Vitiligo PDF
Vitiligo PDF
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Vitiligo
Vitiligo secara umum adalah suatu kelainan didapat yang mengenai kulit dan
mukosa yang ditandai dengan makula depigmentasi berbatas tegas yang terjadi
akibat adanya kerusakan selektif pada melanosit (Alikhan dkk., 2011). Menurut
Jain dkk vitiligo merupakan gangguan kulit hipomelanotik didapat yang umum
terjadi dan ditandai dengan makula berwarna putih susu berbatas tegas dengan
berbagai bentuk dan ukuran. Kondisi ini disebabkan oleh adanya kerusakan
tahun 2003 yang mengajukan suatu konsensus mengenai definisi dan klasifikasi
kelompok besar yaitu vitiligo vulgaris atau vitiligo non segmental dan vitiligo
segmental. Menurut VETF vitiligo vulgaris atau common generalized vitiligo atau
didapat, yang ditandai dengan makula putih, seringkali simetris dan bertambah
luas seiring waktu, yang terjadi akibat kehilangan yang bermakna dari fungsi
9
10
dapat sebagian atau seluruhnya mengikuti pola dermatomal (Taieb dan Picardo,
campuran (mixed vitiligo) yang didefinisikan sebagai kombinasi dari lesi awal
2.1.2 Epidemiologi
Vitiligo adalah kelainan depigmentasi yang paling umum ditemukan, dapat terjadi
pada semua umur, dan jenis kelamin (Birlea dkk., 2012; Alikhan dkk., 2011).
menunjukkan adanya variasi yang luas diantara kelompok etnis yang berbeda.
Prevalensi vitiligo pada populasi Kaukasia di Amerika Serikat dan Eropa Utara
berkaitan dengan kontras warna kulit yang tampak dan stigma yang diterima oleh
peningkatan pelaporan kasus oleh wanita akibat lebih besarnya konsekuensi sosial
yang diterima (Alzolibani dkk., 2011). Anak dan dewasa dapat mengalami vitiligo
secara sama rata, dimana prevalensi vitiligo pada kelompok umur anak/dewasa
muda dengan kelompok umur dewasa tidak terdapat perbedaan (Alzolibani dkk.,
2011; Kruger dan Schallreuter, 2012). Sebagian besar kasus vitiligo dilaporkan
saat berkembang aktif dengan 50% pasien datang sebelum usia 20 tahun dan 70-
80% datang sebelum usia 30 tahun. Walaupun tidak ada usia yang imun terhadap
vitiligo, kondisi ini sangat jarang ditemukan saat lahir (Alzolibani dkk., 2011).
Kasus vitiligo pernah dilaporkan terjadi pada usia 6 minggu setelah lahir (Nanda
dkk., 1989). Rerata onset vitiligo didapatkan lebih awal pada pasien dengan
riwayat keluarga yang positif, yang berkisar antara 7,7% sampai lebih dari 50%
dihubungkan dengan patogenesis kondisi ini, dengan faktor genetik dan non-
teori tersebut mencakup antara lain gangguan pada adhesi melanosit, kerusakan
besar kasus vitiligo terjadi secara sporadik, walaupun terdapat 15-20% pasien
yang memiliki satu atau lebih anggota keluarga tingkat pertama yang juga
mengalami vitiligo. Secara umum, pola penurunan pada vitiligo tidak mengikuti
23% menunjukkan bahwa baik peran genetik dan non genetik, terutama peranan
Beberapa gen yang dihubungkan dengan fungsi imunitas diduga berperan dalam
kejadian vitiligo, seperti lokus MHC, CTLA4, PTPN22, IL10, MBL2, dan
NALP1.
Baru-baru ini dilakukan suatu studi genetik yang luas dilakukan pada
penderita vitiligo dari ras Eropa Kaukasia beserta keluarganya dan mendapatkan
risiko vitiligo, dimana 7 lokus ini ternyata juga dihubungkan dengan penyakit
dengan vitiligo vulgaris, dengan kejadiannya yang lebih sporadik, dan distribusi
penyakit autoimun baik pada pasien sendiri maupun pada keluarganya, yang
vivo. Saat ini, diduga bahwa antibodi ini adalah suatu respon humoral sekunder.
Peranan yang lebih besar diduga dimainkan oleh infiltrat inflamasi yang
ditemukan pada tepi lesi yang terutama terdiri atas limfosit T sitotoksik. Sel T ini
melanosit epidermal, sehingga dihipotesiskan bahwa sel ini bersifat sitolitik aktif
2012).
