PENDAHULUAN
Sampai sekarang belum ada obat yang bisa menyembuhkan AIDS, bahkan saat ini
belum bisa dicegah dengan vaksin. Selama bertahun-tahun seseorang dapat terinfeksi HIV
sebelum akhirnya mengidap AIDS. Seseorang yang telahterinfeksi HIV belum tentu terlihat
sakit. Secara fisik dia akan sama dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Oleh karena itu
90% dari pengidap AIDS tidak menyadari bahwa mereka telah tertular virus AIDS, yaitu HIV
karena masa inkubasi penyakit ini termasuk lama dan itulah sebabnya mengapa penyakit ini
sangat cepat tertular dari satu orang ke orang lain.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
AIDS dapat diartikan sebagai kumpulan gejala atau penyakit yang disebabkan
oleh menurunnya kekebalan tubuh akibat infeksi oleh virus HIV. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Peningkatan jumlah orang hidup dengan HIV sungguh mengesankan. Pada tahun
1990, jumlah odha baru berkisar pada angka delapan juta sedangkan saat ini, jumlahnya
sudah mencapai 33,2 juta orang. Dari keseluruhan jumlah ini, 67% diantaranya
disumbangkan oleh odha di kawasan sub Sahara, Afrika
Sejak 1985 sampai tahun 1996 kasus AIDS masih jarang ditemukan di Indonesia.
Sebagian ODHA pada periode itu berasal dari kalangan homoseksual. Kemudian jumlah
kasus baru HIV/AIDS semakin meningkat dan sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat
peningkatan tajam yang terutama disebabkan akibat penularan melalui narkotika suntik.
Saat ini, perkembangan epidemi HIV di Indonesia termasuk yang tercepat di Asia.
Sebagian besar infeksi baru diperkirakan terjadi pada beberapa sub-populasi berisiko tinggi
(dengan prevalensi > 5%) seperti pengguna narkotika suntik (penasun), wanita penjaja seks
(WPS), dan waria. Di beberapa propinsi seperti DKI Jakarta, Riau, Bali, Jabar dan Jawa
Timur telah tergolong sebagai daerah dengan tingkat epidemi terkonsentrasi (concentrated
level of epidemic). Sedang tanah Papua sudah memasuki tingkat epidemi meluas (generalized
epidemic).
Berdasarkan laporan Departemen Kesehatan, terjadi laju peningkatan kasus baru HIV
yang semakin cepat. Jumlah kumulatif penderita HIV dari tahun 1987 sampai September
2014 berjumlah 150.296 orang, sedangkan total kumulatif kasus AIDS berjumlah 55.799
orang. Dari jumlah kumulatif kasus HIV tersebut, sekitar 74,9% adalah laki-laki dan 24,6%
adalah perempuan. Berdasarkan cara penularan, dilaporkan 48% pada heteroseksual; 42,3%
pada pengguna narkotika suntik; 3,8% pada homoseksual dan 2,2% pada transmisi perinatal.
Hal ini menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi kelompok homoseksual ke kelompok
heteroseksual dan penasun. Jumlah kasus pada kelompok penasun hingga akhir tahun 2008
mencapai 1.255 orang. Kumulatif kasus AIDS tertinggi dilaporkan pada kelompok usia 20–
29 tahun (50,82%), disusul kelompok usia 30–39 tahun.
2.3 ETIOLOGI
HIV adalah suatu virus RNA berbentuk sferis yang termasuk retrovirus dari famili
Lentivirus. (Gambar 1). Strukturnya tersusun atas beberapa lapisan dimana lapisan terluar
(envelop) berupa glikoprotein gp120 yang melekat pada glikoprotein gp41. Selubung
glikoprotein ini berafinitas tinggi terhadap molekul CD4 pada permukaan T-helper lymphosit
dan monosit atau makrofag. Lapisan kedua di bagian dalam terdiri dari protein p17. Inti HIV
dibentuk oleh protein p24. Di dalam inti ini terdapat dua rantai RNA dan enzim transkriptase
reverse (reverse transcriptase enzyme).
Ada dua tipe HIV yang dikenal yakni HIV-1 dan HIV-2. Epidemi HIV global
terutama disebabkan oleh HIV-1 sedangkan tipe HIV-2 tidak terlalu luas penyebarannya.
