Anda di halaman 1dari 18

RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam rangka mewujudkan kualitas kehidupan barbangsa dan bernegara

yang sehat dan sejahtera, mendorong adanya tuntutan akan kebutuhan pangan yang

sempurna. Pangan yang sempurna mensyaratkan kandungan bahan makanan

berkomposisi gizi tinggi yang seimbang dan selaras dalam substansi protein hewani

dan protein nabati, dimana protein nabati hanya mungkin diperoleh dari hewan

ternak yang dikembangkan secara sehat. Permintaan konsumen terhadap daging

yang terus meningkat, khususnya daging sapi menyebabkan intensitas pemotongan

juga meningkat, oleh karena itu keberadaan Rumah Pemotongan Hewan sangat

diperlukan, yang dalam pelaksanaannya harus dapat menjaga kualitas, baik dari

tingkat kebersihannya, kesehatannya, ataupun kehalalan daging untuk dikomsumsi.

Berdasarkan hal tersebut maka pemerintah mendirikan Rumah Pemotongan Hewan

(RPH) di berbagai daerah seluruh Indonesia.

Setiap tahun ditengarai lebih dari 200 ribu ekor sapi dan kerbau betina yang

masih produktif telah di potong di Rumah Potong Hewan (RPH) di beberapa

daerah di Indonesia. Data dari Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan

Pasca Panen (Tahun 2010) menunjukkan bahwa dari 19 provinsi yang telah di

lakukan survei ternyata 204.196 ekor sapi/kerbau betina produktif telah dipotong.

Undang-undang No.18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan

Hewan telah mengatur tentang dilarangnya ternak betina produktif untuk dipotong.

Dalam rangka mencukupi ketersediaan bibit ternak ruminansia dan mencegah

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 1


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

berkurangnya ternak ruminansia betina produktif, perlu dilakukan pengendalian

terhadap ternak ruminansia betina produktif yang dikeluarkan oleh masyarakat.

Pengendalian ternak ruminansia betina produktif merupakan serangkaian

kegiatan untuk mengelola penggunaan ternak ruminansia betina produktif melalui

status reproduksi, seleksi, penjaringan, dan pembibitan. Sehingga hal inilah yang

kemudian melatarbelakangi penyusunan makalah “Rumah Pemotongan Hewan dan

Larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif” ini.

B. Tujuan dan Sasaran


Tujuan

1. Tujuan utama yang akan dicapai merencanakan dan merancang suatu fasilitas

pelayanan masyarakat, yaitu Rumah Pemotongan Hewan berdasarkan atas

aspek-aspek panduan perancangan (design guide lines aspect) yang didukung

dengan keputusan pemerintah yang berlaku.

2. Melakukan pengendalian pemotongan sapi/kerbau betina produktif yaitu dalam

rangka memberikan fasilitasi dan pelayanan fungsi perbibitan kepada para

peternak/kelompok yang memelihara dan mengembangkan sapi lokal dan

kerbau betina produktif sebagai populasi dasar untuk menghasilkan ternak yang

mempunyai criteria bibit yang kemudian dijaring dan didistribusikan ke

UPT/UPTD perbibitan dan atau kelompok pembibit.

Sasaran
1. Terumuskannya pokok-pokok pikiran sebagai suatu landasan konseptual

perencanaan dan perancangan Rumah Pemotongan Hewan yang benar dan

baik.

2. Berkembangnya pembibitan ternak di setiap daerah dan tersedianya bibit dalam

jumlah dan kualitas yang cukup.

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 2


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Rumah Pemotongan Hewan (RPH)

Rumah Pemotongan Hewan merupakan suatu bangunan atau kompleks

bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat

memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum. RPH merupakan unit

pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging yang aman, sehat, utuh, dan halal,

serta berfungsi sebagai sarana untuk melaksanakan (Permentan No. 13, 2010) :

a) Pemotongan hewan secara benar, (sesuai dengan persyaratan kesehatan

masyarakat veteriner, kesejahteraan hewan dan syariah agama);

b) Pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dipotong (ante-mortem inspection) dan

pemeriksaan karkas, dan jeroan (post-mortem inspektion) untuk mencegah

penularan penyakit zoonotik ke manusia;

c) Pemantauan dan surveilans penyakit hewan dan zoonosis yang ditemukan pada

pemeriksaan ante-mortem dan pemeriksaan post-mortem guna pencegahan,

pengendalian, dan pemberantasan penyakit hewan menular dan zoonosis di

daerah asal hewan.