Kelainan morfologi dan fungsional yang terjadi pada melanosit dan keratinosit
maupun toksisitas yang diinduksi oleh reactive oxygen species (ROS) (Birlea
dkk., 2012).
Manifestasi klinis yang khas dari vitiligo adalah adanya makula berwarna putih
susu dengan depigmentasi yang homogen berbatas tegas, dengan tepi konveks,
yang tersebar secara diskret. Walaupun biasanya asimptomatis, keluhan gatal pada
lesi vitiligo pernah dilaporkan. Lokasi predileksi adalah pada area yang terpapar
periorifisium, permukaan dorsal tangan dan kaki, puting susu, daerah lipatan
seperti aksila dan inguinal, serta regio anogenital, walaupun semua area tubuh
dapat terkena. Berbagai faktor pemicu pernah dilaporkan antara lain trauma fisik,
defisiensi vitamin, dan banyak lagi. Pada vitiligo didapatkan adanya fenomena
Koebner dimana lesi dapat muncul pada area kulit yang mengalami trauma.
Secara umum lesi vitiligo berkembang perlahan, baik dari pelebaran secara
sentrifugal dari lesi yang lama atau adanya pembentukan lesi yang baru.
Leukotrikia (depigmentasi pada rambut yang terdapat pada lesi vitiligo) dapat
terjadi secara bervariasi antara 10-60% dan dianggap sebagai indikasi kerusakan
terapi yang lebih buruk. Perubahan rambut menjadi putih atau uban dilaporkan
15
terjadi pada sekitar 37% pasien dengan vitiligo, walaupun hubungan klinis dari
kedua kondisi ini belum dapat dipastikan (Alikhan dkk., 2011; Birlea dkk., 2012).
2.1.5 Diagnosis
yang mencakup distribusi, luas lesi dan perjalanan penyakit. Vitiligo European
Task Force telah menetapkan suatu lembaran evaluasi dan sistem penilaian yang
dapat sebagai digunakan sebagai standar penilaian klinis vitiligo. Rangkuman data
yang terdapat dalam formulir penilaian vitiligo oleh VETF dapat dilihat pada tabel
berikut.
dapat dilihat pada tabel 2.2. Umumnya, secara histopatologi vitiligo akan
menunjukkan kehilangan melanosit epidermis pada area yang terkena, dan kadang
terutama pada bagian tepi lesi awal dan lesi aktif yang kemungkinan menunjukkan
pemeriksaan tersebut antara lain hitung sel darah lengkap, kadar hormon tiroid,
menunjukkan tanda dan gejala ke arah penyakit tiroid (Gawkrodger, 2008; Birlea
dkk., 2012).
Tabel 2.2 Diagnosis Banding Vitiligo (dikutip dari Birlea dkk., 2012)
Penyakit Infeksi
Tinea versikolor
Sifilis sekunder
Kusta (tuberkuloid/lepromatosa)
Hipomelanosis Paramaligna
Mikosis fungoides
Melanoma kutaneus
Reaksi autoimun terhadap melanoma
Kelainan Idiopatik
Hipomelanosis gutata idiopatik
Saat ini terdapat berbagai metode untuk penilaian klinis vitiligo. Penilaian klinis
tampak dan digital fotografi hingga penilaian yang objektif seperti colorimetry
sistem penilaian secara semi-kualitatif yang dapat digunakan dalam praktek klinis
untuk membantu dalam menilai derajat keparahan serta aktivitas penyakit dan
respon terhadap terapi pada vitiligo. Beberapa sistem penilaian tersebut antara lain
Index (PRI), dan Vitiligo Extent Tensity Index (VETI), Vitiligo Area Severity
Index (VASI), dan Vitiligo Disease Activity (VIDA). Sayangnya hingga saat ini
vitiligo ini (Kawakami dan Hashimoto, 2011; Alghamdi dkk., 2012; Benzekri,
Sistem penilaian dari Vitiligo European Task Force, VETFa, terdiri dari
luas lesi, stadium penyakit (staging), dan progresivitas penyakit (spreading). Luas
pigmentasi pada kulit dan rambut dan dibagi menjadi stadium 0-3, sedangkan
Hashimoto, 2011).
