Anda di halaman 1dari 24

Biofarmasetika merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antara sifat

fisikokimia formulasi obat dengan ketersediaan hayati obat. Sedangkan ketersediaan

hayati menyatakan kecepatan dan jumlah obat aktif yang mencapai sirkulasi sistemik.

Karena biofarmasetika berperan dalam mengatur pelepasan obat ke sirkulasi sistemik

maka ketersediaan hayati mempunyai makna terapetik dan toksik (Sukri, 2002).

Bioavaibilitas bahan aktif dalam suatu bentuk sediaan tergantung pada

beberapa faktor yang meliputi antara lain (Ansel, 2004) :

a) disintegrasi produk obat dan pelepasan partikel obat aktif

b) pelarut obat

c) absorbsi atau permeasi obat melintasi membran sel .

Bioavailabilitas dapat diukur in vitro (pada keadaan sesungguhnya dari pasien)

dengan menentukan kadar plasma obat sesudah tercapai steady state. Pada keadaan

terjadi keseimbangan antara kadar obat disemua jaringan tubuh, dan kadar darah

praktis konstan karena jumlah yang diserap dan yang dieliminasi adalah sama. Antara

kadar plasma dan efek terapeutik pada umumnya terdapat suatu korelasi yang baik.

Pengecualian adalah pada misalnya obat hipotensi yang masih berefek, walaupun

kadarnya dalam plasma sudah tidak dapat diukur lagi (Tan, H. T, 2002).

Sebaliknya, FA hanya dapat ditentukan in vitro dalam laboratorium dengan

mengukur kecepatan melarutnya zat aktif dalam waktu tertentu (dissolution rate).

Pengukuran ini dilakukan dengan metode dan alat khusus menurut USP XVIII guna

meniru sejauh mungkin keadaan alami dalam saluran lambung-usus. Sayang sekali

cara penentuan yang mudah dan praktis ini hasilnya jarang menunjukkan korelasi

dengan kadar obat dalam plasma in vivo, yang lebih sukar pelaksanaannya. Oleh
karena itu pengetian bioavailabilitas (BA) lebih disukai dan sudah lazim penggunannya

(Tan, H. T, 2002).

Ketersediaan hayati adalah fraksi obat yang diberikan yang mencapai sirkulasi

sistemik. Ketersediaan hayati dinyatakan sebagai fraksi dari obat yang diberikan yang

masuk ke sirkulasi sistemik dalam suatu bentuk yang secara kimiawi berubah. Misalnya

jika 100 mg obat diberikan peroral dan 70 mg dari obat ini diabsorbsi dalam bentuk

tidak berubah, maka ketersediaan hayatinya 70% (Mycek, 2004).

Tujuan terapi obat adalah mencegah, menyembuhkan atau mengendalikan

berbagai keadaan penyakit. Untuk mencapai tujuan ini, dosis obat yang cukup harus

disampaikan kepada jaringan target sehingga kadar terapeutik (tetapi tidak toksik)

didapatkan. Rute pemberian obat terutama ditentukan oleh sifat obat ( seperti kelarutan

dalam air atau lipid, ionisasi dsb) dan oleh tujuan terapi (misalnya keinginan akan suatu

awitan kerja obat yang cepat atau kebutuhan akan pemberian jangka panjang atau

terbatas pada suatu tempat lokal). Terdapat dua rute pemberian obat yang utama

enteral dan parenteral (Mycek , 2004).

Sifat formulasi obat yaitu absorbsi obat bisa diubah oleh beberapa faktor yang

tidak berhubungan dengan sifat fisika kimia obat. Sebagai contoh ukuran partikel,

bentuk garam polimorfisme kristal, dan keberadaan exipient (seperti zat-zat pengikat

atau penyebar) dapat mempengaruhi kemudahan pemecahan obat, dan karena itu,

mengubah kecepatan absorbsi (Mycek, 2004).

Faktor-faktor farmasetik yang mempengaruhi bioavaibilitas obat. Untuk

merangcang suatu produk obat yang akan melepaskan obat aktif dalam bentuk yang

paling berada dalam sistemik, farmasi harus mempertimbangkan (Ansel, 2004).


