Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH KOMUNIKASI DALAM KEPERAWATAN

“PENERAPAN KOMUNIKASI DALAM ASKEP PADA KASUS GANGGUAN


PENGLIHATAN ”
DOSEN : ADIN MU’AFIRO, SST .M.KES

NAMA KELOMPOK :

1. M. DIKKY SYAHRUL W. P27820717007


2. BOBI BIMANTARA P27820717019
3. FAHMI NAZARUDDIN A. P27820717030

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTRIAN KESEHATAN SURABAYA


PRODI DIV KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
TAHUN AKADEMIK 2017-20

i
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum .Wr. Wb

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Esa yang telah melimpahkan semua ridho serta
hidayah-Nya sehingga kami dapat membuat makalah tentang KOMUNIKASI dengan baik tanpa kesulitan.
Kami menyusun makalah ini berdasarkan beberapa sumber buku yang telah kami peroleh. Kami berusaha
menyajikan makalah ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah di mengerti oleh pembaca. Selain itu,
kami memperoleh sumber dari beberapa buku pilihan, kami pun memperoleh informasi tambahan dari
internet.
Terima kasih juga kami aturkan kepada pihak – pihak yang terlibat khususnya untuk dosen pembimbing
kami Ibu Adin Mu’afiro, SST ,M.Kes yang telah memberikan bimbingan sehingga kami dapat membuat
makalah tersebut.
Kami yakin makalah yang kami buat ini tidak luput dari kesalahan, oleh karena itu kami mohon kepada
para masyarakat pembaca untuk memakluminya. Tak hanya itu makalah kami takkan sempurna tanpa data
– data atau info yang nyata, karena kesempurnaan hanya milik Allah Yang Maha Kuasa.
Semoga makalah yang telah kami buat berguna bagi masyarakat pembaca Aamiin.

Wassalamu’alaikum .Wr.Wb

Surabaya,

Penyusun

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................ i


Daftar Isi ....................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 4
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 4
1.3 Tujuan ................................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Definisi dan tujuan dari Komunikasi Terapeutik ............................................. 5
2.2 Komponen Komunikasi Terapeutik .................................................................. 5
2.3 Syarat-Syarat Komunikasi Pada Klien Dengan Gangguan Penglihatan ........... 12
2.4 Tehnik Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Penglihatan ................. 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan ........................................................................................................ 15
3.2 Saran .................................................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PENDAHULUAN

Komunikasi Terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara perawat dengan pasien yang
bertujuan untuk menyelesaikan masalah pasien. Komunikasi ini juga termasuk komunikasi
interpersonal yaitu komunikasi antara orang – orang secara tatap muka yang membuat setiap peserta
menagkap reasinya secara langsung baik verbal maupun non verbal.

Sedangkan menurut As Hornby (1974) terapeutik merupakan kata sifat yang dihubungkan dengan seni
dari penyembuhan. Mampu terapeutik bearti seseorang mampu melakukan atau mengkomunikasikan
perkataa, perbuatan, atau ekspresi yang memfasilitasi proses penyembuhan.

1.2 RUMUSAN MASALAH

1. Apa Definisi dan tujuan dari Komunikasi Terapeutik?


2. Bagaimana Komponen Komunikasi Terapeutik?
3. Bagaimana Syarat-Syarat Komunikasi Pada Klien Dengan Gangguan Penglihatan ?
4. Bagaimana Tehnik Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Penglihatan?

1.3 Tujuan

1. untuk mengetahui Definisi dan tujuan dari Komunikasi Terapeutik


2. untuk mengetahui Komponen Komunikasi Terapeutik
3. untuk mengetahui Syarat-Syarat Komunikasi Pada Klien Dengan Gangguan Penglihatan
4. untuk mengetahui Tehnik Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Penglihatan

