hayati menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik.
maka ketersediaan hayati mempunyai makna terapetik dan toksik (Sukri, 2002).
b) pelarut obat
dengan menentukan kadar plasma obat sesudah tercapai steady state. Pada keadaan
terjadi keseimbangan antara kadar obat disemua jaringan tubuh, dan kadar darah
praktis konstan karena jumlah yang diserap dan yang dieliminasi adalah sama. Antara
kadar plasma dan efek terapeutik pada umumnya terdapat suatu korelasi yang baik.
Pengecualian adalah pada misalnya obat hipotensi yang masih berefek, walaupun
kadarnya dalam plasma sudah tidak dapat diukur lagi (Tan, H. T, 2002).
mengukur kecepatan melarutnya zat aktif dalam waktu tertentu (dissolution rate).
Pengukuran ini dilakukan dengan metode dan alat khusus menurut USP XVIII guna
meniru sejauh mungkin keadaan alami dalam saluran lambung-usus. Sayang sekali
cara penentuan yang mudah dan praktis ini hasilnya jarang menunjukkan korelasi
dengan kadar obat dalam plasma in vivo, yang lebih sukar pelaksanaannya. Oleh
karena itu pengetian bioavailabilitas (BA) lebih disukai dan sudah lazim penggunannya
(Tan, H. T, 2002).
Ketersediaan hayati adalah fraksi obat yang diberikan yang mencapai sirkulasi
sistemik. Ketersediaan hayati dinyatakan sebagai fraksi dari obat yang diberikan yang
masuk ke sirkulasi sistemik dalam suatu bentuk yang secara kimiawi berubah. Misalnya
jika 100 mg obat diberikan peroral dan 70 mg dari obat ini diabsorbsi dalam bentuk
berbagai keadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus
disampaikan kepada jaringan target sehingga kadar terapeutik (tetapi tidak toksik)
didapatkan. Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat ( seperti kelarutan
dalam air atau lipid, ionisasi dsb) dan oleh tujuan terapi (misalnya keinginan akan suatu
awitan kerja obat yang cepat atau kebutuhan akan pemberian jangka panjang atau
terbatas pada suatu tempat lokal). Terdapat dua rute pemberian obat yang utama
Sifat formulasi obat yaitu absorbsi obat bisa diubah oleh beberapa faktor yang
tidak berhubungan dengan sifat fisika kimia obat. Sebagai contoh ukuran partikel,
bentuk garam polimorfisme kristal, dan keberadaan exipient (seperti zat-zat pengikat
atau penyebar) dapat mempengaruhi kemudahan pemecahan obat, dan karena itu,
merangcang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang
Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi obat pada setiap sisi suatu
membran adalah afinitas obat terhadap komponen jaringan, yang mencegah obat
bergerak kembali dengan bebas lewat membran sel. Transport aktif adalah proses trans
membran yang di perantarai oleh pembawa yang memainkan peran penting dalam
sekresi ginjal dan bilier dari berbagai obat dan metabolit. Difusi yang dipermudah juga
Faktor formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh adalah (Tan, H.
T, 2002).
c. Zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin dan sebagainya)
d. Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan (tekanan mesin tablet, alat
Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (suspensi) seperti gom, gelatin,
dan tajin umumnya juga memperlambat larutnya obat, sedangkan zat desintegrasi
pencetakan tablet yang disimpan lama sering kali mengeras dan lebih sukar melarut
(Tan, H. T, 2002).
Saat obat didistribusikan dalam tubuh, obat mengadakan kontak dengan
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi meliputi keadaan ionisasi, berat molekul,
kelarutan dan formulasi. Obat-obat yang kecil, tak terionisasi, larut dalam lemak
Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi obat tergantung pada cara pemberiannya.
Sebagai contoh, adanya makanan dalam saluran pencernaan, keasaman lambung, dan
dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda
lebih lama untuk memperpanjang masa absorbsi sehingga obat dpat diberikan dengan
interval lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (Sustained release). Obat yang
dirusak oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung sengaja dibuat
tidak terdisintegrasi dilambung yaitu sebagai sediaan salut enteric (enteric coated)
(Ganiswara, 2005).
