Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Poliomyelitis atau yang lebih sering kita kenal dengan polio adalah
penyakit menular akut yang disebabkan oleh virus dan sering dikeal dengan
nama Flaccid Paralysis acute (AFP). Sedangkan Flaccid Paralysis acute
adalah adalah kelumpuhan atau paralysis secara fokal yang onsetnya akut dan
mengenai anak kelompok usia <15 tahun. Infeksi terjadi didalam saluran
pencernaan yang menyebar ke kelenjar limfe regional dan sebagian kecil
menyebar ke system saraf dan akibat kerusakan bagian susunan saraf pusat
tersebut akan terjadi kelumpuhan dan atrofi otot, kasus yang berat dapat
menyebabkan kelumpuhan atau kematian.
Polio virus dapat menyerang semua kelompok usia, namun populasi
kelompok yang beresiko terutama menyerang kelompok anak-anak berusia
kurang dari lima tahun (balita), infeksi golongan enterovirus lebih sering
terjadi pada laki laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan (2:1).
Resiko kelumpuhan meningkat pada usia yang lebih tinggi terutama bila
menyerang individu yang berusia diatas 15 tahun. Meskipun program
eradikasi polio global telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, polio
masih sangat endemic dibeberapa negara, seperti di india, afrika subsahara
dan asia, dimana kasus-kasusnya masih terus ditemukan. Di Indonesia masih
ditemukan kasus polio baru hal ini menunjukkan bahwa penyebaran virus
polio liar di Indonesia belum berhenti.
World Health Organizatioin (WHO) memperkirakan hingga saat ini total
kasus polio liar secara kumulatif berjumlah 304 kasus yang tersebar dalam 10
provinsi diantaranya Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, lampung.
Polio dapat dicegah dengan cara diberikan vaksinasi polio, ada dua jenis
vaksin polio yaitu inactivated polio vaccine (IPV) dan oral polio vaccine
(OPV). Apabila mulai dengan jadwal OPV, IPV dapat digunakan dengan
aman untuk menyelesaikan jadwal tersebut tanpa efek buruk. Diperlukan 3
dosis untuk memberikan proteksi yang baik yang diperlukan untuk masa
kanak-kanak dengan booster pada usia 4 tahun.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dari kasus ini
ialah: “Bagaimana cakupan imunisasi polio di wilayah kerja Puskesmas Koya
Barat tahun 2012-2016?
1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui cakupan imunisasi polio di wilayah kerja Puskesmas Koya
Barat tahun 2012-2016
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui program imunisasi polio di Puskesmas Koya Barat
tahun 2012-2016
2. Mengetahui cakupan imunisasi polio di wilayah kerja Puskesmas
Koya Barat berdasarkan :
a. Cakupan wilayah kerja
b. Jenis kelamin
c. Imunisasi polio lengkap dan tidak lengkap
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan Studi Kasus ini ialah:
1. Bagi Dinas Kesehatan Kota Jayapura
Sebagai bahan informasi dan masukan dalam rangka mencapai tujuan
eradikasi polio.
2. Bagi Puskesmas
Sebagai bahan informasi dan masukan kepada petugas kesehatan dalam
merencanakan upaya-upaya pemerataan cakupan imunisasi di wilayah
kerja Puskesmas Koya Barat.
3. Bagi masyarakat
Sebagai bahan informasi dalam rangka pencegahan dan pengendalian
polio serta memberantas polio di wilayah kerja puskesmas Koya Barat
4. Bagi penulis
Sebagai bahan pembelajaran dan juga turut serta dalam tindakan
pencegahan dan promosi dalam rangka program eradikasi polio di
lingkungan tempat penulis berada.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Penyakit polio adalah penyakit infeksi paralisis yang disebabkan oleh
virus. Agen pembawa penyakit ini sebuah virus yang dinamakan poliovirus
(PV), masuk kedalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus.
Virus ini dapat memasuki aliran darah dan masuk ke sistem saraf pusat yang
mengakibatkan terjadinya kelemahan otot dan terkadang menyebabkan
kelumpuhan. Infeksi virus polio terjadi didalam saluran pencernaan yang
menyebar ke kelenjar limfe regional terjadi sebagian kecil penyebaranya ke
sistem saraf. Sistem saraf yang diserang adalah saraf motorik otak bagian grey
matter dan kadang-kadang menimbulkan kelumpuhan.
2.2 Etiologi
Poliomielitis disebabkan oleh infeksi virus dari genus enterovirus yang
dikenl sebagai poliovirus (PV). Virus yang tergolong virus RNA ini biasanya
berada di traktus digestivus. PV hanya menginfeksi dan menyebabkan
manifestasi penyakit pada manusia. Strukturnya sederhana, tersusun oleh satu
genom RNA yang terbungkus protein yang disebut capsid. Selain melindungi
materi genetic dari virus tersebut, protein capsid memungkinkan PV untuk
menyerang beberapa jenis sel lain.
Ada 3 serotipe yang telah diidentifikasi yakni tipe 1 (PV1, Bruhilde), tipe
2 (PV2, Lansing) dan tipe 3 (PV3, Leon). Masing-masing memiliki protein
capsid yang sedikit berbeda. Ketiganya sangat virulen dan menyebabkan
gejala yang sama. Walaupun demikian PV1 adalah strain yang paling sering
ditemukan, dan paling sering menyebabkan kelumpuhan.

Gambar.1 Poliovirus
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
Suatu infeksi poliomyelitis dapat disebabkan satu atau lebih tipe tersebut,
yang dapat dibuktikan dengan 3 macam zat anti dalam serum penderita.
Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh Tipe 1, Tipe 3
menyebabkan epidemic ringan, sedang Tipe 2 menyebabkan epidemic
sporadic.
Poliovirus cukup kuat dan bisa bertahan aktif selama beberapa hari
dengan suhu kamar, dan bias tersimpan dalam wujud beku -20oC. Poliovirus
menjadi tidak aktif bila terkena panas, formaldehid, klorin dan sinar
ultraviolet. Virus ini juga tumbuh baik di berbagai biakkan jaringan dan
mengakibatkan efek sitopatik dengan cepat.
Virus ini dapat hidup dalam air untuk berbulan-bulan dan bertahun-tahun
dalam deep freeze. Dapat tahan terhadap banyak bahan kimia termasuk
sulfonamide, antibiotic (streptomisin, penisilin, kloromisetin), eter, fenol, dan
gliserin. Virus dapat dimusnahkan dengan cara pengeringan atau dengan
pemberian zat oksidator kuat seperti peroksida atau kalium permanganate.
Reservoir alamiah satu-satunya ialah manusia, walaupun virus juga terdapat
pada sampah atau lalat.
Masa inkubasi biasanya antara 7-10 hari, tetapi kadang-kadang terdapat
kasus dengan inkubasi antara 3-35 hari.
2.3 Epidemiologi
Infeksi virus polio terjadi di seluruh dunia, untuk Amerika Serikat
transmisi virus polio liar berhenti sekitar tahun 1979. Di Negara-negara Barat,
eliminasi polio global secara dramatis mengurangi transmisi virus polio liar
di seluruh dunia, kecuali beberapa Negara yang sampai saat ini masih ada
transmisi virus polio liar yaitu India, Timur Tengah dan Afrika. Reservoir
virus polio liar hanya pada manusia, yang sering ditularkan oleh pasien infeksi
polio yang tanpa gejala.
Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara
dramatis terjadi penurunan jumlah kasus di negara maju. Di Amerika Serikat,
angka kejadian turun dari 17,6 kasus poliomielitis per 10.000 penduduk di
tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972
kejadiannya <0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun.1,2,6,7
Tahun 1988, Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mensahkan resolusi
untuk menghapus polio sebelum tahun 2000. Pada saat itu masih terdapat
sekitar 350 ribu kasus polio di seluruh dunia. Meskipun pada tahun 2000 polio
belum terbasmi, tetapi jumlah kasusnya telah berkurang hingga di bawah 500.
Polio tidak ada lagi di Asia Timur, Amerika Latin, Timur Tengah atau
Eropa.6,8,9
Meskipun banyak usaha telah dilakukan, pada tahun 2004 angka infeksi
polio meningkat menjadi 1.185 kasus di 17 negara dari 784 di 15 negara pada
tahun 2003. Sebagian penderita berada di Asia dan 1.037 ada di Afrika.
Nigeria memiliki 763 penderita, India 129, dan Sudan 112 kasus. Pada tahun
2006 ditemukan kasus liar poliovirus tipe I di Kenya, pada saat itu ditemukan
216 kasus yang dibawa oleh pendatang dari Somalia yang merupakan negara
tetangga dari Kenya.10
Dari tahun 1996 sampai tahun 2005 negara Indonesia pernah dikatakan
bebas polio, tetapi pada bulan maret tahun 2005 sebuah kasus AFP tercatat
dan dalam waktu 23 minggu virus terus menyebar ke 4 provinsi di Jawa dan
2 provinsi di Sumatra. Pada bulan April 2005 dilakukan isolasi terhadap virus
ini yang diambil dari pemeriksaan tinja dari penderita yang berada di daerah
Sukabumi, dan ditemukan merupakan virus polio liar tipe 1 yang merupakan
virus impor strain Nigeria yang masuk ke Indonesia melalui jalur Timur
Tengah dan juga menjadi penyebab terjadinya outbreak di Indonesia.
Transmisi virus polio liar tertinggi terjadi dari bulan Mei – Juni tahun 2005
dan transmisi rendah mulai bulan Oktober 2005. Ditemukan jumlah kasus
polio liar mencapai 305 penderita tersebar di 47 kabupaten. Selain itu juga
ditemukan 46 kasus VDPV dimana 45 kasus terjadi di Pulau Madura (4
kabupaten) dan 1 kasus di probolinggo.
Setelah dilakukan upaya penguatan imunisasi rutin dan tambahan (PIN)
yang intensif, jumlah kasus polio liar menurun. Pada tahun 2006 hanya
ditemukan 2 kasus. Kasus terakhir (virus polio liar tipe 1) ditemukan di
Kabupaten Aceh Tenggara Provinsi Aceh dengan onset tanggal 2 Februari
2006. Dua setengah tahun setelah kasus terakhir, belum ada lagi kasus baru
yang dilaporkan.(7,8,9)
Gambar.2 Epidemiologi Poliomielitis (diambil dari
http://journals.cambridge.org/fulltext_content/ERM/ERM1_13/S1462399499
000848sup022.gif)
2.4 Patogenesis
Kerusakan saraf merupakan ciri khas poliomyelitis, virus berkembang
biak pertama kali didalam dinding faring atau saluran cerna bagian bawah,
virus tahan terhadap asam lambung, maka bisa mencapai saluran cerna bawah
tanpa melalui inaktivasi. Dari faring setelah bermultiplikasi, menyebar ke
jaringan limfe dan pembuluh darah. Virus dapat dideteksi pada nasofaring
setelah 24 jam sampai 3-4 minggu.
Dalam keadaan ini timbul: 1. perkembangan virus, 2. tubuh bereaksi
membentuk antibody spesifik. Bila pembentukkan zat anti tubuh mencukupi
dan cepat maka virus dinetralisasikan, sehingga timbul gejala klinis yang
ringan atau tidak terdapat sama sekali dan timbul imunitas terhadap virus
tersebut. Bila proliferasi virus tersebut lebih cepat daripada pembentukkan zat
anti, maka akan timbul viremia dan gejala klinis.
Infeksi pada susunan saraf pusat terjadi akibat replikasi cepat virus ini.
Virus polio menempel dan berkembang biak pada sel usus yang mengandung
polioviruses receptor (PVR) dan telah berkoloni dalam waktu kurang dari 3
jam. Sekali terjadi perlekatan antara virion dan replikator, pelepasan virion
baru hanya butuh 4-5 jam saja.
Virus yang bereplikasi secara local kemudian menyebar pada monosit
dan kelenjar limfe yang terkait. Perlekatan dan penetrasi bias dihambat oleh
secretory IgA local. Kejadian neuropati pada poliomyelitis merupakan akibat
langsung dari multiplikasi virus di jaringan patognomik, namun ridak semua
saraf yang terkena akan mati. Keadaan reversibilitas fungsi sebagian
disebabkan karena sprouting dan seolah kembali seperti sediakala dalam
waktu 3-4 minggu setelah onset., Terdapat kelainan dan infiltrasi interstisiel
sel glia.(1,5)

