BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
yang sehat dan sejahtera, mendorong adanya tuntutan akan kebutuhan pangan yang
berkomposisi gizi tinggi yang seimbang dan selaras dalam substansi protein hewani
dan protein nabati, dimana protein nabati hanya mungkin diperoleh dari hewan
juga meningkat, oleh karena itu keberadaan Rumah Pemotongan Hewan sangat
diperlukan, yang dalam pelaksanaannya harus dapat menjaga kualitas, baik dari
Setiap tahun ditengarai lebih dari 200 ribu ekor sapi dan kerbau betina yang
Pasca Panen (Tahun 2010) menunjukkan bahwa dari 19 provinsi yang telah di
lakukan survei ternyata 204.196 ekor sapi/kerbau betina produktif telah dipotong.
Hewan telah mengatur tentang dilarangnya ternak betina produktif untuk dipotong.
status reproduksi, seleksi, penjaringan, dan pembibitan. Sehingga hal inilah yang
1. Tujuan utama yang akan dicapai merencanakan dan merancang suatu fasilitas
kerbau betina produktif sebagai populasi dasar untuk menghasilkan ternak yang
Sasaran
1. Terumuskannya pokok-pokok pikiran sebagai suatu landasan konseptual
baik.
BAB II
PEMBAHASAN
bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat
pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal,
serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan (Permentan No. 13, 2010) :
c) Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada
Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah
(RDTRD) atau daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis. Lokasi rumah
a. Tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan
lainnya;
d. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan
g. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan
pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas
a. Akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut
b. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah
RPH merupakan unit atau sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging
sehat. Lebih lanjut pada Bab II dari SK Mentan tersebut mengungkapkan mengenai
syarat-syarat RPH yang dijelaskan lebih rinci pada pasal 3 ayat (a) yang
atau pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat
penduduknya.
komoditas daging yang sehat, aman dan halal (sah). Umumnya RPH merupakan
sarana dan fasilitas teknis, sanitasi dan higiene, serta ketentuan lain yang berlaku.
Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan vital dalam bangunan, pengelolaan dan
operasi RPH.
bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai
dan dinding, memiliki tempat atau kandang untuk menampung hewan untuk
penting lainnya memiliki persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang cukup,
meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai.
cukup baik, sehingga lantai tidak digenangi air buangan atau air bekas cucian.
Acuan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan yang
baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia
bangunan dan tata letak sehingga keberadaan RPH tidak menimbulkan ganguan
berupa polusi udara dan limbah buangan yang dihasilkan tidak mengganggu
masyarakat.
Sejak dua dekade terakhir ini, Indonesia mengimpor daging dan sapi
bakalan dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan impor telah mencapai lebih
dari 30 persen dari total kebutuhan daging nasional. Ada tiga kemungkinan,
mengapa Indonesia harus mengimpor, padahal pada era tahun 1970-an atau
daging meningkat cukup besar dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan laju
produksi di dalam negeri tetap. Ketiga, permintaan terus meningkat seirama dengan
berkurang.
Dari ketiga kemungkinan tersebut hanya ada satu jawaban bila Indonesia
produktivitas sapi yang dibarengi dengan peningkatan bobot badan dari setiap ekor
sapi yang akan dipotong. Peningkatan populasi dapat dilakukan bila jumlah sapi
betina produktif semakin banyak. Ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir ini
diduga populasi sapi betina produktif tidak bertambah dan justru dikhawatirkan
ternak.
Di salah satu RPH resmi dijumpai bahwa 95 persen sapi yang dipotong
setiap harinya adalah betina, sebagian besar adalah betina muda, dan di antaranya
adalah sapi betina dalam kondisi bunting. Secara nasional, diperkirakan sekitar
150-200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong setiap tahunnya. Jumlah ini
sangat besar dan patut diduga akan mengganggu populasi dan produksi daging
Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Juni 2009,
bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum yang lebih kuat untuk mencegah
pemotongan sapi betina produktif. Orang yang melanggar larangan ini diancam
Sanksi Administratif berupa denda sedikitnya Rp. 5 juta, dan Ketentuan Pidana
dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan (Pasal 85 dan Pasal 86).