Tipe yang terakhir ini hanya terdapat di Afrika Barat dan beberapa negara Eropa yang
berhubungan erat dengan Afrika Barat.
Infeksi HIV terjadi melalui tiga jalur transmisi utama yakni transmisi melalui
mukosa genital (hubungan seksual) transmisi langsung ke peredaran darah melalui jarum
suntik yang terkontaminasi atau melalui komponen darah yang terkontaminasi, dan transmisi
vertikal dari ibu ke janin. CDC pernah melaporkan adanya penularan HIV pada petugas
kesehatan.
Sebenarnya risiko penularan HIV melalui tusukan jarum maupun percikan cairan darah
sangat rendah. Risiko penularan melalui perlukaan kulit (misal akibat tusukan jarum atau
luka karena benda tajam yang tercemar HIV) hanya sekitar 0,3% sedangkan risiko penularan
akibat terpercik cairan tubuh yang tercemar HIV pada mukosa sebesar 0,09%.
2.5 PATOGENESIS
Limfosit CD4+ (sel T helper atau Th) merupakan target utama infeksi HIV karena
virus mempunyai afinitas terhadap molekul permukaan CD4. Limfosit CD4+ berfungsi
mengkoordinasikan sejumlah fungsi imunologis yang penting sehingga bila terjadi
kehilangan fungsi tersebut maka dapat menyebabkan gangguan imun yang progresif.
Namun beberapa sel lainnya yang dapat terinfeksi yang ditemukan secara in vitro dan
invivo adalah megakariosit, epidermal langerhans, peripheral dendritik, folikular dendritik,
mukosa rectal, mukosa saluran cerna, sel serviks, mikrogilia, astrosit, sel trofoblast, limfosit
CD8, sel retina dan epitel ginjal.
Infeksi HIV terjadi melalui molekul CD4 yang merupakan reseptor utama HIV
dengan bantuan ko-reseptor kemokin pada sel T atau monosit, atau melalui kompleks
molekul adhesi pada sel dendrit. Kompleks molekul adhesi ini dikenal sebagai dendritic-cell
specific intercellular adhesion molecule-grabbing nonintegrin (DC-SIGN). Akhir-akhir ini
diketahui bahwa selain molekul CD4 dan ko-reseptor kemokin, terdapat integrin 4 7
sebagai reseptor penting lainnya untuk HIV. Antigen gp120 yang berada pada permukaan
HIV akan berikatan dengan CD4 serta ko-reseptor kemokin CXCR4 dan CCR5, dan dengan
mediasi antigen gp41 virus, akan terjadi fusi dan internalisasi HIV. Di dalam sel CD4,
sampul HIV akan terbuka dan RNA yang muncul akan membuat salinan DNA dengan
bantuan enzim transkriptase reversi. Selanjutnya salinan DNA ini akan berintegrasi dengan
DNA pejamu dengan bantuan enzim integrase. DNA virus yang terintegrasi ini disebut
sebagai provirus. Setelah terjadi integrasi, provirus ini akan melakukan transkripsi dengan
bantuan enzim polimerasi sel host menjadi mRNA untuk selanjutnya mengadakan transkripsi
dengan protein-protein struktur sampai terbentuk protein. mRNA akan memproduksi semua
protein virus. Genomik RNA dan protein virus ini akan membentuk partikel virus yang
nantinya akan menempel pada bagian luar sel. Melalui proses budding pada permukaan
membran sel, virion akan dikeluarkan dari sel inang dalam keadaan matang. Sebagian besar
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
Perjalanan penyakit infeksi HIV disebabkan adanya gangguan fungsi dan kerusakan
progresif populasi sel T CD4. Hal ini meyebabkan terjadinya deplesi sel T CD4. Selain itu,
terjadi juga disregulasi repsons imun sel T CD4 dan proliferasi CD4 jarang terlihat pada
pasien HIV yang tidak mendapat pengobatan antiretrovirus.
Dalam tubuh odha, partikel virus bergabung dengan DNA sel pasien, sehingga satu
kali seseorang terinfeksi HIV, seumur hidup ia akan tetap terinfeksi. Sebagian berkembang
masuk tahap AIDS pada 3 tahun pertama, 50% berkembang menjadi pasien AIDS sesudah 10
tahun, dan sesudah 13 tahun hampir semua orang yang terinfeksi HIV menunjukkan gejala
AIDS, dan kemudian meninggal. Perjalanan penyakit tersebut menunjukkan gambaran
penyakit yang kronis, sesuai dengan perusakan sistem kekebalan tubuh yang juga bertahap.