4
BAB II
PENDAHULUAN
2.1 DEFINISI
Komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang mendorong proses penyembuhan klien (Depkes RI,
1997). Dalam pengertian lain mengatakan bahwa komunikasi terapeutik adalah proses yang digunakan
oleh perawat memakai pendekatan yang direncanakan secara sadar, bertujuan dan kegiatannya
dipusatkan pada klien.
Komunikasi terapeutik termasuk komunikasi interpersonal dengan titik tolak saling memberikan
pengertian antara perawat dengan klien. Persoalan yang mendasar dari komunikasi ini adalah adanya
saling membutuhkan antara perawat dan klien, sehingga dapat dikategorikan ke dalam komunikasi
pribadi di antara perawat dan klien, perawat membantu dan klien menerima bantuan.
Menurut Stuart dan Sundeen (dalam Hamid, 1996),
 Tujuan komunikasi terapeutik adalah :
1. Membantu klien untuk memperjelas dan mengurangi beban perasaan dan pikiran serta
dapat mengambil tindakan untuk mengubah situasi yang ada bila klien pecaya pada hal
yang diperlukan.
2. Mengurangi keraguan, membantu dalam hal mengambil tindakan yang efektif dan
mempertahankan kekuatan egonya.
3. Mempengaruhi orang lain, lingkungan fisik dan dirinya sendiri.
 Tujuan terapeutik akan tercapai bila perawat memiliki karakteristik sebagai berikut
(Hamid,1998) :
1. Kesadaran diri.
2. Klarifikasi nilai.
3. Eksplorasi perasaan.
4. Kemampuan untuk menjadi model peran.
5. Motivasi altruistik.
6. Rasa tanggung jawab dan etik.

2.2 Komponen Komunikasi Terapeutik

Model struktural dari komunikasi mengidentifikasi lima komponen fungsional berikut


(Hamid,1998)
a. Pengirim : yang menjadi asal dari pesan.
b. Pesan : suatu unit informasi yang dipindahkan dari pengirim kepada penerima.
c. Penerima : yang mempersepsikan pesan, yang perilakunya dipengaruhi oleh pesan.
d. Umpan balik : respon dari penerima pesan kepada pengirim pesan.
e. Konteks : tatanan di mana komunikasi terjadi.

Jika perawat mengevaluasi proses komunikasi dengan menggunakan lima elemen struktur ini
maka masalah-masalah yang spesifik atau kesalahan yang potensial dapat diidentifikasi.
Menurur Roger, terdapat beberapa karakteristik dari seorang perawat yang dapat memfasilitasi
tumbuhnya hubungan yang terapeutik.

Karakteristik tersebut antara lain : (Suryani,2005).


1. Kejujuran (trustworthy). Kejujuran merupakan modal utama agar dapat melakukan
komunikasi yang bernilai terapeutik, tanpa kejujuran mustahil dapat membina hubungan

5
saling percaya. Klien hanya akan terbuka dan jujur pula dalam memberikan informasi yang
benar hanya bila yakin bahwa perawat dapat dipercaya.
2. Tidak membingungkan dan cukup ekspresif. Dalam berkomunikasi hendaknya perawat
menggunakan kata-kata yang mudah dimengerti oleh klien. Komunikasi nonverbal harus
mendukung komunikasi verbal yang disampaikan. Ketidaksesuaian dapat menyebabkan klien
menjadi bingung.
3. Bersikap positif. Bersikap positif dapat ditunjukkan dengan sikap yang hangat, penuh
perhatian dan penghargaan terhadap klien. Roger menyatakan inti dari hubungan terapeutik
adalah kehangatan, ketulusan, pemahaman yang empati dan sikap positif.
4. Empati bukan simpati. Sikap empati sangat diperlukan dalam asuhan keperawatan, karena
dengan sikap ini perawat akan mampu merasakan dan memikirkan permasalahan klien seperti
yang dirasakan dan dipikirkan oleh klien. Dengan empati seorang perawat dapat memberikan
alternatif pemecahan masalah bagi klien, karena meskipun dia turut merasakan permasalahan
yang dirasakan kliennya, tetapi tidak larut dalam masalah tersebut sehingga perawat dapat
memikirkan masalah yang dihadapi klien secara objektif. Sikap simpati membuat perawat
tidak mampu melihat permasalahan secara objektif karena dia terlibat secara emosional dan
terlarut didalamnya.
5. Mampu melihat permasalahan klien dari kacamata klien.Dalam memberikan asuhan
keperawatan perawat harus berorientasi pada klien, (Taylor, dkk ,1997) dalam Suryani 2005.
Untuk itu agar dapat membantu memecahkan masalah klien perawat harus memandang
permasalahan tersebut dari sudut pandang klien. Untuk itu perawat harus menggunakan
terkhnik active listening dan kesabaran dalam mendengarkan ungkapan klien. Jika perawat
menyimpulkan secara tergesa-gesa dengan tidak menyimak secara keseluruhan ungkapan
klien akibatnya dapat fatal, karena dapat saja diagnosa yang dirumuskan perawat tidak sesuai
dengan masalah klien dan akibatnya tindakan yang diberikan dapat tidak membantu bahkan
merusak klien.
6. Menerima klien apa adanya.Jika seseorang diterima dengan tulus, seseorang akan merasa
nyaman dan aman dalam menjalin hubungan intim terapeutik. Memberikan penilaian atau
mengkritik klien berdasarkan nilai-nilai yang diyakini perawat menunjukkan bahwa perawat
tidak menerima klien apa adanya.
7. Sensitif terhadap perasaan klien. Tanpa kemampuan ini hubungan yang terapeutik sulit
terjalin dengan baik, karena jika tidak sensitif perawat dapat saja melakukan pelanggaran
batas, privasi dan menyinggung perasaan klien.
8. Tidak mudah terpengaruh oleh masa lalu klien ataupun diri perawat sendiri. Seseorang
yang selalu menyesali tentang apa yang telah terjadi pada masa lalunya tidak akan mampu
berbuat yang terbaik hari ini. Sangat sulit bagi perawat untuk membantu klien, jika ia sendiri
memiliki segudang masalah dan ketidakpuasan dalam hidupnya.