Profil keberadaan bahan obat di dalam darah sebagai fungsi dari waktu disebut
pula profil bioavailabilitas atau profil ketersediaan hayati. Profil ini menggambarkan
interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil
tersebut juga mengungjapkan nasib obat di dalam tubuh yang tidaak diketahui
sebelumnya. Oleh karena fenomena difusi zat aktif dari darah menuju jaringan terjadi
secara bolak balik (reversibel), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara
konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah. Selanjutnya
diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya
merupakan depot zat aktif yang jika mencapai tempat penyerapan akan segera diserap
(Drug delivery sistem dengan istilah anglo-sakson). Proses pelepasan zat aktif dari
bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan,
serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh
keadaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya
gerak peristaltik usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang
menjelaskan adanya perbedaan efek terapetik dari sediaan obat yang mengandung zat
aktif dengan dosis lazim yang sama. Notasi yang sama bila diterapkan pada konsep
yang didasarkan pada kriteria yang tepat dan yang dapat diterapkan secara optimal
pada masalah terapetik. Penerapan aktivitas suatu obat, sebagai fungsi dari
efektifitasnya dan keamanan merupakan suatu masalah yang rumit, tetapi pemahaman
cara penyelesaiannya. Jadi dari sejumlah faktor-faktor tersebut dapat dicari faktor-faktor
yang berperan dan diperlukan oleh seorang formulator untuk membuat suatu
Cara pemberian obat peroral merupakan cara pemberian obat yang paling
umum dilakukan karena mudah dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor yang
mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja
sama dengan penderita serta tidak dapat dilakukan pada pasien koma. (Wattimena,
1987).
Dari bentuk kerja obat yang digambarkan, jelas bahwa ini tidak hanya
bergantung pada sifat farmakodinamika bahan obat, tetapi juga (dan memang dalam
farmakokinetika.
tubuh dan dapat mencerminkan perubahan zat aktif ke dalam tubuh dan dapat
mencerminkan perubahan zat aktif tersebut dalam darah. Apresiasi langsung definisi
tersebut tidak terlalu mungkin, tetapi peneliti harus berusaha menggunakan berbagai
cara untuk mendekati definisi tersebut, walau interpretasi data menjadi lebih rumit
(Shargel, 2012).
Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah
disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh FDA
untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik sebelum
dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu produk obat tersebut
aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus
memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kualitas, dan kemurnian.
Evaluasi ketersediaan hayati suatu obat atau berbagai bentuk sediaan farmasi
dengan zat aktif yang sama mempunyai tiga tujuan, yaitu (Shargel, 2012) :
a. Dalam rangka pengembangan obat baru; untuk menentukan cara pemberian dan
b. Setelah keputusan dibuat obat baru; untuk menetapkan mutu suatu obat dan
c. Berkaitan dengan undang-undang ; untuk memastikan kekuatan suatu obat yang diteliti
dengan mutu obat sejenis lokal yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga memastikan
pergantian obat.
mutu sediaan adalah laju dan besarnya bahan obat (dalam bentuk tak berubah) yang
berhasil mencapai pembuluh darah atau tempat kerja (menurut definisi, ketersediaan
biologi pada pemberian intravena adalah 100%) kalau dahulu dianggap bahwa tak
bergantung kepada sediaan galenik, dosis yang sama, sekarang diketahui bahwa
ketersediaan biologi dan dengan demikian khasiat obat dari sediaan dagang yang satu,
ke sediaan yang lain dapat sangat beragam. Ini khusus berlaku untuk senyawa yang
sukar larut. Sebagai contoh bahan obat, yang menunjukkan perbedaan besar dalam
ketersediaan biologi pada berbagai sediaan dagang telah disebutkan asam asetil
tidak perlu diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah
a. Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya
perubahan farmakokinetik in-vivo, baik karena interaksi obat maupun karena perubahan
fungsi fisiologik.
penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik
Bioavailability (BA) adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu
dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek terapeutisnya. Di beberapa
negara (AS, Jerman), BA mencakup pula kecepatan dengan mana obat muncul di
sirkulasi darah. Biasanya, efek obat baru mulai nampak sesudah obat melalui sistem
pembuluh porta serta hati dan kemudian tiba di peredaran darah besar yang
(Farmaseutik). Biofarmasi di satu sisi mencakup hubungan antara sifat fisika kimia
farmakon dengan sediannya, disisi lain dengan kerja biologisnya, dimana farmakon
dapat berada dalam bentuk sediaan yang berlainan (R. Voight, 1995).