Dari semua orang yang terinfeksi HIV, lebih dari separuh akan menunjukkan gejala
infeksi primer yang timbul beberapa hari setelah infeksi dan berlangsung selama 2-6 minggu.
Gejala yang terjadi adalah demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening,
ruam, diare, atau batuk dan gejala-gejala ini akan membaik dengan atau tanpa pengobatan.
Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimtomatik (tanpa gejala) yang
berlangsung selama 8-10 tahun. Tetapi ada sekelompok kecil orang yang perjalanan
penyakitnya amat cepat, dapat hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula perjalanannya lambat
(non-progessor). Sejalan dengan memburuknya kekebalan tubuh, odha mulai menampakkan
gejala-gejala akibat infeksi oportunistik seperti berat badan menurun, demam lama, rasa
lemah, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes dan lain-
lainnya.
Tanpa pengobatan ARV, sistem kekebalan tubuh orang yang terinfeksi HIV akan
memburuk bertahap meski selama beberapa tahun tidak bergejala. Pada akhirnya, odha akan
menunjukkan gejala klinik yang makin berat. Hal ini berarti telah masuk ke tahap AIDS.
Terjadinya gejala-gejala AIDS biasanya didahului oleh akselerasi penurunan jumlah limfosit
CD4. Perubahan ini diikuti oleh gejala klinis menghilangnya gejala limfadenopati
generalisata yang disebabkan hilangnya kemampuan respon imun seluler untuk melawan
turnover HIV dalam kelenjar limfe Karena manifestasi awal kerusakan dari system imun
tubuh adalah kerusakan mikroarsitektur folikel kelenjar getah bening dan infeksi HIV meluas
ke jaringan limfoid, yang dapat diketahui dari pemeriksaan hibridasi insitu. Sebagian
replikasi HIV terjadi di kelenjar getah bening, bukan di peredaran darah tepi.
Pada waktu orang dengan infeksi HIV masih merasa sehat, klinis tidak menunjukkan
gejala, pada waktu itu terjadi replikasi HIV yang tinggi, 10 partikel setiap hari. Replikasi
yang cepat ini disertai dengan mutasi HIV dan seleksi, muncul HIV yang resisten. Bersamaan
dengan replikasi HIV, terjadi kehancuran limfosit CD4 yang tinggi, untungnya tubuh masih
bisa mengkompensasi dengan memproduksi limfosit CD4 sekitar 10 miliar sel setiap hari.
Perjalanan penyakit lebih progresif pada pengguna narkotika. Lebih dari 80%
pengguna narkotika terinfeksi virus hepatitis C. Infeksi pada katup jantung juga adalah
penyakit yang dijumpai pada ODHA pengguna narkotika dan biasanya tidak ditemukan pada
ODHA yang tertular dengan cara lain. Lamanya pengguna jarum suntik berbanding lurus
dengan infeksi pneumonia dan tuberkulosis. Makin lama seseorang menggunkan narkotika
suntikan, makin mudah ia terkena pneumonia dan tuberkulosis. Infeksi secara bersamaan ini
akan menimbulkan efek yang buruk. Infeksi oleh kuman penyakit lain akan menyebabkan
virus HIV membelah dengan lebih cepat sehingga jumlahnya akan meningkat pesat. Selain
itu juga dapat menyebabkan reaktivasi virus di dalam limfosit T. Akibatnya perjalanan
penyakitnya biasanya lebih progresif.
Gambaran perjalanan alamiah infeksi HIV. Dalam periode infeksi primer, HIV
menyebar luas di dalam tubuh; menyebabkan deplesi sel T CD4 yang terlihat pada
pemeriksaan darah tepi. Reaksi imun terjadi sebagai respon terhadap HIV, ditandai dengan
penurunan viremia.
2.7 DIAGNOSIS
2.7.1. Anamnesis
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV dapat dilihat pada
tabel 6
Tabel 6 : Daftar tilik pemeriksaan fisik
Gambaran klinis yang terjadi. umumnya akibat adanya infeksi oportunistik atau
kanker yang terkait dengan AIDS seperti sarkoma Kaposi, limfoma malignum dan karsinoma
serviks invasif. Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi HIV
dapat dilihat pada tabel 6. Di RS Dr. Cipto Mangkusumo (RSCM) Jakarta, gejala klinis yang
sering ditemukan pada odha umumnya berupa demam lama, batuk, adanya penurunan berat
badan, sariawan, dan diare, seperti pada tabel 5 .