1. Jenis produk obat;

2. Sifat bahan tambahan dalam produk obat;

3. Sifat fisikokimia obat itu sendiri.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi konsentrasi obat pada setiap sisi suatu

membran adalah afinitas obat terhadap komponen jaringan, yang mencegah obat

bergerak kembali dengan bebas lewat membran sel. Transport aktif adalah proses trans

membran yang di perantarai oleh pembawa yang memainkan peran penting dalam

sekresi ginjal dan bilier dari berbagai obat dan metabolit. Difusi yang dipermudah juga

merupakan system transport yang diperantarai pembawa, berbeda dengan transport

aktif, obat bergerak karena perbedaan konsentrasi (Ansel, 2004).

Faktor formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh adalah (Tan, H.

T, 2002).

a. Bentuk fisik zat aktif (amorf atau kristal, kehalusannya),

b. Keadaan kimiawi(ester, garam, kompleks dan sebagainya)

c. Zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin dan sebagainya)

d. Proses teknik yang digunakan untuk membuat sediaan (tekanan mesin tablet, alat

emulgator dan sebagainya)

Zat pengikat (pada tablet) dan zat pengental (suspensi) seperti gom, gelatin,

dan tajin umumnya juga memperlambat larutnya obat, sedangkan zat desintegrasi

(berbagi jenis tepung, amilum) justru mempercepat. Akhirnya semakin keras

pencetakan tablet yang disimpan lama sering kali mengeras dan lebih sukar melarut

(Tan, H. T, 2002).
Saat obat didistribusikan dalam tubuh, obat mengadakan kontak dengan

sejumlah membran. Obat-obatan melalui beberapa membran tetapi membran lainnya

tidak (Tan, H. T, 2002).

Ada dua faktor yaitu (Olson, 2004) :

1. Faktor-faktor terkait obat

Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi meliputi keadaan ionisasi, berat molekul,

kelarutan dan formulasi. Obat-obat yang kecil, tak terionisasi, larut dalam lemak

menembus membran plasma paling mudah.

2. Faktor-faktor terkait pasien

Faktor ini yang mempengaruhi absorbsi obat tergantung pada cara pemberiannya.

Sebagai contoh, adanya makanan dalam saluran pencernaan, keasaman lambung, dan

aliran darah ke saluran pencernaan mempengaruhi absorbsi obat-obatan oral.

Kecepatan absorbsi obat bentuk padat ditentukan oleh kecepatan disintegrasi

dan disolusinya sehingga tablet yang dibuat oleh pabrik yang berbeda dapat berbeda

pula bioavailabilitasnya. Adakalanya sengaja dibuat sediaan yang waktu disolusinya

lebih lama untuk memperpanjang masa absorbsi sehingga obat dpat diberikan dengan

interval lama. Sediaan ini disebut sediaan lepas lambat (Sustained release). Obat yang

dirusak oleh asam lambung atau yang menyebabkan iritasi lambung sengaja dibuat

tidak terdisintegrasi dilambung yaitu sebagai sediaan salut enteric (enteric coated)

(Ganiswara, 2005).

Profil keberadaan bahan obat di dalam darah sebagai fungsi dari waktu disebut

pula profil bioavailabilitas atau profil ketersediaan hayati. Profil ini menggambarkan

interaksi antara fase ketersediaan zat aktif dan fase disposisinya. Selain itu profil
tersebut juga mengungjapkan nasib obat di dalam tubuh yang tidaak diketahui

sebelumnya. Oleh karena fenomena difusi zat aktif dari darah menuju jaringan terjadi

secara bolak balik (reversibel), maka selalu terjadi hubungan dinamik antara

konsentrasi zat aktif dalam jaringan dan konsentrasi zat aktif dalam darah. Selanjutnya

hal ini digunakan sebagai titik tolak orientasi (Hamita, 2006).

Apabila seseorang menerima obat berarti ia mendapatkan zat aktif yang

diformula dalam bentuk sediaan dan dengan dosis tertentu. Obat pada mulanya

merupakan depot zat aktif yang jika mencapai tempat penyerapan akan segera diserap

(Drug delivery sistem dengan istilah anglo-sakson). Proses pelepasan zat aktif dari

bentuk sediaan cukup rumit dan tergantung pada jalur pemberian dan bentuk sediaan,

serta dapat terjadi secara cepat dan lengkap. Pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh

keadaan lingkungan biologis dan mekanis pada tempat pemasukan obat, misalnya

gerak peristaltik usus, dan hal ini penting untuk bentuk sediaan yang keras atau yang

kenyal (tablet, suppositoria dan lain-lain (Wattimena, 1987).

