Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor
5 Tahun 2014 Tentang Baku Mutu Air Limbah, Air limbah adalah sisa dari suatu usaha
dan/atau kegiatan yang berwujud cair. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau
kadar unsur pencemar dan/atau jumlah unsur pencemar yang ditenggang
keberadaannya dalam air limbah yang akan dibuang atau dilepas ke dalam media air
dari suatu usaha dan/atau kegiatan.
Limbah cair tapioka merupakan limbah yang dihasilkan dari proses pembuatan,
baik dari pencucian bahan baku sampai pada proses pemisahan pati dari airnya atau
proses pengendapan. Hasil limbah dari 2/3 pengolahan tepung tapioka sebesar 75%,
limbah ini berupa padat dan cair. Pemekatan dan pencucian pati dengan sentrifus
menghasilkan limbah cukup banyak juga dengan kandungan padatan tersuspensi halus
yang cukup tinggi Kehadiran zat-zat tersebut dalam limbah cair dapat menimbulkan
gangguan-gangguan sebagai berikut :
a. Menyebabkan perubahan rasa dan bau yang tidak sedap
b. Menimbulkan penyakit: misalnya gatal-gatal
c. Mengurangi estetika sungai
d. Menurunkan kualitas air sumur di sekitar pabrik tapioka
Parameter limbah cair yang harus diperhatikan dan diuji sebelum dibuang
kelingkungan diantaranya yaitu pH, BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD
(Chemical Oxygen Demand), DO (Dissolved Oxygen), padatan tersuspensi (TSS) dan
kekeruhan air, dan Warna.
Dari hasil analisis sampel limbah industri rumah tangga tapioka didapatkan
kadar TSS sebelum pengolahan adalah 1160 mg/L, kadar COD sebesar 1856 ppm,
dengan pH 4,8. terlihat bahwa kualitas limbah yang dihasilkan industri tapioka tersebut
melebihi ambang batas yang ditetapkan pemerintah untuk dibuang ke lingkungan,
untuk itu diperlukan pengolahan terhadap limbah tersebut sebelum dibuang ke
lingkungan agar memenuhi baku mutu standar yang ditetapkan pemerintah.
Untuk itu penulis ingin mengetahui proses pengolahan air limbah pada industri
tapioka agar kualitas limbah cair yang dibuang ke lingkungan memenuhi standar.
B. Rumusan Masalah
1. Apa bahan baku yang digunakan dalam industri tapioka ?
2. Bagaimana proses pengolahan tepung tapioka ?
3. Limbah apa saja yang dihasilkan dalam proses industri tapioka ?
4. Bagaimana cara pengolahan limbah industri tapioka ?
C. Tujuan
1. Mengetahui bahan baku yang digunakan dalam industri tapioka.
2. Mengetahui proses pengolahan tepung tapioka.
3. Mengetahui limbah yang dihasilkan dalam proses industri tapioka.
4. Mengetahui cara pengolahan limbah industri tapioka.
D. Manfaat
1. Bagi Produsen Tapioka
Dapat memberikan informasi tentang pengolahan limbah yang sederhana, murah
dan ramah lingkungan, dengan mengetahui sistem pengolahan tersebut diharapkan
dapat menerapkan pada industrinya.
2. Bagi Dinas Kesehatan
Dapat membantu dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan melalui
peningkatan kesehatan lingkungan dari ancaman pencemaran limbah cair.
3. Bagi Dinas Perindustrian
Dapat memberikan informasi tentang pengolahan limbah yang ramah lingkungan,
dengan mengetahui pengolahan limbah tersebut diharapkan dapat
memasyarakatkannya.
4. Bagi Jurusan Kesehatan Lingkungan
Dapat memperbanyak pengetahuan IPTEK pengolahan limbah.
5. Bagi Penulis
Sebagai wahana dalam meningkatkan pola pikir yang rasional.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Bahan Baku Tepung Tapioka


