Anda di halaman 1dari 5

Belajar dari nelayan Wakatobi:

pengetahuan ekologi lokal bisa


menyelamatkan dugong
Januari 10, 2018 5.56pm WIB
Penulis

1. Leanne Cullen-Unsworth
Research Fellow, Cardiff University

2. Benjamin L. Jones
Research Associate at the Sustainable Places Research Institute, Cardiff University

3. Richard K.F. Unsworth


Research Officer, Swansea University

Pengungkapan

Leanne Cullen-Unsworth adalah direktur konservasi laut Project Seagrass.


Benjamin L. Jones adalah direktur pendiri konservasi laut Project Seargrass.
Richard K.F. Unsworth adalah direktur pendiri konservasi laut Project Seagrass.
Mitra

Cardiff University memberikan dana sebagai mitra pendiri The Conversation UK.

Swansea University memberikan dana sebagai anggota The Conversation UK.

Lihat semua mitra

Republikasi artikel

Republikasi artikel kami gratis, daring atau cetak, di bawah lisensi Creative Commons

Alih bahasa

 Bahasa Indonesia
 English
Dugong yang anggun. Jin Kemoole/flickr.com
 Surel
 Twitter21
 Facebook59
 LinkedIn
 Cetak
Dari pengetahuan tentang tempat hewan hidup hingga jenis tumbuh-tumbuhan yang
menyediakan manfaat medis, berbagai masyarakat di seluruh dunia memiliki tingkat
pengetahuan ahli mengenai lingkungan hidup lokal mereka.

Secara umum, penyelidikan ilmiah memberikan informasi yang presisi dan terukur,
dihimpun dalam waktu pendek. Tapi “pengetahuan ekologi lokal ” ini terbentuk dari
pengamatan-pengamatan yang dihimpun dalam waktu yang sangat lama, yang sering
kali diwariskan dari generasi ke generasi. Pengetahuan semacam itu bisa berupa hal-hal
sederhana, seperti mengetahui tempat-tempat terbaik untuk menangkap ikan, bisa juga
meliputi peristiwa-peristiwa yang langka atau ekstrem, seperti banjir atau periode cuaca
buruk.

Bagi masyarakat pantai yang bergantung pada sumber daya lautan, akumulasi
pengetahuan ekologi ini adalah kunci untuk mengumpulkan makanan dan
menyambung penghidupan. Tapi pengetahuan ekologi masyarakat tidak mesti, dan
memang tidak, berdiri terpisah dari sains. Pengetahuan itu sudah berulang kali “diuji”
para ilmuwan, dan kini semakin diakui sebagai aset berharga dalam pengelolaan
lingkungan dan biologi konservasi.

Pada tahun-tahun belakangan, pengetahuan lebih luas tentang nilai tersebut


menyebabkan pengetahuan lokal dimanfaatkan untuk mendukung pengelolaan sumber
daya alam. Pengetahuan lokal itu telah digunakan untuk membantu merancang
kawasan lindung maritim, misalnya di Myanmar dan Filipina.

Dengan memadukan keduanya, pengetahuan lokal bisa menjadi alat yang berguna di
kawasan yang miskin data. Terutama dalam hal pemantauan spesies langka atau
terancam punah.

Menyelamatkan dugong
Dugong adalah mamalia besar laut yang nyaris hanya makan rumput laut – rumpur laut
itu sendiri adalah spesias tumbuhan yang terancam punah. Saat ini dugong dicatat
sebagai “rawan punah” dalam daftar merah International Union for the Conservation of
Nature. Ancaman-ancaman utama bagi populasi dugong meliputi hilangnya habitat,
pembangunan kawasan pantai, polusi, aktivitas pengangkapan ikan, ditabrak kapal dan
perburuan atau penangkapan yang tidak bertanggung jawab.

Dugong diperkirakan hanya ada dalam kelompok-kelompok kecil terfragmentasi di luar


populasi primernya di Australia. Walau dugong masih bisa ditemukan di perairan
pantai lebih dari 40 negara di seluruh Indo-Pasifik Barat, informasi ilmiah yang akurat
sangat jarang dan sering cuma bersifat anekdot. Guna mendukung sebagaimana
semestinya perlindungan terhadap hewan rawan punah ini, kita perlu mengetahui di
mana mereka berada.

Untuk memantau populasi dugong, para peneliti biasanya menggunakan survei udara
atau pesawat tak berawak. Tapi teknik ini mahal, dan sering dihambat oleh kondisi-
kondisi sulit seperti air yang tertutup awan dan silau sinar matahari. Lagi pula, teknik-
teknik itu hanya memberikan rekaman singkat apa yang mungkin terjadi di tempat
tertentu pada satu waktu.

Di sinilah pengetahuan ekologi lokal bisa sangat bermanfaat. Jika ada, pengetahuan itu
berpotensi menyediakan detail tentang keberadaan dan jumlah dugong yang terlihat.

Upaya-upaya Indonesia
Di Indonesia, dugong dilindungi tapi terdapat informasi yang tidak bisa diakses tentang
jumlah populasi atau jangkauan geografis mereka. Walau pemerintah tampak
berkomitmen untuk melestarikan spesies ini, ada pula semakin banyak bukti tentang
penyusutan pesat padang rumput laut di Indonesia karena berbagai macam
ancaman termasuk penangkapan ikan secara berlebihan.

Tapi nelayan bukanlah musuh dugong, bahkan mereka bisa menjadi penyelamat
dugong. Penelitian kami yang diterbitkan baru-baru inimemanfaatkan pengetahuan
para nelayan untuk mengonfirmasi daya tahan dugong di Taman Nasional Wakatobi,
Sulawesi Tenggara. Para nelayan, yang menjelajahi perairan itu setiap hari, mampu
menyampaikan waktu, masa, dan lokasi yang tepat banyak penampakan dugong,
bahkan sampai pada 1942. Para nelayan itu memiliki pengetahuan yang jauh
melampaui catatan riset resmi yang mana pun dan mampu mendeskripsikan
kecenderungan historis dan perubahan populasi sebelumnya yang tidak tercatat.

Ini bukan kali yang pertama pengetahuan ekologi yang dimiliki masyarakat lokal
semacam itu digunakan untuk melestarikan spesies, juga tidak akan menjadi yang
terakhir. Contoh-contoh lainnya meliputi pelestarian populasi paus Baleen yang
terancam punah di Kepulauan Falkland (Samudra Atlantik Selatan), dan ikat air tawar
langka di Sungai Mekong.

Menggunakan sains dan pengetahuan ekologi masyarakat lokal juga membuat kita bisa
melakukan lebih banyak dari sekadar menyelamatkan satu spesies dalam satu waktu.
Lautan adalah sebuah ekosistem, dan tiap tumbuhan, hewan atau makhluk-makhluk
lain saling mengandalkan.

Pelestarian dugong dan rumput laut, misalnya, berjalan beriringan. Untuk


mendapatkan informasi lebih baik tentang persebaran populasi dugong, kita juga harus
tahu persebaran dan status rumput laut. Dan dengan mengintegrasikan jenis-jenis
informasi ini, kita bisa mulai menyelamatkan lautan.

Anda mungkin juga menyukai