Skor VASI diperkenalkan oleh Hamzavi dkk dan merupakan metode yang
telah terstandarisasi serta sensitif untuk mengukur derajat dan persentase dari
depigmentasi dan repigmentasi. Skor VASI ini secara konseptual analog dengan
skor psoriasis area severity index (PASI) yang digunakan pada psoriasis. Menurut
Alghamdi dkk, skor VASI bersama penggunaan lampu wood dan rule of nine
merupakan metode yang paling baik yang tersedia untuk menilai lesi pigmentasi
dan mengukur luas serta derajat vitiligo baik secara klinis maupun dalam
penelitian dan uji klinis (Alghamdi dkk., 2012). Dalam penghitungan skor VASI
tubuh penderita dibagi menjadi 5 bagian yaitu tangan, ekstrimitas atas (tidak
termasuk tangan), badan, ekstrimitas bawah (tidak termasuk kaki), dan kaki.
Regio aksila dimasukkan dalam ekstrimitas atas sedangkan regio inguinal dan
bokong dimasukan dalam ekstrimitas bawah. Satu hand unit, yang mencakup
telapak tangan dan permukaan volar dari jari tangan diperkirakan sebanyak 1%
dan digunakan untuk menilai jumlah area yang terlibat di setiap regio. Derajat
depigmentasi ditentukan berdasarkan gambaran lesi yang dinilai dengan skor 0%,
10%, 25%, 50%, 75%, 90%, 100%. Derajat 100% depigmentasi berarti tidak ada
19
pigmen yang tampak, pada 90% terdapat bercak pigmen yang tampak, pada 75%
area depigmentasi melebihi area pigmentasi, pada 50% area yang mengalami
depigmentasi dan yang mengalami pigmentasi adalah sama banyak, pada 25%
area pigmentasi melebihi area depigmentasi, pada 10% hanya terdapat bercak
bagian tubuh skor VASI ditentukan dengan menjumlahkan area vitiligo dalam
hand units dan derajat depigmentasi dalam setiap hand unit yang diperiksa dengan
skor minimal 0 sampai dengan skor maksimal 100 menggunakan rumus berikut
.
VASI = Ʃ (semua bagian tubuh) Hands Unit x Depigementasi
Skor VIDA yang semakin rendah menunjukkan aktivitas penyakit yang semakin
Tabel 2.3. Tabel Sistem Skor Vitiligo Disease Activity (VIDA) dalam skala 6 poin
(Dikutip dari Njoo, 1999)
Aktivitas Penyakit Skor Vida
2.1.7 Penatalaksanaan
modalitas terapi yang dapat digunakan namun belum terdapat konsensus yang
Tabel 2.4 Rangkuman Pedoman Pengobatan pada Vitiligo (dikutip dari Taieb
dkk., 2013)
Tipe Vitiligo Tingkat Penanganan
Vitiligo segmental Lini pertama Menghindari faktor pemicu, terapi lokal
atau vitiligo non (kortikosteroid, penghambat kalsineurin).
segmental yang Lini kedua Terapi NB-UVB lokal, terutama dengan
terbatas (< 2-3% menggunakan laser atau lampu excimer
BSA) monokromatik.
Lini ketiga Pertimbangkan terapi pembedahan jika
repigmentasi tidak memuaskan.
sebagai pilihan terapi pertama pada bentuk vitiligo yang terbatas bersama dengan
baik yaitu sebesar 75% repigmentasi pada daerah yang terpapar sinar matahari
22
seperti wajah dan leher, sedangkan lesi pada akral berespon buruk. Inhibitor
kalsineurin topikal telah digunakan sejak tahun 2002 terutama pada area dimana
Efektivitas inhibitor kalsineurin topikal dikatakan baik terutama pada area kepala
Fototerapi yang saat ini menjadi pilihan pada vitiligo adalah menggunakan
narrowband UVB (311 nm) terutama pada vitiligo aktif dengan lesi yang luas.