Tapioka adalah tepung pati yang diekstrak dari umbi singkong. Ketela pohon,
ubi kayu, atau singkong (Manihot utilissima) adalah perdu tahunan tropika dan
subtropika dari suku Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok
penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.
B. Proses Pembuatan Tepung Tapioka
1. Pengupasan
Pengupasan dan pencucian ketela dilakukan oleh manusia dengan menggunakan
pisau pengupas kusus ketela, setelah dikupas kemudian dicuci untuk
menghilangkan kotoran yang menempel. Setelah dikupas ketela diparut, pada
proses ini kulit yang terbuang 10 % dari berat.
2. Pemarutan
Pemarutan ini dimaksudkan untuk memecah sel-sel umbi ketela sehingga butir-
butir pati akan terlepas. Kandungan pati yang dihasilkan tergantung dari proses
pemarutan. Semakin kecil ukurannya, hasil parutan kandungannya semakin tinggi
karena yang pati yang terekstrak semakin banyak.
3. Pengambilan pati
Pengambilan pati dari ketela yang telah diparut dilakukan dengan cara ektraksi
menggunakan air. Ketela parutan diletakkan diatas saringan kasar yang berbentuk
empat persegi panjang. Pati yang tersuspensi dalam air akan lolos dari saringan dan
tepung ditampung dalam bak. Proses penyaringan dilakukan bila air yang lewat
saringan agak jernih dan diperkirakan pati sudah tersuspensi semua. Kebutuhan air
untuk proses ini diperkirakan 3-8 m3 per ton ketela.
4. Pemisahan pati
Pemisahan pati dari air dilakukan dengan cara pengendapan.
5. Pengeringan pati
Setelah waktu pengendapan, cairan diatas endapan dibuang dengan cara
pembukaan papan penutup bak dibuka satu demi satu dengan cara perlahan lahan
agar pati di sisi akhir tidak ikut hanyut dalam air. Endapan pati diambil kemudian
di jemur dibawah terik matahari.
6. Penggilingan dan Penyaringan Pati
Terakhir pati yang sudah kering digiling dan diayak, penggilingan menjadi tepung
halus, dan hanya dilakukan oleh industri menengah / besar.
Diagram alirnya sebagai berikut :