Persyaratan Lokasi Rumah Potong Hewan

Lokasi rumah pemotongan hewan harus sesuai dengan dengan Rencana

Umum Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah

(RDTRD) atau daerah yang diperuntukkan sebagai area agribisnis. Lokasi rumah

pemotongan hewan harus memenuhi persyaratan paling kurang sebagai berikut

(Permentan No. 13, 2010) :

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 3


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

a. Tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan kontaminan

lainnya;

b. Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan;

c. Letaknya lebih rendah dari pemukiman;

d. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan hewan

dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi;

e. Tidak berada dekat industri logam dan kimia;

f. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH;

g. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan

pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu lintas

orang, alat dan produk antar rumah potong.

Persyaratan Sarana Pendukung Rumah Potong Hewan

RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung paling kurang

meliputi (Permentan No. 13, 2010) :

a. Akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan pengangkut

hewan potong dan kendaraan daging;

b. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah

cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari;

c. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus;

d. Fasilitas penanganan limbah padat dan cair.

Standar Nasional Indonesia Rumah Potong Hewan

Rumah Pemotongan Hewan yang secara resmi dibawah pengawasan

Departemen Pertanian, pada dasarnya mempunyai persyaratan sesuai dengan Surat

Keputusan Menteri Pertanian No.555/Kpts/TN.240/9/1995, tentang syarat-syarat

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 4


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

rumah pemotongan hewan. Pasal 2 dari SK Mentan tersebut menyatakan bahwa

RPH merupakan unit atau sarana pelayanan masyarakat dalam penyediaan daging

sehat. Lebih lanjut pada Bab II dari SK Mentan tersebut mengungkapkan mengenai

syarat-syarat RPH yang dijelaskan lebih rinci pada pasal 3 ayat (a) yang

menyatakan bahwa RPH berlokasi di daerah yang tidak menimbulkan gangguan

atau pencemaran lingkungan misalnya di bagian pinggir kota yang tidak padat

penduduknya.

Rumah Pemotongan Hewan di samping sebagai sarana produksi daging

juga berfungsi sebagai instansi pelayanan masyarakat yaitu untuk menghasilkan

komoditas daging yang sehat, aman dan halal (sah). Umumnya RPH merupakan

instansi Pemerintah, namun perusahaan swasta diizinkan mengoperasikan RPH

khusus untuk kepentingan perusahaannya, asalkan memenuhi persyaratan teknis

yang diperlukan dan sesuai dengan peraturan pemerintah yang berlaku.

Pembangunan RPH harus memenuhi ketentuan atau standar lokasi, bangunan,

sarana dan fasilitas teknis, sanitasi dan higiene, serta ketentuan lain yang berlaku.

Sanitasi dan higiene menjadi persyaratan vital dalam bangunan, pengelolaan dan

operasi RPH.

Beberapa persyaratan RPH secara umum adalah merupakan tempat atau

bangunan khusus untuk pemotongan hewan yang dilengkapi dengan atap, lantai

dan dinding, memiliki tempat atau kandang untuk menampung hewan untuk

diistirahatkan dan dilakukan pemeriksaan antemortem sebelum pemotongan. Syarat

penting lainnya memiliki persediaan air bersih yang cukup, cahaya yang cukup,

meja atau alat penggantung daging agar daging tidak bersentuhan dengan lantai.

Untuk menampung limbah hasil pemotongan diperlukan saluran pembuangan yang

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 5


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

cukup baik, sehingga lantai tidak digenangi air buangan atau air bekas cucian.

Acuan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan yang

baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional Indonesia

(SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi beberapa

persyaratan yang berkaitan dengan RPH termasuk persyaratan lokasi, sarana,

bangunan dan tata letak sehingga keberadaan RPH tidak menimbulkan ganguan

berupa polusi udara dan limbah buangan yang dihasilkan tidak mengganggu

masyarakat.

B. Pemotongan Sapi Betina Produktif

Sejak dua dekade terakhir ini, Indonesia mengimpor daging dan sapi

bakalan dalam jumlah yang cukup besar. Diperkirakan impor telah mencapai lebih

dari 30 persen dari total kebutuhan daging nasional. Ada tiga kemungkinan,

mengapa Indonesia harus mengimpor, padahal pada era tahun 1970-an atau

sebelumnya Indonesia justru merupakan eksportir sapi. Pertama, permintaan

daging meningkat cukup besar dengan kecepatan lebih tinggi dibandingkan laju

pertambahan produksi. Kedua, permintaan di dalam negeri meningkat tetapi

produksi di dalam negeri tetap. Ketiga, permintaan terus meningkat seirama dengan

perkembangan ekonomi, namun produksi daging di dalam negeri cenderung

berkurang.