Gambar. 3. Patogenesis Poliomielitis


(diambil dari
http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif )

Daerah yang biasanya terkena lesi pada poliomyelitis ialah:


1. medulla spinalis terutama kornu anterior
2. Batang otak pada nucleus vestibularis dan inti-inti saraf cranial serta
formation retikularis yang mengandung pusat vital
3. serebelum terutama inti-inti pada vermis
4. Midbrain terutama masa kelabu, substantia nigra dan kadang-kadang
nucleus rubra
5. Talamus dan hipotalamus
6. Palidum
7. Korteks serebri, hanya daerah motoric
Gambaran patologik menunjukkan adanya reaksi peradangan pada
system retikuloendotelial, terutama jaringan limfe, kerusakan terjadi pada sel
motor neuron karena virus ini sangat neurotropik, tetapi tidak menyerang
neuroglia, myelin atau pembuluh darah besar. Terjadi juga peradangan pada
sekitar sel yang terinfeksi sehingga kerusakkan sel makin luas. Kerusakan
pada sumsum tulang belakang, terutama terjadi pada anterior horn cell, pada
otak kerusakan terutama terjadi pada sel motor neuron formasi retikuler dari
pons dan medulla, nuclei vestibules, serebellum, sedang lesi pada korteks
hanya merusak daerah motor dan premotor saja. Pada jenis bulber, lesi
terutama mengenai medulla yang berisi nuclei motorik dari saraf otak.
Replikasi pada sel motor neuron di SSP akan menyebabkan kerusakan
permanen.
Secara mendasar, kerusakan saraf merupakan cirri khas pada
poliomyelitis. Virus berkembang di dalam dinding faring atau saluran cerna
bagian bawah, menyebar masuk ke dalam aliran darah dan kelenjar getah
bening dan menembus dan berkembang biak di jaringan saraf. Pada saat
viremia pertama terdapat gejala klinik yang tidak spesifik berupa minor
illness. Invasi virus ke susunan saraf bias hematogen atau melalui perjalanan
saraf. Tapi yang lebih sering melalui hematogen. Virus masuk ke susunan
saraf melalui sawar darah otak (blood brain barrier) dengan berbagai cara
yaitu :
 Transport pasif dengan cara piknositosis
 Infeksi dari endotel kapiler
 Dengan bantuan sel mononuclear yang mengadakan transmisi ke dalam
susunan saraf pusat.
 Kemungkinan lain melalui saraf perifer, transport melalui akson atau
penyebaran melalui jaras olfaktorius.(1,3,4,5)
2.5 Gambaran klinis
Tanda-tanda klinis yang timbul akan sesuai dengan kerusakan anatomic
yang terjadi. Biasanya, masa inkubasin adalah 3-6 hari, dan kelumpuhan
terjadi dalam waktu 7-21 hari. Replikasi di motor neuron terutama terjadi di
sumsum tulang belakang yang menimbulkan kerusakan sel dan kelumpuhan
serta atrofi otot, sedng virus yang berbiak di batang otak skan menyebabkan
kelumpuhan bulbar dan kelumpuhan pernafasan.
Pada setiap anak yang datang dengan panas disertai dengan kesulitan
menekuk leher dan punggung, kekakuan otot yang diperjelas dengan tanda
head drop, tanda tripod saat duduk, tanda brudzinsky dan Kernique, harus
dicurigai adanya poliomyelitis.(8,9)
Infeksi virus polio pada manusia sangat bervariasi, dari gejala yang
ringan sampai terjadi paralysis. Infeksi virus polio dapat diklasifikasikan
menjadi minor illnesses (gejala ringan) dan major illnesses (gejala berat, baik
paralitik, maupun non-paralitik). Gejala lumpuh layuh (paralisis) yang dapat
ditemukan pada anak, gejalanya bervariasi antara lain :
a) Berjalan pincang atau tidak dapat berjalan
b) Tidak dapat meloncat menggunakan satu kaki
c) Tidak dapat berjongkok lalu berdiri lagi
d) Tidak dapat berjalan pada ujung jari atau tumit
e) Tidak dapat mengangkat kakinya saat ditempat tidur
f) Terasa lemas, tidak ada tahanan Kaki mengecil (atrofi otot)
Gambar 4. Gejala klinis poliomyelitis
(http://www.medindia.net/patients/patientinfo/images/poliomyelitis.gif)
Minor Illnesses
1. Asimtomatis (silent infection)
Setelah masa inkubasi 7-10 hari, karena daya tahan tubuh maka tidak
terdapat gejala klinis sama sekali. Pada suatu epidemic diperkirakan
terdapat pada 90-95% penduduk dan menyebabkan imunitas terhadap
virus tersebut. Merupakan proporsi kasus terbanyak (72%).
2. Poliomielitis abortif
Diduga secara klinis hanya pada daerah yang terserang epidemic, terutama
yang diketahui kontak dengan penderita poliomyelitis yang jelas.
Diperkirakan terdapat 4-8% penduduk pada suatu epidemi. Timbul
mendadak, berlangsung beberapa jam sampai beberapa hari. Biasanya
sekitar 2-10 hari. Gejala berupa infeksi virus, seperti malaise, anoreksia,
nausea, muntah, nyeri kepala, nyeri tenggorok, konstipasi dan nyeri
abdomen. Diagnosis pasti hanya bias dengan menemukan virus di biakan
jaringan.
Diagnosis banding : influenza atau infeksi bakteri daerah nasofaring
Major Illnesses
1. Poliomielitis non-paralitik (Meningitis Aseptik Non-paralitik)
Gejala klinis sama dengan poliomyelitis abortif, hanya nyeri kepala,
nausea dan muntah lebih berat. Gejala-gejala ini timbul 1-2 hari, kadang-
kadang diikuti penyembuhan sementara untuk kemudian remisi demam
atau masuk dalam fase kedua dengan nyeri otot. Khas untuk penyakit ini
adalah adanya nyeri atau kaku otot belakang leher, tubuh dan tungkai
dengan hipertonia mungkin disebabkan oleh lesi pada batang otak,
ganglion spinal dan kolumna posterior. Bila anak berusaha duduk dari
posisi tidur, maka ia akan menekuk kedua lutut ke atas sedangkan kedua
tangan menunjang kebelakang pada tempat tidur (Tripod sign) dan terlihat
kekakuan otot spinal oleh spasme, Kaku kuduk terlihat secara pasif
dengan Kernig dan Brudzinsky yang positif. “Head drop” yaitu bila tubuh
penderita ditegakkan dengan menarik pada kedua ketiak sehingga
menyebabkan kepala terjatuh ke belakang. Refleks tendon biasanya tidak
berubah dan bila terdapat perubahan maka kemungkinan akan terdapat
poliomyelitis paralitik. Diagnosis Banding dengan meningitis serosa,
meningismus, tonsillitis akut yang berhubungan dengan adenitis
servikalis.
2. Poliomielitis paralitik
Gejala yang terdapat pada poliomyelitis non-paralitik disertai kelemahan
satu atau lebih kumpulan otot skelet atau cranial. Timbul paralysis akut.
Pada bayi ditemukan paralysis vesika urinaria dan atonia usus.
Secara klinis dapat dibedakan beberapa bentuk sesuai dengan tingginya
lesi pada susunan saraf :
a. Bentuk spinal
Dengan gejala kelemahan/paralysis/paresis otot leher, abdomen,
tubuh, diafragma, toraks dan terbanyak ekstremitas bawah. Tersering
otot besar, pada tungkai bawah otot kuadriceps femoris, pada lengan
otot deltoideus. Sifat paralisis asimetris. Refleks tendon mengurang
atau menghilang. Tidak terdapat gangguan sensibilitas.