C. Limbah yang Dihasilkan dalam Industri Tepung Tapioka


1. Limbah Padat
Limbah padat yang dihasilkan oleh tepung tapioka disebut onggok. Onggok
tapioka merupakan limbah padat industri tapioka yang berupa ampas hasil ekstraksi
dari pengolahan tepung tapioka. Dalam industri tapioka dihasilkan 75% onggok
tapioka dari total bahan baku yang digunakan. Jumlah onggok tapioka yang
dihasilkan dari industri kecil dengan bahan baku 5 kg per hari menghasilkan
onggok tapioka sebanyak 3,75 kg. Sedangkan industri menengah dengan bahan
baku rata-rata sebanyak 20 kg per hari menghasilkan 15 kg onggok tapioka dan
industri besar dengan bahan baku 600 kg per hari dapat menghasilkan onggok
tapioka sebanyak 450 kg. Dari data tersebut terlihat bahwa jumlah onggok yang
dihasilkan dari industri tepung tapioka sangat besar. Onggok tersebut akan
menimbulkan bau yang tidak sedap dan mencemari lingkungan, apabila tidak
ditangani dengan tepat. Limbah padat dari pembuatan tapioka juga mengandung
sianida yang dapat mengakibatkan keracunan seperti , sakit kepala, sesak nafas,
tubuh lemah, buang air kecil tidak lancar.
2. Limbah Cair
Limbah cair tepung tapioka dihasilkan dari proses produksi tepung tapioka, baik
dari pencucian bahan baku sampai pada proses pemisahan pati dari airnya atau
proses pengendapan. Limbah cair tepung tapioka jika tidak diolah akan
menyebabkan bau yang tak sedap dan mencemari lingkungan disekitar pabrik.
Pencemaran tersebut disebabkan karena limbah cair yang mengandung banyak
bahan organik tersebut mengalami pembusukan sehingga mencemari lingkungan.
Apabila limbah industri tapioka tidak diolah dengan baik dan benar dapat
menimbulkan berbagai masalah, diantaranya penyakit gatal-gatal, batuk dan sesak
nafas; timbul bau yang tidak sedap; mencemari perairan tambak sehingga ikan
mati; perubahan kondisi sungai (pencemaran) (Wahyuadi, 1996). Dan jika limbah
cairnya langsung dibuang ke laut maka akan menyebabkan ribuan ikan dan biota
lain mati mengambang di laut.
Limbah cair tepung tapioka yang di hasilkan sangat memprihatinkan karena limbah
tersebut dialirkan ke laut yang nantinya akan merusak biota laut, dan seperti yang
di ketahui Singkong mengandung HCN, maka HCN tersebut apabila terkena kadar
asin yang tinggi akan menjadi netral tetapi tidak menutup kemungkinan lama
kelamaan akan merusak biota laut. Dari hasil penelitian jika limbah cair tepung
tapioka dibuang langsung ke laut maka limbah cair tepung tapioka tersebut akan
mencemari badan air tersebut. Bahan pencemar yang ada di dalamnya akan
mengalami penyebaran dan pengenceran yang bersifat reaktif dengan adsorbsi,
reaksi atau penghancuran biologis. Air limbah juga mencemari tanah dan dalam
perjalanannya akan mengalami peristiwa mekanik, kimia dan biologis.
Limbah tepung tapioka yang dibiarkan di perairan terbuka akan menimbulkan
perubahan yang dicemarinya. Pencemaran tersebut antara lain (Soeriaatmadja,
1984) :
1. Peningkatan zat padat berupa senyawa organik, sehingga timbul kenaikan
limbah padat, tersuspensi maupun terlarut.
2. Peningkatan kebutuhan mikroba pembusuk senyawa organik akan oksigen,
dinyatakan dengan BOD dalam air.
3. Peningkatan kebutuhan proses kimia dalam air akan oksigen air dinyatakan
dengan COD.
4. Peningkatan senyawa-senyawa beracun dalam air dan pembawa bau busuk
yang menyebar keluar dari ekosistem aquatik itu sendiri.
5. Peningkatan derajat keasaman yang dinyatakan dengan pH yang rendah dari air
tercemar, sehingga dapat merusak keseimbangan ekosistem perairan terbuka.
Selain berdampak pada lingkungan, limbah tapioka juga berdampak terhadap
manusia. Konsentrasi BOD yang tinggi di dalam air menunjukkan adanya bahan
pencemar organik dalam jumlah yang banyak, sejalan dengan hal ini jumlah
mikroorganisme baik yang pathogen maupun tidak pathogen banyak di badan air.
Limbah cair tapioka mengandung zat-zat organik yang cenderung membusuk jika
dibiarkan tergenang sampai beberapa hari di tempat terbuka. Hal ini merupakan
proses yang paling merugikan, karena adanya proses dimana kadar oksigen di
dalam air buangan menjadi nol maka air buangan berubah menjadi warna hitam
dan busuk. Ini dapat mengurangi nilai estetika dan apabila berada di sekitar sumber
air (sumur), maka kemungkinan akan merembes dan sumur tercemar atau tidak
termanfaatkan lagi. Selain itu, jika limbah tapioka mencemari air sungai yang akan
dimanfaatkan masyarakat dapat menimbulkan masalah penyakit seperti gatal-gatal.
D. Baku Mutu Air Limbah Industri Tapioka
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 5
Tahun 2014 tentang Baku Mutu Air Limbah. Bagi usaha dan/atau kegiatan industri
tapioka sebagai berikut :
Parameter Kadar Paling Tinggi Be ban Pencemaran
(mg/L) Paling Tinggi (kg/ton)
BOD 150 4.5
COD 300 9
TSS 100 3
Sianida (CN) 0,3 0,009
Ph 6,0 – 9,0
Debit Limbah Paling Tinggi 30 m3 per ton produk tapioka

E. Pengolahan Limbah Industri Tapioka


Ada berbagai cara untuk mengolah limbah tapioka diantaranya sebagai berikut :
a. Sistem Up-Flow Anaerbic Sludge Blanket (UASB)
UASB (Up-flow Anaerobic Sludge Blanket) merupakan salah satu cara
pengolahan limbah secara anaerobik yang dioperasikan secara kontinyu, dalam
fermentor UASB limbah dialirkan secara vertikal dari bagian bawah menuju ke
atas melewati Sludge Blanket yang di dalamnya terdapat mikroba pengurai limbah
(Besselievre dan Schwartz, 1976).