Fototerapi menggunakan NB-UVB ini memiliki efek samping yang lebih rendah
khellin dan UVA (KUVA) dengan efektivitas yang setara. Dalam suatu studi
didapatkan 64% pasien dengan terapi NB-UVB mencapai lebih dari 50%
perbaikan dibandingkan hanya 36% kelompok yang diterapi dengan PUVA untuk
range UVB (puncak pada 308 nm) yang dapat menjadi pilihan pada lesi yang
tidak efektif dalam repigmentasi vitiligo yang telah stabil. Adanya efek samping
dkk, 2001). Imunosupresan dan agen biologis lain yang dapat digunakan adalah
Beberapa jenis antioksidan yang banyak digunakan pada vitiligo antara lain
dengan tujuan untuk menghambat stres oksidatif yang dapat diinduksi oleh
repigmentasi. Namun dari beberapa studi yang dilakukan jumlah subjek terbatas
dan parameter hasil yang diukur belum konsisten sehingga belum dapat dilakukan
Kastovic dkk melakukan uji klinis dengan preparat SOD topikal yang
kombinasi ini dapat menjadi pilihan karena menyebabkan repigmentasi pada lebih
tambahan yang signifikan (Doghim dkk., 2011). Sedangkan Naini dkk melakukan
topikal dan mendapatkan belum ada perubahan yang signifikan pada area lesi dan
lesi vitiligo dengan kulit normal yang berasal dari donor autolog. Beberapa
metode pembedahan dapat dilakukan secara lokal dengan perawatan rawat jalan,
namun transplantasi pada area yang luas memerlukan anestesia general. Resiko
dijelaskan kepada pasien sebelum dilakukan tindakan (Majid, 2010; Taieb dkk.,
2013).
Perjalanan penyakit dari vitiligo seringkali tidak dapat diprediksi, tetapi sebagian
besar kondisi bersifat progresif lambat dan sulit untuk dikontrol dengan terapi.
Beberapa lesi berkembang seiring waktu, tetapi lesi lainnya dapat menetap dalam
kondisi stabil dalam jangka waktu yang lama. Beberapa parameter seperti durasi
dan antioksidan akibat pembentukan radikal bebas yang berlebihan atau akibat
atau molekul yang memiliki elektron tidak berpasangan pada orbit luarnya.
Keadaan ini menyebabkan atom atau molekul tersebut sangat reaktif mencari
pasangan dengan cara menyerang dan mengikat elektron molekul yang berada di
yang mengandung oksigen yang bersifat reaktif dan merupakan produksi normal
dari proses metabolisme pada semua organisme aerob yang bersifat sebagai
Pada kondisi badan yang sehat, oksidan yang terbentuk dengan sistem
ini, sistem pertahanan antioksidan melindungi sel dan jaringan melawan ROS.
penyusun sel seperti lipid, protein, dan DNA (Allesio, 2006; Atukeren, 2013).
Kerusakan pada molekul biologi seperti lipid, protein, dan DNA akibat
radikal bebas akan menghasilkan produk oksidan yang oleh klinisi dapat
salah satu lokasi yang paling rentan terhadap kerusakan akibat ROS. Radikal
bebas dapat bereaksi dengan asam lemak membran sel dan membentuk peroksida
Selain membran sel, protein merupakan target utama lainnya dari radikal
bebas. Produksi radikal bebas yang berlebihan dapat menimbulkan reaksi oksidasi
27
dengan protein asam amino dan terjadinya cross-linking. Reaksi radikal bebas
dengan protein dapat mengganggu fungsi protein seluler dan ekstraseluler seperti
enzim dan protein jaringan ikat secara permanen (Atukeren, 2013). Komponen
DNA dari sel juga sangat rentan terhadap serangan radikal bebas. Kerusakan
DNA ini dapat berefek letal pada organisme (Fang, 2002; Khansari 2009).
paparan polutan, sinar ultraviolet, dan radiasi terionisasi (Fuchs, 2001; Fang,
2002).
Secara umum dikenal tiga tipe ROS yaitu superoksida (O2•-), hidrogen
peroksida (H2O2), dan hidroksil (OH•). Radikal superoksida terbentuk bila terjadi
kehilangan elektron saat proses rantai transpor elektron. Ion hidroksil bersifat
sangat reaktif yang bereaksi dengan purin dan pirimidin sehingga menyebabkan
lepasnya rantai DNA dan berakhir dengan kerusakan DNA (Yoshikawa dan Naito,
Reactive oxygen species bersifat tidak stabil dan sulit diukur secara
membran sel, protein, dan DNA. Biomarker kerusakan pada membran sel dapat
28
Biomarker kerusakan inti sel dapat diketahui melalui pengukuran protein karbonil,
dkk., 2007).
Reactive oxygen species juga dapat terbentuk saat aktivitas fisik yang
adanya paparan bahan alergen, serta penggunaan obat-obatan dan bahan toksik
seperti asap rokok, polutan, dan pestisida (Devasagayam, 2004; Winarsi, 2007).