Gambar. 5 Letak motor neuron pada kornu anterior Medulla Spinalis


(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

Diagnosis banding :
 Pseudoparalisis non neurogen : tidak ada kaku kuduk, tidak ada
pleiositosis. Disebabkan oleh trauma/kontusio, demam reumatik
akut, osteomielitis.
 Polyneuritis: gejala para plegi dengan gangguan sensibilitas, dapat
dengan paralysis palatum molle dan gangguan otot bola mata
 Poliradikuloneuritis (Sindrom Guillain Barre): Biasanya diawali
demam, paralysis tidak akut tapi perlahan-lahan, bilateral simetris,
pada fase permulaan likuor serebrospinalis SGB protein meningkat
sedangkan Poliomielitis pleiositosis, SGB bias sembuh tanpa gejala
sisa, SGB ada gangguan sensorik
 Miopatia (kelainan progresif dari otot-otot dengan paralysis dan
kelelahan disertai rasa nyeri).(2,7,8)
Gambar. 6 Gambar penderita Poliomielitis
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)

b. Bentuk bulbar
terjadi akibat kerusakan motorneuron pada batang otak sehingga
terjadi insufisiensi pernafasan, kesulitan menelan, tersedak, kesulitan
makan, kelumpuhan pita suara dan kesulitan bicara. Saraf otak yang
terkena adalah saraf V, IX, X, XI dan kemudian VII. Sebagaimana
kelainan saraf lainnya, tidak dapat digantikan atau diperbaiki.
Perbaikan secara klinik terjadi akibat kerja neuron yang rusak akan
diambil oleh neuron yang berdekatan (sprouting) atau alih fungsi oleh
otot lain atau perbaikan sisa otot yang masih berfungsi.
Gangguan motorik satu atau lebih saraf otak dengan atau tanpa
gangguan pusat vital yakni pernafasan dan sirkulasi

Gambar.7 Lokasi dari region bulbar


(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
c. Bentuk bulbospinal
Didapatkan gejala campuran antara bentuk spinal dan bentuk bulbar
d. Bentuk ensefalitik
Dapat disertai gejala delirium, kesadaran yang menurun, tremor dan
kadang-kadang kejang.(6,7)
2.6 Diagnosa
Diagnosis polio dibuat berdasarkan:
 Pemeriksaan virologik dengan cara membiakkan virus polio baik yang liar
maupun vaksin. Virus poliomyelitis dapat diisolasi dan dibiakkan secara
biakan jaringan dari apus tengorok, darah, likuor serebrospinalis dan feses.
 Pengamatan gejala dan perjalanan klinik.
Banyak sekali kasus yang menunjukkan gejala lumpuh layu yang termasuk
Acute Flaccid Paralysis. Bisa dilihat dari gejala-gejala klinis diatas. Cara
menegakkannya ialah dengan menambahkan pola neurologik yang khas
seperti kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak ada gangguan sensori.
 Pemeriksaan khusus
Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi dapat merujuk secara lebih
tepat kerusakan saraf secara anatomic. Cara ini akan dapat mempermudah
memisahkan polio dengan kelainan lain akibat demielinisasi pada saraf
tepi, sehingga boisa membedakan polio dengan kerusakan motor neuron
lainnya misalnya Sindrom Guillain-Barre. Pemeriksaan lain seperti MRI
dapat menunjukkan kerusakkan di daerah kolumna anterior.
 Pemeriksaan Residual Paralisis
Dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari deficit
neurologik.(7,8,9,10)
2.7 Penatalaksanaan
Tidak ada obat untuk polio, hanya bisa dicegah dengan imunisasi. Vaksin
polio, diberikan beberapa kali, hampir selalu melindungi anak-anak seumur
hidup. Imunisasi lengkap sangat mengurangi risiko terkena polio paralitik.
Mengenai vaksin polio akan dibahas di bab berikutnya. Tidak ada antivirus
yang efektif melawan poliovirus. Terapi utamanya adalah suportif.(2)
Tujuan pengobatan adalah mengontrol gejala selagi infeksi berlangsung.
Dalam kasus-kasus tertentu, beberapa membutuhkan tindakan lifesaving,
terutama bantuan nafas.
Berikut pengobatan non spesifik untuk setiap manifest klinis dari polio
1. Silent infection : istirahat
2. Poliomielitis abortif : istirahat 7 hari, bila tidak terdapat gejala apa-apa,
aktifitas dapat dimulai lagi. Sesudah 2 bulan dilakukan pemeriksaan lebih
teliti terhadap kemungkinan kelainan musculoskeletal.
3. Poliomielitis paralitik/non-paralitik : istirahat mutlak sedikitnya 2
minggu; perlu pengawasan yang teliti karena setiap saat dapat terjadi
paralysis pernafasan.
Pengobatan sesuai dengan gejalanya, meliputi :
a. fase akut
 Antibiotik untuk mencegah infeksi pada otot yang flaccid
 Analgetik untuk mengurangi nyeri kepala, myalgia, dan spasme
 Antipiretik untuk menurunkan suhu.
 Foot board, papan penahan pada telapak kaki, agar kaki terletak pada
sudut yang tetap terhadap tungkai
 Bila terjadi paralysis pernafasan seharusnya dirawat di unti perawatan
khusus karena penderita memerlukan bantuan pernafasan mekanis.
 Pada poliomyelitis tipe bulber kadang-kadang refleks menelan
terganggu dengan bahaya pneumonia aspirasi. Dalam hal ini kepala
anak diletakkan lebih rendah dan dimiringkan ke salah satu sisi.
b. fase post-akut
 kontraktur, atrofi dan atoni otot dikurangi dengan fisioterapi. Tindakkan
ini dilakukan setelah 2 minggu. Penatalaksanaan fisioterapi yang
dilakukan :
- Heating dengan menggunakan IRR ( infra red radiation )
- Exercise (active/passive) terutama pada ekskremitas yang mengalami
kelemahan atau kelumpuhan
- Breathing exercise jika diperlukan
 Bila perlu pemakaian braces, bidai, hingga operasi ortopedik.(6)

2.8 Prognosis
Hasil akhir dari penyakit ini tergantung bentuknya dan letak lesinya. Jika
tidak mencapai korda spinalis dan otak, maka kesembuhan total sangat
mungkin. Keterlibatan otak dan korda spinalis bisa berakibat pada paralysis
atau kematian (biasanya dari kesulitan bernafas). Secara umum polio lebih
sering mengakibatkan disabilitas daripada kematian.
Pasien dengan polio abortif bisa sembuh sepenuhnya . Pada pasien
dengan polio non-paralitik atau aseptic meningitis, gejala bisa menetap
selama 2-10 hari, lalu sembuh total.(8,9)
Pada bentuk paralitik bergantung pada bagian yang terkena. Pada kasus
polio spinal, sel saraf yang terinfeksi akan hancur sepenuhnya, paralysis akan
permanent. Sel yang tidak hancur tapi kehilangan fungsi sementara akan
kembali setelah 4-6 minggu setelah onset. 50% dari penderita polio spinal
sembuh total, 25% dengan disabilitas ringan, 25% dengan disabilitas berat.
Perbedaan residual paralysis ini tergantung derajat viremia, dan imunitas
pasien. Jarang polio spinal yang bersifat fatal. Bentuk spinal dengan paralysis
pernafasan dapat ditolong dengan bantuan pernafasan mekanik. Tanpa
bantuan ventilasi, kasus yang melibatkan system pernafasan, menyebabkan
kesulitan bernafas atau pneumonia aspirasi. Keseluruhan, 5-10% pasien
dengan polio paralysis meninggal akibat paralysis otot pernafasan. Angka
kematian bervariasi tergantung usia 2-5% pada anak-anak, dan hingga 15-
30% pada dewasa.
Tipe bulbar prognosisnya buruk, kematian biasanya karena kegagalan
fungsi pusat pernafasan atau infeksi sekunder jalan nafas. Polio bulbar sering
mengakibatkan kematian bila alat bantu nafas tidak tersedia. Dengan alat
bantu nafas angka kematian berkisar antara 25-50%. Bila ventilator tekanan
positif tersedia angka kematian bisa diturunkan hingga 15%.Otot-otot yang
lumpuh dan tidak pulih kembali menunjukkan paralysis tipe flasid dengan
atonia, arefleksia, dan degenerasi.
Komplikasi residual paralysis tersebut ialah kontraktur terutama sendi,
subluksasio bila otot yang terkena sekitar sendi, perubahan trofik oleh
sirkulasi yang kurang sempurna hingga mudah terjadi ulserasi. Pada keadaan
ini diberikan pengobatan secara ortopedik.(6,7)
Post Polio Syndrome (PPS)
Sekitar 25% individual yang pernah mengalami polio paralitik
mendapatkan gejala tambahan beberapa decade setelah sembuh dari infeksi
akut, merupakan bentuk manifestasi lambat (15-40 tahun) sejak infeksi akut.
Gejala utamanya kelemahan otot, kelelahan yang ekstrem, paralysis rekuren
atau paralysis baru, nyeri otot yang luar biasa. Kondisi ini disebut post polio
syndrome (PPS). Gejala PPS diduga akibat kegagalan pembentukan over-
sized motor unit pada tahap penyembuhan dari fase paralitiknya. Walau
demikian bagaimana patogenesisnya masih belum diketahui. Faktor yang
meningkatkan resiko PPS antara lain jangka waktu sejak infeksi akutnya,
kerusakan residual permanent setelah penyembuhan dari fase akut, dan kerja
neuron yang berlebihan.(3,4)
2.9 Vaksinasi Polio
a. Eliminasi Polio
Eliminasi (elimination) penyakit merupakan upaya intervensi
berkelanjutan yang bertujuan menurunkan insidensi dan prevalensi suatu
penyakit sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Upaya
intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mempertahankan tingkat nol.
Contoh: eliminasi tetanus neonatorum, poliomyelitis, di suatu wilayah.
Eliminasi infeksi merupakan upaya intervensi berkelanjutan yang
bertujuan menurunkan insidensi infeksi yang disebabkan oleh suatu agen
spesifik sampai pada tingkat nol di suatu wilayah geografis. Eliminasi
infeksi bertujuan memutus transmisi (penularan) penyakit di suatu wilayah.
Upaya intervensi berkelanjutan diperlukan untuk mencegah terulangnya
transmisi. Contoh: eliminasi campak, poliomielitis, dan difteri. Eliminasi
penyakit/ infeksi di tingkat wilayah merupakan tahap penting untuk
mencapai eradikasi global.5,6
Untuk mempercepat eliminasi penyakit polio di seluruh dunia, WHO
membuat rekomendasi untuk melakukan Pekan Imunisasi Nasional (PIN).
Indonesia melakukan PIN dengan memberikan satu dosis polio pada bulan
September 1995, 1996, dan 1997. Pada tahun 2002, PIN dilaksanakan
kembali dengan menambahkan imunisasi campak di beberapa daerah.
Setelah adanya kejadian luar biasa (KLB) acute flaccid paralysis (AFP)
pada tahun 2005, PIN tahun 2005 dilakukan kembali dengan memberikan
tiga dosis polio saja pada bulan September, Oktober, dan November. Pada
tahun 2006 PIN diulang kembali dua kali/dosis polio yang dilakukan pada
bulan September dan Oktober 2006. Dengan adanya PIN tersebut,
frekuensi imunisasi polio bisa lebih dari seharusnya. Tetapi WHO
menyatakan bahwa polio sebanyak tiga kali cukup memadai untuk
imunisasi dasar polio.5,6
b. Eradikasi Polio
Setelah pada penelitian ditemukan bahwa host dari virus polio hanya
manusia sedangkan virus polio liar tidak bertahan lama di lingkungan.
Selain itu telah ditemukan vaksin yang poten dan telah menyebar luas pada
pertengahan 1950 yang mengakibatkan penurunan drastic insidensi polio
di negara-negara maju. Dan dinyatakan juga bahwa OPV memiliki efek
terhadap komunitas (community effect). Maka menjadi memungkinkan
untuk dilakukan eradikasi terhadap penyakit ini. Sehingga usaha global
untuk eradikasi polio dimulai pada tahun 1988, dipimpin oleh World
Health Organization, UNICEF, dan The Rotary Foundation. Eradikasi
dilakukan dengan cara.
1. Imunisasi rutin dengan cakupan diatas 90%
Cakupan imunisasi harus mencapai lebih dari 90% untuk
kelompok anak dibawah 1 tahun. WHO menganjurkan diberikan
vaksin polio oral sebanyak 5 kali. Cakupan yang tinggi ini akan
menekan angka kesakitan polio pada tingkat yang rendah dan
menyiapkan negara tersebut untuk fase eradikasi. Cakupan tinggi juga
harus berkesinambungan dan dipertahankan oleh negara yang telah
bebas polio sampai seluruh dunia bebas dari polio, agar negara tersebut
dapat bertahan terhadap virus liar yang berasal atau dibawa dari negara
lain.
2. Pekan Imunisasi Nasional (PIN)
Imunisasi massal dapat dilakukan secara serentak pada semua
anak dibawah 5 tahun dengan dua putaran imunisasi dengan selang
waktu empat minggu. Gerakan ini dilakukan pada saat transmisi polio
paling rendah dan kekebalan populasi ternyata lebih tinggi dari
kekebalan populasi imunisasi rutin.
3. Surveilans Acute Flaccid Paralysis
Surveilans AFP atau lumpuh layuh akut eradikasi membutuhkan
metode surveilans yang sensitif dan mampu mendeteksi adanya kasus
polio dimanapun di dunia. Surveilans AFP bertujuan untuk mendeteksi
virus polio liar dan meningkatkan sistem pelacakan dan pelaporan
nasional suatu negara. Kasus polio tidak dapat dideteksi secara klinis
saja, maka WHO menyarankan laboratory based AFP surveilans untuk
keperluan eradikasi. Surveilans ini mencakup deteksi semua AFP
dibawah usia 15 tahun dan kasus harus diteliti secara klinik dan
epidemiologik dengan cepat, sampel tinja dikumpulkan secukupnya
dengan selang waktu 24 jam dan dikirim dalam keadaan dingin ke
laboratorium. Virus yang ditemukan harus dibedakan apakah virus liar
atau virus vaksin. Minimal harus dilakukan pelacakan pada 1 kasus
AFP setiap tahun-nya untuk setiap 100.000 anak dibawah 15 tahun.
4. Mopping-up
Artinya tindakan vaksinasi massal terhadap anak dibawah usia 5
tahun didaerah ditemukanya penderita polio tanpa melihat status
imunisasi polio sebelumnya. Tampaknya di era globalisasi dimana
mobilitas penduduk antar negara sangat tinggi dan cepat, muncul
kesulitan untuk mengendalikan penyebaran virus ini. Selain
pencegahan dengan vaksinasi polio tentu harus disertai dengan
peningkatan sanitasi lingkungan dan sanitasi perorangan. Penggunaan
jamban keluarga, air bersih yang memenuhi persyaratan kesehatan
serta memelihara kebersihan makanan merupakan upaya pencegahan
dan mengurangi resiko penularan virus ini. Menjadi salah satu
keprihatinan dunia bahwa kecacatan yang ditimbulkan akibat infeksi
virus ini menetap dan tidak bisa disembuhkan atau tidak ada obat yang
dapat menyembuhkan polio.

Usaha ini telah mengurangi jumlah kasus terdiagnosa setahun hingga


99%, yaitu dari 350.000 pada 1988, hingga 1.310 kasus pada tahun 2007.
Ini merupakan kali kedua umat manusia berhasil mengeradikasi
sepenuhnya suatu penyakit. Yang pertama adalah smallpox, yang telah
tereradikasi tahun 1979. Sekarang banyak bagian dunia yang bebas polio.
Amerika Serikat menyatakan bebas polio tahun 1994. pada tahun 2000,
36 negara-negara pasifik barat termasuk Cina dan Australia dinyatakan
bebas polio. 2002, Eropa dinyatakan bebas polio. Hingga 2006, polio
masih endemic hanya di 4 negara : Nigeria, India, Pakistan, dan
Afganistan.
Di Indonesia sendiri program eradikasi dimulai dengan PIN tiga
tahun berturut-turut tahun 1995, 1996, 1997 dan sejak 1995 tidak ada
kasus lagi selama 10 tahun. Tahun 2005 sempat ditemukan lagi kasus yang
berawal dari lingkungan padat di Sukabumi. Yang menyebar cepat
keseluruh Indonesia. Kembali dilakukan PIN dan pengetatan surveilans
dan wabah teratasi, kasus terakhir adalah kasus dari Aceh Tenggara, April
2006.(1,2,8,9)
2.10 Vaksin Polio
Tahun 1952 dan 1953, Amerika Serikat mengalami ledakan jumlah kasus
sebanyak 58.000 dan 35.000 kasus, dari angka sebelumnya 20.000 per tahun.
Menanggapinya, Pemerintah menginvestasikan jutaan dolar untuk
menemukan dan memasarkan vaksin polio.
Hilary Koprowsky, mengklaim telah menemukan vaksin polio tahun
1950. Vaksinnya yang berisi virus hidup yang dilemahkan yang dikonsumsi
secara oral (OPV) masih dalam tahap penelitian dan belum siap dipakai
sampai 5 tahun setelah vakin polio Jonas Salk (injectable polio vaccine, IPV)
dikonsumsi public.
Vaksin OPV adalah adalah virus yang dilemahkan, yang bisa
mengalami mutasi sebelum dapat bereplikasi dalam usus dan diekskresi
keluar. Meskipun sangat jarang, selain mutasi bisa bersifat mutasi positif
kearah virus yang lebih lemah, namun bisa juga terjadi mutasi negative (back
mutation) kembali kearah neurogenik dan menimbulkan kerusakan di cornu
anterior seperti infeksi virus polio liar. Kenyataan ini memicu perlunya
imunisasi dengan inactivated polio virus (IPV).3
OPV lebih efektif dalam pemberantasan poliomyelitis dibandingkan
virus yang inaktivasi. Sesudah pemberian vaksin OPV, maka virus yang
dilemahkan tersebut akan bereplikasi di traktus gastrointestinalis bagian
bawah. OPV dapat menutup PVR sehingga virus lain tidak bisa menempel
dan menyebabkan kelumpuhan kelumpuhan. Kemampuan ini menekan
transmisi virus pada saat wabah. IPV sangat mampu mencegah kelumpuhan
karena menghasilkan antibody netralisasi yang tinggi, namun tidak
mempunyai efek menekan transmisi.
a. Oral Polio Vaccine (OPV)
Oral Polio Vaccine (OPV) merupakan vaksin pilihan karena dapat
menimbulkan antibodi yang tinggi. Dosis tunggal akan menimbulkan
kekebalan pada 50% resipien, 3 dosis akan meningkatkan kekebalan
sampai 95%. Kekebalan yang terjadi tidak timbul secara bersamaan tetapi
bersifat sekuensial. Respon pertama terutama terhadap virus tipe 1 (paling
imunologik) disusul virus tipe 2 dan terakhir tipe 3. Serokonversi terjadi
paling cepat dengan tipe 1, sedang protektifitas terhadap tipe 3 tercapai
setelah 4-5 dosis, bahkan protektifitasnya dapat mencapai diatas 95% dan
tercapai setelah dosis kedelapan. Keuntungan vaksin ini adalah mudah
diberikan (tanpa alat suntik) dan harganya jauh lebih murah dibandingkan
IPV. OPV selain dapat mencegah kelumpuhan, juga merangsang
kekebalan usus dan menghambat penempelan, invasi dan replikai virus
liar. Pemberian OPV secara simultan pada suatu daerah akan menaikkan
kadar secretori IgA usus terhadap virus polio dan memutus rantai hidup
virus liar.5,8
Oral polio vaksin (OPV) diberikan dalam bentuk tetesan melalui
mulut. Vaksin ini mengandung sejumlah kecil virus hidup yang telah
dimodifikasi dari masing-masing tipe polio sehingga tidak menimbulkan
penyakit tersebut, dan antibiotik (neomysin) dalam jumlah amat kecil.
 Tipe 1 : 106 TCID (tissue culture infective dose) 50/CCID (cell culture
infective dose) 50 (10 5,5-10 6,5)
 Tipe 2 : 105 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 4,5-10 5,5)
 Tipe 3 : 10 5,5 TCID (tissue culture infective dose) 50 (10 5,0-10 6)
Gambar 8a. Pemberian Imunisasi OPV
Gambar. 8b Kemasan OPV
(diambil dari en.wikipedia.org/wiki/Poliomyelitis)
Vaksin ini harus disimpan tertutup pada suhu 2-8oC. Vaksin sangat
stabil namun sekali dibuka, vaksin akan kehilangan potensi disebabkan
perubahan pH setelah terpapar udara, kebijaksanaan Departemen
Kesehatan & Kesejahteraan Sosial manganjurkan bahwa vaksin polio
yang telah terbuka botolnya pada akhir sesi imunisasi (pasca imunisasi
masal) harus dibuang. Tetapi saat ini kebijaksanaan WHO membolehkan
botol-botol yang berisi vaksin dosis ganda (multidose) digunakan pada
sesi-sesi imunisasi, apabila tanggal kadarluwarsa tidak terlampui, vaksin
di simpan dalam keadaan yang sangat dingin (2-8°C), botol vaksin yang
telah terbuka yang terpakai hari itu harus dibuang.9,11
Setiap membuka vial baru harus menggunakan penetes (dopper) yang
baru. Di unit pelayanan, vaksin polio yang telah dibuka hanya boleh
digunakan selama 2 minggu dengan ketentuan : 9,12
 Vaksin belum kadaluarsa
 Vaksin disimpan dalam suhu 2º C - 8ºC
 Tidak pernah terendam air
 Sterilitasnya terjaga
Cara Pemberian
Diberikan secara oral melalui mulut, 1 dosis adalah 2 tetes sebanyak
4 kali (dosis) pemberian, dengan interval setiap dosis minimal 4 minggu.
Pada daerah yang tingkat kasus polionya tinggi (seperti Indonesia)
merupakan daerah endemik polio, pemberian extra imunisasi polio segera
setelah lahir (polio 0 pada kunjungan 1) dengan tujuan meningkatkan
cakupan imunisasi. Imunisasi polio 0 diberikan saat bayi akan
dipulangkan dari rumah sakit/rumah bersalin, agar tidak mencemari bayi
yang lain mengingat virus polio hidup dapat dieksresi melalui tinja.
Imunisasi polio ulangan diberikan 1 tahun sejak imunisasi polio 4,
selanjutnya saat masuk sekolah (5-6 tahun).5,6,9
Penyimpanan OPV
Oral polio vaccine (OPV) dapat disimpan beku pada temperatur 2-
8°C. Vaksin yang beku dengan cepat dicairkan dengan cara ditempatkan
antara dua telapak tangan dan digulir-gulirkan, di jaga agar warna tidak
berubah yaitu merah muda sampai orange muda (sebagai indikator pH).
Bila keadaan tersebut dapat terpenuhi, maka sisa vaksin yang telah
terpakai dapat dibekukan lagi, kemudian dapt dipakai lagi sampai warna
berubah dengan catatan dan tanggal kadarluwarsa harus selalu
diperhatikan.5,9
Kontraindikasi OPV
 Penyakit akut atau demam (temp. >38,5°C), imunisasi harus ditunda
 Muntah atau diare, imunisasi ditunda
 Sedang dalam pengobatan kortikosteroid atau imunosupresif oral
maupun suntikan, juga pengobatan radiasi umum
 Keganasan dan penderita HIV
Efek samping IPV
Inactivated polio vaccine atau vaksin yang mengandung IPV dapat
menyebabkan nyeri otot, rasa sakit, bengkak atau warna merah di tempat
injeksi. Sampai 1 dari 10 anak mungkin mengalami demam ringan dan
kehilangan selera.4
b. Inactivated Polio Vaccine (IPV)
Inactivated Poliovirus Vaccine (IPV) mendapat lisensi pada tahun
1955 dan langsung digunakan secara luas. Pada tahun 1963 mulai
digunakan trivalent virus polio secara oral (OPV) secara luas. Encanced
potency IPV (eIPV) yang menggunakan molekul lebih besar dan
menimbulkan kadar antibodi lebih tinggi digunakan tahun 1988.
Inacctivated polio vaccine merupakan vaksin yang cukup efektif, 2 dosis
akan menimbulkan antibodi yang protektif pada sekitar 90% resipien,
sedang 3 dosis akan meningkatkan protektifitas sampai 99%. Protektifitas
terhadap kelumpuhan berkaitan dengan tingginya kadar antibodi serum.
Keuntungan dari IPV adalah virus vaksin telah dinonaktifkan sehingga
tidak bisa bereplikasi. Vaksin ini aman dalam arti tidak menimbulkan
kelumpuhan akibat imunisasi dan tidak berbahaya bagi penderita
defisiensi imun, meskipun vaksin tersebut tetap dibuat dari virus liar.
Kerugiannya adalah vaksin ini harus disuntikkan, relatif mahal dan kurang
merangsang timbulnya antibodi IgA sekretori di usus, sehingga tidak
dapat menghambat perlekatan, replikasi polio liar dan tidak dapat
menghentikan trasmisi virus tersebut.2,5,8
Indikasi
Indikasi pemberian Inactivated polio vaccine :5,11
 Semua anak harus menerima empat dosis IPV pada bulan 2, 4 dan 6,
dan 4-5 tahun.
 Interval yang lebih disukai antara 3 dosis pertama adalah 2 bulan. Jika
perlindungan dipercepat diperlukan, interval minimum antara dosis
adalah 4 minggu.
 Tidak ada dosis tambahan yang diperlukan jika lebih banyak waktu
dari yang direkomendasikan berlalu antara dosis.
 Mereka yang memulai seri vaksin dengan satu atau lebih dosis OPV
harus menerima IPV untuk menyelesaikan seri vaksinasi. Sebuah
interval minimal 4 minggu harus berlalu antara OPV dan IPV, tetapi
celah minimal 2 bulan adalah lebih baik.
 Inactivated polio vaccine dapat diberikan bersamaan dengan semua
lainnya secara rutin direkomendasikan vaksin anak.
Gambar 2.3 Inactivated polio vaccine
Komposisi
Tiap dosis (0,5 mL) mengandung :5,9
 Virus polio Tipe 1 : 40 D unit antigen
 Virus polio Tipe 2 : 8 D unit antigen
 Virus polio Tipe 3 : 32 D unit antigen
 2-phenoxyethanol 0,5%
 Formaldehid 0,02%
 Neomycin
 Streptomycin
 Polymyxin B
Dosis dan cara pemberian :9
 IPV harus diberikan sebanyak 0,5 ml secara intramuscular pada
paha, sebaiknya paha kanan
 Menggunakan Autodisable Syringe (ADS) yang steril pada setiap
penyuntikan
 Bayi harus menerima minimal 4 dosis IPV dengan interval
minimal 4 (empat) minggu
 IPV diberikan pada usia 2, 4 dan 6 bulan bersamaan dengan vaksin
DPT/HB
 IPV dapat diberikan dengan aman berbarengan denga vaksin DPT,
DT, TT, Td, Campak, Mumps, Rubella, BCG, Hepatitis B atau Hib
dan tidak mempengaruhi pembentukan respon imunologik yang
dihasilkan masing-masing vaksin
Kontraindikasi
Bayi dengan riwayat :
 hipersensitif terhadap salah satu komponen vaksin termasukk
phenoxyethanol, formaldehid 0,02% neomycin, streptomycin,
polymyxin B.
 Bayi yang terinfeksi immunodeficiency virus (HIV) baik
simptomatik maupun asimptomatik bukan kontraindikasi IPV, harus
diimunisasi dengan IPV menurut jadwal standar. Tidak ada gejala
klinis dengan vaksin polio yang dimatikan telah dilakukan pada
hamil perempuan. Meskipun tidak ada bukti yang meyakinkan
melaporkakan dampak buruk dari vaksin polio yang dimatikan pada
wanita hamil atau janin yang sedang berkembang, tetapi pemberian
polio pada ibu hamil tetap tidak diberikan.9,11,13
Penyimpanan
Inactivated polio virus merupakan vaksin yang freeze sensitive ( tidak
kuat terhadap suhu beku) sehingga harus disimpan dan ditransportasikan
pada kondisi suhu 2 – 8 C.5,9
- Pada tingkat provinsi, vaksin harus disimpan dikamar dingin/lemari
es pada suhu 2-8 C
- Pada tingkat kabupaten/kota dan puskesmas, vaksin harus disimpan
di lemari es pada suhu 2-8 C
- Pada pelayanan, vaksin dibawa dengan menggunakan vaccine
carrier yang berisi cool pack (kotak air dingin)
- Berbeda dengan OPV, IPV tidak boleh dibekukan.
c. Kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI)
Kejadian ikutan pasca imunisasi merupakan suatu kejadian (medik)
sakit dan kematian yang terjadi setelah menerima imunisasi yang
disebabkan oleh imunisasi. Biasanya terjadi dalam masa 1 bulan setelah
imunisasi (dapat lebih lama, 6 bulan). Vaksin merupakan produk biologis
yang mengandung antigen penyakit, sehingga diperlukan keseimbangan
kondisi tubuh yang sehat pada saat pemberian imunisasi sehingga
pembentukan imunogenisitas dan reaktogenesis terbentuk sempurna serta
menghasilkan komplikasi yang lebih minimal.9,17
Pada umumnya reaksi terhadap obat dan vaksin dapat merupakan
reaksi simpang (adverse events), atau kejadian lain yang bukan terjadi
akibat efek langsung vaksin. Reaksi simpang vaksin antara lain dapat
berupa efek farmakologi, efek samping (side-effects), interaksi obat,
intoleransi, reaksi idoisinkrasi, dan reaksi alergi yang umumnya secara
klinis sulit dibedakan.efek farmakologi, efek samping, serta reaksi
idiosinkrasi umumnya terjadi karena potensi vaksin sendiri, sedangkan
reaksi alergi merupakan kepekaan seseorang terhadap unsur vaksin
dengan latar belakang genetik. Reaksi alergi dapat terjadi terhadap protein
telur (vaksin campak, gondong, influenza, dan demam kuning), antibiotik,
bahan preservatif (neomisin, merkuri), atau unsur lain yang terkandung
dalam vaksin.9
Kejadian yang bukan disebabkan efek langsung vaksin dapat terjadi
karena kesalahan teknik pembuatan, pengadaan dan distribusi serta
penyimpanan vaksin, kesalahan prosedur dan teknik pelaksanaan
imunisasi, atau kejadian yang timbul secara kebetulan. Kejadian yang
memang akibat imunisasi tersering adalah akibat kesalahan prosedur dan
teknik pelaksanaan (pragmatic errors).
Tidak semua kejadian KIPI disebabkan oleh imunisasi karena
sebagian besar ternyata tidak ada hubungannya dengan imunisasi. Oleh
karena itu untuk menentukan KIPI diperlukan keterangan mengenai:16,17
1. besar frekuensi kejadian KIPI pada pemberian vaksin tertentu
2. sifat kelainan tersebut lokal atau sistemik
3. derajat sakit resipien
4. apakah penyebab dapat dipastikan, diduga, atau tidak terbukti
5. apakah dapat disimpulkan bahwa KIPI berhubungan dengan vaksin,
kesalahan produksi, atau kesalahan prosedur.
Kejadian ikutan pasca imunisasi dibagi menjadi 5 kelompok faktor
etiologi menurut klasifikasi lapangan WHO Western Pacific (1999),
yaitu:18
1. Kesalahan program/teknik pelaksanaan (programmic errors)
Sebagian kasus KIPI berhubungan dengan masalah program dan
teknik pelaksanaan imunisasi yang meliputi kesalahan program
penyimpanan, pengelolaan, dan tata laksana pemberian vaksin.
Kesalahan tersebut dapat terjadi pada berbagai tingkatan prosedur
imunisasi, misalnya:
 Dosis antigen (terlalu banyak)
 Lokasi dan cara menyuntik
 Sterilisasi semprit dan jarum suntik
 Jarum bekas pakai
 Tindakan aseptik dan antiseptik
 Kontaminasi vaksin dan perlatan suntik
 Penyimpanan vaksin
 Pemakaian sisa vaksin
 Jenis dan jumlah pelarut vaksin
 Tidak memperhatikan petunjuk produsen
Kecurigaan terhadap kesalahan tata laksana perlu diperhatikan apabila
terdapat kecenderungan kasus KIPI berulang pada petugas yang sama.
2. Reaksi suntikan
Semua gejala klinis yang terjadi akibat trauma tusuk jarum suntik baik
langsung maupun tidak langsung harus dicatat sebagai reaksi KIPI.
Reaksi suntikan langsung misalnya rasa sakit, bengkak dan kemerahan
pada tempat suntikan, sedangkan reaksi suntikan tidak langsung
misalnya rasa takut, pusing, mual, sampai sinkope.
3. Induksi vaksin (reaksi vaksin)
Gejala KIPI yang disebabkan induksi vaksin umumnya sudah dapat
diprediksi terlebih dahulu karena merupakan reaksi simpang vaksin
dan secara klinis biasanya ringan. Walaupun demikian dapat saja
terjadi gejala klinis hebat seperti reaksi anafilaksis sistemik dengan
resiko kematian. Reaksi simpang ini sudah teridentifikasi dengan baik
dan tercantum dalam petunjuk pemakaian tertulis oleh produsen
sebagai indikasi kontra, indikasi khusus, perhatian khusus,
atauberbagai tindakan dan perhatian spesifik lainnya termasuk
kemungkinan interaksi obat atau vaksin lain. Petunjuk ini harus
diperhatikan dan ditanggapi dengan baik oleh pelaksana imunisasi.
4. Faktor kebetulan (koinsiden)
Seperti telah disebutkan di atas maka kejadian yang timbul ini terjadi
secara kebetulan saja setelah diimunisasi. Indikator faktor kebetulan
ini ditandai dengan ditemukannya kejadian yang sama disaat
bersamaan pada kelompok populasi setempat dengan karakterisitik
serupa tetapi tidak mendapatkan imunisasi.
5. Penyebab tidak diketahui
Bila kejadian atau masalah yang dilaporkan belum dapat
dikelompokkan kedalam salah satu penyebab maka untuk sementara
dimasukkan kedalam kelompok ini sambil menunggu informasi lebih
lanjut. Biasanya dengan kelengkapan informasi tersebut akan dapat
ditentukan kelompok penyebab KIPI.

Kejadian ikutan pasca imunisasi atau KIPI dapat terjadi pasca


imunisasi IPV tetapi reaksi ini jarang terjadi, antara lain :5,9
- Reaksi lokal : reaksi eritema kemerahan ( pembengkakan pada
suntikan).
- Reaksi sistemik : demam, mual dan muntah, iritabilitas, anoreksia,
menangis yang menetap dan keletihan. Polio paralisis, polio paralisis
pada resipien munokompromais, komplikasi akut termasuk kecacatan
dan kematian
- Vaccine Associated Paralytic Poliomyelitis (VAPP). World Health
Organization mendefinisikan sebagai ; suatu kelumpuhan layuh akut
yang terjadi 4-30 hari setelah menerima OPV, 4-75 hari setelah kontak
dengan penerima OPV, disertai masih adanya kelainan neurologis pada
60 hari setelah awitan atau penderita meninggal. Prevalensi VAPP
tersering pada penderita imunodefisiensi ( B cell deficiencies )
agamaglobulin atau hipogamaglobulin.5
Imunisasi pada kelompok resiko
Untuk mengurangi resiko timbulnya KIPI maka harus diperhatikan
apakah resipien termasuk dalam kelompok resiko. Yang dimaksud dengan
kelompok resiko adalah:17
1. Anak yang mendapat reaksi simpang pada imunisasi terdahulu
Hal ini harus segera dilaporkan kepada Pokja KIPI setempat dan KN
PP KIPI dengan mempergunakan formulir pelaporan yang telah
tersedia untuk penanganan segera
2. Bayi berat lahir rendah
Pada dasarnya jadwal imunisasi bayi kurang bulan sama dengan bayi
cukup bulan. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada bayi kurang bulan
adalah:
a) Titer imunitas pasif melalui transmisi maternal lebih rendah dari
pada bayi cukup bulan
b) Apabila berat badan bayi sangat kecil (<1000 gram) imunisasi
ditunda dan diberikan setelah bayi mencapai berat 2000 gram atau
berumur 2 bulan;
c) Apabila bayi masih dirawat setelah umur 2 bulan, maka vaksin polio
yang diberikan adalah suntikan IPV bila vaksin tersedia, sehingga
tidak menyebabkan penyebaaran virus polio melaui tinja
3. Pasien imunokompromais
Keadaan imunokompromais dapat terjadi sebagai akibat penyakit dasar
atau sebagai akibat pengobatan imunosupresan (kemoterapi,
kortikosteroid jangka panjang). Jenis vaksin hidup merupakan indikasi
kontra untuk pasien imunokompromais dapat diberikan IVP bila vaksin
tersedia. Imunisasi tetap diberikan pada pengobatan kortikosteroid dosis
kecil dan pemberian dalam waktu pendek. Tetapi imunisasi harus
ditunda pada anak dengan pengobatan kortikosteroid sistemik dosis 2
mg/kg berat badan/hari atau prednison 20 mg/ kg berat badan/hari
selama 14 hari. Imunisasi dapat diberikan setelah 1 bulan pengobatan
kortikosteroid dihentikan atau 3 bulan setelah pemberian kemoterapi
selesai.
4. Pada resipien yang mendapatkan human immunoglobulin
Imunisasi virus hidup diberikan setelah 3 bulan pengobatan utnuk
menghindarkan hambatan pembentukan respons imun.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian


Jenis penelitian ini adalah retrospektif dengan mengambil data
imunisasi polio yang tercatat di Puskesmas Koya Barat tahun 2012-2016.
3.2. Waktu Penelitian
Waktu Penelitian dilakukan dari tanggal 16 Mei 2016 – 21 Mei 2016
3.3. Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Puskesmas Koya Barat yang merupakan
wilayah kerja dari Dinas Kesehatan Kota Jayapura.
3.4. Populasi Dan Sampel
1. Populasi penelitian yaitu semua anak yang mengikuti imunisasi polio di
Puskesmas Koya Barat Tahun 2012-2016
2. Sampel penelitian ini yaitu anak berdasarkan cakupan wilayah imunisasi
polio, jenis kelamin maupun lengkap dan tidak lengkap anak yang
mengikuti imunisasi polio
3.5. Variabel Penelitian
1. Cakupan imunisasi polio di wilayah kerja Puskesmas Koya barat
2. Jenis kelamin anak yang mengikuti imunisasi polio
3. Kelengkapan imunisasi polio
3.6. Teknik Pengumpulan Dan Analisis Data
Data didapatkan dari data sekunder dari Puskesmas Koya Barat. Data disajikan
dalam bentuk tabel dan grafik.
3.7. Definisi Operasional
1. Cakupan imunisasi polio di wilayah kerja Puskesmas Koya barat, yaitu
Wilayah Koya Barat, Koya Timur, Koya Tengah, dan Holtekam
2. Melihat berapa jumlah anak yang mengikuti imunisasi polio berdasarkan
jenis kelamin
3. Melihat berapa jumlah anak yang melakukan imunisasi polio dengan
lengkap dan jumlah anak yang tidak lengkap
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
4.1.1 Data imunisasi polio berdasarkan Cakupan wilayah kerja di
Puskesmas Koya Barat Tahun 2012-2016
Data penemuan cakupan wilayah kerja di Puskesmas Koya Barat Tahun
2012-2016, didapatkan hasil sebagai berikut:
Tahun Koya Barat Koya Timur Koya Tengah Holtekamp
2012 187 104 30 40
2013 - - - -
2014 195 119 20 44
2015 240 148 24 51
2016 118 97 15 34
Total 740 468 89 169

Data imunisasi polio berdasarkan cakupan wilayah


kerja Puskesmas Koya Barat tahun 2012-2016
300

250

200

150

100

50

0
Koya Barat Koya Timur Koya Tengah Holtekamp

2012 2013 2014 2015 2016

4.1.2 Data imunisasi polio berdasarkan Jenis Kelamin di wilayah kerja


Puskesmas Koya Barat Tahun 2012-2016
Data penemuan cakupan jenis kelamin di Puskesmas Koya Barat Tahun
2012-2016, didapatkan hasil sebagai berikut.
Laki-laki Perempuan
Tahun KB KT Kote Hol Total KB KT Kote Hol Total

2012 75 52 15 24 166 106 52 15 16 189


2013 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2014 101 51 8 17 177 94 68 12 21 195
2015 110 62 10 29 211 122 86 14 22 244
2016 53 40 4 14 111 57 57 11 20 145

Grafik data imunisasi polio berdasarkan jenis


kelamin di wilayah kerja Puskesmas Koya
300
Barat
250
244
200
211
186 195
150 177
166
145
100
111
50
0 0
0
Laki-laki Perempuan
2012 2013 2014 2015 2016

4.1.3 Data imunisasi polio berdasarkan Lengkap dan Tidak Lengkap di


Wilayah Kerja Puskesmas Koya Barat Tahun 2012-2016
Data penemuan Imunisasi Polio Lengkap dan Tidak Lengkap di Puskesmas
Koya Barat Tahun 2012-2016, didapatkan hasil sebagai berikut:
Lengkap Tidak Lengkap
Tahun KB KT Kote Hol Total KB KT Kote Hol Total

2012 63 47 17 18 145 128 57 13 22 220


2013 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
2014 75 50 11 16 152 81 81 9 24 195
2015 175 104 12 32 323 65 44 12 19 140
2016 71 55 7 21 154 45 42 8 13 108
Jumlah 774 Jumlah 663
Grafik data imunisasi polio berdasarkan jenis kelamin di
wilayah kerja Puskesmas Koya Barat
350 323

300

250 220
195
200
145 152 154
140
150
108
100

50
0 0
0
2012 2013 2014 2015 2016

lengkap tidak lengkap

4.2 Pembahasan
4.2.1 Data imunisasi polio berdasarkan Cakupan wilayah kerja di
Puskesmas Koya Barat Tahun 2012-2016

Imunisasi polio berdasarkan cakupan wilayah kerja Puskesmas Koya Barat


pada Periode Tahun 2012-2016 terdapat paling banyak jumlah keikutsertaan polio
yaitu di Posyandu Koya Barat dan yang paling sedikit di Posyandu Koya Tengah.
Dengan jumlah pertahunnya dari Tahun 2012 untuk Koya Barat 187 orang, Koya
Timur 104 orang, Holtekam 40 orang, dan Koya Tengah 30 orang. Tahun 2014
untuk Koya Barat 195 orang, Koya Timur 119 orang, Holtekam 44 orang dan Koya
Tengah 20 orang. Tahun 2015 Koya Barat 240 orang, Koya Timur 148 orang,
Holtekam 51 orang dan Koya Tengah 24 orang. Tahun 2016 untuk Koya Barat 118
orang, Koya Timur 97 orang, Holtekam 34 orang dan Koya Tengah 15 orang.
Dengan jumlah total keseluruhannya adalah Koya Barat 740 orang, Koya Timur
468 orang, Holtekam 169 orang dan Koya Tengah 89 orang. Sedangkan pada Tahun
2013 tidak terdapat jumlah polio untuk cakupan wilayah sehingga tidak
dimasukkan dalam tabel data.
Berdasarkan hasil cakupan imunisasi polio untuk cakupan wilayah maka
ditemukan ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya ketidaksaan
dalam jumlah keikut sertaan imunisasi polio.

Faktor – faktor yang dapat mempengaruhi yaitu :

1. Tingkat pendidikan pada suatu wilayah akan berpengaruh pada seorang


untuk melakukan perilaku hidup sehat termasuk imunisasi polio dalam suatu
wilayah. Hal ini sesuai dengan pendapat Ki Hajar Dewantara yang
menyatakan pendidikan seseorang merupakan salah satu proses perubahan
tingkahlaku, semakin tinggi pendidikan seseorang maka dalam memilih
tempat-tempat pelayanan kesehatan semakin diperhitungkan (Achmad
Munib dkk, 2006: 32).
2. Tingkat Pengetahuan penduduk pada suatu wilayah akan dapat
mempengaruhi untuk mengikuti imunisasi Polio karena pengetahuan yang
baik akan berpengaruh dalam bertindak. Hal ini disebabkan karena
pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya
tindakan seseorang (Soekidjo Notoatmodjo, 2003:123).
3. Status Pekerjaan hal ini juga berdampak pada jumlah imunisasi polio di
suatu wilayah. Karena luasnya wilayah kerja dan tingkat kesibukan seorang
ibu akan membuatnya sulit dalam mengurusi anaknya termasuk mengikuti
imunisasi polio, sehingga jumlahnya akan berkurang. Sesuai dengan teori
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Pandji
Anoraga (2005:120) yang menyatakan bahwa bertambah luasnya lapangan
kerja, semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama
di sektor swasta. Di satu sisi berdampak positif bagi pertambahan
pendapatan, namun disisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan
pemeliharaan anak.
Dukungan anggota keluarga juga dapat mempengaruhi pada jumlah
imunisasi polio di suatu wilayah karena akan membantu dalam mengikuti
imunisasi polio. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang dikemukakan
oleh Soekidjo Notoatmodjo (2003:125) yang menyatakan bahwa untuk
mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan yang nyata diperlukan faktor
pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah
fasilitas. Sikap ibu yang positif terhadap imunisasi harus mendapat
konfirmasi dari suaminya dan ada fasilitas imunisasi yang mudah dicapai,
agar ibu tersebut mengimunisasikan anaknya. Disamping faktor fasilitas,
juga diperlukan dukungan dari pihak lain misalnya suami, orang tua,
mertua, dan saudara.
4.2.2 Data imunisasi polio berdasarkan Jenis Kelamin di wilayah kerja
Puskesmas Koya Barat Tahun 2012-2016
Imunisasi polio berdasarkan jenis kelamin di wilayah kerja
puskesmas koya barat didapatkan bahwa bayi dan balita perempuan lebih
banyak dibanding laki-laki. Hal ini disebabkan karena jumlah bayi dan
balita di distrik muara tami tahun 2012 diketahui perempuan 189 orang dan
laki-laki 166 orang, tahun 2014 didapatkan perempuan 195 orang dan laki-
laki 177 orang, jumlah tahun 2015 adalah perempuan 244 orang dan laki-
laki 211 orang serta jumlah tahun 2016 adalah perempuan 145 orang dan
laki-laki 111 orang. Pada tahun 2013 tidak disertakan data jumlah jenis
kelamin bayi dan balita di distrik muara tami. Dapat dilihat bahwa jumlah
bayi dan balita perempuan lebih banyak dibanding laki-laki. Hal ini terjadi
karena jumlah bayi dan balita perempuan yang berdomisili di distrik muara
tami 773 orang dan laki-laki 665 orang.

4.2.3 Data imunisasi polio berdasarkan Lengkap dan Tidak Lengkap di


Wilayah Kerja Puskesmas Koya Barat Tahun 2012-2016
Penelitian yang dilakukan mencatat dan menganalisis secara
deskriptif balita yang telah menerima imunisasi polio yang berada di
wilayah kerja puskesmas Koya barat tahun 2012-2016.
Berdasarkan data yang tercatat sejak tahun 2012-2016 terdapat 1437
balita yang mendapatkan imunisasi polio yang setiap tahunnya memiliki
jumlah yang berbeda. Cakupan dari imunisasi polio di pskesmas koya
barat sudah 100% hanya masih ada yang belum mendapatkan imunisasi
lengkap.
Berdasarkan lengkap dan tidak lengkapnya imunisasi polio yang
diberikan pada balita di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat dari total
keseluruhan 1437 balita yang mendapatkan imunisasi polio sejak tahun
2012-2016 maka didapatkan hasil 54% mendapatkan imunisasi lengkap
dan 46% mendapatkan imunisasi yang belum lengkap, pada tahun 2012
balita yang mendapatkan imunisasi lengkap lebih sedikit dibandingkan
dengan yang tidak mendapatkan imunisasi tidak lengkap dimana yang
mendapatkan imunisasi lengkap hanya 145 dan yang tidak mendapatkan
imunisasi tidak lengkap mencapai 220, begitu pula terjadi pada tahun 2014
balita yang mendapatkan imunisasi lengkap 152 sedangkan yang
mendapatkan imunisasi tidak lengkap 195, data pada tahun 2013 tidak
tersedia dari puskesmas Koya Barat, pada tahun 2015 dan 2016 balita yang
mendapatkan imunisasi polio lengkap sudah lebih tinggi bila dibandingkan
dengan imunisasi tidak lengkap yaitu pata tahun 2015 323 mendapatkan
imunisasi lengkap dan hanya 140 yang tidak mendapatkan imunisasi
lengkap, dan pada tahun 2016 hingga bulan mei yang mendapatkan
imunisasi lengkap 154 dan 108 mendapatkan imunisasi tidak lengkap,
berdasarkan data diatas maka dapat kita ketahui bahwa pada terjadi
peningkatan jumlah balita yang mendapatkan imunisasi lengkap.
Banyak alasan yang dapat mendasari mengapa masih banyak balita
yang belum mendaatkan imunisasi lengkap, adapun beberapa alasan yang
yang menyebabkan pemberian imunisasi yang tidak lengkap adalah :
a. Tingkat pengetahuan
Seorang ibu akan membawa bayinya untuk diimmnisasi bila seorang
ibu mengerti apa manfaat immnunisasi tersebut bagi bayinya,
pemahaman dan pengetahuan seorang ibu terhadap kelengkapan
imunisasi dasar terhadap bayi akan memberikan pengaruh terhadap
imunisasi bayinya.
b. Jumlah anak
Keluarga yang memiliki hanya satu orang anak biasanya akan mampu
memberikan perhatian penuh kepada anaknya, segala kebutuhan baik
fisik maupun mental mereka berikan secara baik. Akan tetapi perhatian
kepada anak akan terbagi bila lahir anak yang berikutnya, perhatian ibu
akan terbagi sejumlah anak yang dilahirkannya. Hal ini sering kali
mengakibatkan pemberian imunisasi tidak sama untuk semua anaknya.
Hasil SDKI 1997 terlihat bahwa anak yang tidak pernah di imunisasi
terbesar adalah anak bungsu.
c. Urutan kelahiran
Dari hasil SDKI 1997 terlihat bahwa berdasarkan urutan kelahiran yang
diimunisasi lengkap adalah anak I sebesar 56,6%, anak ke 2-3 sebesar
62,1%, anak ke 4-6 sebesar 42,3%, sedangkan anak ke > 7 hanya
32,4%.
d. Jenis efek samping
Imunisasi Pemberian imunisasi mempunyai beberapa efek samping
yang berbeda untuk setiap jenis imunisasi, sering kali ibu bayi tidak
percaya bahwa reaksi yang timbul setelah bayi diimunisasi hanya
sebagai pertanda reaksi vaksin dalam tubuh bayi. Jika tingkat
pengetahuan ibu rendah akan menyerbabkan ketakutan pada ibu untuk
membawa bayinya imunisasi.
e. Penilaian pelayanan
Imunisasi Dalam hal ini pelayanan kesehatan pemberian imunisasi pada
bayi sangat penting, karena apabila pelayanan yang diberikan kurang
memuaskan maka si ibu merasa enggan membawa bayinya untuk
imunisasi.
f. Jarak pelayanan
Jarak antara pelayanan kesehatan dengan rumah ibu biasanya menjadi
pertimbangan untuk membawa bayinya imunisasi. Apabila jaraknya
jauh dari rumah, transportasi yang sulit maka ibu merasa enggan
membawa bayinya imunisasi ke tempat pelayanan imunisasi (Mariaty ,
2003).
BAB IV

KESIMPULAN

1. Imunisasi polio pada cakupan wilayah kerja Puskesmas Koya Barat Periode
Tahun 2012-2016 untuk jumlah total keseluruhan yang terbanyak adalah
Posyandu Koya Barat dengan jumlah 740 orang dan yang paling sedikit
Posyandu Koya Tengah jumlah 89 . Dari hasil data ini ada beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi jumlah imunisasi polio seperti Tingkat Pendidikan,
Tingkat Pengetahuan, Status Pekerjaan dan Dukungan anggota keluarga.
2. Berdasarkan hasil didapatkan jumlah bayi dan balita perempuan lebih banyak
dibandingkan laki-laki dilihat dari total jumlah bayi dan balita perempuan 773
orang dan laki-laki 665 orang dari tahun 2012-2016 yang berdomisili di wilayah
kerja Puskesmas Koya Barat.
3. Berdasarkan lengkap dan tidak lengkapnya imunisasi polio yang diberikan pada
balita di wilayah kerja Puskesmas Koya Barat dari total keseluruhan 1437 balita
yang mendapatkan imunisasi polio sejak tahun 2012-2016 maka didapatkan
hasil 54% mendapatkan imunisasi lengkap dan 46% mendapatkan imunisasi
yang belum lengkap. Hal ini disebabkan oleh faktor-faktor seperti tingkat
pengetahuan, jumlah anak, urutan kelahiran, jenis efek samping, penilaian
pelayanan dan jarak pelayanan.

Anda mungkin juga menyukai