap
AIDS, maka akan timbul gejala-gejala yang disebut degnan ARC (AIDS Relative Complex)
Adapun gejala-gejala yang biasa nampak pada penderita AIDS adalah:

a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala
minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau
pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif

b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala
minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi
berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.

1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis

2.7.6 Penilaian Imunologi

Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas
odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan
ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang
penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh
menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count –
TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun
TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan
kegagalan terapi ARV.
Tabel 9. Stadium klinis HIV

Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten

Stadium 2 Sakit ringan


Penurunan BB 5-10%
ISPA berulang, misalnya sinusitis atau otitis
Herpes zoster dalam 5 tahun terakhir
Luka di sekitar bibir (keilitis angularis)
Ulkus mulut berulang
Ruam kulit yang gatal (seboroik atau prurigo -PPE)
Dermatitis seboroik
Infeksi jamur kuku

Stadium 3 Sakit sedang


Penurunan berat badan > 10%
Diare, Demam yang tidak diketahui penyebabnya, lebih dari 1 bulan
Kandidosis oral atau vaginal
Oral hairy leukoplakia
TB Paru dalam 1 tahun terakhir
Infeksi bakterial yang berat (pneumoni, piomiositis, dll)
TB limfadenopati
Gingivitis/Periodontitis ulseratif nekrotikan akut
Anemia (Hb <8 g%), netropenia (<5000/ml), trombositopeni kronis
(<50.000/ml)

Stadium 4 Sakit berat (AIDS)


Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis*, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu*
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV*
Abses otak Toksoplasmosis*
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus*
Infeksi mikobakteria non-TB meluas

Sumber : Depkes RI, 2007

2.8 PENATALAKSANAAN

HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun
data selam a 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan
dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)

Secara umum, penatalaksanaan odha terdiri atas beberapa jenis, yaitu:

a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan
pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup
lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.

2.8.1Terapi Antiretroviral (ARV)


Secara umum, obat ARV dapat dibagi dalam 3 kelompok besar yakn (Djauzi S dkk,2002):

 Kelompok nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NRTI) seperti: zidovudin,


zalsitabin, stavudin, lamivudin, didanosin, abakavir
 Kelompok non-nucleoside reverse transcriptase inhibitors (NNRTI) seperti evafirens dan
nevirapin
 Kelompok protease inhibitors (PI) seperti sakuinavir, ritonavir, nelvinavir, amprenavir.

Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah
didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.

Tabel 10. Target terapi ARV

Tabel 11. Pemberian terapi ARV


Stadium Jika tidak tersedia
Bila tersedia pemeriksaan CD4
Klinis pemeriksaan CD4
1 Terapi ARV tidak diberikan
Terapi antiretroviral dimulai bila CD4 <200 Bila jumlah total limfosit
2
<1200
Jumlah CD4 200 – 350/mm3, pertimbangkan
terapi sebelum CD4 <200/mm3.
Pada kehamilan atau TB:
Terapi ARV dimulai tanpa
 Mulai terapi ARV pada semua ibu hamil
3 memandang jumlah limfosit
dengan CD4 350
total
 Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan
CD4 <350 dengan TB paru atau infeksi
bakterial berat
Terapi ARV dimulai tanpa memandang jumlah
4
CD4
Sumber : Depkes RI, 2007
1. CD4 dianjurkan digunakan untuk membantu menentukan mulainya terapi. Contoh, TB
paru dapat muncul kapan saja pada nilai CD4 berapapun dan kondisi lain yang
menyerupai penyakit yang bukan disebabkan oleh HIV (misal, diare kronis, demam
berkepanjangan).
2. Nilai yang tepat dari CD4 di atas 200/mm3 di mana terapi ARV harus dimulai belum
dapat ditentukan.
3. Jumlah limfosit total ≤1200/mm3 dapat dipakai sebagai pengganti bila pemeriksaan CD4
tidak dapat dilaksanakan dan terdapat gejala yang berkaitan dengan HIV (Stadium II atau
III). Hal ini tidak dapat dimanfaatkan pada ODHA asimtomatik. Maka, bila tidak ada
pemeriksaan CD4, ODHA asimtomatik (Stadium I) tidak boleh diterapi karena pada saat
ini belum ada petanda lain yang terpercaya di daerah dengan sumber daya terbatas.

Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV
adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit
akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila
terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi
ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum
untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui,
dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun
imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat
dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 /
mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada
pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja
dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral
load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang
aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu. Namun pada kondisi-kondisi
dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV
maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada
infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk
mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.

2.8.2 Panduan Kombinasi Obat ARV


Kombinasi tiga obat antiretroviral merupakan regimen pengobatan ARV yang
dianjurkan oleh WHO, yang dikenal sebagai Highly Active AntiRetroviral Therapy atau
HAART. Kombinasi ini dinyatakan bermanfaat dalam terapi infeksi HIV. Semula, terapi HIV
menggunakan monoterapi dengan AZT dan duo (AZT dan 3TC) namun hanya memberikan
manfaat sementara yang akan segera diikuti oleh resistensi.

WHO merekomendasikan penggunaan obat ARV lini pertama berupa kombinasi 2


NRTI dan 1 NNRTI. Obat ARV lini pertama di Indonesia yang termasuk NRTI adalah AZT,
lamivudin (3TC) dan stavudin (d4T). Sedangkan yang termasuk NNRTI adalah nevirapin
(NVP) dan efavirenz (EFZ). ( Depkes RI, 2007) Adapun terapi kombinasi untuk HIV/AIDS
seperti pada tabel 12.

Tabel 12 : Terapi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007


Di Indonesia, pilihan utama kombinasi obat ARV lini pertama adalah AZT + 3TC +
NVP. Pemantauan hemoglobin dianjurkan pada pemberian AZT karena dapat menimbulkan
anemia. Pada kondisi ini, kombinasi alternatif yang bisa digunakan adalah d4T + 3TC +
NVP. Namun AZT lebih disukai daripada stavudin (d4T) oleh karena adanya efek toksik
d4T seperti lipodistrofi, asidosis laktat, dan neuropati perifer. Kombinasi AZT + 3TC + EFZ
dapat digunakan bila NVP tidak dapat digunakan. Namun, perlu kehati-hatian pada
perempuan hamil karena EFZ tidak boleh diberikan (Depkes RI, 2007). Pemilihan ARV
golongan NRTI tentunya dengan mempertimbangkan keuntungan dan kekurangan masing-
masing obat. Adapun kombinasi terapi ARV yang tidak dianjurkan seperti pada tabel 12.

Tabel 13. Pilihan obat ARV golongan NR

Sumber : Depkes RI, 2007

Tabel 14 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian obat ARV
golongan ini.
Tabel 14 : Kombinasi ARV

Sumber : Depkes RI, 2007


PI tidak direkomendasikan sebagai paduan lini pertama karena penggunaa PI pada
awal terapi akan menghilangkan kesempatan pilihan lini kedua di Indoneesia di mana sumber
dayanya masih sangat terbatas. PI hanya dapat digunakan sebagai paduan lini pertama
(bersama kombinasi standar 2 NRTI) pada terapi infeksi HIV-2, pada perempuan dengan
CD4>250/ mm3 yang mendapat ART dan tidak bisa menerima EFV, atau pasien dengan
intoleransi NNRTI.

2.6.3 Sindrom Pemulihan Imunitas (immun reconstitution syndrome = IRIS)


Kumpulan tanda dan gejala akibat dari pulihnya system kekebalan tubuh selama
terapi ARV. Merupakan reaksi paradoksal dalam melawan antigen asing (hidup atau mati)
dari pasien yang baru memulai terapi ARV dan mengalami pemulihan respon imun terhadap
antigen tersebut.M. tuberkulosi merupakan sepertiga dari seluruh kasus IRIS. Frekuensinya
10% dari seluruh pasien yang mulai terapi ARV dan 25% dari pasien yang mulai terapi ARV
dengan CD4 <50 / mm3. Berikut table pedoman tatalaksana IRIS di Indonesia, seperti pada
tabel 15.