Dari ketiga kemungkinan tersebut hanya ada satu jawaban bila Indonesia

ingin mewujudkan swasembada daging sapi, yaitu meningkatkan populasi dan

produktivitas sapi yang dibarengi dengan peningkatan bobot badan dari setiap ekor

sapi yang akan dipotong. Peningkatan populasi dapat dilakukan bila jumlah sapi

betina produktif semakin banyak. Ironisnya, dalam beberapa tahun terakhir ini

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 6


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

diduga populasi sapi betina produktif tidak bertambah dan justru dikhawatirkan

semakin berkurang akibat pemotongan yang terjadi di beberapa wilayah sumber

ternak.

Di salah satu RPH resmi dijumpai bahwa 95 persen sapi yang dipotong

setiap harinya adalah betina, sebagian besar adalah betina muda, dan di antaranya

adalah sapi betina dalam kondisi bunting. Secara nasional, diperkirakan sekitar

150-200 ribu ekor sapi betina produktif dipotong setiap tahunnya. Jumlah ini

sangat besar dan patut diduga akan mengganggu populasi dan produksi daging

yang berasal dari sapi lokal.

Pemotongan sapi betina produktif sejak jaman Hindia Belanda telah

dilarang. Pelarangan tersebut juga diatur dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun

1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Namun larangan tersebut tidak dikenai sanksi, sehingga implementasinya di lapang

tidak efektif. Selanjutnya, setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 18

Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pada tanggal 4 Juni 2009,

bangsa Indonesia mempunyai landasan hukum yang lebih kuat untuk mencegah

pemotongan sapi betina produktif. Orang yang melanggar larangan ini diancam

Sanksi Administratif berupa denda sedikitnya Rp. 5 juta, dan Ketentuan Pidana

dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan (Pasal 85 dan Pasal 86).

Akan tetapi kenyataan di lapang menunjukkan bahwa pemotongan sapi betina

produktif masih banyak terjadi, dan sulit dikendalikan.

Melihat kondisi seperti ini maka pertanyaan pertama yang muncul adalah

mengapa di potong? Pemotongan sapi betina produktif dilakukan karena ada

berbagai penyebab dan alasan. Jagal, sebagai satu-satunya pelaku pemotongan sapi

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 7


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

betina produktif, mempunyai alasan utama yaitu mencari keuntungan jangka

pendek sebesar-besarnya. Di samping itu jagal juga mempunyai banyak

pertimbangan mengapa melakukan pemotongan sapi betina produktif, yaitu:

 sulit mencari sapi kecil untuk dipotong,

 di lokasi setempat semua sapi jantan sudah diantar pulaukan atau dibawa ke

kota besar,

 harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan dengan ukuran yang

sama,

 pengawasan dari petugas sangat lemah,

 tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham

bila hal tersebut melanggar undang-undang, serta

 peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila

memerlukan uang cash.

Alasan utama dari jagal adalah mencari keuntungan. Artinya, bila

pemotongan sapi betina tidak memberi keuntungan finansial secara nyata, jagal

secara sukarela tidak akan pernah memotongnya. Oleh karena itu, semua upaya dan

kebijakan untuk menyelamatkan sapi betina produktif dari pisau jagal adalah

membuat kondisi agar harga sapi betina produktif menjadi sama atau sedikit lebih

mahal dibandingkan sapi jantan. Persentase karkas dan kualitas daging sapi betina

biasanya lebih rendah dibanding sapi jantan. Namun karena harganya lebih murah,

jagal tetap memperoleh keuntungan yang layak. Biasanya pemotongan sapi betina

banyak dilakukan oleh jagal yang skala usahanya kecil, dan dilakukan di TPH

‘resmi” atau liar. Namun, tidak jarang dapat dijumpai pemotongan yang dilakukan

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 8


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

di RPH resmi. Bila ada pengawasan yang ketat di RPH, biasanya sapi dibuat cidera

terlebih dahulu, misalnya dengan membuat pincang atau buta.