C. Fase Hubungan Komunikasi Terapeutik.


Struktur dalam komunikasi terapeutik, menurut Stuart,G.W.,1998, terdiri dari empat fase yaitu:
(1) fase preinteraksi; (2) fase perkenalan atau orientasi; (3) fase kerja; dan (4) fase terminasi
(Suryani,2005). Dalam setiap fase terdapat tugas atau kegiatan perawat yang harus terselesaikan.
a. Fase preinteraksi

Tahap ini adalah masa persiapan sebelum memulai berhubungan dengan klien. Tugas perawat
pada fase ini yaitu :
1. Mengeksplorasi perasaan,harapan dan kecemasannya;
2. Menganalisa kekuatan dan kelemahan diri, dengan analisa diri ia akan terlatih untuk

6
memaksimalkan dirinya agar bernilai tera[eutik bagi klien, jika merasa tidak siap maka perlu
belajar kembali, diskusi teman kelompok;
3. Mengumpulkan data tentang klien, sebagai dasar dalam membuat rencana interaksi;
4. Membuat rencana pertemuan secara tertulis, yang akan di implementasikan saat bertemu
dengan klien.

b. Fase orientasi
Fase ini dimulai pada saat bertemu pertama kali dengan klien. Pada saat pertama kali bertemu
dengan klien fase ini digunakan perawat untuk berkenalan dengan klien dan merupakan
langkah awal dalam membina hubungan saling percaya. Tugas utama perawat pada tahap ini
adalah memberikan situasi lingkungan yang peka dan menunjukkan penerimaan, serta
membantu klien dalam mengekspresikan perasaan dan pikirannya.

Tugas-tugas perawat pada tahap ini antara lain :

1. Membina hubungan saling percaya, menunjukkan sikap penerimaan dan komunikasi


terbuka. Untuk membina hubungan saling percaya perawat harus bersikap terbuka, jujur,
ihklas, menerima klien apa danya, menepati janji, dan menghargai klien.
2. Merumuskan kontrak bersama klien. Kontrak penting untuk menjaga kelangsungan sebuah
interaksi.Kontrak yang harus disetujui bersama dengan klien yaitu, tempat, waktu dan topik
pertemuan.
3. Menggali perasaan dan pikiran serta mengidentifikasi masalah klien. Untuk mendorong
klien mengekspresikan perasaannya, maka tekhnik yang digunakan adalah pertanyaan
terbuka.
4. Merumuskan tujuan dengan klien. Tujuan dirumuskan setelah masalah klien teridentifikasi.
Bila tahap ini gagal dicapai akan menimbulkan kegagalan pada keseluruhan interaksi
(Stuart,G.W,1998 dikutip dari Suryani,2005)

Hal yang perlu diperhatikan pada fase ini antara lain :

1. Memberikan salam terapeutik disertai mengulurkan tangan jabatan tangan


2. Memperkenalkan diri perawat
3. Menyepakati kontrak. Kesepakatan berkaitan dengan kesediaan klien untuk
berkomunikasi, topik, tempat, dan lamanya pertemuan.
4. Melengkapi kontrak. Pada pertemuan pertama perawat perlu melengkapi penjelasan
tentang identitas serta tujuan interaksi agar klien percaya kepada perawat.
5. Evaluasi dan validasi. Berisikan pengkajian keluhan utama, alasan atau kejadian yang
membuat klien meminta bantuan. Evaluasi ini juga digunakan untuk mendapatkan fokus
pengkajian lebih lanjut, kemudian dilanjutkan dengan hal-hal yang terkait dengan keluhan
utama. Pada pertemuan lanjutan evaluasi/validasi digunakan untuk mengetahui kondisi dan
kemajuan klien hasil interaksi sebelumnya.
6. Menyepakati masalah. Dengan tekhnik memfokuskan perawat bersama klien
mengidentifikasi masalah dan kebutuhan klien.
Selanjutnya setiap awal pertemuan lanjutan dengan klien lakukan orientasi. Tujuan orientasi
adalah memvalidasi keakuratan data, rencana yang telah dibuat dengan keadaan klien saat ini
dan mengevaluasi tindakan pertemuan sebelumnya.