Tabel 5. Gejala AIDS di RS. Dr. Cipto Mangunkusumo
Gejala Frekuensi
Demam lama 100 %
Batuk 90,3 %
Penurunan berat badan 80,7 %
Sariawan dan nyeri menelan 78,8 %
Diare 69,2 %
Sesak napas 40,4 %
Pembesaran kelenjar getah bening 28,8 %
Penurunan kesadaran 17,3 %
Gangguan penglihatan 15,3 %
Neuropati 3,8 %
Ensefalopati 4,5 %
Sumber : Yunihastuti E dkk, 2005
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif ditambah dengan tes
konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara berkembang termasuk Indonesia,
pemeriksaan WB masih relatif mahal sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO
menganjurkan strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring yang tidak
melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di Indonesia, kombinasi yang digunakan
adalah tiga kali positif pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes
tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang ketiga non-reaktif atau
apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut
sebagai indeterminate dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau tidak memiliki risiko
tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan sebagai non-reaktif.
Tabel 8 : Alogaritma pemeriksaan HIV
Sumber : Depkes,2011
Penilaian klinis yang perlu dilakukan setelah diagnosis HIV ditegakkan meliputi penentuan
stadium klinis infeksi HIV, mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di
masa lalu, mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan
pengobatan, mengidentifikasi kebutuhan terapi ARV dan infeksi oportunistik, serta
mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi pemilihan
terapi.
WHO membagi HIV/AIDS menjadi empat stadium klinis yakni stadium I (asimtomatik),
stadium II (sakit ringan), stadium III (sakit sedang), dan stadium IV (sakit berat atau AIDS),
lihat table 9. Bersama dengan hasil pemeriksaan jumlah sel T CD4, stadium klinis ini dapat
dijadikan sebagai panduan untuk memulai terapi profilaksis infeksi oportunistik dan memulai
atau mengubah terapi ARV.
AIDS merupakan manifestasi lanjutan HIV. Selama stadium individu bisa saja merasa
sehat dan tidak curiga bahwa mereka penderita penyakit. Pada stadium lanjut, system imun
individu tidak mampu lagi menghadapi infeksi Opportunistik dan mereka terus menerus
menderita penyakit minor dan mayor Karen tubuhnya tidak mampu memberikan pelayanan.
Angka infeksi pada bayi sekitar 1 dalam 6 bayi. Pada awal terinfeksi, memang tidak
memperlihatkan gejala-gejala khusus. Namun beberapa minggu kemudian orang tua yang
terinfeksi HIV akan terserang penyakit ringan sehari-hari seperti flu dan diare. Penderita
AIDS dari luar tampak sehat. Pada tahun ke 3-4 penderita tidak memperlihatkan gejala yang
khas. Sesudah tahun ke 5-6 mulai timbul diare berulang, penurunan berat badan secara
mendadak, sering sariawan di mulut dan terjadi pembengkakan didaerah kelenjar getah
bening. Jika diuraikan tanpa penanganan medis, gejala PMS akan berakibat fatal.
Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spectrum yang
lebar, mulai dari infeksi tanpa gejala (asimtomatif) pada stadium awal sampai dengan gejala-
gejala yang berat pada stadium yang lebih lanjut. Perjalanan penyakit lambat dan gejala-
gejala AIDS rata-rata baru timbul 10 tahun sesudah infeksi, bahkan dapat lebih lama lagi.
a. Dicurigai AIDS pada orang dewasa bila ada paling sedikit dua gejala mayor dan satu gejala
minor dan tidak ada sebab-sebab imunosupresi yang lain seperti kanker,malnutrisi berat atau
pemakaian kortikosteroid yang lama.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan lebih dari 10%
Diare kronik lebih dari satu bulan
Demam lebih dari satu bulan
2. Gejala Minor
Batuk lebih dari satu bulan
Dermatitis preuritik umum
Herpes zoster recurrens
Kandidias orofaring
Limfadenopati generalisata
Herpes simplek diseminata yang kronik progresif
b. Dicurigai AIDS pada anak. Bila terdapat palinh sedikit dua gejala mayor dan dua gejala
minor, dan tidak terdapat sebab – sebab imunosupresi yang lain seperti kanker, malnutrisi
berat, pemakaian kortikosteroid yang lama atau etiologi lain.