Kingdom : Animalia
Phylum : Cordata
Class : Mamalia
Ordo : Rodentia
Family : Muridae
Genus : Rattus
C. Uraian Bahan
mi : AQUA DESTILLATA
n : Air suling
: H2O/18,02
n : Sebagai pelarut
2. Na.CMC (Ditjen POM, 1979 : 401)
mi : NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM
n : Natrium Karboksimetilselulosa
: Serbuk atau butiran ; putih atau putih gading ; tidak berbau atau hamper tidak berbagu
; higroskopik
: Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspense koloidal ; tidak larut dalam etanol
n : Sebagai pelarut
mi : ACETAMINOPHENUM
n : Acetaminofen, Paracetamol
: Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P,
dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P ; larut dalam larutan
alkali hidroksida
n : Sebagai obat
mi : AETHANOLUM
n : Etanol, Alkohol
: Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak; bau khas; rasa
panas. Mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap
: Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P
nan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya; tempat sejuk, jauh dari nyala api
BAB III
METODE KERJA
Adapun alat-alat yang digunakan percobaan ini yaitu Gunting Bedah, Spoit 1 ml,
Spoit 3 ml, Spoit 5 ml, Sentrifuge, Spektrofotometri, Timbangan, Tabung eppndorf dan
Vial
Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu Alkohol, Aquades, Betadine,
C. Cara Kerja
1. Penyiapan Hewan
d. Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba untuk menyatakan berat, nomor
a. Disiapakan alat dan bahan yang akan digunakan dan hewan coba tikus (Rattus
norvegicus)
c. Diinjeksikan Paracetamol
d. Diamkan selama 30 menit
e. Kemudian diambil darahnya 0,5 mL setiap 30 menit yaitu pada menit ke-30 dan 60
h. Dicatat datanya
DATA PENGAMATAN
A. Tabel Pengamatan
2 0.417
4 0.721
6 0.935
8 1.425
10 1.655
Data sampel
Waktu (jam) ABSORBAN
2 0.517
4 0.671
6 0.732
8 0.999
10 1.031
12 1.375
14 1.480
16 0.981
18 0.870
20 0.432
Perhitungan
C ABSORBAN
2 0.417
4 0.721
6 0.935
8 1.425
10 1.655
Nilai : a = 0.076
b = 0.159
r = 0.997
y=
= = 2.773
= = 3.742
= = 4.125
= = 5.805
= = 6.006
= = 8.169
= = 8.830
= = 5.691
= = 4.993
= = 2.238
Menentukan orde, diambil tiga (3) data terakhir dari tabel data sampel :
a= 19.845 a= 2.427
b= -0.863 b= -0.101
r = -0.945 r = 0.923
k = -b
= - (-0.863)
= 0.863 jam-1
b) Waktu paruh ( )
) = = = 11,497 jam
mendapatkan nilai Cp dift, maka nilai Cp baru dikurang dengan nilai Cp lama (Cp baru –
Cp lama).
y (2) = a + bx
= 19,854 + (-0,863) . 2
= 18,128
y (4) = a + bx
= 19,854 + (-0,863) . 4
= 16,402
y (6) = a + bx
= 19,854 + (-0,863) . 6
= 14,676
Ka = -(-1,201)
= 1,201 jam-
= 4,115 jam
Vd =
= 71626,658 ml
= 0,555 – 0,123
= 0,432 µg/ml
a) =
= µg jam/ml
= µg jam/ml
= µg jam/ml
= µg jam/ml
= µg jam/ml
= µg jam/ml
= µg jam/ml
= µg jam/ml
= µg jam/ml
b) = = 2,593 µg jam/ml
c) = = = =6,471 µg jam/ml
d) = x 100 %
x 100%
B. Pembahasan
eliminasi (yaitu absorbsi dan metabolisme). Pada percobaan ini, tujuannya adalah untuk
mempelajari distribusi obat di dalam tubuh yang diberikan secara intravena dan
perlakuan terlebih dahulu dicukur bulu bagian telinganya agar vena marginalisnya lebih
tampak dan pada saat pengambilan darah dapat cepat berlangsung tanpa dihambat
suatu obat setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Dimana ketika obat diberikan
secara oral, dapat menunujukan hubungan dinamik antara obat, produk obat, dan efek
selanjutnya mengalami absorbsi masuk kedalam sistem sirkulasi sistemik. Pada proses
ini akan terjadi dua keadaan, yaitu keadaan pertama obat yang akan dieliminasi,
dieksresi, dan dimetabolisme, dan keadaan yang kedua, obat dari sirkulasi sistemik
masuk kedalam jaringan dan akan memberikan efek farmakologi atau klinik.