7
c. Fase kerja.

Tahap ini merupakan inti dari keseluruhan proses komunikasi teraeutik.Tahapini perawat
bersama klien mengatasi masalah yang dihadapi klien.Perawat dan klien mengeksplorasi
stressor dan mendorong perkembangan kesadaran diri dengan menghubungkan persepsi,
perasaan dan perilaku klien.Tahap ini berkaitan dengan pelaksanaan rencana asuhan yang
telah ditetapkan.Tekhnik komunikasi terapeutik yang sering digunakan perawat antara lain
mengeksplorasi, mendengarkan dengan aktif, refleksi, berbagai persepsi, memfokuskan dan
menyimpulkan (Geldard,D,1996, dikutip dari Suryani, 2005).

d. Fase terminasi

Fase ini merupakan fase yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya sudah
terbina dan berada pada tingkat optimal. Perawat dan klien keduanya merasa kehilangan.
Terminasi dapat terjadi pada saat perawat mengakhiri tugas pada unit tertentu atau saat klien
akan pulang. Perawat dan klien bersama-sama meninjau kembali proses keperawatan yang
telah dilalui dan pencapaian tujuan. Untuk melalui fase ini dengan sukses dan bernilai
terapeutik, perawat menggunakan konsep kehilangan. Terminasi merupakan akhir dari
pertemuan perawat, yang dibagi dua yaitu:

1) Terminasi sementara, berarti masih ada pertemuan lanjutan;


2) Terminasi akhir, terjadi jika perawat telah menyelesaikan proses keperawatan secara
menyeluruh.

Tugas perawat pada fase ini yaitu :

a. Mengevaluasi pencapaian tujuan interaksi yang telah dilakukan, evaluasi ini disebut
evaluasi objektif. Brammer & Mc Donald (1996) menyatakan bahwa meminta klien
menyimpulkan tentang apa yang telah didiskusikan atau respon objektif setelah tindakan
dilakukan sangat berguna pada tahap terminasi (Suryani,2005).
b. Melakukan evaluasi subjektif, dilakukan dengan menanyakan perasaan klien setalah
berinteraksi atau setelah melakukan tindakan tertentu.
c. Menyepakati tindak lanjut terhadap interaksi yang telah dilakukan. Hal ini sering disebut
pekerjaan rumah (planning klien). Tindak lanjut yang diberikan harus relevan dengan
interaksi yang baru dilakukan atau yang akan dilakukan pada pertemuan berikutnya. Dengan
tindak lanjut klien tidak akan pernah kosong menerima proses keperawatan dalam 24 jam.
d. Membuat kontrak untuk pertemuan berikutnya, kontrak yang perlu disepakati adalah topik,
waktu dan tempat pertemuan. Perbedaan antara terminasi sementara dan terminasi akhir,
adalah bahwa pada terminasi akhir yaitu mencakup keseluruhan hasil yang telah dicapai
selama interaksi.

D. Sikap Komunikasi Terapeutik.

Lima sikap atau cara untuk menghadirkan diri secara fisik yang dapat memfasilitasi
komunikasi yang terapeutik menurut Egan, yaitu :
a. Berhadapan. Artinya dari posisi ini adalah “Saya siap untuk anda”.

8
b. Mempertahankan kontak mata. Kontak mata pada level yang sama berarti menghargai
klien dan menyatakan keinginan untuk tetap berkomunikasi.
c. Membungkuk ke arah klien. Posisi ini menunjukkan keinginan untuk mengatakan atau
mendengar sesuatu.
d. Mempertahankan sikap terbuka, tidak melipat kaki atau tangan menunjukkan keterbukaan
untuk berkomunikasi
e. Tetap rileks. Tetap dapat mengontrol keseimbangan antara ketegangan dan relaksasi dalam
memberi respon kepada klien.