1. Gejala Mayor
Penurunan berat badan atau pertmbuhan yang lambat dan abnormal
Diare kronik lebih dari 1bulan
Demam lebih dari1bulan
2. Gejala minor
Limfadenopati generalisata
Kandidiasis oro-faring
Infeksi umum yang berulang
Batuk parsisten
Dermatitis
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya dalam menilai status imunitas
odha dan memudahkan kita untuk mengambil keputusan dalam memberikan pengobatan
ARV. Tes CD4 ini juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang
penting diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal ini tidak boleh
menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi ARV. CD4 juga digunakan sebagai
pemantau respon terapi ARV. Pemeriksaan jumlah limfosit total (Total Lymphocyte Count –
TLC) dapat digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak tersedia namun
TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi ARV atau sebagai dasar menentukan
kegagalan terapi ARV.
Tabel 9. Stadium klinis HIV
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
2.8 PENATALAKSANAAN
HIV/AIDS sampai saat ini memang belum dapat disembuhkan secara total. Namun
data selam a 8 tahun terakhir menunjukkan bukti yang amat meyakinkan bahwa pengobatan
dengan menggunakan kombinasi beberapa obat anti HIV bermanfaat untuk menurunkan
morbiditas dan mortalitas dini akibat infeksi HIV. . (Djoerban Z dkk,2006)
a) Pengobatan untuk menekan replikasi virus HIV dengan obat antiretroviral (ARV).
b) Pengobatan untuk mengatasi berbagai penyakit infeksi dan kanker yang menyertai
infeksi HIV/AIDS, seperti jamur, tuberkulosis, hepatitis, toksoplasmosis, sarkoma
kaposi, limfoma, kanker serviks.
c) Pengobatan suportif, yaitu makanan yang mempunyai nilai gizi yang lebih baik
dan pengobatan pendukung lain seperti dukungan psikososial dan dukungan
agama serta juga tidur yang cukup dan perlu menjaga kebersihan. Dengan
pengobatan yang lengkap tersebut, angka kematian dapat ditekan, harapan hidup
lebih baik dan kejadian infeksi oportunistik amat berkurang.
Untuk memulai terapi antiretroviral perlu dilakukan pemeriksaan jumlah CD4 (bila
tersedia) dan penentuan stadium klinis infeksi HIV-nya. Hal tersebut adalah untuk
menentukan apakah penderita sudah memenuhi syarat terapi antiretroviral atau belum.
Berikut ini adalah rekomendasi cara memulai terapi ARV pada ODHA dewasa.
a. Tidak tersedia pemeriksaan CD4
Dalam hal tidak tersedia pemeriksaan CD4, maka penentuan mulai terapi ARV adalah
didasarkan pada penilaian klinis.
b. Tersedia pemeriksaan CD4
Rekomendasi :
1. Mulai terapi ARV pada semua pasien dengan jumlah CD4 <350 sel/mm3 tanpa
memandang stadium klinisnya.
2. Terapi ARV dianjurkan pada semua pasien dengan TB aktif, ibu hamil dan koinfeksi
Hepatitis B tanpa memandang jumlah CD4.
Bila terdapat tes untuk hitung CD4, saat yang paling tepat untuk memulai terapi ARV
adalah sebelum pasien jatuh sakit atau munculnya IO yang pertama. Perkembangan penyakit
akan lebih cepat apabila terapi Arv dimulai pada saat CD4 < 200/mm3 dibandingkan bila
terapi dimulai pada CD4 di atas jumlah tersebut. Apabila tersedia sarana tes CD4 maka terapi
ARV sebaiknya dimulai sebelum CD4 kurang dari 200/mm3. Waktu yang paling optimum
untuk memulai terapi ARV pada tingkat CD4 antara 200- 350/mm3 masih belum diketahui,
dan pasien dengan jumlah CD4 tersebut perlu pemantauan teratur secara klinis maupun
imunologis. Terapi ARV dianjurkan pada pasien dengan TB paru atau infeksi bakterial berat
dan CD4 < 350/mm3. Juga pada ibu hamil stadium klinis manapun dengan CD4 < 350 /
mm3. Keputusan untuk memulai terapi ARV pada ODHA dewasa danremaja didasarkan pada
pemeriksaan klinis dan imunologis. Namun Pada keadaan tertentu maka penilaian klinis saja
dapat memandu keputusan memulai terapi ARV. Mengukur kadar virus dalam darah (viral
load) tidak dianjurkan sebagai pemandu keputusan memulai terapi.