Salah satu tujuan pokok dari pemahaman ketersediaan hayati adalah

menjelaskan adanya perbedaan efek terapetik dari sediaan obat yang mengandung zat

aktif dengan dosis lazim yang sama. Notasi yang sama bila diterapkan pada konsep

dan pengembangan dari sediaan obatbaru, memungkinkan pemilihan bentuk sediaan

yang didasarkan pada kriteria yang tepat dan yang dapat diterapkan secara optimal

pada masalah terapetik. Penerapan aktivitas suatu obat, sebagai fungsi dari

efektifitasnya dan keamanan merupakan suatu masalah yang rumit, tetapi pemahaman

tentang faktor-faktor yang mempengaruhi aktivitas obat dapat membantu menemukan

cara penyelesaiannya. Jadi dari sejumlah faktor-faktor tersebut dapat dicari faktor-faktor
yang berperan dan diperlukan oleh seorang formulator untuk membuat suatu

obat (Hamita, 2006).

Cara pemberian obat peroral merupakan cara pemberian obat yang paling

umum dilakukan karena mudah dan murah. Kerugiannya adalah banyak faktor yang

mempengaruhi bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna dan perlu kerja

sama dengan penderita serta tidak dapat dilakukan pada pasien koma. (Wattimena,

1987).

Dari bentuk kerja obat yang digambarkan, jelas bahwa ini tidak hanya

bergantung pada sifat farmakodinamika bahan obat, tetapi juga (dan memang dalam

jumlah besar) tergantung pada (Mycek, 2004) :

1. Bentuk sediaan dan bahan pembantu yang digunakan

2. Jenis dan tempat pemberian

3. Keterabsorbsian dan kecepatan absorbsi

4. Distribusi dalam organisme

5. Ikatan dan lokalisasi dalam jaringan

6. Biotransformasi (proses metabolisme)

7. Keterekskresian dan kecepatan ekskresi, yakni parameter farmaseutika dan

farmakokinetika.

Definisi ketersediaan hayati menyangkut proses masuknya zat aktif ke dalam

tubuh dan dapat mencerminkan perubahan zat aktif ke dalam tubuh dan dapat

mencerminkan perubahan zat aktif tersebut dalam darah. Apresiasi langsung definisi

tersebut tidak terlalu mungkin, tetapi peneliti harus berusaha menggunakan berbagai
cara untuk mendekati definisi tersebut, walau interpretasi data menjadi lebih rumit

(Shargel, 2012).

Studi bioavailabilitas dilakukan baik terhadap bahan obat aktif yang telah

disetujui maupun terhadap obat dengan efek terapeutik yang belum disetujui oleh FDA

untuk dipasarkan. Formula baru dari bahan obat aktif atau bagian terapeutik sebelum

dipasarkan harus disetujui oleh FDA. FDA dalam menyetujui suatu produk obat tersebut

aman dan efektif sesuai label indikasi penggunaan. Selain itu, produk obat juga harus

memenuhi seluruh standar yang digunakan dalam identitas, kualitas, dan kemurnian.

Untuk meyakinkan bahwa standar-standar tersebut telah terpenuhi, FDA menghendaki

studi bioavailabilitas farmakokinetik (Shargel, 2012).

Evaluasi ketersediaan hayati suatu obat atau berbagai bentuk sediaan farmasi

dengan zat aktif yang sama mempunyai tiga tujuan, yaitu (Shargel, 2012) :

a. Dalam rangka pengembangan obat baru; untuk menentukan cara pemberian dan

bentuk sediaan suatu obat baru.

b. Setelah keputusan dibuat obat baru; untuk menetapkan mutu suatu obat dan

pengaturan kondisi pemakaian obat sebagai fungsi dari keadaan penderita.

c. Berkaitan dengan undang-undang ; untuk memastikan kekuatan suatu obat yang diteliti

dengan mutu obat sejenis lokal yang dihasilkan oleh pabrik lain, sehingga memastikan

pergantian obat.