Tabel 15: pedoman tatalaksana IRIS

Sumber : Depkes RI, 2007

2.8.3 Penatalaksanaan Infeksi Opurtunistik


Infeksi oportunistik (IO) adalah infeksi yang timbul akibat penurunan kekebalan tubuh.
Infeksi ini dapat timbul karena mikroba (bakteri, jamur, virus) yang berasal dari luar tubuh,
maupun yang sudah ada dalam tubuh manusia namun dalam keadaan normal terkendali oleh
kekebalan tubuh.
Infeksi oportunistik dapat dihubungkan dengan tingkat kekebalan tubuh yang ditandai
dengan jumlah CD4 dan dapat terjadi pada jumlah CD4 < 200 sel/ L ataupun > 200 sel/ L.
Sebagian besar infeksi oportunistik dapat diobati namun apabila kekebalan tubuh tetap
rendah maka infeksi oportunistik mudah kambuh kembali atau juga dapat timbul oportunistik
yang lain. Pada umumnya kematian pada odha disebabkan oleh infeksi oportunistik sehingga
infeksi ini perlu dikenal dan diobati. Dengan penggunaan ARV peningkatan kekebalan tubuh
( CD4 ) dapat dicapai sehingga risiko infeksi oportunistik dapat dikurangi. Terdapat banyak
penyakit yang digolongkan infeksi oportunistik seperti terlihat pada table 16.
Tabel 16. Infeksi Oportunistik/ Kondisi yang Sesuai dengan Kriteria Diagnosis AIDS
Cytomegalovirus (CMV) selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
CMV, retinitis (dengan penurunan fungsi penglihatan)
Ensefalopati HIV a
Herpes simpleks, ulkus kronik (lebih dari 1 bulan), bronchitis, pneumonitis, atau
esofagitis
Histoplasmosis, diseminata atau ekstraparu
Isosporiasis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Kandidiasis bronkus, trakea, atau paru
Kandidiasis esophagus
Kanker serviks invasif
Koksidioidomikosis, diseminata, atau ekstraparu
Kriptokokosis, ekstraparu
Kriptokosporidiosis, dengan diare kronis (> 1 bulan)
Leukoensefalopati multifocal progresif
Limfoma Burkitt
Limfoma imunoblastik
Limfoma primer pada otak
Mycobacterium avium complex atau M. kansasii, diseminata atau ekstraparu
Mycobacteriumi tuberculosis, di paru atau ekstraparu
Mycobacteriumi spesies lain atau tak teridentifikasi, di paru atau ekstraparu
Pneumonia Pneumocystis carinii
Pneumonia rekuren b
Sarkoma Kaposi
Septikemia Salmonella rekuren
Toksoplasmosis otak
Wasting syndrome c
a
Terdapat gejala klinis gangguan kognitif atau disfungsi motorik yang
mengganggu kerja atau aktivitas sehari-hari, tanpa dapat dijelaskan oleh penyebab
lain selain infeksi HIV. Untuk menyingkirkan penyakit lain dilakukan
pemeriksaan lumbal pungsi dan pemeriksaan pencitraan otak (CT scan atau MRI)
b
Berulang lebih dari satu episode dalam 1 tahun
c
Terdapat penurunan berat badan lebih dari 10% ditambah diare kronik (minimal
2 kali selama > 30 hari), atau kelemahan kronik dan demam lama (>30 hari,
intermiten, atau konstan) tanpa dapat dijelaskan oleh penyakit/ kondisi lain
(missal kanker, tuberkulosis, enteritis spesifik) selain HIV.
Sumber :Yunihastuti E dkk, 2005
2.8.3.1 Tuberkulosis
Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi oportunistik terbanyak pada odha di Indonesia.TB
mempercepat progesivitas infeksi HIV dengan meningkatkan replikasi HIV dan juga menjadi
penyebab kematian tersering pada odha. TB paru merupakan jenis yang paling sering
dijumpai dan muncul pada infeksi HIV awal dengan jumlah median CD4 > 300 sel/ L
sedangkan TB ekstraparu atau diseminata dijumpai pada odha dengan jumlah CD4 yang lebih
rendah.
Gejala TB paru yang paling sering adalah batuk kronik lebih dari 3 minggu, demam,
penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, rasa letih, berkeringat pada waktu malam,
nyeri dada, dan batuk darah. Sedangkan pada TB ekstra paru yang tersering adalah
limfadenopati asimetris, perikarditis, efusi pleura dan osteomielitis. Sayangnya, gambaran
klinis TB pada odha seringkali tidak khas dan sangat bervariasi sehingga menegakkan
diagnosis menjadi lebih sulit. Cara penegakan diagnosis TB pada odha tidak berbeda dengan
yang bukan odha. Namun, sensitivitas untuk pemeriksaan sputum BTA pada odha sekitar
50% dan tes tuberkulin hanya positif pada 30-50% odha. Pada foto toraks, gambaran TB paru
pada odha dengan CD4>200 sel/µL tidak berbeda dengan non – HIV berupa infiltrat pada
lobus atas, kavitas, atau efusi pleura. Pada ODHA dengan CD < 200 sel/µL, gambaran yang
lebih sering tampak adalah limfadenopati mediastinum dan infiltrat di lobus bawah.
Diagnosis definitif TB pada odha adalah dengan ditemukannya M.tuberculosis pada kultur
jaringan atau specimen sedangkan diagnosis presumtifnya berdasarkan ditemukannya BTA
pada specimen dengan gejala sesuai TB atau perbaikan gejala setelah terapi kombinasi OAT.
Regimen pengobatan TB tidak berbeda dengan regimen pengobatan TB pada kasus
non-HIV dengan lama pengobatan 6 bulan seperti tercantum pada tabel 16. Terapi ARV
direkomendasikan untuk semua odha yang menderita TB dengan CD4 < 200/mm3, dan perlu
dipertimbangkan bila CD4 > 350/mm3. Bila tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka terapi
ARV direkomendasikan untuk semua odha dengan TB. Pemberian OAT sebaiknya tidak
dimulai bersama-sama dengan ARV dengan tujuan untuk mengurangi kemungkinan interaksi
obat, dan ketidakpatuhan minum obat.
Tabel 17. Obat yang dipakai dan lama pengobatan
Klasifikasi Regimen Obat
Kasus TB baru 2HRZE / 6 HE (DOTS)
TB kambuh/ pengobatan ulang 2SHRZE / HRZE / 5H3R3E3 (DOTS)
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2002

Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT adalah
kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi berdasarkan jumlah
CD4 seperti tercantum pada tabel 18. Untuk itu, perlu dilakukan tes resistensi BTA pada odha
yang mengalami TB.
Tabel 18. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Sumber : Depkes RI, 2007

2.8.4 Pencegahan Infeksi Oportunistik

Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yakni :
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi.
Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm3 untuk
mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi
risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam
dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi
oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan.
Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi. Tabel
berikut menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi
oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti
vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A.

Tabel 19. Pencegahan infeksi oportunistik


Penyakit Mulai Obat yang digunakan
o
PCP 1 CD4 < 200, sariawan, TMP.SMX 1 DS/hari
pertimbangkan bila CD4 < 250 TMP.SMX 1 SS/ hari
atau CD4 % < 14
INH 300mg/hari +
TB PPD > 5 ml Piridoksin
Kontak Positif

T. Gondii CD4 < 100 TMP.SMX 1 DS/hari


IGG Toksoplasma aviditas rendah

S. pneumoniae CD4 > 200 Vaksinasi pneumovax

Hepatitis B Anti HBs (-) Vaksinasi Hepatitis B


HBs Ag(-)

Hepatitis A Anti HAV (-) Vaksinasi Hepatitis A


Risiko paparan tinggi (IDU,
MSM, dll)

Sumber : Djauzi S dkk, 2002

Anda mungkin juga menyukai