Anda di halaman 1dari 9

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kondisi Umum Pulau Nguan


Pulau Nguan merupakan pulau kecil dengan luas + 6,31 Ha yang berjarak
+ 1 kilometer dari Pulau Galang Baru melalui jalur laut. Untuk sampai ke ibu
kelurahan di Kampung Baru Pulau Galang Baru harus dilanjutkan melalui jalan
darat sejauh + 4 kilo meter. Pulau Nguan sendri dihubungkan oleh tumbuhan
mangrove dengan pulau-pulau lainnya sehingga Pulau Nguan tampak menjadi
panjang dan utuh bersatu dengan7 pulau lain antara lain Pulau Pokok Barah, P.
Bukit Lahang, P. Baran, P. Gemur, P. Tungkang Kecil, P. Tungkang Besar dan
Pulau Nguan sendiri. Saat ini pulau Nguan dihuni oleh 123 KK, sebanyak 108 KK
adalah keluarga nelayan, sedangkan sisanya bekerja sebagai buruh, dagang, PNS,
pengumpul dan pegawai swasta (Mardijono, 2008).
Kecamatan Galang yang merupakan salah satu wilayah Kota Batam telah
ditetapkan sebagai lokasi Program Coremap II. Tepatnya lokasi program tersebut
di Kelurahan Pulau Abang, Kelurahan Galang Baru dan Kelurahan Karas. Pada
setiap kelurahan tersebut terdapat pula lokasi dampingan program Rehabilitasi
dan Pengelolaan Terumbu Karang (Coral Reef Rehabilitation and Management
Program). Kelurahan Pulau Abang memiliki lokasi dampingan di Air Saga, Pulau
Abang Besar dan Pulau Petong, Kelurahan Galang Baru memiliki lokasi
dampingan di Pulau Nguan dan Pulau Sembur sedangkan Pulau Karas dan Pulau
Mubut merupakan lokasi dampingan yang dimiliki oleh Kelurahan Karas (BPP-
PSPL Universitas Riau, 2009).
Kondisi terumbu karang secara umum di kawasan Pulau Nguan dan Pulau
Sembur Kelurahan Galang Baru sangat memprihatinkan. Dasar perairan terdiri
dari pasir, pecahan karang karang mati, karang mati yang ditumbuhi alga dan
dilapisi partikel halus diatasnya. Terumbu karang yang hidup di Pulau Nguan
hanya 14,88 % dan di Pulau Sembur hanya 7,85 %, karang yang hidup secara
umum berupa polip-polip karang. Sebagian dari masyarakat masih sering
mengambil karang ntuk berbagai kepentingan seperti fondasi rumah dan
bangunan lain yang permanen, sehingga merupakan ancaman terhadap kelestarian
terumbu karang (Mardijono, 2008).
Bagi masyarakat Pulau Nguan dan Pulau Sembur kawasan terumbu karang
merupakan area penangkapan, khususnya dalam menangkap ikan-ikan karang.
Keragaman alat tangkap yang digunakan masyarakat untuk menangkap ikan pada
kawasan karang dan kawasan lainnya menyebabkan akses masyarakat pada
kawasan terumbu karang cukup besar. Sebagian besar masyarakat menggunakan
alat Pancing dan Bubu. Disamping itu pengambilan karang mati juga dilakukan
oleh sebahagian masyarakat untuk berbagai kepentingan seperti pondasi rumah
dan bangunan lain yang permanen. Ini merupakan salah satu ancaman terhadap
kelestarian terumbu karang (BPP-PSPL Universitas Riau, 2009).
Komunitas masyarakat yang menjadi daerah dampingan program
rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang Kota Batam pada Kelurahan Galang
Baru adalah di Pulau Nguan dan Pulau Sembur. Masyarakat membangun tiga
zona pemanfaatan tradisional yaitu Terumbu Arang seluas 9,528 hektar, Terumbu
Ujin seluas 5,549 hektar dan Terumbu Laut seluas 9,915 hektar (Mardijono,
2008).
Berdasarkan hasil studi di kawasan Pulau Nguan tutupan substrat pada
daerah rataan terumbu karang yang ditemukan adalah pasir (send), batu (rock),
patahan karang (RUB), karang mati (DC) dan Lumpur (Silt). Selain itu juga
dijumpai Karang Lunak, Alga, Sponge, Padang Lamun. Kondisi terumbu karang
secara umum di kawasan Pulau Nguan sangat memprihatinkan. Dasar perairan
terdiri atas pasir, pecahan karang, karang mati, karang mati yang ditumbuhi alga
dan dilapisi partikel halus di atasnya. Terumbu karang yang hidup yang dijumpai
di Pulau Nguan hanya sekitar 14,88% .Bahwasanya kondisi terumbu karang pada
kawasan Pulau Nguan menunjukkan dalam kondisi buruk (BPP-PSPL Universitas
Riau, 2009).