Selain hal-hal di atas sikap terapeutik juga dapat teridentifikasi melalui perilaku non verbal.
Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan ada lima kategori komunikasi non verbal, yaitu :

1) Isyarat vokal, yaitu isyarat paralingustik termasuk semua kualitas bicara non verbal
misalnya tekanan suara, kualitas suara, tertawa, irama dan kecepatan bicara.
2) Isyarat tindakan, yaitu semua gerakan tubuh termasuk ekspresi wajah dan sikap tubuh.
3) Isyarat obyek, yaitu obyek yang digunakan secara sengaja atau tidak sengaja oleh
seseorang seperti pakaian dan benda pribadi lainnya.
4) Ruang memberikan isyarat tentang kedekatan hubungan antara dua orang. Hal ini
didasarkan pada norma-norma social budaya yang dimiliki.
5) Sentuhan, yaitu fisik antara dua orang dan merupakan komunikasi non verbal yang paling
personal. Respon seseorang terhadap tindakan ini sangat dipengaruhi oleh tatanan dan latar
belakang budaya, jenis hubungan, jenis kelamin, usia dan harapan.

 Kebutaan

A. Definisi Kebutaan

Kebutaan ialah keadaan tentang kekurangan persepsi pengelihatan, akibat factor ataupun
psikologi. Berbagai skala telahpun dimajukan bagi menggambarkan tahap kehilangan
penglihatan dan mengtakrifkan “buta”. Buta sepenuhnya adalah kehilangan menyeluruh
segala bentuk deria cahaya dan direkodkan secara perubatan (klinikal) sebagai “NLP”,
ringkatan kepada (“no light perception”). “Buta” seringkali digambarkan sebagai
kecacatan penglihatan teruk dengan sisa penglihatan. Untuk menentukan mereka yang
memerlukan bantuan khas disebabkan kecacatan penglihatan, pelbagai perundangan
kerajaan telah membentuk takrifan yang semakin rumit yang dirujuk sebagai disahkan
buta – (legal blindness).
Di Amerika Utara dan kebanyakan Eropah, disahkan buta ditakrifkan sebagai tahap
penglihatan pada tahap 20/200 (6/60) atau kurang dari itu pada mata terbaik dengan
pembetulan sebaik mungkin. Ini bererti individual yang disahkan buta. Ini bererti mereka
yang disahkan buta perlu berdiri sejauh 20 kaki daripada sesuatu objek bagi melihatnya
sejelas apa yang orang normal mampu lihat pada jarak 200 kaki. Pada kebanyakan
kawasan, mereka dengan penglihatan tajam purata bagaimanapun mempunyai lapangan
pandangan kurang daripada 20 sudut darjah (biasanya 180 darjah) juga dikelaskan
sebagai disahkan buta. Sekitar sepuluh peratus daripada mereka yang disahkan buta,
menurut mana-mana ukuran, tidak mempunyai penglihatan. Bakinya mempunyai sedikit
penglihatan, dari mengesan cahaya kepada ketajaman yang relatively good acuity. Low
vision is sometimes used to describe visual acuities from 20/70 to 20/200.

9
Menurut Penilaian semula ke 10 Pengkelasan Statistik Antarabangsa, Kecederaan dan
Punca Kematian WHO, Penglihatan lemahditakrifkan sebagai ketajamanpenglihatan
kurang dari 6/18, tetapi lebih baik atau bersamaan dengan 3/60, atau bersamaan
kehilangan medan penglihatan kepada kurang daripada 20 darjah, dalam mata terbaik
dengan pembetulan terbaik. Buta ditakrifkan sebagai ketajaman penglihatan kurang dari
3/60, atau bersamaan kehilangan medan penglihatan kurang daripada 10 darjah, pada
mata terbaik dengan pembetulan terbaik.

B. Komunikasi Dengan Orang Buta

Tehnik Komunikasi Pada Keadaan Khusus Buta

1. Klien dengan Gangguan Penglihatan


Gangguan penglihatan dapat terjadi baik karena kerusakan organ, misal., kornea, lensa
mata, kekeruhan humor viterius, maupun kerusakan kornea, serta kerusakan saraf
penghantar impuls menuju otak. Kerusakan di tingkat persepsi antara lain dialami klien
dengan kerusakan otak. Semua ini mengakibatkan penurunan visus hingga dapat
menyebabkan kebutaan, baik parsial maupun total. Akibat kerusakan visual,
kemampuan menangkap rangsang ketika berkomunikasi sangat bergantung pada
pendengaran dan sentuhan.
Oleh karena itu, komunikasi yang dilakukan harus mengoptimalkan fungsi
pendengaran dan sentuhan karena fungsi penglihatan sedapat mungkin harus digantikan
oleh informasi yang dapat ditransfer melalui indra yang lain.
2. Teknik Komunikasi
3. Berikut adalah teknik-teknik yang diperhatikan selama berkomunikasi dengan klien
yang mengalami gangguan penglihatan:

a. Sedapat mungkin ambil posisi yang dapat dilihat klien bila ia mengalami kebutaan
parsial atau sampaikan secara verbal keberadaan / kehadiran perawat ketika anda
berada didekatnya
b. Identifikasi diri anda dengan menyebutkan nama (dan peran) anda
c. Berbicara menggunakan nada suara normal karena kondisi klien tidak
memungkinkanya menerima pesan verbal secara visual. Nada suara anda memegang
peranan besar dan bermakna bagi klien
d. Terangkan alasan anda menyentuh atau mengucapkan kata – kata sebelum
melakukan sentuhan pada klien
e. Informasikan kepada klien ketika anda akan meninggalkanya / memutus
komunikasi
f. Orientasikan klien dengan suara – suara yang terdengar disekitarnya
g. Orientasikan klien pada lingkunganya bila klien dipindah ke lingkungan / ruangan
yang baru.

 Hambatan Komunikasi Pada Klien Yang Buta


i. Buta warna :
Orang yang menderita buta warna tidak mampu membedakan warna dengan baik. Bagi
seorang penderita buta warna, yang nampak hanya warna hitam, putih , abu abu. Buta warna
pada umumnya merupakan penyakit keturunan.

10
ii. Rabun jauh :
Orang yang menderita rabun jauh dapat melihat dengan baik benda benda yang jaraknya
jauh, tetapi tidak dapat melihat dengan baik benda benda yang jaraknya dekat. Penderita
rabun jauh dapat ditolong dengan mempergunakan kacamata dengan lensa cembung.
iii. Rabun dekat : Orang yang menderita rabun dekat, dapat melihat dengan baik benda benda
yang jaraknya dekat, tetapi tidak dapat melihat dengan baik benda benda yang jaraknya jauh.
Penderita rabun dekat, dapat ditolong dengan mempergunakan kacamata dengan lensa
cekung. Perlu diingat, kebiasaan membaca terlalu dekat pada anak anak dapat mempercepat
terjadinya penyakit rabun dekat.
iv. Rabun senja (Xeroptalmia) : Orang yang menderita rabun senja, tidak dapat melihat
dengan jelas mulai pada waktu senja. Penderita rabun senja banyak menimpa anak anak
balita. Pada era tahun 1960 -1970 banyak anak anak yang menderita rabun senja.
penyebabnya karena kekurangan vitamin A .
v. Astigmatis :
Orang yang menderita astigmatis, tidak dapat melihat benda dengan jelas. Semua benda yang
dilihat akan nampak kabur seperti photo yang tidak tepat fokusnya. Penyakit ini disebabkan
oleh kelainan/kerusakan dari kornea.
vi. Juling :
Orang yang menderita penyakit ini mudah dikenal, karena biasanya penderita sulit
mengarahkan kedua biji matanya kesatu arah.
vii. Retinopatia diabetes :
Tajam penglihatan perlahan-lahan menurun. Pada retina terlihat eksudat berwarna kekuning-
kuningan yang memperlihatkan tanda-tanda akan bergabung menjadi satu yang besar-besar
dan irregular.
viii. Katarak : Penglihatan kabur/tidak jelas.

 Tunanetra adalah individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat
diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi
Tunanetra menurut Kaufman & Hallahan adalah individu yang memiliki lemah penglihatan
atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60 setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki
penglihatan. Karena tunanetra memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses
pembelajaran menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra
pendengaran. Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran
kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktualdan bersuara,
contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda model dan benda nyata.
sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti lunakJAWS. Untuk
membantu tunanetra beraktivitas di sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan
Mobilitas. Orientasi dan Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui
tempat dan arah serta bagaimana menggunakantongkat putih (tongkat khusus tunanetra yang
terbuat dari alumunium).
a. Kesulitan melakukan komunikasi secara visual dengan bahasa tubuh
b. Klien kesulitan menangkap atau memahami informasi dalam bahasa visual.
c. Klien tidak dapat melihat dan mengetahui tindakan apasaja yang dilakukan padanya, dan
klien hanya dapat merasakannya saja.