2.3 Antioksidan
dapat berfungsi sebagai senyawa pemberi elektron sehingga efektif melindungi sel
tubuh terhadap kerusakan yang disebabkan oleh oksidan. Adanya paparan radikal
dalam mengubah ROS menjadi H2O untuk menghindari penumpukan ROS yang
Priyadarsini, 2011).
29
kelebihan ROS dan mencegah kerusakan struktur sel dengan mereduksi hidrogen
peroksida menjadi air dan alkohol. Anion superoksida dihasilkan melalui reduksi
yang rendah dan bertindak sebagai pertahanan lini kedua dalam melawan radikal
taurin, hipotaurin, glutation, beta karoten, dan karoten. Antioksidan non enzimatik
ini berperan dalam melawan efek toksik radikal bebas (Fang, 2001; Briganti dan
Picardo, 2002).
30
2006). Usia juga mempengaruhi aktivitas oksidatif dan stimulasi fagosit, dimana
meningkat seiring usia kemudian akan menurun pada usia di atas 70 tahun.
Adanya perubahan dalam eritrosit CuZn-SOD juga mengikuti pola yang sama
dalam anti inflamasi non steroid seperti aspirin, ibuprofen, dan celecoxib memiliki
Seperti misalnya pada aspirin, setelah pemberian secara oral, aspirin akan
31
dikonversi menjadi asam salisilat yang dapat menurunkan stres oksidatif dan
(Alessio, 2006).
setidaknya 5 batang/hari memiliki kadar SOD yang lebih rendah daripada bukan
oksidatif, peroksidasi lipid pada sirkulasi darah maternal dan jaringan plasenta,
serta peningkatan kadar antioksidan (Madazli dkk, 2002). Pada penelitian oleh
Adiga tahun 2009 didapatkan adanya penurunan kadar total antioksidan serum
pada wanita hamil dibandingkan dengan wanita tidak hamil (Adiga, 2009).
pada semua organisme aerob termasuk pada mamalia dan tanaman, serta pada
isoform yang berbeda tetapi memiliki bentuk yang sama. Perbedaan antar isoform
32
ini terdapat pada struktur protein, kofaktor logam yang diperlukan, serta lokasi
yang diproduksi oleh mamalia, yaitu SOD1 yang dikodekan dengan CuZn-SOD
dan merupakan isoform mitokondria, dan SOD3 yang dikodekan dengan ECSOD,
yang memiliki struktur serupa dengan CuZn-SOD dan juga mengandung kofaktor
2002).
antioksidan lini pertama dalam tubuh manusia yang dikenal sebagai antioksidan
primer. Sebagai suatu enzim, menunjukkan laju reaksi katalitik yang sangat tinggi
glutation, karotenoid, polifenol, mineral, dan lain sebagainya yang sangat cepat
yang sangat reaktif menjadi hidrogen peroksida (H2O2). Dengan mengubah O2•- ,
SOD menghambat pelepasan ion besi bebas dan pembentukan ROS yang
berbahaya seperti OH•. Pada saat yang bersamaan, SOD juga melindungi
signalisasi vaskular dari NO• dengan melakukan hambatan ikatan ion ini dengan
merupakan radikal bebas yang bersifat toksik terhadap sel, termasuk melanosit.