2.2 Terumbu Karang


Terumbu karang merupakan tembat habitat dari bagi beragam biota yang
ada dilautan, sebagai berikut, beraneka ragam avertebrata (hewan tak bertulang
belakang), terutama karang batu (stony coral), juga berbagai krustasea, siput dan
kerang-kerangan, ekinodermata (bulu babi, anemon laut, teripang, bintang laut
dan leli laut), beraneka ragam ikan: 50% - 70% ikan kornivora oportunik, 15%
ikan herbivora, dan sisanya omnivora, reptil, umumnya ular laut dan penyu laut;
dan ganggang dan rumput laut, yaitu algae hijau berkapur, algae karolin dan
lamun (Bengen 2002 dalam Zamani et al. 2016).
Terumbu karang adalah salah satu ekosistem utama di muka bumi yang
tercipta secara alami, ditempati oleh ribuan tumbuhan dan hewan yang unik dan
bernilai tinggi. Lebih dari seperempat spesies laut hidupnya sangat bergantung
pada terumbu karang yang sehat. Terumbu karang merupakan sumber makanan
utama, menghasilkan income dan resources bagi jutaan orang melalui peranannya
dalam turisme, perikanan, menghasilkan senyawa kimia penting untuk obat-
obatan dan menyediakan barrier gelombang alami sebagai pelindung pantai dan
garis pantai dari badai (storms), tsunami dan banjir (floods) melalui pengurangan
aksi gelombang (Wallace, 1998; The Coral Reef Alliance, 2002 dalam Rudi,
2005).
Keanekaragaman hayati pesisir dan lautan Indonesia hadir dalam bentuk
ekosistem terumbu karang, ekosistem mangrove, ekosistem padang lamun,
ekosistem estuari, ekosistem laut terbuka. Berbagai ekosistem tersebut saling
berhubungan secara sinergis melalui aliran arus air dan migrasi berbagai biota
(Dahuri, 2003 dalam Sagai et al. 2017).
Interaksi antara ikan karang dan terumbu karang sebagai habitatnya dapat
dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu interaksi langsung sebagai tempat
berlindung dari predator pemangsa bagi biota yang hidup di terumbu karang
terutama bagi ikan-ikan muda, interaksi dalam mencari makanan yang meliputi
hubungan antara ikan karang dan biota yang hidup pada terumbu karang termasuk
alga dan interaksi tidak langsung sebagai akibat struktur karang dan kondisi
hidrologis dan sedimen (Coat dan Bellwood 1991, dalam Bawole 1998 dalam
Zamani et al. 2016).
Menurut Westmacott et al. (2000) dan COREMAP (2001) dalam Rudi
(2005), degradasi terhadap kondisi terumbu karang di sejumlah wilayah Indonesia
terjadi akibat perbuatan manusia dan karena bencana alam seperti coral bleaching,
angin tofan dan tsunami. Terjadinya degradasi ekosistem terumbu karang ini
dikhawatirkan akan menurunkan keragaman semua spesies organisme yang hidup
tergantung dengannya.
2.3 Jenis – Jenis Karang (yang didapatkan)