Melihat kondisi seperti ini maka pertanyaan pertama yang muncul adalah
berbagai penyebab dan alasan. Jagal, sebagai satu-satunya pelaku pemotongan sapi
di lokasi setempat semua sapi jantan sudah diantar pulaukan atau dibawa ke
kota besar,
harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan dengan ukuran yang
sama,
tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham
peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila
pemotongan sapi betina tidak memberi keuntungan finansial secara nyata, jagal
secara sukarela tidak akan pernah memotongnya. Oleh karena itu, semua upaya dan
kebijakan untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari pisau jagal adalah
membuat kondisi agar harga sapi betina produktif menjadi sama atau sedikit lebih
mahal dibandingkan sapi jantan. Persentase karkas dan kualitas daging sapi betina
biasanya lebih rendah dibanding sapi jantan. Namun karena harganya lebih murah,
jagal tetap memperoleh keuntungan yang layak. Biasanya pemotongan sapi betina
banyak dilakukan oleh jagal yang skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH
‘resmi” atau liar. Namun, tidak jarang dapat dijumpai pemotongan yang dilakukan
di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera
Pelarangan pemotongan sapi betina produktif sudah sangat jelas dan tegas,
mematuhi ketentuan ini. Larangan ini justru membuat harga sapi betina produktif
murah ketika peternak yang memerlukan uang menjual sapinya. Selisih harga
antara jantan dan betina di NTT misalnya, dapat mencapai Rp. 500.000 –
pengeluaran ternak betina ternyata justru lebih menekan harga sapi. Sementara itu
hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar pulau, sehingga jagal tidak
mempunyai pilihan yang lebih baik, selain memotong sapi betina produktif.
Kejadian yang sudah berjalan sangat lama ini akhirnya telah dianggap sebagai hal
yang lumrah.
Kebijakan penyelamatan sapi betina produktif harus dimulai dari hulunya, yaitu
pada tingkat peternak. Pada saat memerlukan uang cash, peternak akan menjual apa
saja yang dimilikinya, termasuk sapi. Oleh karena itu pengembangan ternak lain
seperti domba, kambing, babi atau unggas sangatlah perlu untuk cadangan bila
peternak memerlukan uang cash dalam jumlah yang kecil. Selain itu,
cash dalam jumlah yang cukup besar, sekaligus untuk mencegah penjualan sapi
betina produktif.
di Kupang-NTT, dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Menteri Pertanian dan
lain pihak, pengeluaran sapi betina produktif dilarang untuk mencegah terjadinya
diperbolehkan untuk diantar pulaukan, maka dapat diperkirakan harga sapi betina
produktif akan meningkat dan jagal tidak akan memotongnya. Perubahan kebijakan
ini tentunya harus dibarengi dengan penyediaan sapi jantan bagi jagal lokal, serta
pengaturan kuota pengeluaran sapi jantan maupun sapi betina dengan lebih cermat.
kebijakan dan program lain untuk pengembangan ternak selain sapi, sebagai
meningkatkan PAD dari setiap RPH juga menjadi alasan petugas untuk melakukan
pembiaran pemotongan sapi betina produktif. Oleh karena itu kebijakan dalam
namun ternyata sampai saat ini masih sulit diimplementasikan. Oleh karena itu
perlu ada upaya tambahan yaitu dengan melakukan pendekatan secara etika,
budaya dan agama. Sosialisasi tentang hal ini mungkin dapat dilakukan dengan
pendekatan sosial budaya, bukan hanya melalui pendekatan teknis, ekonomi dan
hukum. Untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif dengan demikian harus
dilakukan dengan berbagai pendekatan baik yang bersifat teknis ekonomis maupun
sosial budaya. Kebijakan yang sudah ada harus diimplementasikan dengan baik,
dan untuk setiap wilayah perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada.
sapi betina produktif secara terkendali (terbatas), sementara untuk wilayah kosong
ternak harus ada kebijakan untuk pengadaan sapi lokal untuk dikembangbiakkan
yang berasal dari wilayah padat ternak. Untuk merealisir kebijakan ini diperlukan
Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18
ayat (2) bahwa ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena
hewan. Ketentuan larangan tersebut tidak berlaku apabila hewan besar betina :
1. Berumur lebih dari 8 (delapan) tahun atau sudah beranak lebih dari 5 (lima)
kali
2. Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan atau tenaga asisten
4. Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis yang dapat menurun pada
Jika larangan pemotongan ternak betina produktif tetap dilanggar maka ada
sangsi hukumnya dan ini berlaku pula untuk pemotongan ternak ruminansia kecil .
berikut :
18 ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan
paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,-(satu
pasal 18 ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan
dan paling lama 9 (Sembilan) bulan dan atau denda paling sedkit Rp.
- Pengenaan denda
intensifikasi pemeriksaan sapi yang akan dipotong, pembinaan terhadap RPH yang
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
g. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan
pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu
a. Akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan
b. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah
yang baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional
5. Sapi betina produktif adalah sapi yang melahirkan kurang dari 5 (lima) kali
atau berumur dibawah 8 (delapan) tahun, atau sapi betina yang berdasarkan
hasil pemeriksaan reproduksi dokter hewan atau petugas teknis yang ditunjuk
di lokasi setempat semua sapi jantan sudah diantar pulaukan atau dibawa
ke kota besar,
harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan dengan ukuran yang
sama,
tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham
peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila
Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18
ayat (2).
Berumur lebih dari 8 (delapan) tahun atau sudah beranak lebih dari 5
(lima) kali
Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan atau tenaga asisten
Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis yang dapat menurun pada
DAFTAR PUSTAKA
Komentar :