b. Metode Rotating Biological Contactor


RBC merupakan proses pengolahan air limbah secara biologis dengan
memanfaatkan cakram atau disk melingkar yang diputar oleh poros dengan
kecepatan tertentu. RBC memanfaatkan mikroorganisme dalam menguraikan
kandungan bahan organik yang terdapat dalam limbah cair.

c. Sistem ABR dan UAF


Saat ini jenis reaktor anaerob yang paling banyak digunakan oleh industri
khususnya di Jawa Tengah adalah lagooning (septik tank) dan UAF. Reaktor yang
pertama, septik tank atau lebih dikenal dengan sistem konvensional. Konstruksinya
sederhana, berupa bak kedap yang dibagian atas dilengkapi dengan cerobong untuk
mengeluarkan gas-gas yang terbentuk selama terjadi proses peruraian air limbah
oleh aktivitas mikroba. Modifikasi pada sistim konvensional ini adalah dengan
memasang sekat-sekat didalam bak untuk mengatur aliran limbah menjadi lebih
sempurna. Sistim ini dikenal dengan ABR (Anaerobic Baffled Reactor).
a. Kelebihan Sistim ABR
Reaktor ABR mempunyai beberapa kelebihan dibandingkan jenis reaktor anaerob
lain. Keunggulan-keunggulan tersebut di antaranya adalah :
- Sistem desain
Biaya konstruksi ABR tercatat 20 % lebih rendah dibandingkan reaktor Upflow
Anaerobic Sludge Blanket (UASB) (Mrafkova et al., 2000). Desain konstruksi
yang dimiliki memungkinkan untuk menghindari terperangkapnya gas dalam
partikel lumpur yang dapat mengakibatkan terangkatnya partikel lumpur dan efek
turbulensi yang merusak sedimen (Rahayu dan Purnavita, 2008). Produksi lumpur
yang hanya bernilai sekitar 0,03 g sel/g substrat (Stuckey et al., 2000) membuat
tidak diperlukan proses sedimentasi akhir (Smith and Scott, 2005).
- Efisiensi Pengolahan
Sistem ABR mampu menurunkan 70-90 % BOD dan 72-95 % COD (Foxon et
al., 2006). Operasi ABR 2 baffle juga dapat berlangsung dalam waktu tinggal 2 kali
lebih singkat dibanding jika digunakan septic tank bervolume sama untuk dapat
menghasilkan besar penurunan Total Suspended Solid (TSS), COD dan BOD sama
(Koottatep et al., 2004). Waktu tinggal dibutuhkan pengoperasian ABR pun 39 %
lebih singkat dibandingkan UASB (Krishna and Kumar, 2007).
- Sistem Operasi
ABR bersifat lebih resisten terhadap shocking loading dibandingkan proses
anaerob lainnya (Foxon et al., 2006). Penurunan performa yang ditimbulkan akibat
adanya shocking loading juga memerlukan waktu lebih singkat untuk kembali ke
operasi normal dibandingkan sistem anaerob lain karena kecilnya kemungkinan
terjadinya wash out (Khanal, 2008).
b. Kelemahan Sistem ABR
Namun, ABR juga mempunyai kelemahan yaitu rendahnya efisiensi
penghilangan TSS yang kurang baik, yaitu berkisar antara 40-70 %. Zat padat
dengan densitas yang mendekati densitas air juga akan terbawa keluar dari
kompartemen pertama dan terbawa keluar reaktor bersama dengan efluen. Proses
penghilangan kadar TSS influen dapat membuat terjadi penurunan 97 % COD dan
98 % BOD pada sistem anaerobic digestion (Indriani dan Herumurti, 2010).

d. Metode Elektroflokulasi
Prinsip pengolahan limbah cair dengan menggunakan elektroflokulasi adalah
bahwa koagulan atau flokulan dihasilkan dari proses elektro-oksidasi dari anoda
yang umumnya dibuat dari besi atau aluminium.
BAB III

PEMBAHASAN

A. Karakteristik Limbah Cair Tapioka

Senyawa Keterangan

Warna Transparan disertai suspensi berwarna putih

Bau Tidak sedap, disebabkan adanya pemecahan zat


organik oleh mikroba
Kekeruhan Adanya padatan terlarut dan tersuspensi di dalam air
limbah
BOD Karena mengandung pati, sedikit lemak, protein dan
zat organik lainnya yang tidanai banyakanya zat
terapung dan menggumpal
COD Menunjukkan jumlah zat organik biodegradable dan
nonbiodegradable
pH Sekitar 6,5-4,8

Padatan Mempengaruhi kekeruhan dan warna air


tersuspensi
Sianida Kebanyakan menggunakan nya karena harga murah.