2.4 Pertumbuhan Karang Lunak dan Karang Keras


Pertumbuhan panjang dan lebar karang lunak pada kolam terbuka mengalami
fluktuasi setiap minggunya, sedangkan pada kolam tertutup pertumbuhannya negative
sehingga terjadi penurunan ukuran panjang dan lebar. Pertumbuhan pada karang
mengalami penurunan meskipun sudah diberikan tambahan makanan berupa plankton dan
liquidfry sebagai perangsang tumbuhnya fitoplankton. Cahaya matahari berperan penting
dalam kehidupan karang lunak, hal ini dikarenakan adanya mikrosimbion zooxhantellae
yang memerlukan cahaya matahari untuk berfotosintesis. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kelangsungan hidup karang lunak pada kolam terbuka lebih baik daripada kolam
tertutup (Prastiwi, 2011).
Pendapat lama yang menyatakan bahwa sebagian besar karang
bereproduksisecara seksual dengan membentuk planula melaluifertilisasi internal untuk
kemudian dilepaskan keperairan (tipe brooder) dengan mengikuti siklus bulan,telah
diperbaharui. Sejumlah pengamatanmenunjukkan bahwa sebagian besar
karangbereproduksi secara seksual dengan melepaskangamet jantan dan betina ke
perairan sehingga fertilisasidan perkembangan larva berlangsung secara eksternal(tipe
broadcast spawner), reproduksi terjadi secaramusiman dengan breeding berlangsung
dalamperiode tahunan yang singkat, prosespelepasan gamet terjadi secara bersama-sama
danmelibatkan lebih dari 1 species (Harrison dan Wallace,1990; Richmond dan Hunter,
1990dalam Wijayanti et al. 2004).

2.5 Zooxanthellae
Salah satu sifat konservatif dari biota karang adalah adanya simbiosis
dengan zooxanthellae. Dari hubungan konservatif ini maka terbentuk bangunan
terumbu karang yang banyak ditemukan di lingkungan perairan benthic tropis.
Dalam hal ini zooxanthellae menyediakan lebih kurang 95% hasil fotosintetik
mereka kepada inang karang, dan produk ini dimanfaatkan karang untuk
pertumbuhan, reproduksi, dan pemeliharaan fisiologisnya. Sebagai umpan balik,
inang karang menyediakan kebutuhan fisiologi endosimbion berupa nutrien dan
perlindungan di dalam jaringan-jaringan polipnya (Purnomo, 2011).
Terumbu karang (coral reefs) merupakan kumpulan binatang karang (reefcoral),
yang hidup di dasar perairan dan menghasilkan bahan kapur CaCO3 (Supriharyono,
2007). Mereka mendapatkan makanannya melalui dua cara: pertama, dengan
menggunakan tentakel mereka untuk menangkap plankton dan keduamelalui alga kecil
(zooxanthellae) yang hidup di jaringan karang.Beberapa jenis zooxanthellae dapat hidup
di satu jenis karang, biasanya mereka di temukan dalam jumlah besar dalam setiap polip,
hidup bersimbiosis, memberikan warna pada polip, energi dari fotosintesa dan 90%
kebutuhan karbon polip (Rizal et al. 2018).
Zooxanthellae merupakan algae uniselluler yang bersifat mikroskopik, hidup
dalam berbagai jaringan tubuh karang yang transparan dan menghasilkan energi langsung
dari cahaya matahari melalui fotosintesis. Pada umumnya zooxanthellae ditemukan dalam
jumlah yang besar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis dengan karang lunak,
memberikan warna pada polip, memberikan 90% energi dari hasil fotosintesis pada polip.
Karang menyediakan tempat berlindung bagi zooxanthellae, nutrisi dan pasokan karbon
dioksida secara konstan yang diperlukan untuk fotosintesis(Prastiwi, 2011).
Zooxanthellae merupakan kelompok dinoflagellata fototropik yang
umumnya tedapat sebagai endosimbion pada beberapa invertebrata laut.
Walaupun semua species karang dapat menggunakan sengat tentakel untuk
menangkap mangsanya, namun zooxanthellae menyumbang nutrisi yang besar
bagi karang. Biota ini menghasilkan energi langsung dari cahaya matahari melalui
aktifitas fotosintesis. Hubungannya dengan karang bersifat timbal balik yang
saling menguntungkan. Karang dapat memperoleh banyak energi dari
zooxanthellae, sebaliknya zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan tubuhnya
memperoleh tempat perlindungan dari pemangsa dan memakai karbondioksida
yang dihasilkan karang dari proses metabolismenya (Purnomo et al. 2010).
Didalam lapisan endoderm tubuh polip hidup bersimbiosis dengan alga bersel
satu zooxanthellae. Zooxanthellae adalah tumbuhan yang melakukan proses fotosintesis,
hasil metabolisme dan O2 (oksigen) akan diberikan kepada polip karang. Sedangkan
polip karang memberikan tempat hidup dan hasil respirasi CO2 kepada alga
zooxanthellae (Coremap, 2010dalam Rizal et al. 2018).
Bagi biota karang atau biota sessile lainnya di lingkungan ekosistem terumbu
karang, zooxanthellae mempunyai peranan yang sangat penting. Dalam sejarah kehidupan
karang hampir tidak ditemukan biota karang yang hidup tanpa bersimbiosis dengan
zaooxanthellae. Disamping hal tersebut, keberadaan zooxanthellae dalam jaringan karang
diduga menjadi faktor utama bagi karang dalam mensiasati kondisi terburuk yang
dialaminya untuk mampu bertahan hidup. Kemampuan karang untuk mempertahankan
zooxanthellae dalam jaringannya akibat bleaching (bleaching parsial) merupakan salah
satu petunjuk dimungkinkannya karang untuk pulih (Purnomo, 2011).