Yang dimaksud dengan ketersediaan biologi (bioavailabilitas) bahan obat dari

mutu sediaan adalah laju dan besarnya bahan obat (dalam bentuk tak berubah) yang

berhasil mencapai pembuluh darah atau tempat kerja (menurut definisi, ketersediaan

biologi pada pemberian intravena adalah 100%) kalau dahulu dianggap bahwa tak
bergantung kepada sediaan galenik, dosis yang sama, sekarang diketahui bahwa

ketersediaan biologi dan dengan demikian khasiat obat dari sediaan dagang yang satu,

ke sediaan yang lain dapat sangat beragam. Ini khusus berlaku untuk senyawa yang

sukar larut. Sebagai contoh bahan obat, yang menunjukkan perbedaan besar dalam

ketersediaan biologi pada berbagai sediaan dagang telah disebutkan asam asetil

salisilat, aluprinol, kloramfenikol, digoksi, dan tertasiklin (Mycek, 2004).

Ketersediaan hayati merupakan suatu penerapan baru yang kegunaannnya

tidak perlu diragukan lagi. Penerapan ketersediaan hayati berkembang dalam dua arah

yaitu (Shargel, 2012) :

a. Farmasi klinik yang berkaitan dengan rasionalisasi keadaan individu penderita, artinya

penyesuaian posologi yang tepat terhadap penderita, dengan mempertimbangkan

perubahan farmakokinetik in-vivo, baik karena interaksi obat maupun karena perubahan

fungsi fisiologik.

b. Farmaseutik yang berkaitan dengan rasionalisasi pengembangan suatu obat, yaitu

penyesuaian optimal jalur pemberian obat dan bentuk sediaan terhadap karakteristik

farmakokinetik zat aktif.

Bioavailability (BA) adalah persentase obat yang diresorpsi tubuh dari suatu

dosis yang diberikan dan tersedia, untuk melakukan efek terapeutisnya. Di beberapa

negara (AS, Jerman), BA mencakup pula kecepatan dengan mana obat muncul di

sirkulasi darah. Biasanya, efek obat baru mulai nampak sesudah obat melalui sistem

pembuluh porta serta hati dan kemudian tiba di peredaran darah besar yang

mendistribusikannya ke seluruh jaringan (Tan, H. T, 2002).


Istilah Biofarmasi diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1961

(Farmaseutik). Biofarmasi di satu sisi mencakup hubungan antara sifat fisika kimia

farmakon dengan sediannya, disisi lain dengan kerja biologisnya, dimana farmakon

dapat berada dalam bentuk sediaan yang berlainan (R. Voight, 1995).

B. Uraian Hewan Coba

1. Klasifikasi Hewan Coba (Jasin, 1992)

Tikus (Rattus norvegicus)

Kingdom : Animalia

Phylum : Cordata

Sub Phylum : Vertebrata

Class : Mamalia

Ordo : Rodentia

Family : Muridae

Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

C. Uraian Bahan

1. Air suling (Ditjen POM,1979 : 96)

mi : AQUA DESTILLATA

n : Air suling

: H2O/18,02

: Cairan jernih tidak berwarna, tidak berbau, tidak mempunyai rasa.

nan : Dalam wadah tertutup rapat

n : Sebagai pelarut
2. Na.CMC (Ditjen POM, 1979 : 401)

mi : NATRII CARBOXYMETHYLCELLULOSUM

n : Natrium Karboksimetilselulosa

: Serbuk atau butiran ; putih atau putih gading ; tidak berbau atau hamper tidak berbagu

; higroskopik

: Mudah mendispersi dalam air, membentuk suspense koloidal ; tidak larut dalam etanol

(95%) P, dalam eter P dan dalam pelarut organik lain

nan : Dalam wadah tertutup rapat

n : Sebagai pelarut

3. Paracetamol (Ditjen POM, 1979 : 37)

mi : ACETAMINOPHENUM

n : Acetaminofen, Paracetamol

: Hablur atau serbuk hablur putih ; tidak berbau; rasa pahit

: Larut dalam 70 bagian air, dalam 7 bagian etanol (95%) P, dalam 13 bagian aseton P,

dalam 40 bagian gliserol P dan dalam 9 bagian propilenglikol P ; larut dalam larutan

alkali hidroksida

nan : Dalam wadah tertutup baik, terlindung dari cahaya

n : Sebagai obat

4. Alkohol (Ditjen POM, 1979 : 65)

mi : AETHANOLUM

n : Etanol, Alkohol

: Cairan tak berwarna, jernih, mudah menguap dan mudah bergerak; bau khas; rasa

panas. Mudah terbakar dengan memberikan nyala biru yang tidak berasap
: Sangat mudah larut dalam air, dalam kloroform P dan dalam eter P

nan : Dalam wadah tertutup rapat, terlindung dari cahaya; tempat sejuk, jauh dari nyala api
BAB III

