PENDAHULUAN
Gambar.1 Poliovirus
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut,
yang dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita.
Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3
menyebabkan epidemic ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic
sporadic.
Poliovirus cukup kuat dan bisa bertahan aktif selama beberapa hari
dengan suhu kamar, dan bias tersimpan dalam wujud beku -20oC. Poliovirus
menjadi tidak aktif bila terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar
ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di berbagai biakkan jaringan dan
mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun
dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk
sulfonamide, antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan
gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan
pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganate.
Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun virus juga terdapat
pada sampah atau lalat.
Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat
kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari.
2.3 Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat
transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat,
eliminasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar
di seluruh dunia, kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada
transmisi virus polio liar yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir
virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi
polio yang tanpa gejala.
Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara
dramatis terjadi penurunan jumlah kasus di negara maju. Di Amerika Serikat,
angka kejadian turun dari 17,6 kasus poliomielitis per 10.000 penduduk di
tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972
kejadiannya <0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun.1,2,6,7
Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi
untuk menghapus polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat
sekitar 350 ribu kasus polio di seluruh dunia. Meskipun pada tahun 2000 polio
belum terbasmi, tetapi jumlah kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500.
Polio tidak ada lagi di Asia Timur, Amerika Latin, Timur Tengah atau
Eropa.6,8,9
Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004 angka infeksi
polio meningkat menjadi 1.185 kasus di 17 negara dari 784 di 15 negara pada
tahun 2003. Sebagian penderita berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika.
Nigeria memiliki 763 penderita, India 129, dan Sudan 112 kasus. Pada tahun
2006 ditemukan kasus liar poliovirus tipe I di Kenya, pada saat itu ditemukan
216 kasus yang dibawa oleh pendatang dari Somalia yang merupakan negara
tetangga dari Kenya.10
Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan
bebas polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat
dan dalam waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan
2 provinsi di Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus
ini yang diambil dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah
Sukabumi, dan ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan
virus impor strain Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur
Tengah dan juga menjadi penyebab terjadinya outbreak di Indonesia.
Transmisi virus polio liar tertinggi terjadi dari bulan Mei – Juni tahun 2005
dan transmisi rendah mulai bulan Oktober 2005. Ditemukan jumlah kasus
polio liar mencapai 305 penderita tersebar di 47 kabupaten. Selain itu juga
ditemukan 46 kasus VDPV dimana 45 kasus terjadi di Pulau Madura (4
kabupaten) dan 1 kasus di probolinggo.
Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN)
yang intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya
ditemukan 2 kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di
Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari
2006. Dua setengah tahun setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru
yang dilaporkan.(7,8,9)
Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis (diambil dari
http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM1_13/S1462399499
000848sup022.gif)
2.4 Patogenesis
Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus berkembang
biak pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah,
virus tahan terhadap asam lambung, maka bisa mencapai saluran cerna bawah
tanpa melalui inaktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke
jaringan limfe dan pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring
setelah 24 jam sampai 3-4 minggu.
Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi
membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi
dan cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang
ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus
tersebut. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan zat
anti, maka akan timbul viremia dan gejala klinis.
Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus ini.
Virus polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung
polioviruses receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu kurang dari 3
jam. Sekali terjadi perlekatan antara virion dan replikator, pelepasan virion
baru hanya butuh 4-5 jam saja.
Virus yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada monosit
dan kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bias dihambat oleh
secretory IgA local. Kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat
langsung dari multiplikasi virus di jaringan patognomik, namun ridak semua
saraf yang terkena akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi sebagian
disebabkan karena sprouting dan seolah kembali seperti sediakala dalam
waktu 3-4 minggu setelah onset., Terdapat kelainan dan infiltrasi interstisiel
sel glia.(1,5)
Diagnosis banding :
Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak ada
pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam reumatik
akut, osteomielitis.
Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas, dapat
dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola mata
Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya diawali
demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan, bilateral simetris,
pada fase permulaan likuor serebrospinalis SGB protein meningkat
sedangkan Poliomielitis pleiositosis, SGB bias sembuh tanpa gejala
sisa, SGB ada gangguan sensorik
Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis dan
kelelahan disertai rasa nyeri).(2,7,8)
Gambar. 6 Gambar penderita Poliomielitis
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
b. Bentuk bulbar
terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga
terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan
makan, kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang
terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana
kelainan saraf lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki.
Perbaikan secara klinik terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan
diambil oleh neuron yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh
otot lain atau perbaikan sisa otot yang masih berfungsi.
Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi
2.8 Prognosis
Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika
tidak mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat
mungkin. Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralysis
atau kematian (biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih
sering mengakibatkan disabilitas daripada kematian.
Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya . Pada pasien
dengan polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap
selama 2-10 hari, lalu sembuh total.(8,9)
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada kasus
polio spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya, paralysis akan
permanent. Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi sementara akan
kembali setelah 4-6 minggu setelah onset. 50% dari penderita polio spinal
sembuh total, 25% dengan disabilitas ringan, 25% dengan disabilitas berat.
Perbedaan residual paralysis ini tergantung derajat viremia, dan imunitas
pasien. Jarang polio spinal yang bersifat fatal. Bentuk spinal dengan paralysis
pernafasan dapat ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tanpa
bantuan ventilasi, kasus yang melibatkan system pernafasan, menyebabkan
kesulitan bernafas atau pneumonia aspirasi. Keseluruhan, 5-10% pasien
dengan polio paralysis meninggal akibat paralysis otot pernafasan. Angka
kematian bervariasi tergantung usia 2-5% pada anak-anak, dan hingga 15-
30% pada dewasa.
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan
fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering
mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat
bantu nafas angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan
positif tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%.Otot-otot yang
lumpuh dan tidak pulih kembali menunjukkan paralysis tipe flasid dengan
atonia, arefleksia, dan degenerasi.
Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama sendi,
subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh
sirkulasi yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan
ini diberikan pengobatan secara ortopedik.(6,7)
Post Polio Syndrome (PPS)
Sekitar 25% individual yang pernah mengalami polio paralitik
mendapatkan gejala tambahan beberapa decade setelah sembuh dari infeksi
akut, merupakan bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) sejak infeksi akut.
Gejala utamanya kelemahan otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren
atau paralysis baru, nyeri otot yang luar biasa. Kondisi ini disebut post polio
syndrome (PPS). Gejala PPS diduga akibat kegagalan pembentukan over-
sized motor unit pada tahap penyembuhan dari fase paralitiknya. Walau
demikian bagaimana patogenesisnya masih belum diketahui. Faktor yang
meningkatkan resiko PPS antara lain jangka waktu sejak infeksi akutnya,
kerusakan residual permanent setelah penyembuhan dari fase akut, dan kerja
neuron yang berlebihan.(3,4)
2.9 Vaksinasi Polio
a. Eliminasi Polio
Eliminasi (elimination) penyakit merupakan upaya intervensi
berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi dan prevalensi suatu
penyakit sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Upaya
intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan tingkat nol.
Contoh: eliminasi tetanus neonatorum, poliomyelitis, di suatu wilayah.
Eliminasi infeksi merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang
bertujuan menurunkan insidensi infeksi yang disebabkan oleh suatu agen
spesifik sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Eliminasi
infeksi bertujuan memutus transmisi (penularan) penyakit di suatu wilayah.
Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mencegah terulangnya
transmisi. Contoh: eliminasi campak, poliomielitis, dan difteri. Eliminasi
penyakit/ infeksi di tingkat wilayah merupakan tahap penting untuk
mencapai eradikasi global.5,6
Untuk mempercepat eliminasi penyakit polio di seluruh dunia, WHO
membuat rekomendasi untuk melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
Indonesia melakukan PIN dengan memberikan satu dosis polio pada bulan
September 1995, 1996, dan 1997. Pada tahun 2002, PIN dilaksanakan
kembali dengan menambahkan imunisasi campak di beberapa daerah.
Setelah adanya kejadian luar biasa (KLB) acute flaccid paralysis (AFP)
pada tahun 2005, PIN tahun 2005 dilakukan kembali dengan memberikan
tiga dosis polio saja pada bulan September, Oktober, dan November. Pada
tahun 2006 PIN diulang kembali dua kali/dosis polio yang dilakukan pada
bulan September dan Oktober 2006. Dengan adanya PIN tersebut,
frekuensi imunisasi polio bisa lebih dari seharusnya. Tetapi WHO
menyatakan bahwa polio sebanyak tiga kali cukup memadai untuk
imunisasi dasar polio.5,6
b. Eradikasi Polio
Setelah pada penelitian ditemukan bahwa host dari virus polio hanya
manusia sedangkan virus polio liar tidak bertahan lama di lingkungan.
Selain itu telah ditemukan vaksin yang poten dan telah menyebar luas pada
pertengahan 1950 yang mengakibatkan penurunan drastic insidensi polio
di negara-negara maju. Dan dinyatakan juga bahwa OPV memiliki efek
terhadap komunitas (community effect). Maka menjadi memungkinkan
untuk dilakukan eradikasi terhadap penyakit ini. Sehingga usaha global
untuk eradikasi polio dimulai pada tahun 1988, dipimpin oleh World
Health Organization, UNICEF, dan The Rotary Foundation. Eradikasi
dilakukan dengan cara.
1. Imunisasi rutin dengan cakupan diatas 90%
Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk
kelompok anak dibawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan
vaksin polio oral sebanyak 5 kali. Cakupan yang tinggi ini akan
menekan angka kesakitan polio pada tingkat yang rendah dan
menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi. Cakupan tinggi juga
harus berkesinambungan dan dipertahankan oleh negara yang telah
bebas polio sampai seluruh dunia bebas dari polio, agar negara tersebut
dapat bertahan terhadap virus liar yang berasal atau dibawa dari negara
lain.
2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Imunisasi massal dapat dilakukan secara serentak pada semua
anak dibawah 5 tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang
waktu empat minggu. Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio
paling rendah dan kekebalan populasi ternyata lebih tinggi dari
kekebalan populasi imunisasi rutin.
3. Surveilans Acute Flaccid Paralysis
Surveilans AFP atau lumpuh layuh akut eradikasi membutuhkan
metode surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus
polio dimanapun di dunia. Surveilans AFP bertujuan untuk mendeteksi
virus polio liar dan meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan
nasional suatu negara. Kasus polio tidak dapat dideteksi secara klinis
saja, maka WHO menyarankan laboratory based AFP surveilans untuk
keperluan eradikasi. Surveilans ini mencakup deteksi semua AFP
dibawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti secara klinik dan
epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan secukupnya
dengan selang waktu 24 jam dan dikirim dalam keadaan dingin ke
laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar
atau virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus
AFP setiap tahun-nya untuk setiap 100.000 anak dibawah 15 tahun.
4. Mopping-up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak dibawah usia 5
tahun didaerah ditemukanya penderita polio tanpa melihat status
imunisasi polio sebelumnya. Tampaknya di era globalisasi dimana
mobilitas penduduk antar negara sangat tinggi dan cepat, muncul
kesulitan untuk mengendalikan penyebaran virus ini. Selain
pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus disertai dengan
peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan
jamban keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan
serta memelihara kebersihan makanan merupakan upaya pencegahan
dan mengurangi resiko penularan virus ini. Menjadi salah satu
keprihatinan dunia bahwa kecacatan yang ditimbulkan akibat infeksi
virus ini menetap dan tidak bisa disembuhkan atau tidak ada obat yang
dapat menyembuhkan polio.
250
200
150
100
50
0
Koya Barat Koya Timur Koya Tengah Holtekamp
300
250 220
195
200
145 152 154
140
150
108
100
50
0 0
0
2012 2013 2014 2015 2016
4.2 Pembahasan
4.2.1 Data imunisasi polio berdasarkan Cakupan wilayah kerja di
Puskesmas Koya Barat Tahun 2012-2016
KESIMPULAN
1. Imunisasi polio pada cakupan wilayah kerja Puskesmas Koya Barat Periode
Tahun 2012-2016 untuk jumlah total keseluruhan yang terbanyak adalah
Posyandu Koya Barat dengan jumlah 740 orang dan yang paling sedikit
Posyandu Koya Tengah jumlah 89 . Dari hasil data ini ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi jumlah imunisasi polio seperti Tingkat Pendidikan,
Tingkat Pengetahuan, Status Pekerjaan dan Dukungan anggota keluarga.
2. Berdasarkan hasil didapatkan jumlah bayi dan balita perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki dilihat dari total jumlah bayi dan balita perempuan 773
orang dan laki-laki 665 orang dari tahun 2012-2016 yang berdomisili di wilayah
kerja Puskesmas Koya Barat.
3. Berdasarkan lengkap dan tidak lengkapnya imunisasi polio yang diberikan pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat dari total keseluruhan 1437 balita
yang mendapatkan imunisasi polio sejak tahun 2012-2016 maka didapatkan
hasil 54% mendapatkan imunisasi lengkap dan 46% mendapatkan imunisasi
yang belum lengkap. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti tingkat
pengetahuan, jumlah anak, urutan kelahiran, jenis efek samping, penilaian
pelayanan dan jarak pelayanan.