2.6 Metode Line Transect Kuadran


Survei kondisi terumbu karang dapat dilakukan dengan berbagai metode
tergantung pada tujuan survei, waktu yang tersedia, tingkat keahlian peneliti, dan
ketersediaan sarana dan prasarana. Agar hasil survei dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka perlu diperhatikan cara pemilihan
keterwakilan lokasi, panjang transek (sampling) yang diambil dan banyaknya
ulangan yang diperlukan. Beberapa metode yang digunakan dalam pengamatan
dan penilaian kondisi terumbu karang diantaranya adalah transek garis, metode
transek kuadrat, metode manta tow, dan metode transek sabuk (Johan, 2003 dalam
Sarbini et al. 2016).
Metoda transek kuadrat digunakan untuk memantau komunitas makrobentos
di suatu perairan. Pada survei karang, pengamatan biasanya meliputi kondisi
biologi, pertumbuhan, tingkat kematian dan rekruitmen karang di suatu lokasi
yang ditandai secara permanen. Survei biasanya dimonitoring secara rutin.
Pengamatan didukung dengan pengambilan underwater photo sesuai dengan
ukuran kuadrat yang ditetapkan sebelumnya. Pengamatan laju sedimentasi juga
sangat diperlukan untuk mendukung data tentang laju pertumbuhan dan tingkat
kematian karang yang diamati (Johan, 2004).

2.7 Software CPCe


Coral Point Count with Excel extensions (CPCe) dikembangkan untuk
meningkatkan efisiensi dan kemudahan melakukan sejumlah besar analisis dan
fitur gambar identifikasi yang dibutuhkan untuk menyediakan populasi yang
berarti perkiraan. CPCe dirancang khusus untuk cepat dan efisien menghitung
penutupan karang statistik atas daerah yang ditentukan. Bingkai foto bawah air
adalah dilapis oleh matriks titik-titik terdistribusi secara acak, dan spesies fauna /
flora atau tipe substrat yang berbohong di bawah setiap titik diidentifikasi secara
visual. Spesies data kode untuk setiap frame disimpan dalam file .cpc yang berisi
nama file gambar, titik koordinat dan kode data yang teridentifikasi. Kumpulan
data transek kemudian dapat dianalisis secara statistik untuk memberikan
kuantitatif perkiraan populasi di atas area yang diminati (Kohler dan Shaun,
2006).
DAFTAR PUSTAKA

BPP-PSPL Universitas Riau. 2009. Studi Potensi Pengembangan Budidaya


Perikanan di Lokasi Coremap II Kota Batam. Laporan akhir. LIPI :
Jakarta.

Johan O. 2004.Metode Survei Terumbu Karang Indonesia. Lampung: Universitas


Lampung.

Kohler EK dan Gill MS. 2006. Coral Point Count with Excel Extensions (Cpce): A
Visual BasicProgram for the Determination of Coral and Substrate
CoverageUsing Random Point Count Methodology. Jurnal Computers &
Geosciences Vol. 32. 1259-1269.

Kohler KE, Gill SM. 2006. Coral Point Count with Excel extensions (CPCe): A
Visual Basic program for the determination of coral and substrate coverage
using random point count methodology. Computers & Geosciences
Journal. Vol. 32 : 1259 – 1269.

Mardijono. 2008. Persepsi Dan Partisipasi Nelayan Terhadap Pengelolaan


Kawasan Konservasi Laut Kota Batam. Tesis. Universitas Diponegoro :
Semarang.

Pratiwi DI. 2011. Pertumbuhan Karang Lunak Lobophytum strictum Hasil


Transplantasi pada Sistem Resirkulasi dengan Kondisi Cahaya Berbeda.
[Skripsi]. Bogor: institut Pertanian Bogor.

Purnomo PW, Soedharma D, Zamani NO, Sanusi HS. 2010. Model Kehidupan
Zooxanthellae Dan Penumbuhan Massalnya Pada Media Binaan. Jurnal
Saintek Perikanan. Vol 6 (1) : 46 – 54.

Purnomo PW. 2011. Keragaman Genetik Zooxanthellae Dari Beberapa Sumber


Inang Di Perairan Terumbu Karang Pulau Bokor Jepara. Jurnal
Saintek Perikanan. Vol. 7 (1) : 39 – 4.

Rizal S, Pratomo A dan Irawan H. 2018. Cover Level of the Coral Reef Ecosystem in
Terkulai Island District of The Tanjungpinang City, Riau Achipelago Province.
Riau: Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Rudi E. 2005. Kondisi Terumbu Karang di Perairan Sabang Nanggroe


AcehDarussalam setelah Tsunami. Jurnal Ilmu Kelautan Vol 10(1). 50-60.

Sagai BP, Roeroe KA dan Menembu IS. 2017. Kondisi Terumbu Karang di Pulau
Salawati Kabupaten Raja Ampat Papua Barat. Jurnal Pesisir dan Laut
Tropis Vol. 1(2). 47-52.
Sarbini R, Kuslani H dan Nugraha Y. 2016.Teknik Pengamatan Tutupan Terumbu
Karang dengan Menggunakan Transek Garis (Line Intercept Transect)dDi
Pulau Kumbang Kepulauan Karimun Jawa. Jurnal BTL Vol 14(1). 34-42.

Wijayanti PD, Suryono AC danSabdono A. 2004. Pertumbuhan Karang


Bercabang Acropora aspera, Stylophora pistilata dan Pocillopora
darmicornis Hasil Planulasi diLaboratorium. Jurnal Ilmu KelautanVol.
9(2). 86-89.

Zamani NP, Wardiatno Y dan Nggajo R. 2011. Strategi Pengembangan


Pengelolaan Sumberdaya Ikan Ekor Kuning (Caesio cuning) pada
Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu.Jurnal Saintek
Perikanan Vol. 6(2). 38-51.

Anda mungkin juga menyukai