METODE KERJA

A. Alat yang Digunakan

Adapun alat-alat yang digunakan percobaan ini yaitu Gunting Bedah, Spoit 1 ml,

Spoit 3 ml, Spoit 5 ml, Sentrifuge, Spektrofotometri, Timbangan, Tabung eppndorf dan

Vial

B. Bahan yang digunakan

Bahan-bahan yang digunakan pada percobaan ini yaitu Alkohol, Aquades, Betadine,

Na.CMC, Kapas, Parasetamol, dan Plester.

C. Cara Kerja

1. Penyiapan Hewan

a. Hewan coba dimandikan sehari sebelum dilakukan percobaan.

b. Hewan coba hendaknya dipuasakan selama 6-8 jam sebelum percobaan

c. Sebelum digunakan hewan tersebut harus terlebih dahulu ditimbang

d. Diberikan tanda pada bagian tertentu dari hewan coba untuk menyatakan berat, nomor

hewan coba dsb.

2. Perlakuan hewan coba

a. Disiapakan alat dan bahan yang akan digunakan dan hewan coba tikus (Rattus

norvegicus)

b. Diambil darahnya sebanyak sebanyak 0,5 ml (ditempatkan pada tabung eppendorf)

c. Diinjeksikan Paracetamol
d. Diamkan selama 30 menit

e. Kemudian diambil darahnya 0,5 mL setiap 30 menit yaitu pada menit ke-30 dan 60

f. Disentrifugasi selama 10 menit

g. Dihitung absorbansinya pada spektrofotometer

h. Dicatat datanya

i. Dihitung parameter farmakokinetiknya


BAB IV

DATA PENGAMATAN

A. Tabel Pengamatan

Data kurva baku


C ABSORBAN

2 0.417
4 0.721
6 0.935
8 1.425
10 1.655
Data sampel
Waktu (jam) ABSORBAN

2 0.517
4 0.671
6 0.732
8 0.999
10 1.031
12 1.375
14 1.480
16 0.981
18 0.870
20 0.432
 Perhitungan

C ABSORBAN

2 0.417
4 0.721
6 0.935
8 1.425
10 1.655

Nilai : a = 0.076
b = 0.159
r = 0.997

 untuk mencari nilai Cp maka digunakan persamaan berikut :

y=

= = 2.773

= = 3.742

= = 4.125

= = 5.805

= = 6.006

= = 8.169

= = 8.830

= = 5.691

= = 4.993

= = 2.238

Waktu (jam) ABSORBAN Cp Log Cp


2 0.517 2.773 0.442

4 0.671 3.742 0.573

6 0.732 4.125 0.615

8 0.999 5.805 0.763

10 1.031 6.006 0.778

12 1.375 8.169 0.912

14 1.480 8.830 0.945

16 0.981 5.691 0.755

18 0.870 4.993 0.698

20 0.432 2.238 0.349

 Menentukan orde, diambil tiga (3) data terakhir dari tabel data sampel :

Orde 0 (nol) Orde 1 (satu)

a= 19.845 a= 2.427

b= -0.863 b= -0.101

r = -0.945 r = 0.923

mengikuti orde 0 (nol), karena mendekati -1

 Menentukan parameter-parameter oralnya :

a) Ketetapan eliminasi (k)

k = -b

= - (-0.863)

= 0.863 jam-1

b) Waktu paruh ( )

) = = = 11,497 jam

c) Ketetapan absorbsi (Ka)


T Cp lama Cp baru Cp Dift

2 2.773 18,128 15,355

4 3.742 16,402 12,66

6 4.125 14,676 10,551

Untuk mendapatkan nilai Cp baru, maka digunakan persamaan y = a + bx dan untuk

mendapatkan nilai Cp dift, maka nilai Cp baru dikurang dengan nilai Cp lama (Cp baru –

Cp lama).

y (2) = a + bx

= 19,854 + (-0,863) . 2

= 18,128

y (4) = a + bx

= 19,854 + (-0,863) . 4

= 16,402

y (6) = a + bx

= 19,854 + (-0,863) . 6

= 14,676

Nilai orde 0 (nol) didapatkan dari t vs Cp Dift

a =17,654 b = -1,201 r = -0,997

Ka = -(-1,201)