Terapi ARV sebaiknya jangan dimulai bila terdapat keadaan infeksi oportunistik yang
aktif. Pada prinsipnya, IO harus diobati atau diredakan dulu. Namun pada kondisi-kondisi
dimana tidak ada lagi terapi yang efektif selain perbaikan fungsi kekebalan dengan ARV
maka pemberian ARV sebaiknya diberikan sesegera mungkin (AIII). Contohnya pada
kriptosporidiosis, mikrosporidiosis, demensia terkait HIV. Keadaan lainnya, misal pada
infeksi M.tuberculosis, penundaan pemberian ARV 2 hingga 8 minggu setelah terapi TB
dianjurkan untuk menghindari bias dalam menilai efek samping obat dan juga untuk
mencegah atau meminimalisir sindrom restorasi imun atau IRIS.
Tabel 14 mencoba menampilkan ringkasan mengenai keuntungan dan kerugian obat ARV
golongan ini.
Tabel 14 : Kombinasi ARV
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada odha dengan terapi ARV dan OAT adalah
kemungkinan adanya efek samping dan resistensi OAT. Tatacara terapi berdasarkan jumlah
CD4 seperti tercantum pada tabel 18. Untuk itu, perlu dilakukan tes resistensi BTA pada odha
yang mengalami TB.
Tabel 18. Terapi ARV untuk pasien koinfeksi TB-HIV
CD4 Paduan yang dianjurkan Keterangan
CD4 <200/ Mulai terapi TB. Mulai terapi ARV Saat mulai ART pada 2 – 8
mm3 segera setelah terapi TB dapat minggu setelah OAT
ditoleransi (antara 2 minggu hingga 2
bulan)
Paduan yang mengandung EFV (AZT
atau d4T) + 3TC + EFV (600 atau
800 mg/hari).
Setelah OAT selesai maka bila perlu
EFV dapat diganti dengan NVP.
Bila NVP terpaksa harus digunakan
disamping OAT, maka dapat
dilakukan dengan melakukan
pemantauan fungsi hati
(SGOT/SGPT) secara ketat
CD4 200-350/ Mulai terapi TB Setelah 8 minggu terapi
mm3 TB
CD4 >350/ Mulai terapi TB Tunda terapi ARV , evaluai
mm3 kembali pada saat minggu
ke 8 terapi TB dan setelah
terapi TB lengkap
CD4 tidak Mulai terapi TB Pertimbangkan terapi ARV
mungkin mulai 2 – 8 minggu setelah
diperiksa terapi TB dimulai
Sumber : Depkes RI, 2007
Pencegahan infeksi oportunistik atau profilaksis dapat dibagi dalam dua kelompok
besar yakni :
1. Pencegahan primer, yakni upaya untuk mencegah infeksi sebelum infeksi terjadi.
Misalnya pemberian kotrimoksazol pada penderita yang CD4 < 200/mm3 untuk
mencegah Pneumocystis carinii pneumonia (PCP). Pencegahan ini dapat mengurangi
risiko PCP.
2. Pencegahan sekunder, yaitu pemberian obat pencegahan setelah infeksi terjadi.
Contohnya setelah terapi PCP dengan kotrimoksazol diperlukan obat pencegahan (dalam
dosis yang lebih rendah) untuk mencegahan kekambuhan PCP yang telah sembuh.
Jika kekebalan tubuh dengan indikator nilai CD4 meningkat maka risiko terkena infeksi
oportunistik berkurang sehingga obat pencegahan infeksi oportunistik dapat dihentikan.
Namun bila kekebalan menurun kembali obat infeksi oportunistik harus diberikan lagi. Tabel
berikut menampilkan secara ringkas pencegahan terhadap beberapa bentuk infeksi
oportunistik. Beberapa upaya profilaksis hanya dianjurkan bila penderita mampu seperti
vaksinasi pneumokok, hepatitis B dan hepatitis A.