Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH EKONOMI MAKRO ISLAM

“REDONOMINASI DAN SANERING MATA UANG”

Dosen Pengampu : Muhammad Baihaqi, M. Si

Disusun Oleh Kelompok III :


Ziadatul Khairoh : 1502151823
Firiani : 1502151824
Muflihun : 1502151809

MAHASISWA SEMESTER IV B
PROGRAM STUDI PERBANKAN SYARIAH
FAKULTAS SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) MATARAM
TAHUN 2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha Kuasa. Berkat
Rahmat dan Karunia-Nya kami dapat menyelesaikan tugas Ekonomi Makro Islam
yang ditugaskan oleh bapak Muh. Baihaqi, M.Si, tentang Redenominasi dan Sanering
Mata Uang dengan baik sesuai dengan kemampuan. Kami juga ucapkan terimakasih
kepada pihak-pihak yang ikut serta membantu menyelesaikan makalah ini sehingga
dapat terselesaikan dengan baik.
Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya.
Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun
orang yang membacanya. Kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata
yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan di masa depan.

Mataram, 22 maret 2017

1. Ziadatul Khairoh
2. Fitriani
3. Muflihun
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia yang merupakan
lembaga Negara yang independent, bebas dari campur tangan pemerintah atau pihak-
pihak lainnya. Tujuan bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah terhadap barang dan jasa yang tercermin dari kurs valuta asing. Dalam
rangka menciptakan sistem pembayaran yang efisien, cepat, aman, dan handal inilah
bank Indonesia memerlukan suatu kebijakan yang disebut redenominasi.
Redenominasi mata uang rupiah merupakan salah satu kewenangan bank
Indonesia dalam rangka mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran di
Indonesia, yang tidak boleh diintervensi oleh pihak-pihak lain, baik oleh pemerintah
maupun DPR. Ini bukan kebijakan mata uang pertama di Indonesia. Ada tiga
kebijakan mata uang yang pernah dilakukan di Indonesia. Pertama, pada awal 1950,
terdapat peristiwa gunting syafruddin. Kebijakan ini dilakukan dengan cara
menggunting uan kertas menjadi dua bagian, bagian kanan dan bagian kiri.
Guntingan uang kertas bagian kiri tetap merupakan alat pembayaran yang sah dengan
nilai separuh dari nilai nominal yang tertera, sedangkan guntingan uang kertas bagian
kanan ditukarkan dengan obligasi pemerintah yang dapat dicairkan beberapa tahun
kemudian. Kebijakan ini dilakukan pemerintah guna mengurangi jumlah uang
beredar yang ada di masyarakat.
Munculnya keresahan atas status rupiah yang terlalu rendah ketimbang
mata uang lainnya, misalnya terhadap dollar, euro dan uang global lainnya. Pecahan
uang Indonesia yang terlalu besar akan menimbulkan ketidakefisienan dan
ketidaknyamanan dalam melakukan transaksi, karena diperlukan waktu yang banyak
untuk mencatat, menghitung dan membawa uang untuk melakukan transaksi
sehingga terjadi ketidakefisienan dalam transaksi ekonomi.
Dan juga melakukan sanering yaitu pemotongan nilai mata uang sehingga
mempengaruhi daya beli masyarakat terhadap barang maupun jasa. Hal yang sama
tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Kebijakan sanering akan menurunkan atau mengurangi nilai uang. Nilai uang juga
berubah dari sebelumnya. Misalnya jika nilai uang Rp 100.000 dipotong menjadi Rp
100. Karena nilainya sudah diturunkan, jumlah barang yang dibeli dengan uang baru
akan lebih sedikit dibandingkan dengan uang lama. Jika Rp 100.000 lama bisa dapat
satu baju, maka dengan pecahan baru Rp 100 tidak bisa lagi mendapatkan satu baju
yang sama. Pemerintah melakukan sanering dengan tujuan untuk meredam inflasi
yang tinggi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apakah yang dimaksud dengan Redenominasi dan Sanering Mata Uang?
2. Apa perbedaan redenominasi dan sanering mata uang?
3. Apa manfaat redenominasi dan sanering mata uang?
4. Apa dampak positif dan negative redenominasi dan sanering mata uang?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian redenominasi dan sanering


Redenominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau
pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar rupiah terhadap
harga barang dan/ atau jasa. dari nilai pecahan rupiah yang ada. Misalnya dari
Rp1.000 menjadi Rp1. Harga barang yang semula Rp 1.000 juga berubah menjadi
seharga Rp 1. Contohnya, pada harga bawang putih 1 kilogram Rp.4000, dengan
redenominasi tiga digit nolnya dihilangkan, maka harga bawang putih menjadi Rp.4.
Harga bawang putih tetap, hanya nominalnya saja yang disederhanakan. Daya beli
uang yang dikenakan redenominasi pun tetap. Dengan uang Rp.4, masyarakat tetap
dapat membeli 1 kilogram bawang putih.
Sedangkan dalam sanering adalah pemotongan nilai uang sedangkan harga-
harga barang tetap bahkan cenderung meningkat sehingga daya beli efektif
masyarakat menjadi menurun. Misalnya harga bawang putih yang semula Rp 4000,
tidak serta merta bisa menjadi Rp 4. Bisa jadi, harga barang tetap seperti harganya
semula. Sementara nilai uang Rp 4000 di masyarakat, telah berubah menjadi Rp 4.
Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita
jadi tak mampu membeli bawang putih lagi.
Redenominasi dilakukan pada saat ekonomi stabil, sedang tumbuh positif
dan tingkat inflasi terkendali, sementara sanering dilakukan dalam kondisi ekonomi
yang tidak sehat dan inflasi yang melejit dan tidak terkendali. Sehingga daya beli
mata uang merosot dengan cepat. Untuk mengatasinya, bukan harga barang yang
diturunkan dengan menambah stok barang, melainkan nilai mata uang yang
diturunkan. Perbedaan redenominasi dan sanering menurut Ihda Faiz, digambarkan
dalam tabel berikut :
Perbedaan Redenominasi Sanering
Penataan nominal mata Pemotongan nilai mata
Pengertian
uang uang
Mengurangi jumlah uang
Tujuan Penyederhanaan mata uang
yang beredar
Dampak terhadap Tidak ada (kecuali Dirugikan karena daya
masyarakat penyesuaian kebiasaan) beli menurun

Daya beli uang Tetap Turun


Instabilitas
Kondisi makroekonomi
Syarat kondisi makroekonomi,
stabil
hiferinflasi
Perlu masa transisi yang Dilakukan secara
Waktu pergantian
terukur dan terkendali mendesak

Dari tabel di atas tergambar adanya perbedaan, namun antara istilah


redenominasi dan sanering seringkali memunculkan keresahan di tengah masyarakat.
Karena pada prakteknya tidak selalu mulus, dan jika terjadi kegagalan dapat
memunculkan gejolak di tengah masyarakat. Junanto Herdiawan mengibaratkan
istilah redenominasi sebagai istilah licin, karena ketidak mulusan penerapannya.
Sebagai contoh, Turki menjadi negara yang berhasil melakukan redenominasi
terhadap mata uangnya, dengan memperkenalkan New Turkish Lira. Namun di sisi
lain, Korea Utara menjadi contoh negara yang masih mengalami masalah dengan
redenominasi mata uang Won-nya, yang dilakukan pada Desember 2009 lalu. Pasar
gelap bermunculan, dan masyarakat melarikan uangnya ke Yuan ataupun Dolar
Amerika karena panik. Bahkan jika gagal memungkinkan untuk berubah menjadi
sanering, seperti yang diungkapkan Deputi Gubernur BI, Budi Rochadi pada
wartawan, Selasa (3/8) yang mengatakan, sebenarnya redenominasi sudah pernah
dilakukan Indonesia pada tahun 1966. Namun karena saat itu inflasi di Indonesia
sedang tinggi, maka redenominasi yang diberlakukan pemerintah justru gagal
mengamankan perekonomian. Saat itu, uang Rp1.000 menjadi Rp1. Karena gagal,
tahun itu juga BI sekaligus melakukan sanering, yakni melakukan pemotongan uang
dimana yang dipotong hanya nilai uangnya saja. “Jadi kita sudah pernah
redenominasi sekali dan sanering sekali. Waktu itu karena inflasi redenominasi gagal.
Sekarang kita usulkan lagi wacana redenominasi karena inflasi kita sudah terkendali,”
kata Budi.
Muhammad Iqbal menyebutkan bahwa salah satu cara untuk melihat perlu
tidaknya redenominasi dilakukan adalah dengan mengukur daya beli uang fiat (uang
kertas) terhadap suatu komoditi baku (atau sekelompok komoditi) yang nilainya stabil
sepanjang masa, misalnya harga emas. Disebutkan pula bahwa redenominasi
sebaiknya dilakukan pada saat harga emas melewati gridline tertentu yang dipandang
sudah terlalu tinggi dalam mata uang yang bersangkutan. Bila persentuhan pada
gridline ini bersamaan dengan situasi ekonomi dan inflasi yang stabil, maka namanya
adalah redenominasi. Tetapi bila persentuhannya bersamaan dengan gonjang-ganjing
ekonomi dan inflasi tinggi maka namanya adalah sanering.