Pelarangan pemotongan sapi betina produktif sudah sangat jelas dan tegas,

namun sebagian besar pengemban kepentingan belum sepenuhnya memahami dan

mematuhi ketentuan ini. Larangan ini justru membuat harga sapi betina produktif

murah ketika peternak yang memerlukan uang menjual sapinya. Selisih harga

antara jantan dan betina di NTT misalnya, dapat mencapai Rp. 500.000 –

1.000.000/ekor. Ketentuan pelarangan tersebut yang dibarengi dengan pembatasan

pengeluaran ternak betina ternyata justru lebih menekan harga sapi. Sementara itu

hampir semua sapi jantan dikuasai pedagang antar pulau, sehingga jagal tidak

mempunyai pilihan yang lebih baik, selain memotong sapi betina produktif.

Kejadian yang sudah berjalan sangat lama ini akhirnya telah dianggap sebagai hal

yang lumrah.

Kebijakan penyelamatan sapi betina produktif harus dimulai dari hulunya, yaitu

pada tingkat peternak. Pada saat memerlukan uang cash, peternak akan menjual apa

saja yang dimilikinya, termasuk sapi. Oleh karena itu pengembangan ternak lain

seperti domba, kambing, babi atau unggas sangatlah perlu untuk cadangan bila

peternak memerlukan uang cash dalam jumlah yang kecil. Selain itu,

pengembangan koperasi simpan pinjam atau lembaga keuangan mikro di tingkat

pedesaan sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan uang

cash dalam jumlah yang cukup besar, sekaligus untuk mencegah penjualan sapi

betina produktif.

Pemotongan sapi betina produktif di beberapa wilayah sumber bibit seperti

di Kupang-NTT, dianggap sebagai suatu hal yang biasa. Menteri Pertanian dan

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 9


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

Perwakilan Komisi IV DPR-RI secara langsung telah menyaksikan kejadian ini. Di

lain pihak, pengeluaran sapi betina produktif dilarang untuk mencegah terjadinya

pengurasan. Seandainya sapi-sapi betina yang saat ini dipotong di RPH

diperbolehkan untuk diantar pulaukan, maka dapat diperkirakan harga sapi betina

produktif akan meningkat dan jagal tidak akan memotongnya. Perubahan kebijakan

ini tentunya harus dibarengi dengan penyediaan sapi jantan bagi jagal lokal, serta

pengaturan kuota pengeluaran sapi jantan maupun sapi betina dengan lebih cermat.

Untuk menghambat pemotongan sapi di kawasan ini juga diperlukan dukungan

kebijakan dan program lain untuk pengembangan ternak selain sapi, sebagai

substitusi untuk memenuhi kebutuhan daging masyarakat setempat.

Lemahnya pengawasan oleh petugas serta inkonsistensinya dalam

penegakkan peraturan merupakan salah satu penyebab tingginya kejadian

pemotongan sapi betina produktif di Indonesia. Selain itu kebijakan untuk

meningkatkan PAD dari setiap RPH juga menjadi alasan petugas untuk melakukan

pembiaran pemotongan sapi betina produktif. Oleh karena itu kebijakan dalam

penetapan retribusi untuk pemotongan ternak di setiap RPH dapat dimanfaatkan

sebagai instrumen dalam pengendalian pemotongan sapi betina produktif.

Pemotongan sapi betina produktif dapat dihambat bila kesadaran seluruh

pemangku kepentingan mulai dari peternak, pedagang, jagal, konsumen sampai

pada petugas dapat ditingkatkan. Instrumen berupa undang-undang sudah ada,

namun ternyata sampai saat ini masih sulit diimplementasikan. Oleh karena itu

perlu ada upaya tambahan yaitu dengan melakukan pendekatan secara etika,

budaya dan agama. Sosialisasi tentang hal ini mungkin dapat dilakukan dengan

melibatkan tokoh masyarakat, pemuka agama, ilmuwan dan politisi melalui

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 10


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

pendekatan sosial budaya, bukan hanya melalui pendekatan teknis, ekonomi dan

hukum. Untuk mencegah pemotongan sapi betina produktif dengan demikian harus

dilakukan dengan berbagai pendekatan baik yang bersifat teknis ekonomis maupun

sosial budaya. Kebijakan yang sudah ada harus diimplementasikan dengan baik,

dan untuk setiap wilayah perlu dilakukan penyesuaian dengan kondisi yang ada.

Untuk wilayah gudang ternak diperlukan kebijakan untuk mengeluarkan

sapi betina produktif secara terkendali (terbatas), sementara untuk wilayah kosong

ternak harus ada kebijakan untuk pengadaan sapi lokal untuk dikembangbiakkan

yang berasal dari wilayah padat ternak. Untuk merealisir kebijakan ini diperlukan

dukungan dana dan kelembagaan yang memadai, serta dibarengi dengan

pengawalan dan pengawasan yang ketat.