Hidrogen peroksida yang dihasilkan oleh aktivitas SOD selanjutnya akan diubah
oleh antioksidan enzimatik katalase menjadi metabolit yang tidak berbahaya yaitu
Peranan SOD pada vitiligo tidak lepas dari hipotesis biokimia yang
menyebutkan adanya stres oksidatif sebagai salah satu faktor yang berperan dalam
kerusakan melanosit. Hal ini didasarkan pada fungsi sintesis melanin dari
melanosit yang melibatkan reaksi oksidasi dan pembentukan anion superoxide dan
dari kerusakan oksidatif. Tirosinase, enzim yang berperan dalam sintesis melanin
protein 2 (TRP2). Siklus redoks dari indole menjadi quinone ini menghasilkan
ROS. Polimerisasi dari quinone reaktif ini akan membentuk eumelanin berwarna
Gambar 2.4 pembentukan ROS dalam berbagai tahapan sintesis melanin (dikutip
dari Denat, 2014)
Terdapat bukti adanya stres oksidatif sebagai faktor kunci untuk kejadian
dan progresivisitas vitiligo. Kerentanan sel melanosit terhadap kematian sel yang
stres oksidatif fisik dan biokimia pada vitiligo juga terjadi kulit non lesi. Pasien
vitiligo diketahui memiliki kadar H2O2 yang tinggi pada epidermisnya dan kadar
hidrogen peroksida yang tinggi ini diketahui dapat menurunkan aktivitas katalase
terjadi (Denat, 2014). Kadar H2O2 yang tinggi dapat menginaktivasi dan
dkk., 2008; Zhou dkk., 2009). Lebih jauh lagi kadar H2O2 yang tinggi pada
ACTH dan α-MSH yang berasal dari propiomelanokortin, dimana kedua peptida
sumber akumulasi hidrogen peroksida dalam sel karena SOD sendiri bekerja
Gambar 2.5 Induksi pembentukan ROS oleh sumber eksogen dan endogen serta
mekanisme pembelaan antioksidan untuk mengembalikan keadaan redoks yang
seimbang dalam melanosit (dikutip dari Denat, 2014)
SOD pada model depigmentasi hewan percobaan dan mendapatkan aktivitas SOD
yang tinggi dan mendapatkan hasil yang sama dimana didapatkan aktivitas SOD
yang lebih tinggi pada pasien vitiligo dibandingkan pasien kontrol (Chakroborty,
36
pasien dengan vitiligo vulgaris dan mendapatkan peningkatan kadar SOD eritrosit
yang signifikan antara kelompok pasien dengan kontrol sehat (Yildirim dkk.,
2003). Agrawal dkk juga menemukan hal yang serupa dimana didapatkan kadar
SOD dalam darah yang lebih tinggi pada kelompok dengan vitiligo dibandingkan
dengan kelompok normal pada semua umur (Agrawal dkk., 2004). Studi oleh
aktivitas SOD eritrosit pada pasien vitiligo (Hazneci, 2004). Ines dkk mencoba
membandingkan aktivitas SOD pada kelompok vitiligo yang stabil dengan yang
aktif dan mendapatkan adanya peningkatan aktivitas SOD eritrosit pada kelompok
dengan vitiligo aktif dibandingkan dengan yang stabil (Dammak dkk., 2006).
peroksidasi lipid pada level jaringan pasien dengan vitiligo aktif dan stabil dan
dibandingan kontrol normal, dan lebih tinggi secara signifikan pada vitiligo yang
aktif dibandingkan dengan vitiligo stabil (Dammak dkk., 2009). Lebih lanjut
Sravani dkk meneliti stres oksidatif pada kulit lesi dan non lesi pasien vitiligo
dengan mengukur SOD dan katalase dan mendapatkan bahwa kadar SOD pada
kulit pasien vitiligo baik yang diambil pada lesi maupun non lesi secara signifikan
lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, sedangkan kadar SOD pada lesi dan
non lesi pasien vitiligo tidak berbeda secara bermakna. Hal ini menunjukkan
bahwa stres oksidatif yang terjadi tidak hanya pada lesi tetapi terjadi pada seluruh
epidermis (Sravani dkk., 2009). Adanya peningkatan kadar SOD pada pasien
37
kemungkinan disebabkan oleh mekanisme adaptasi atau sebagai respon dari stres
oksidatif yang terjadi. Kadar SOD yang tinggi yang disertai dengan penurunan
kadar katalase dapat menyebabkan terjadinya akumulasi H2O2 yang bersifat toksik
terhadap melanosit (Hazneci, 2004; Dammak dkk., 2009; Sravani dkk., 2009).
Gambar 2.6 Peranan SOD dalam Kerusakan Melanosit pada Patogenesis Vitiligo
Laddha dkk mencoba menganalisis gen dari ketiga isoform SOD untuk melihat
adanya polimorfisme pada gen yang mengatur SOD2 dan SOD3 yang secara
pasien vitiligo dengan lesi yang aktif. Aktivitas SOD2 yang tinggi yang
Aktivitas dari isoform SOD yang meningkat ini dihubungkan dengan progresi dan
aktivitas penyakit. Dari studi ini disimpulkan bahwa polimorfisme pada gen yang
mengatur SOD2 dan SOD3 dapat sebagai faktor risiko genetik untuk kerentanan
dan progresivitas vitiligo karena aktivitas SOD yang meningkat yang tidak
dapat menyebabkan kerusakan oksidatif yang lebih tinggi pada melanosit (Laddha
dkk., 2013).