= 1,201 jam-

d) Waktu maksimal (t maks)


t maks =

= 4,115 jam

e) Volume distribusi (Vd)

Dosis obat = 500 mg = 500000 µg

Vd =

= 71626,658 ml

f) Cp maksimal (Cp maks)

Cp maks = [A.Ҽ-k.t maks ] - [B Ҽ-ka.t maks ]

= [19,845 . Ҽ-0,863 x 4,115 ] - [17,654 . Ҽ-1,201 x 4,115 ]

= [19,845 . Ҽ-3,551 ] - [17,654 . Ҽ-4,942]

= [19,845 . 0.028 ] - [17,654 . 0,007]

= 0,555 – 0,123

= 0,432 µg/ml

g) AUC ( Area Under Curva)

a) =

= µg jam/ml

= µg jam/ml

= µg jam/ml

= µg jam/ml

= µg jam/ml

= µg jam/ml
= µg jam/ml

= µg jam/ml

= µg jam/ml

AUC = 99,733 µg jam/ml

b) = = 2,593 µg jam/ml

c) = = = =6,471 µg jam/ml

d) = x 100 %

x 100%

B. Pembahasan

Farmakokinetik mempelajari tentang kinetika absorbsi obat, distribusi dan

eliminasi (yaitu absorbsi dan metabolisme). Pada percobaan ini, tujuannya adalah untuk

mempelajari distribusi obat di dalam tubuh yang diberikan secara intravena dan

menentukan volume distribusinya.

Adapun beberapa parameter farmakokinetik pemberian obat secara oral yaitu Ka

(tetapan laju absorbsi), Ke (tetapan laju eliminasi), t½ (waktu paruh), Vd (volume

distribusi), AUC (Area di bawah kurva).


Pada percobaan ini dilakukan dengan menggunakan tikus yang sebelum diberi

perlakuan terlebih dahulu dicukur bulu bagian telinganya agar vena marginalisnya lebih

tampak dan pada saat pengambilan darah dapat cepat berlangsung tanpa dihambat

oleh adanya bulu-bulu disekitar pengambilan darah.

Dalam percobaan ini dilakukan penetapan satuan parameter farmakokinetik

suatu obat setelah pemberian dosis tunggal secara oral. Dimana ketika obat diberikan

secara oral, dapat menunujukan hubungan dinamik antara obat, produk obat, dan efek

farmakologi, dimana pertama-tama akan mengalami pelepasan obat dan pelarutan,

selanjutnya mengalami absorbsi masuk kedalam sistem sirkulasi sistemik. Pada proses

ini akan terjadi dua keadaan, yaitu keadaan pertama obat yang akan dieliminasi,

dieksresi, dan dimetabolisme, dan keadaan yang kedua, obat dari sirkulasi sistemik

masuk kedalam jaringan dan akan memberikan efek farmakologi atau klinik.

Sebelum tikus diberikan obat secara oral, dilakukan pengambilan sampel darah

awal yang merupakan blangko. Blangko ini bukan sebagai perbandingan didalam

melihat pengaruh pemberian terhadap kadar obat di dalam plasma tetapi sebagai

sampel agar spektrofotometer mengenali sampel yang akan diuji. Daerah sekitar

tempat pengambilan darah diolesi dengan alcohol dan juga betadine sebagai antiseptic

agar tidak terjadi infeksi.

Setelah pengambilan blangko hewan coba diberi obat yaitu parasetamol® secara

iintravena. Dan setelah itu sampel darah mulai diambil pada menit 30 dan 60, masing-

masing sebanyak 0,5 mL. Darah yang diperoleh kemudian disentrifuge selama 10

menit.
Adapun prinsip kerja dari alat sektrofotometer yaitu adanya iinteraksi dari sampel

dengan radiasi elektromagnetik sehingga sampel mengalami eksitasi ketingkat yang

lebih tinggi dan pada keadaan ini adalah titik stabil dan akan kembali ketingkat normal

dengan memancarkan energi-energi ini terukur pada alat spektrofotometer. Mekanisme

sentrifuge yaitu pemisahan supernatan dengan menghomogenkan campuran dan

didapatkan hasil yang jernih sehingga didapatkan supernatan.

