Anda di halaman 1dari 1

Memaafkan Diri Sendiri

“… Umar memejamkan mata. Anak itu ditendangnya masuk ke dalam lubang yang digalinya. la
menangis. Umar tidak menghiraukannya. Umar menutupkan mata dan terfikir, “Oh! Anakku yang
manis dan pintar. Mengapa kau dilahirkan sebagai perempuan?” la menangis. Tangannya gementar,
tubuhnya menggigil. “Umar, jangan jadi pengecut,” tiba-tiba suara itu terdengar berulang kali di
telinganya. Lalu sambil menahan kesedihannya, Umar meneruskan lagi menimbun pasir ke lubang
tadi, sehinggalah anaknya itu menghembuskan nafasnya yang terakhir …”

Andai kata Umar bisa mengulang kembali masa, memutar waktu dan kembali ke masa lalu. Tidaklah
Ia membunuh hidup-hidup anak perempuannya.

“Tapi itu tidak menjamin juga akan adanya rasa sesal, rasa sedih, khawatir yg muncul hingga ada
keinginan utk berinteraksi lebih banyak dg Allah.. Justru mungkin membuat hidup nyaman2 saja,
merasa semua aman, padahal mungkin Allah tidak ridho. “- kutipan

Pelajaran dalam sebuah film juga ..

Terkadang kita pernah bahkan sering melakukan kesalahan, hingga kita bertemu dengan kebenaran
itu sendiri. Bukannya waktu itu kita membicarakan? Satu kali adalah penyesalan, dua-tiga kali adalah
pilihan. Namun, nyatanya tidak semudah itu ya dan tidak sesimpel itu.

Terkadang kata lagi, lubang yang sama, berulang kali, ingin sekali kita hindari. Tapi keadaan, situasi
yang memaksa kita demikian. Keadaan yang membuat kita larut di dalamnya.

Terkadang diri kita yang tidak kekontrol. Tidak ingin begini, mengapa selalu saja begitu, tidak
bermaksud ini, namun kenapa susah mengontrol diri ini? Barangkali kembali, semakin tinggi keimanan
seseorang semakin pula ujian iman itu diuji dengan tingkat yang tinggi pula. Layaknya pohon, semakin
lebat, semakin angin menerjang.

“Berharap yang terbaik, berusaha yang terbaik, berdoa yang terbaik, bertawakal yang terbaik.”-
kutipan

Allah yang menciptakan kita, pun begitu pulalah Allah yang mengendalikannya. Allah tahu tiap-tiap
hambanya. Apa yang dibutuhkan hambanya. Harap kita hanya sebatas harap manusia, sedangkan
yang ada di hadapan adalah cara terbaik Allah mendidik kita.

Adalah usaha yang kita maksimalkan untuk bisa menikmati hidup dengan penuh rasa syukur ketika
mendapat nikmat dan bersabar ketika mendapat ujian. Namun nyatanya Allah hadapkan dengan
kesulitan-kesulitan yang membuat lupa apa itu sabar dan apa itu syukur.

Tak mengapa, bukankah godaan terberat untuk manusia terhebat? Menyesal kemudian, jangan larut
dalam-dalam, jadikanlah pembelajaran. Jangan betah-betah dalam ketiadaan yang jelas-jelas tiada
bisa diulang. Berlapanglah, langitmu masih biru, awannya pun masih membersamai. Begitupun
masalahmu, yang beriringan dengan solusi dibaliknya. Hanya mungkin, kitanya yang masih proses
memahami. Esok, kertasmu masih bersih dan rapi. Tinggal pilihlah tinta terbaik dengan kuas terbaik
hingga menciptakan warna bersama keindahannya.

Allah selalu memaafkan dirimu. Apalah kita yang tidak lebih tinggi dari-Nya, yang terus berlarut, tidak
bisa memaafkan dan selalu menyalahkan segumpal hati yang lemah pula payah. Ah, Siapa kita?
Sesekali sapa hatimu, tanyalah ia, lama sekali mungkin ia ingin sekali didengarkan, lama sekali pula ia
butuh kata tenang, ya “Tenang, ada Allah”. Begitu bukan?

Anda mungkin juga menyukai