Manfaat Redenominasi

Ada tiga manfaat utama yang bisa kita dapatkan jika redenominasi diterapkan, yaitu:

a) Menyederhanakan Perhitungan

Proses transaksi perdagangan, akuntasi, perbankan sudah jelas akan

mendapatkan keuntungan karena nilai uang berkurang nolnya namun bukan hanya

itu, para programer juga akan mendapatkan keuntungan karena nilai transaksi

perhitungan dalam program yang dibuat menjadi lebih sederhana.

b) Meningkatkan Produktifitas

Anggaplah anda adalah petugas administrasi bagian entry data yang

menggunakan Microsoft Excel. Dengan menghilangkan tiga nol disetiap pencatatan

transaksi, anda akan menghemat waktu satu detik untuk setiap transaksi, bayangkan

anda sehari menginput 1000 transaksi, maka ada seribu detik waktu yang dihemat. Itu

semua saja dengan 16 menit penghemat waktu perhari dan jika dikalikan 1 tahun

kerja (dengan asumsi hari akti bekerja 300 hari ), maka itu sama saja anda
menghemat waktu 80 jam kerja atau sekitar 10 hari kerja. Itu baru satu orang,

bayangkan jika ada 1 juta orang Indonesia yang melakukan pencatatan transaksi

disetiap harinya, berapa penghematan waktunya ?

c) Menigkatkan harga Diri Bangsa

Nominal mata uang Indonesia menduduki peringkat kedua di dunia.


Sekedar gambaran, rata-rata penduduk Amerika berpenghasilan 2.500 USD
perbulan. Setara dengan 25.000.000 rupiah perbulan. Nah liat ? harga iPhone di
Amerika Cuma 700 USD, di Indonesia 6.500.000 rupiah. Nilai rupiah terasa tidak
berharga.
Dampak Redenominasi

Redenominasi dapat menimbulkan dua dampak. Yaitu :

1. Dampak Positif

a) Frekuensi pencetakan uang menjadi lebih jarang karena uang logam lebih tahan
lama.
b) Dapat mengatasi masalah inefisiensi waktu dan salah hitung karena jumlah nol
yang terlalu banyak.
c) Redenominasi juga akan menyederhanakan penulisan nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing sehingga rupiah terlihat memiliki kekuatan karena nilainya
mendekati nilai dollar Amerika Serikat.
2. Dampak Negatif
a) Bertambah besarnya biaya operasional perusahaan karena harus mengganti
sistem pembukuan, percetakan, dan sisitem teknologi informasi.
b) Bank Indonesia juga akan mengeluarkan biaya yang besar untuk mencetak uang
baru hasil redenominasi.
c) Timbulnya dampak sosial berupa ketidak percayaan masyarakat terhadap rupiah,
bahkan dapat menjadi boomerang dimana masyarakat justru memborong dollar AS
karena mereka mengira redenominasi sama dengan sanering jika tidak dilakukan
sosialisasi dengan baik.
Ada beberapa keuntungan yang dapat diperoleh dari diterapkannya redenominasi
di Indonesia, salah satunya ialah:

Terciptanya efisiensi dan kenyamanan dalam melakukan transaksi. Meskipun


memang hal ini tidak sepenuhnya berlaku bagi semua kalangan, namun bagi para
pelaku bisnis, ekonom, dan juga akuntan, hal ini akan sangat memudahkan mereka
dalam bertransaksi dan mencatatkan keuangan.