B. Metode Pengolahan Limbah Cair Tepung Tapioka


1. Sistim Up-Flow Anaerbic Sludge Blanket (UASB)
Up-flow Anaerobic Sludge Blanket (UASB) Reaktor UASB yang
digunakan dalam penelitian ini terbuat dari pipa PVC berdiameter 11 cm
dengan tinggi (h) total 228 cm, sedangkan tinggi (h) sludge blanket dalam
reaktor adalah 181,5 cm. Blanket (selimut, perangkap) berfungsi sebagai
perangkap atau media tersebut terbuat dari batu kerikil berdiameter 0,5 – 2 cm,
ketinggian (h) sludge blanket dalam reaktor UASB adalah 181,5 cm (volume =
17,25 l), sedangkan volume cairan dalam sludge blanket tersebut adalah 8 l
(46,4 % volume sludge blanket), jadi 9,25 (53,6 % volume sludge lanket)
adalah volume kerikil yang berungsi sebagai media (blanket).
Pendistribusian limbah cair ke dalam reaktor UASB memanfaatkan sifat
fluida yang mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah dan
permukaan zat cair yang selalu rata. Limbah cair didistribusikan ke dalam
reaktor UASB melalui bagian bawah reaktor sesuai prinsip UASB yaitu
Upflow atau aliran dari bawah ke atas melewati sludge blanket di dalam
reaktor.
Berikut system UASB dalam memproduksi tepung tapioca, singkong
sebagai bahan dasar akan melewati beberapa proses, yaitu :
a. Pembersihan Bahan: Singkong didistribusikan ke dalam hopper yang
berguna untuk memindahkan singkong selalu dalam jumlah yang sama.
Singkong kemudian didistribusikan ke ruang pengupasan untuk dikupas
kulitnya.
b. Pencucian: Singkong yang telah dikupas kemudian dicuci dengan air yang
berasal dari kolam pengolahan limbah.
c. Pemarutan: Singkong diparut dengan proses pemotongan menjadi bagian-
bagian kecil terlebih dahulu yaitu dengan panjang berkisar 3-12 cm . Bagian
yang telah dipotong-potong kemudian diparut menghasikan parutan halus
berupa pulp sehingga dimungkinkan sel pati terpecah.
d. Ekstraksi: Hasil parutan dicampur dengan air yang berfungsi untuk
mengekstrak pati. Campuran menghasilkan bubur singkong (air pati).
Kemudian dipisah di unit ekstraktor antara ampas onggok dengan patinya.
e. Separasi dan Sentrifugasi: Setelah pati terpisah dari onggok, kemudian
dilakukan pemisahan lebih lanjut terhadap pati untuk memekatkan pasta
tapioka yang didapat.
f. Pengeringan dan Pengemasan: Pati yang basah kemudian dikeringkan dalam
oven dan siap untuk dikemas.
Singkong yang digunakan adalah pencampuran antara singkong adira 1
dan singkong adira 2. Pencampuran dua jenis singkong dilakukan untuk
menghindari kadar sianida yang tinggi pada air limbah yang dihasilkan.