Dari data tersebut diatas, diperoleh parameter farmakokinetik dari obat yang

telah diujikan, dimana diperoleh tetapan laju eliminasi (Ke)=0,863 jam-1 yang

merupakan nilai yang menunjukkan laju penurunan kadar obat setelah proses kinetik

mencapai keseimbangan, dimana eliminasi obat akan meningkat kecepatannya dengan

meningkatnya konsentrasi obat,dengan kata lain makin tinggi kadar obat dalam plasma

makin banyak obat yang dieliminasikan. Selanjutnya diperoleh waktu paruh(t ½ ) =

11,497 jam, yaitu waktu yang diperlukan agar kadar obat dalam sirkulasi sistemik

berkurang menjadi setengahnya, digunakan secara klinis untuk menyesuaikan interval

dosis. Untuk nilai tetapan laju absobsi (Ka) adalah 1,201 jam-1, dimana nilai ini

menggambarkan kecepatan absorbsi dari obat yang masuk ke dalam sirkulasi

sistemik.Nilai ini merupakan hasil dari kecepatan disolusi obat dari bentuk sediaannya,

dan bila terjadi hambatan dalam proses absobsi, maka akan diperoleh nilai Ka yang

lebih kecil. .Selain itu untuk nilai volume distribusi (Vd) di peroleh 71626,658 mL yang

merupakan faktor yang diperhitungkan dalam memperkirakan jumlah obat dalam

tubuh yang terlarut sempurna. Dan untuk Tmax dari percobaan ini diperoleh 4,115

jam yaitu waktu dimana waktu obat mencapai konsentrasi plasma maksimum dalam

tubuh, dimana nilai ini menunjukkan kapan kadar obat dalam system sirkulasi sistemik
mencapai puncak. Nilai Cp maks yaitu 0,432 µg/mL dimana Cp maks adalah

konsentrasi maksimal dalam plasma darah. Sedangkan nilai AUC total diperoleh 99,733

g jam/ml yang merupakan nilai yang menggambarkan berapa banyak obat yang

diabsorsi dari sejumlah obat yang diberikan atau jumlah yang menggambarkan

biovailabilitas suatu obat yakni jumlah obat yang mencapai system sirkulasi sistemik

yang secara utuh memberikan efek.

Adapun % AUC ekstrapolasi yang diperoleh adalah 2,599%, parameter ini

dapat dijadikan sebagai acuan parameter farmakokinetik untuk obat yang diberikan

secara oral karena nilainya berada dibawah 20%.


BAB V

PENUTUP

VI.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil perhitungan dari data obat yang diberikan secara oral,

diperoleh parameter farmakokinetik sebagai berikut :

1. Tetapan laju eliminasi (Ke) = 0,863 jam-1

2. Waktu paruh (t ½) = 11,497 jam

3. Tetapan laju Absorbsi (Ka) = 1,201 jam-1

4. T maks = 4,115 jam

5. Volume distribusi (Vd) = 71626,658 mL

6. Cp maks = 0,432 µg/mL

7. AUC total = 99,733 g jam/ml

8. % AUC Ekstrapolasi = 2,599 %

Karena hasil dari % AUC ektrapolasi kurang dari 20% maka parameter ini bisa di

anggap sebagai parameter karena memenuhi persyaratan dimana % AUC kurang dari

20 %
DAFTAR PUSTAKA

Ansel. 2004. Pengenalan Bentuk Sediaan Farmasi. UI Press. Jakarta

Ganiswarna S.,G. 2005. Farmakologi dan Terapi Edisi IV. Universitas Indonesia. Jakarta.

Harmita. 2006. Kimia Medisinal. Farmasi FMIPA Universitas Indonesia. Jakarta.

Mycek., Mary J. 2004. Farmakologi Ulasan Bergambar Edisi2. Penerbit : Widya Medika. Jakarta.

Olson. 2004. Belajar Mudah Farmakologi. Penerbit buku kedokteran EGC. Jakarta.

R. Voight. 1995. Buku Tekhnologi Sediaan Farmasi. Universitas Gadjah Mada. Jakarta.

Shargel. 2012. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press.


Surabaya.

Sukri. 2002. Biofarmasetika. Tim UI Press : Yogyakarta.

Tan., H., T. 2002. Obat-Obat Penting Edisi IV. Cetakan ke-2. Departemen Kesehatan RI.
Jakarta.

Wattimena. 1987. Farmakodinamik dan Terapi Antibiotik. Gajah Mada Universitas Press.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai