Anda di halaman 1dari 8

Terapi:

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas demam dan gejala, mencegah
koplikasi dan menghindari kematian. Penatalaksanaan demam tifoid adalah:
1. Istirahat dan perawatan dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan
2. Diet dan terapi penunjang (simptomatik dan suportif) dengan tujuan mengembalikan rasa
nyaman dan kesehatan apsien secara optimal
3. Istirahat dan perawatan professional bertujuan untuk mencegah komplikasi. Tirah baring
dengan perawatan sepenuhnya di tempat seeprti makan, minum, mandi, buang air kecil dan
buang air besar akan membatu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu
sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai.
4. Pemberian antimikroba yang tidak kalah penting sebagai eradikasi total bakteri untuk mencegah
kekambuhan dan keadaan carrier.
Pemilihan antibiotic tergantung pada pola sensitivitas isolate Salmonella typhi setempat. Munculnya
galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak antibiotic (kelompok MDR) dapat mengurangi
pilihan antibiotic yang akan diberikan.
Terdapat 2 kategori resistensi antibiotic yaitu resisten terhadap antibiotic kelompok chloramphenicol,
ampicillin, dan trimethroprim-sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotic
fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST) merupakan petanda berkurangnya
sesitivitas terhadap fluoroquinolone.
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan pefloxacin) merupakan terapi yang
efektif untuk demam tifoid yang disebabkan isolate tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan
angka kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan angka kekambuhan dan
fecal carrier kurang dari 2%.
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik, dapat membuhn S. typhi intraseluler di
dalam monosit/makrofag, serta mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan
antibiotic lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai fluoroquinolone dan salah satu
floroquinolone yang saat ini telah diteliti dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi
komparatif, acak dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap obat standar
ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.
Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dengan ciprofloxacin diberikan dengan dosis
500 mg, 2 kali sehari masing-masing selama 7 hari. Kesimpulan dari studi ini adalah bahwa pada saat ini
levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil
mikrobiologi dan secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan ciprofloxacin.
Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan
levofloxacin pada terapi demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 1
kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini adalah 100% dengan efek samping
yang minimal. Dari studi ini juga terdapat table perbandingan rata-rata waktu penurunan demam antara
berbagai jenis floroquinolone yang beredar di Indonesia di mana penurunan demam pada levofloxacin
paling cepat, yaitu 2,4 hari.
Sebuah meta analisis yang dipublikasikan pada tahun 2009 menyimpulkan bahwa pada demam enteric
dewasa, floroquinolone lebih baik dibandingkan chloramphenicol untuk mencegah kekambuhan.
Namun, floroquinolone tidak diberikan pada anak-anak karena dapat mengakibatkan gangguan
pertumbuhan dan kerusakan sendi.
Chloramphenicol sudah sejak lama digunakan menjadi terapi standar pada demam tifoid namun
kekurangan dari chloramphenicol adalah angka kekambuhan yang tinggi (5-7%), angka terjadinya carrier
juga tinggi, dan toksis pada sumsum tulang.
Azithromycin dan cefixime memiliki angka kekambuhan klinis lebih dari 90% dengan waktu penurunan
demam 5-7 hari, durasi pemberiannya lama (14 hari) dan angka kekambuhan serta fecal carrier terjadi
pada kurang dari 4%. Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi abdomen, atau
kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai
pasien demam tifoid yang berat. Terapi antibiotic yang diberikan pada demam tifoid berat menurut
WHO tahun 2003 dapat dilihat pada table 1. Walaupun di table ini tertera cefotazime untuk terapi
demam tifoid, tetapi sayangnya di Indonesia sampai saat ini tidak terdapat laporan keberhasilan terapi
demam tifoid untuk cefotaxime.
Tabel 1: Antibiotik yang diberikan pada demam tifoid berat menurut WHO 2003
Optimal parenteral drug Alternative effective parenteral drug
Daily dose Daily dose
Susceptibility Antibiotic Days Antibiotic Days
mg/kg mg/kg
Chloramphenicol 100 14 – 21
Fully Floroquinolone
15 10 – 14 Amoxicillin 100 14
sensitive e.g. ofloxacin
TMP – SMX 6 – 40 14
Multidrug 10 – 14 Ceftriaxone or 60
Floroquinolone 15 10 – 14
resistant cefotaxime 80
Quinolone Ceftriaxone or 60 10 – 14
Floroquinolone 20 7 – 14
resistant cefotaxime 80

Kombinasi 2 antibiotik atau lebih diindikasikan hanya pada keadaan tertentu saja antara lain toksik
tifoid, peritonitis atau perforasi, serta syok septi yang pernah terbukti ditemukan 2 macam orgaisme
dalam kultur darah selain kuman Salmonella. Penggunaan steroid hanya diindikasikan pada toksik tifoid
atau demam tifoid yang mengalami syok septik deksametason dosis 3 x 5 mg.
Selain pemberian antibiotic,penderita perlu istirahat total serta terapi suportif. Yang diberikan antara
lain cairan untuk mengkoreksi ketidak seimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang
adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan mudah dicerna secepat
keadaan mengizinkan.

Pencegahan:
Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan makanan dan minuman yang tidak
terkontaminasi, hygiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi
yang baik, dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting seiring dengan
munculnya kasus resistensi.
Sesungguhnya, secara garis besar ada 3 strategi pokok untuk memutuskan transmisi tifoid, yaitu:
1. Identifikasi dan eradikasi Salmonella typhi baik pada kasus demam tifoid maupun kasus karier
tifoid
2. Pencegahan transmisi langsung dari pasien terinfeksi S. typhi akut maupun karier
3. Proteksi pada orang yang berisiko terinfeksi
Selain strategi di atas, dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara maju ke
daerah yang endemic demam tifoid. Vaksin-vaksin yang sudah ada yaitu:
1. Vaksin Vi Polysaccharide
Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan diinjeksikan secara subkutan
atau intra muskuler. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi
setiap 3 tahun. Vaksin ini memberikan efikasi perlindungan sebesar 70-80%.
2. Vaksin Ty21a
Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enteric dan cair yang diberikan pada anak usia 6
tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang masing-masing diselang 2 hari. Antibiotic dihindari 7
hari sebelum dan sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan efikasi
perlindungan 67-82%.
3. Vaksin Vi-conjugate
Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan memberikan efikasi perlindungan
91,1% selama 27 bulan setelah vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan
efikasi perlindungan sebesar 89%.
Kloramfenikol
Kloramfenikol merupakan kristal putih ayng sukar larut dalam air (1:400) dan rasanya sangat pahit. Di
Indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilihan untuk mengobati demam tifoid. Dosis yang
diberikan adalah 4 x 500 mg per hari atau 50 mg/kgBB/hari dapat diberikan secara per oral atau
intravena. Diberikan samapi dengan 7 hari bebas panas. Penyuntikan intramuscular tidak dianjutkan
oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan dan tempat suntikan terasa nyeri. Dari
pengalaman penggunaan obat ini dapat menurunkan demam rata-rata 7,2 hari. Penuis lain
menyebutkan penurunan demam dapat terjadi rata-rata setelah hari ke-5. Pada penelitian yang
dilakukan selama 2002 sampai 2008 oleh Moehario LH dkk didapatkan 90% kuman masih memiliki
kepekaan terhadap antibiotic ini.
Mekanisme kerja: bersifat bekterisid dan bektriostatik tergantung pada spesies bakterinya. Obat ini
berkaitan dengan subunit 50S ribosom bakteri secara reversible dan akibatnya menghambat
pembentukan ikatan peptida. Setelah pemberian oral, kloramfenikol diserap dengan cepat. Kadar
puncak dalam darah tercapai 2 jam. Untuk anak biasanya iberikan bentuk ester kloramfenikol almitat
atau stearate yang rasanya tidak pahit. Masa paruh eliminasi pada orang dewasa kurang lebih 3 jam,
pada bayi berumur kurang dari 2 minggu sekitar 24 jam. Kira-kira 50% kloramfenikol dalam darah terikat
dengan albumin dan didistribusikan secara baik ke berbagai jaringan tubuh.
Dalam hati, kloramfenikol mengalami konjugasi dengan asam glukoronat oleh enzim glukoronil
transferase. Oleh karena itu waktu paruh kloramfenikol memanjang pada pasien gangguan faal hati.
Sebagian kecil kloramfenikol mengalami reduksi menjadi senyawa aril-amin yang tidak aktif lagi. Dalam
waktu 24 jam, 80 – 90% kloramfenikol yang diberikan oral telah disekresi melalui ginjal. Dari seluruh
kloramfenikol yang diekskresikan melalui urin, hanya 5 – 10% dalam bentuk aktif yang disekresikan
terutama melalui filtrat glomerulus sedangkan metabolitnya dengan sekresi tubulus, sisanya dalam
bentuk glukoronat atau hidrolisat lain yang tidak aktif.
Spektrum aktivitas: Kloramfenikol memiliki spektrum luas terhadap beberapa bakteri kokus Gram postif
dan Gram negative. Karena toksisitasnya, obat ini dicadangkan untuk infeksi yang mengancam nyawa
saja, terutama demam tifoid dan meningitis.
Rute pemberian: oral, intravena
Kontraindikasi: Kloramfenikol tidak boleh diberikan pada wanita hamil dan neonates. Kloramfenikol
tidak dianjurkan pada trimester ke-3 kehamilan karena dikhawatirkan dapat terjadi partus premature,
kematian fetus intrauterine, dan grey syndrome pada neonates. Tiamfenikol tidak dianjurkan pada
trimester pertama kehamilan karena kemungkinan efek teratogenic terhadap fetus pada manusia belum
dapat disingkirkan.
Efek samping: mielosupresi, anemia reversible, neutropenia dan trombositopenia dapat terjadi pada
pemberian kronis. Anemia aplastic yang fatal jarang terjadi. Neonatis tidak dapat memetabolisme
kloramfenikol dan akibatnya dapat timbul sinrim “grey baby” dengan gejala pucat, distensi abdomen,
muntah-muntah dan kolaps.
Interaksi: Dalam dosis terapi, kloramfenikol menghambat biotransformasi tolbutamide, fenitoin,
diklomarol dan obat lain yang dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar. Dengan demikian toksisitas
obat-obat ini lebih tinggi bila diberikan bersama kloramfenikol. Interaksi obat dengan fenobarbital dan
rifampisin akan memperpendek waktu paruh dari kloramfenikol dengan kadar obat ini dalam darah
menjadi subterapeutik.
Catatan terapeutik: resistensi terhadap kloramphenikol karena gen yang dibawa oleh plasmid yang
menghasilkan enzim yang menginaktivasi obat lewat asetilasi. Monitor darah perlu dilakukan.

Kuinolon dan Florokuinolon


Ciprofloxacin, levofloxacin dan asam naidiksat adalah kuinolon.
Dalam garis besarnya golongan kuinolon dapat dibagi menjadi 2 kelompok: Kuinolon, kelompok yang
tidak punya manfaat klinik untuk pengobatan infeksi sistemik karena kadarnya dalam darah terlalu
rendah dan daya antibakterialnya agak lemah dan resistensi cepat timbul. Florokuinolon, kelompok ini
disebut demkian karena adanya atom fluor pada posisi 6 dalam struktur molekulnya, daya antibakteri
florokuinolon jauh lebih kuat dibanding kelompok kuinolon lama.
Mekanisme kerja: Kuinolon bersifat bakterisida. Obat ini menghambat DNA gyrase prokariotik. Enzim ini
membungkus DNA menjadi gulungan super dan sangat penting untuk replikasi maupun perbaikan DNA.
Florokuinolon bekerja dengan mekanisme yang sama dengan kelompok kuinolon terdahulu.
Florokuinolon baru menghambat topoisomerase II (DNA gyrase) dan IV pada kuman. Enzim
topoisomerase II berfungsi menimbulkan relaksasi pada DNA yang mengalami positive supercoiling
(pilinan positif yang berlebihan) ada waktu transkripsi dalam proses replikasi DNA. Topoisomerase IV
berfungsi dalam pemisahan DNA baru yang terbentuk setelah proses replikasi DNA kuman selesai.
Golongan obat ini didistribusi dengan baik pada berbagai organ tubuh. Dalam urin semua fluorokuinolon
mencapai kadar yang melampaui Kadar Hambat Minimal untuk kebanyakan kuman pathogen selama
minimal 12 minggu.
Salah satu sifat florokuinolon yang menguntungkan ialah bahwa golongan obat ini mampu mencapai
kadar tinggi dalam jaringan prostat. Selain itu, masa paruh eliminasinya panjang sehingga obat cukup
diberikan 2 kali sehari. Kebanyakan florokuinolon dimetaboilsme di hati dan diekskresikan melalui ginjal.
Masa paruh eliminasi ofloksasin akan sangat memanjang dalam keadaan gagal ginjal. Sebagian kecil obat
akan dikeluarkan melalui empedu. Hmodialisis hanya sedikit mengeluarkan florokuinolon dari tubuh
sehingga penambahan dosis umumnya tidak diperlukan.
Spektrum aktivitas: Siprofloksasin memiliki spektrum luas, sedangkan asam nalidiksat spektrumnya
sempit terhadap organisme Gram negative. Kuinolon lama aktif pada beberapa kuman Gram-negatif,
seperti E. coli, Proteus, Klebsiella dan Enterobacter.Folokuinolon lama (siprofloksasin, ofloksasin,
norfloksasin dll) mempunyai daya antibakteri yang sanagt kuat terhadap E. coli, Klebsiella, Enterobacter,
Salmonella, dll sedangkan terhadap Gram-postif kurang baik. Folokuinolon baru (moksifloksasin,
gatifloksasin) mempunyai daya antibakteri yang baik terhadap kuman Gram-positif, Gram-negatif, serta
kuman-kuman atipik (mycoplasma, chlamydia, dll).
Rute pemberian: oral, intravena. Siprofloksasin dapat diabsorpsi dengan sempurna bila diberikan secara
oral sehingga pemberian intravena jarang diperlukan, kecuali bila pasien tidak tahan pemberian secara
oral.
Kontraindikasi: Kuinolon tidak boleh diberikan bersamaan dengan teofilin karena sifat toksik teofilin
akan meningkat.
Efek samping: Gangguan saluran cerna, paling sering timbul akibat penggunaan golongan kuinolon
(prevalensi sekitar 3-17%) dan bermanifestasi dalam bentuk mual, muntah, dan rasa tidak enak di perut.
Hipersensitif dan gangguan SSP seperti pusing dan sakit kepala, tapi jarang. Selain itu bisa juga ada
hepatotoksisitas, kardiotoksisitas, disglikemia, fototoksisitas dan lain-lain akan tetapi sangat jarang
ditemukan.
Interaksi obat: Golongan kuinolon dan fluorokuinolon berinteraksi dengan beberapa obat, misalnya
antasid dan preparat besi (Fe). Absorpsi kuinolon dan fluorokuinolon dapat berkurang hingga 50% atau
lebih. Karena itu pemberian antasid dan preparat besi harus diberikan dengan selang waktu 3 jam.
Selain itu Teofilin, beberapa kuinolon misalnya seperti siprofloksasin menghambat metabolism teofilin
dan meningkatkan kadar teofilin dalam darah sehingga dapat terjadi intoksikasi dan karena itu
pemberian kombinasi kedua golongan obat ini perlu dihindarkan.
Makrolid
Eritromisin, klaritromisin dan azitromisin merupakan beberapa contoh makrolid.
Mekanisme kerja: Makrolid bersifat bakteriostatik/bakterisida. Obat ini berkaitan dengan unit 50S dari
ribosom bakteri secara reversible, sehingga mencegah translokasi ribosom sepanjang sumbu mRNA.
Spektrum aktivitas: Eritromisin efektif terhadap kebanyakan bakteri Gram-positif dan spirokheta.
Klaritromisin efektif terhadap Haemophilus influenzae, Mycobacterium avium cellular dan Helycobacter
pylori.
Rute Pemberian: Oral, intravena
Efek samping: Efek samping eritromisin termasuk gangguan saluran pencernaan yang umum terjadi
setealh pemberian oral. Kerusakan hepar dan jaundis dapat terjadi pada pemberian yang kronis.
Catatan terapeutik: Resistensi terhadap eritromisin terjadi karena mutase tempat perlekatan di sub unit
50S. Eritromisin memiliki spektrum yang mirip dengan penisilin dan merupakan alternative yang efektif
untuk pasien yang sensitive terhadap penisilin. Azitromisin dapat diberikan dalam dosis sekali untuk
infeksi sederhana traktus genitalis yang disebabkan oleh klamidia.

Anda mungkin juga menyukai