11
2.3 Syarat-Syarat Komunikasi Pada Klien Dengan Gangguan Penglihatan

Dalam melakukan komunikasi terapeutik dengan pasien dengan gangguan sensori penglihatan,
perawat dituntut untuk menjadi komunikator yang baik sehingga terjalin hubungan terapeutik
yang efektif antara perawat dan klien, untuk itu syarat yang harus dimiliki oleh perawat dalam
berkomunikasi dengan pasien dengan gangguan sensori penglihatan adalah :

1. Adanya kesiapan artinya pesan atau informasi, cara penyampaian, dan saluarannya harus
dipersiapkan terlebih dahulu secara matang.
2. Kesungguhan artinya apapun ujud dari pesan atau informasi tersebut tetap harus
disampaikan secara sungguh-sungguh atau serius.
3. Ketulusan artinya sebelum individu memberikan informasi atau pesan kepada indiviu lain
pemberi informasi harus merasa yakin bahwa apa yang disampaikan itu merupakan sesuatu
yang baik dan memang perlu serta berguna untuk sipasien.
4. Kepercayaan diri artinya jika perawat mempunyai kepercayaan diri maka hal ini akan
sangat berpengaruh pada cara penyampaiannya kepada pasien.
5. Ketenangan artinya sebaik apapun dan sejelek apapun yang akan disampaikan, perawat
harus bersifat tenang, tidak emosi maupun memancing emosi pasien, karena dengan adanya
ketenangan maka iinformasi akan lebih jelas baik dan lancar.
6. Keramahan artinya bahwa keramahan ini merupakan kunci sukses dari kegiatan
komunikasi, karena dengan keramahan yang tulus tanpa dibuat-buat akan menimbulkan
perasaan tenang, senang dan aman bagi penerima.
7. Kesederhanaan artinya di dalam penyampaian informasi, sebaiknya dibuat sederhana baik
bahasa, pengungkapan dan penyampaiannya. Meskipun informasi itu panjang dan rumit akan
tetapi kalau diberikan secara sederhana, berurutan dan jelas maka akan memberikan kejelasan
informasi dengan baik.

Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Komunikasi Pada Klien Gangguan Penglihatan
Agar komunikasi dengan orang dengan gangguan sensori penglihatan dapat berjalan lancar dan
mencapai sasarannya, maka perlu juga diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

1. Dalam berkomunikasi pertimbangkan isi dan nada suara


2. Periksa lingkungan fisik
3. Perlu adanya ide yang jelas sebelum berkomunikasi
4. Komunikasikan pesan secara singkat
5. Komunikasikan hal-hal yang berharga saja.
6. Dalam merencanakan komunikasi, berkonsultasilah dengan pihak lain agar -memperoleh
dukungan.

2.4 Tehnik Komunikasi Terapeutik Pada Klien Gangguan Penglihatan

Tiap klien tidak sama oleh karena itu diperlukan penerapan tehnik berkomunikasi yang berbeda
pula, diantaranya adalah :
1. Mendengarkan dengan penuh perhatian
Berusaha mendengarkan klien menyampaikan pesan non-verbal bahwa perawat perhatian
terhadap kebutuhan dan masalah klien. Mendengarkan dengan penuh perhatian merupakan
upaya untuk mengerti seluruh pesan verbal dan non-verbal yang sedang dikomunikasikan.

12
Ketrampilan mendengarkan sepenuh perhatian adalah dengan:
 Pandang klien ketika sedang bicara
 Pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan
 tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan
 Hindarkan gerakan yang tidak perlu
 Anggukan kepala jika klien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan balik
 Condongkan tubuh ke arah lawan bicara.

2. Menunjukkan penerimaan
Menerima tidak berarti menyetujui. Menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain
tanpa menunjukkan keraguan atau tidak setuju. Berikut ini menunjukkan sikap perawat yang
menerima :
 Mendengarkan tanpa memutuskan pembicaraan
 Memberikan umpan balik verbal yang menapakkan pengertian
 Memastikan bahwa isyarat non-verbal cocok dengan komunikasi verbal
 Menghindarkan untuk berdebat, mengekspresikan keraguan, atau mencoba untuk mengubah
pikiran klien.
3. Menanyakan pertanyaan yang berkaitan
Tujuan perawat bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai klien.
Paling baik jika pertanyaan dikaitkan dengan topik yang dibicarakan dan gunakan kata-kata
dalam konteks sosial budaya klien. Selama pengkajian ajukan pertanyaan secara berurutan.