Sebelum tikus diberikan obat secara oral, dilakukan pengambilan sampel darah
awal yang merupakan blangko. Blangko ini bukan sebagai perbandingan didalam
melihat pengaruh pemberian terhadap kadar obat di dalam plasma tetapi sebagai
sampel agar spektrofotometer mengenali sampel yang akan diuji. Daerah sekitar
tempat pengambilan darah diolesi dengan alcohol dan juga betadine sebagai antiseptic
Setelah pengambilan blangko hewan coba diberi obat yaitu parasetamol® secara
iintravena. Dan setelah itu sampel darah mulai diambil pada menit 30 dan 60, masing-
masing sebanyak 0,5 mL. Darah yang diperoleh kemudian disentrifuge selama 10
menit.
Adapun prinsip kerja dari alat sektrofotometer yaitu adanya iinteraksi dari sampel
lebih tinggi dan pada keadaan ini adalah titik stabil dan akan kembali ketingkat normal
Dari data tersebut diatas, diperoleh parameter farmakokinetik dari obat yang
telah diujikan, dimana diperoleh tetapan laju eliminasi (Ke)=0,863 jam-1 yang
merupakan nilai yang menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik
meningkatnya konsentrasi obat,dengan kata lain makin tinggi kadar obat dalam plasma
11,497 jam, yaitu waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik
dosis. Untuk nilai tetapan laju absobsi (Ka) adalah 1,201 jam-1, dimana nilai ini
sistemik.Nilai ini merupakan hasil dari kecepatan disolusi obat dari bentuk sediaannya,
dan bila terjadi hambatan dalam proses absobsi, maka akan diperoleh nilai Ka yang
lebih kecil. .Selain itu untuk nilai volume distribusi (Vd) di peroleh 71626,658 mL yang
tubuh yang terlarut sempurna. Dan untuk Tmax dari percobaan ini diperoleh 4,115
jam yaitu waktu dimana waktu obat mencapai konsentrasi plasma maksimum dalam
tubuh, dimana nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam system sirkulasi sistemik
mencapai puncak. Nilai Cp maks yaitu 0,432 µg/mL dimana Cp maks adalah
konsentrasi maksimal dalam plasma darah. Sedangkan nilai AUC total diperoleh 99,733
g jam/ml yang merupakan nilai yang menggambarkan berapa banyak obat yang
diabsorsi dari sejumlah obat yang diberikan atau jumlah yang menggambarkan
biovailabilitas suatu obat yakni jumlah obat yang mencapai system sirkulasi sistemik
dapat dijadikan sebagai acuan parameter farmakokinetik untuk obat yang diberikan
PENUTUP
VI.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil perhitungan dari data obat yang diberikan secara oral,
Karena hasil dari % AUC ektrapolasi kurang dari 20% maka parameter ini bisa di
anggap sebagai parameter karena memenuhi persyaratan dimana % AUC kurang dari
20 %
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswarna S.,G. 2005. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Universitas Indonesia. Jakarta.
Mycek., Mary J. 2004. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi2. Penerbit : Widya Medika. Jakarta.
Olson. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.
R. Voight. 1995. Buku Tekhnologi Sediaan Farmasi. Universitas Gadjah Mada. Jakarta.
Tan., H., T. 2002. Obat-Obat Penting Edisi IV. Cetakan ke-2. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.
Wattimena. 1987. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada Universitas Press.
Yogyakarta.