Dasar Hukum Larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif adalah Undang-

Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18

ayat (2) bahwa ternak ruminansia betina produktif dilarang disembelih karena

merupakan penghasil ternak yang baik, kecuali untuk keperluan penelitian,

pemuliaan atau untuk keperluan pengendalian dan penanggulangan penyakit

hewan. Ketentuan larangan tersebut tidak berlaku apabila hewan besar betina :

1. Berumur lebih dari 8 (delapan) tahun atau sudah beranak lebih dari 5 (lima)

kali

2. Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan atau tenaga asisten

kontrol teknik reproduksi di bawah penyeliahan dokter hewan

3. Mengalami kecelakaan yang berat

4. Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis yang dapat menurun pada

keturunananya sehingga tidak baik untuk ternak bibit.

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 11


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

5. Menderita penyakit menular yang menurut Dokter Hewan pemerintah harus

dibunuh/dipotong bersyarat guna memberantas dan mencegah penyebaran

penyakitnya, menderita penyakit yang mengancam jiwanya

6. Membahayakan keselamatan manusia (tidak terkendali)

Jika larangan pemotongan ternak betina produktif tetap dilanggar maka ada

sangsi hukumnya dan ini berlaku pula untuk pemotongan ternak ruminansia kecil .

Ketentuan Pidana pada Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 pasal 86 sebagai

berikut :

1. Ternak ruminania kecil betina produktif sebagaimana dimaksud pada pasal

18 ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan

paling lama 6 (enam) bulan dan atau denda paling sedikit Rp.1.000.000,-(satu

juta rupiah) dan paling banyak Rp.5.000.000,-(lima juta rupiah).

2. Ternak ruminansia besar betina produktif sebagaimana dimaksud dalam

pasal 18 ayat 2 dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan

dan paling lama 9 (Sembilan) bulan dan atau denda paling sedkit Rp.

5.000.000,- (lima juta rupiah) dan paling banyak Rp.25.000.000,-(dua puluh

lima juta rupiah).

3. Pelanggaran pasal 18 (2) juga termasuk pelanggaran yang dikenakan sanksi

administrativ, antara lain:

- Peringatan secara tertulis

- Penghentian sementara ijin pemotongan (jagal)

- Pencabutan ijin pemotongan/jagal

- Pengenaan denda

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 12


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

Usaha yang dilakukan pemerintah di daerah dalam mengendalikan

pemotongan betina produktif adalah melakukan sosialisasi (pemberian informasi

dan edukasi kepada jagal/pelaku pemotongan di RPH, petugas keurmaster dan

dokter hewan di RPH; pemasangan spanduk/papan pengumuman larangan

pemotongan sapi betina produktif di tempat-tempat strategis termasuk RPH),

intensifikasi pemeriksaan sapi yang akan dipotong, pembinaan terhadap RPH yang

rawan pemotongan sapi betina produktif, bekerjasama dengan kelompok

penyelamatan sapi betina produktif, meningkatkan pengawasan lalu lintas

hewan/ternak, dan melaksanakan program kegiatan intensif dan penyelamatan

betina produktif dari pemerintah pusat.

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 13


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas maka dapat ditarik beberapa kesimpulan,


yaitu :
1. RPH atau rumah pemotongan hewan merupakan suatu bangunan atau kompleks
bangunan dengan desain dan syarat tertentu yang digunakan sebagai tempat
memotong hewan bagi konsumsi masyarakat umum.
2. Lokasi rumah pemotongan hewan harus sesuai dengan dengan Rencana Umum
Tata Ruang Daerah (RUTRD) dan Rencana Detil Tata Ruang Daerah
(RDTRD), yaitu :
b. Tidak berada di daerah rawan banjir, tercemar asap, bau, debu dan
kontaminan lainnya;
b. Tidak menimbulkan gangguan dan pencemaran lingkungan;

c. Letaknya lebih rendah dari pemukiman;

d. Mempunyai akses air bersih yang cukup untuk pelaksanaan pemotongan

hewan dan kegiatan pembersihan serta desinfeksi;

e. Tidak berada dekat industri logam dan kimia;

f. Mempunyai lahan yang cukup untuk pengembangan RPH;

g. Terpisah secara fisik dari lokasi kompleks RPH Babi atau dibatasi dengan

pagar tembok dengan tinggi minimal 3 (tiga) meter untuk mencegah lalu

lintas orang, alat dan produk antar rumah potong.