2. Metode Rotating Biological Contactor

Reaktor Rotating Biological Contactor Rotating Biological Contactor


merupakan reaktor yang memanfaatkan putaran cakram untuk menguraikan zat
organik yang terlarut dalam limbah cair. Reaktor mempunyai kapasitas sebesar
5 liter dengan dimensi yaitu panjang 40 cm, lebar 24 cm, dan tinggi 27 cm
(Gambar 1). Alat yang digunakan untuk penggerak cakram yaitu menggunakan
dinamo dengan arus DC. Pengatur kecepatan putaran cakram digunakan
Regulator Variable Voltage. Tachometer digunakan untuk mengukur besarnya
rpm pada cakram saat berputar. Dinamo digunakan untuk menggerakan
cakram. Botol digunakan untuk menampung limbah cair sesuai dengan
perlakuan saat penelitian. Gayung panjang digunakan untuk mengambil limbah
dari kolam penampungan limbah. Gelas ukur digunakan untuk mengukur
volume limbah cair. Cakram berjumlah 30 buah yang tersusun sejajar dan
terbuat dari CD (Compact Disk). Biofilm akan menempel pada permukaan
cakram dan membentuk lendir. Putaran cakram berkisar antara 50 rpm dan 100
rpm, kedua perlakuan tersebut dilakukan dengan waktu tinggal selama 24 jam.
Tahap awal penelitian dilakukan aklimatisasi dan seeding untuk pembentukan
biofilm pada cakram.

Gambar 1 Reaktor Rotating Biological Contactor

Starter Mikroorganisme dan Nutrisi Starter limbah cair tapioka berfungsi untuk
mempercepat tumbuhnya mikroorganisme dalam air limbah. Limbah cair tepung
tapioka dimasukkan sebanyak 5 liter ke dalam reaktor, untuk mempercepat
pembentukan biofilm ditambahkan starter sebanyak 30 ml dan juga 5 gram pupuk
NPK 15%. Setelah semua bahan yang digunakan untuk menumbuhkan biofilm
dimasukkan kedalam reaktor kemudian cakram diputar dengan kecepatan 10 rpm
selama 14 hari sampai biofilm tumbuh pada cakram. Nutrisi dalam penelitian ini
berasal dari pupuk NPK 15% yang berfungsi memberikan nutrisi untuk bakteri
pengurai dalam membentuk biofilm.
3. Sistem ABR dan Sistim UAF
ABR merupakan suatu jenis reaktor anaerob laju tinggi yang terdiri dari
beberapa kompartemen bervolume sama. Antar tiap kompartemen ABR dipisahkan
oleh hanging dan standing baffle secara selang-seling yang berfungsi memaksa
cairan mengalir ke atas dan ke bawah pada tiap kompartemen untuk meningkatkan
kontak antara air limbah dan mikroorganisme dalam selimut lumpur pada tiap
dasar kompartemen (Hudson, 2010).

Gambar Skema ABR (Foxon et al., 2006)

Gambar skema UAF


a. Kelayakan teknis
Menurut Liu R.R et all, 2010, ditinjau dari konstruksinya sistim ABR
mempunyai beberapa keunggulan, yaitu desainya sederhana, tanpa teknik
pemisahan yang khusus, tanpa bahan isian dan tidak ada bahan yang bergerak
Baffle yang dipasang dalam reaktor menjadikan reaktor terbagi menjadi beberapa
bagian. Struktur yang unik ini menyebabkan terjadinya pembagian acidogenesis
dan methanogenesis. Pembagian ini meningkatkan perlindungan terhadap bahan
bahan beracun dan lebih tahan terhadap parameter lingkungan seperti pH, suhu
dan beban organik. Adanya baffle memungkinkan kecepatan linear dari aliran
limbah didalam bak meningkat. ABR tidak memerlukan media untuk tempat
pertumbuhan mikroba. Salah satu kelemahannya kontak antara mikroba dengan
limbah kadang-kadang kurang sempurna karena tidak merata. Apalagi jika masa
mikroba bergerombol didasar bak. Oleh karena itu sistim ini mempunyai HRT
yang relatif lama dibanding UAF. Konsekuensinya bangunan menjadi lebih besar
dan kebutuhan lahan juga luas. Data terbaru diambil dari penelitian Vegantara
(2009), sistem konvensional dengan sekat bisa menurunkan COD 59,40 –
70,03% dalam waktu 30 hari.
Degradasi organik di UAF mampu menurunkan COD 98,40% (dari
2.938 mg/L menjadi 47,03 mg/L) dengan HRT 9,5 hari (Harihastuti N., 1998).
Nilai prosentase ini lebih tinggi dibandingkan dengan sistim ABR yang mampu
menurunkan COD dari 3.124 mg/l menjadi 1.594 mg/l dalam HRT 20 hari
(Permadi P., 1985). Inilah salah satu keunggulan dari sistem UAF yaitu waktu
tinggal lebih pendek. Pipa feeding yang dipasang sedemikian rupa dimasing-
masing bak memungkinkan terjadinya aliran dari bawah keatas (upflow)
tersebar diseluruh bagian bak. Dengan demikian kontak antara mikroba dengan
air limbah menjadi lebih sempurna. Media filter selain berfungsi sebagai tempat
tumbuhnya mikroba juga berfungsi sebagai media penyaring air limbah yang
melalui media ini. Sebagai akibatnya, kandungan suspended solids setelah
melalui filter ini akan berkurang konsentrasinya. Efisiensi penyaringan akan
sangat besar karena dengan adanya penyaringan sistem aliran dari bawah ke
atas akan mengurangi kecepatan partikel yang terdapat pada air buangan dan
partikel yang tidak terbawa aliran ke atas dan akan mengendap di dasar bak
filter. Sistem biofilter anaerob ini sangat sederhana, operasinya mudah dan
tanpa memakai bahan kimia serta tanpa membutuhkan banyak energi (Said N.I.,
2005). Tahapan proses anaerob adalah hidrolisis, asidifikasi dan methanasi.
Didalam proses asidifikasi yang aktif adalah mikroba asidifikasi dan
acetobacter. Sedangkan dalam proses methanasi yang aktif adalah
methanococus, methanosarcina, methano bacterium. Agar tidak terjadi
kontaminasi antar mikroba maka idealnya masing-masing proses terjadi pada
bak yang berbeda. Hal ini dimungkinkan terjadi pada sistem UAF. Selain
efisiensi lebih tinggi, waktu tinggal lebih pendek sehingga kebutuhan lahan
relatif kecil. Penelitian yang dilakukan oleh Hidayat dkk (2012) membuktikan
bahwa dengan sistem UAF menggunakan filter dari pasir kerikil dan serabut
kelapa bisa menurunkan COD 88,96% dengan waktu tinggal 9 hari.
Dengan jalan menempatkan filter media didalam reaktor maka akan
ada pemisahan waktu tinggal biomassa (SRT = Sludge Retention Time) dan
waktu tinggal hidrolik (HRT). Mikroba dapat tumbuh dan melekat pada
packing dan dapat tertahan lebih lama dalam reaktor karena tidak ikut
mengalir bersama air limbah. Cara ini memberi kemungkinan tersedianya
konsentrasi biomassa yang besar untuk menjamin diperolehnya tingkat
efisiensi pengolahan yang tinggi (Young dkk,1990).

b. Kelayakan ekonomis
Evaluasi ekonomi didasarkan pada perhitungan biaya penyediaan
lahan, biaya konstruksi dan biaya peralatan pendukung. Bak ABR berbentuk
empat persegi panjang berjumlah 2 buah yang dibangun bersebalahan.
Masing-masing bak dilengkapi baffle berjumlah 7 buah. Bangunan separuh
terpendam dibawah permukaan tanah. Bangunan kedap ini atapnya
menggunakan lembar polikarbonat yang berfungsi sebagai penutup agar udara
tidak masuk kedalam bak.
Ukuran masing-masing bak adalah panjang 15m, lebar 4m dan tinggi
3,25m. Bak terisi air limbah setinggi 2,75m. Bangunan ini memerlukan lahan
seluas + 135 m2.
Konstruksi bak anaerob sistim UAF juga berbentuk empat persegi
panjang. Ruangan disekat menjadi 4 bagian. Tiga ruangan pertama diisi filter
media dari potongan plastik, PVC, kerikil, batu pecah atau media lain yang
berfungsi sebagai tempat mikroba melekat dan berkembangbiak. Penutup bak
digunakan polikarbonat. Air limbah masuk kedalam bak melalui pipa-pipa
pralon. Pipa dipasang sedemikian rupa sehingga air limbah mengalir menuju
keatas kemudian kontak dengan mikroba yang menempel pada filter. Ukuran
masing-masing bak adalah panjang 24m, lebar 5m dan tinggi 3,25m. Bak terisi
air limbah setinggi 2,75m. Bangunan ini memerlukan lahan seluas + 90m2.
BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

B. Saran

16

Anda mungkin juga menyukai