4. Mengulang ucapan klien dengan menggunakan kata-kata sendiri.


Dengan mengulang kembali ucapan klien, perawat memberikan umpan balik sehingga klien
mengetahui bahwa pesannya dimengerti dan mengharapkan komunikasi berlanjut.

5. Klarifikasi
Apabila terjadi kesalah pahaman, perawat perlu menghentikan pembicaraan untuk
mengklarifikasi dengan menyamakan pengertian, karena informasi sangat penting dalam
memberikan pelayanan keperawatan. Agar pesan dapat sampai dengan benar, perawat perlu
memberikan contoh yang konkrit dan mudah dimengerti klien.

6. Memfokuskan
Metode ini dilakukan dengan tujuan membatasi bahan pembicaraan sehingga lebih spesifik dan
dimengerti. Perawat tidak seharusnya memutus pembicaraan klien ketika menyampaikan
masalah yang penting, kecuali jika pembicaraan berlanjut tanpa informasi yang baru.

7. Menawarkan informasi
Tambahan informasi ini memungkinkan penghayatan yang lebih baik bagi klien terhadap
keadaanya. Memberikan tambahan informasi merupakan pendidikan kesehatan bagi klien.
Selain ini akan menambah rasa percaya klien terhadap perawat. Apabila ada informasi yang
ditutupi oleh dokter, perawat perlu mengklarifikasi alasannya. Perawat tidak boleh memberikan
nasehat kepada klien ketika memberikan informasi, tetapi memfasilitasi klien untuk membuat
keputusan.

13
8. Diam
Diam memberikan kesempatan kepada perawat dan klien untuk mengorganisir pikirannya.
Penggunaan metode diam memrlukan ketrampilan dan ketetapan waktu, jika tidak maka akan
menimbulkan perasaan tidak enak. Diam memungkinkan klien untuk berkomunikasi terhadap
dirinya sendiri, mengorganisir pikirannya, dan memproses informasi. Diam terutama berguna
pada saat klien harus mengambil keputusan .

9. Meringkas
Meringkas adalah pengulangan ide utama yang telah dikomunikasikan secara singkat. Metode
ini bermanfaat untuk membantu topik yang telah dibahas sebelum meneruskan pada
pembicaraan berikutnya. Meringkas pembicaraan membantu perawat mengulang aspek penting
dalam interaksinya, sehingga dapat melanjutkan pembicaraan dengan topik yang berkaitan.

10. Memberikan penghargaan


Memberi salam pada klien dengan menyebut namanya, menunjukkan kesadaran tentang
perubahan yang terjadi menghargai klien sebagai manusia seutuhnya yang mempunyai hak dan
tanggung jawab atas dirinya sendiri sebagai individu.

11. Menawarkan diri


Klien mungkin belum siap untuk berkomunikasi secara verbal dengan orang lain atau klien tidak
mampu untuk membuat dirinya dimengerti. Seringkali perawat hanya menawarkan
kehadirannya, rasa tertarik, tehnik komunikasi ini harus dilakukan tanpa pamrih.

12. Menganjurkan klien unutk menguraikan persepsinya


Apabila perawat ingin mengerti klien, maka ia harus melihat segala sesungguhnya dari
perspektif klien. Klien harus merasa bebas untuk menguraikan persepsinya kepada perawat.
Ketika menceritakan pengalamannya, perawat harus waspada akan timbulnya gejala ansietas.

14
BAB III

PENUTUP

3.1 KESIMPULAN

Komunikasi Terapeutik adalah suatu pengalaman bersama antara perawat dengan pasien yang
bertujuan untuk menyelesaikan masalah pasien. Komunikasi ini juga termasuk komunikasi
interpersonal yaitu komunikasi antara orang – orang secara tatap muka yang membuat setiap peserta
menagkap reasinya secara langsung baik verbal maupun non verbal.

3.2 SARAN

Mahasiswa seharusnya menerapkan komnikasi terapeutikyang baikdan benar pada klien yang
mengalami gangguan penglihatan.

15
DAFTAR PUSTAKA
Daimayanti, Mukhripah.2008. Komunikasi Terapeutik dalam Praktik Keperawatan. Bandung. PT
Refika Aditama.
http://materi-sehat.blogspot.com/07-04-2013
http://muzacil.wordpress.com/01-04-2013
Mundakir. 2006. Komunikasi Keperawatan Aplikasi dalam Pelayanan. Yogyakarta. Graha Ilmu.
Pearce, Evelyn C. 2008. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama

16

Anda mungkin juga menyukai