3. RPH harus dilengkapi dengan sarana/prasarana pendukung meliputi :

a. Akses jalan yang baik menuju RPH yang dapat dilalui kendaraan

pengangkut hewan potong dan kendaraan daging;

b. Sumber air yang memenuhi persyaratan baku mutu air bersih dalam jumlah

cukup, paling kurang 1.000 liter/ekor/hari;

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 14


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

c. Sumber tenaga listrik yang cukup dan tersedia terus menerus;

d. Fasilitas penanganan limbah padat dan cair.

4. Acuan tentang Rumah Pemotongan Hewan (RPH) dan tatacara pemotongan

yang baik dan halal di Indonesia sampai saat ini adalah Standar Nasional

Indonesia (SNI) 01-6159-1999 tentang Rumah Pemotongan Hewan berisi

beberapa persyaratan yang berkaitan dengan RPH.

5. Sapi betina produktif adalah sapi yang melahirkan kurang dari 5 (lima) kali

atau berumur dibawah 8 (delapan) tahun, atau sapi betina yang berdasarkan

hasil pemeriksaan reproduksi dokter hewan atau petugas teknis yang ditunjuk

di bawah pengawasan dokter hewan dan dinyatakan memiliki organ

reproduksi normal serta dapat berfungsi optimal sebagai sapi induk.

6. Pertimbangan mengapa melakukan pemotongan sapi betina produktif, yaitu:

 sulit mencari sapi kecil untuk dipotong,

 di lokasi setempat semua sapi jantan sudah diantar pulaukan atau dibawa

ke kota besar,

 harga sapi betina lebih murah dibanding sapi jantan dengan ukuran yang

sama,

 pengawasan dari petugas sangat lemah,

 tidak ada kesadaran untuk menyelamatkan populasi dan jagal tidak paham

bila hal tersebut melanggar undang-undang, serta

 peternak akan menjual apa saja termasuk sapi betina produktif bila

memerlukan uang cash.

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 15


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

7. Dasar Hukum Larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif adalah Undang-

Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan pasal 18

ayat (2).

8. Ketentuan larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif tidak berlaku apabila

hewan besar betina :

 Berumur lebih dari 8 (delapan) tahun atau sudah beranak lebih dari 5

(lima) kali

 Tidak produktif (majir) dinyatakan oleh dokter hewan atau tenaga asisten

kontrol teknik reproduksi di bawah penyeliahan dokter hewan

 Mengalami kecelakaan yang berat

 Menderita cacat tubuh yang bersifat genetis yang dapat menurun pada

keturunananya sehingga tidak baik untuk ternak bibit.

 Menderita penyakit menular yang menurut Dokter Hewan pemerintah

harus dibunuh/dipotong bersyarat guna memberantas dan mencegah

penyebaran penyakitnya, menderita penyakit yang mengancam jiwanya

 Membahayakan keselamatan manusia (tidak terkendali)

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 16


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Selamatkan Sapi Betina Produktif.


http://carabudidaya.com/selamatkan-sapi-betina-produktif/

Anonim. 2006. Pengertian Rumah Potong Hewan.


http://media.unpad.ac.id/thesis/200110/2006/200110060020_2_8103.pdf.

Biana, Karina. 2013. Rumah Potong Hewan (RPH) Sapi.


http://id.scribd.com/doc/57113600/Rumah-Potong-Hewan

Dinas Peternakan. 2011. Sosialisasi Larangan Pemotongan Sapi Betina Produktif.


http://disnak.pamekasankab.go.id/index.php/berita/117-sosialisasi-larangan-
pemotongan-sapi-betina-produktif

Edna. 2011. Pedoman Pelaksanaan Penyelamatan Sapi Betina Produktif.


http://ednadisnak.blogspot.com/2011/05/pedoman-pelaksanaan-penyelamatan-
sapi.html

Septina. 2010. Rumah Potong Hewan (RPH) Sapi.


http://septinalove.blogspot.com/2010/03/rumah-potong-hewan-rph-sapi.html

Suharno. 2013. Program Perencanaan dan Perancangan Arsitektur (LP3A) Rumah


Pemotongan Hewan. http://eprints.undip.ac.id/1234/2/SUHARNO.pdf

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 17


RPH dan Pemotongan Sapi Betina Produktif March 26, 2014

Komentar :

Per UU / Kebijakan Pembangunan Peternakan dan Kesmavet Page 18

Anda mungkin juga menyukai