Seperti yang kita ketahui bersama, nilai/redenominasi yang ada pada rupiah
saat ini (diwakili Rp100 ribu) merupakan pecahan terbesar ke-3 di dunia setelah
Zimbabwe dengan 10 juta dolar Zimbabwenya dan Vietnam dengan 500 ribu
dongnya. Pecahan mata uang yang terlalu besar akan membuat proses pembayaran
dan transaksi tunai menjadi lebih sulit dan dinilai sangat tidak efisien dalam
pencatatan laporan keuangan.
a) Redenominasi pun dapat mengurangi hambatan dan kendala teknis berupa
kemungkinan kesalahan manusia (human error) dalam proses pembukuan transaksi
atau kegiatan statistik lainnya, yang mana semakin besar pecahan mata uangnya
berarti semakin banyak jumlah digit yang digunakan, maka semakin besar pula resiko
keteledoran seseorang dalam melakukan perhitungan.
b). Selain itu, redenominasi juga dinilai dapat meningkatkan martabat bangsa.
Dengan denominasi yang dimiliki seperti saat ini, rupiah dinilai kurang bergengsi jika
dibandingkan mata uang negara regional lainnya seperti ringgit Malaysia, peso
Filipina, dan baht Thailand. Maka, setelah dilakukannya redenominasi, diharapkan
persepsi atau kepercayaan masyarakat terhadap rupiah dapat meningkat. Dengan
demikian, rupiah dapat berfluktuasi dengan lebih stabil bahkan cenderung menguat di
pasar uang antar bank. Sebagai informasi, pelemahan nilai tukar rupiah seringkali
disebabkan oleh prilaku masyarakat yang lebih senang ‘memegang’ mata uang asing
ketimbang rupiah dikarenakan tingkat kepercayaan pada rupiah yang rendah.
Di sisi lain, meskipun dikatakan memiliki banyak keuntungan,
redenominasi sebetulnya berpotensi memicu terjadinya inflasi tinggi. Hal ini
dikarenakan adanya kemungkinan pembulatan harga-harga ke atas yang dilakukan
para pelaku pasar untuk kepentingan pribadi. Pembulatan harga suatu barang ke atas
tentu akan mengakibatkan harga barang lainnya ikut melambung.
Perlu diingat, jika redenominasi jadi diterapkan sesuai yang diwacanakan
(menghilangkan tiga angka nol) maka akan ada pecahan mata uang di bawah rupiah
yang disebut sen yaitu 5 sen (dari Rp500), 2 sen (dari Rp200), dan 1 sen (dari
Rp100). Pecahan sen ini tentu akan menjadi kerumitan tersendiri yang
memungkinkan adanya spekulan (rent seeker) di tengah kepanikan pasar yang terjadi.
Dan bukan tidak mungkin, dengan pemahaman yang tidak berimbang (imperfect
foresight), masyarakat akan terpengaruh isu yang menjadikan rasionalitas mereka
berkurang dan menganggap pecahan sen yang ada tidak berharga. Informasi yang
tidak sempurna (asymmetric information) akan membuat resiko terjadinya hal-hal
tersebut semakin besar dan akan berujung pada tidak kondusifnya perekonomian dan
juga inflasi yang tinggi. Untuk itu, mutlak diperlukannya sosialisasi yang panjang,
berkualitas, dan juga intensif dari Pemerintah dan BI selaku otoritas moneter sampai
masyarakat benar-benar memahami dan terbiasa dengan pecahan mata uang yang
baru. Unsur-unsur lain di luar ekonomi seperti sosial, politik, dan psikologis
(sospolgis) menjadi pertimbangan lain yang perlu diselaraskan. Jangan sampai
Indonesia bernasib sama seperti Brazil, Rusia, Korea Utara, dan Zimbabwe karena
mengabaikan ketiga hal tersebut dalam menerapkan redenominasi.
Pada akhirnya, keuntungan dari redenominasi hanya akan bersifat semu
jika tak diiringi fundamentalnya. Dan jika redenominasi merupakan suatu
keniscayaan, seharusnya ini tidak menjadi suatu hal yang perlu diresahkan. Trauma
masa lalu mungkin sulit untuk dihilangkan, namun janganlah sampai trauma tersebut
mengaburkan rasionalitas kita dalam memahami bahwasanya redenominasi bukanlah
sanering.

1. Contoh negara yang melakukan Redenominasi


Redenominasi Zimbabwe
Pada tanggal 1 Agustus 2006 pemerintah Zimbabwe mendevaluasi
uangnya 60 % dan pada saat yang sama pemerintah juga melakukan redenominasi
dengan menghilangkan tiga angka nol di belakang. Sebelumnya us$ 1 = zwd
101,000 menjadi us$ 1 = zwd 250. Setelah langkah ini dilakukan ternyata tidak sesuai
dengan dugaan karena harga-harga barang dan jasa tidak mau mengikutinya sehingga
terjadi inflasi besar-besaran. Pada tahun 2007 pemerintah sampai harus membuat
peraturan yang aneh yaitu menyatakan bahwa inflasi adalah melanggar hukum negeri
itu, artinya tidak boleh ada pihak yang menaikkan harga.
Beberapa eksekutif perusahaan harus masuk bui gara-gara menaikkan
harga produknya. Artinya harga barang dipaksa harus mengikuti nilai fiat
money (nilai semu) bukan mengikuti nilai komoditi (nilai riil). Langkah yang tidak
biasa inipun tidak mempan juga, akhirnya terjadi lagi perubahan rate 11,900 % yaitu
menjadi 1 US$ = ZWD 30,000 – ini angka resmi; angka tidak resminya ada di pasar
gelap yaitu 1 US$ = ZWD 600,000.
Apakah dengan demikian uang kertas tersebut dapat diselamatkan? Tidak
juga, per Juni 2008 Zimbabwe mengalami inflasi 9.030.000 %. Maka
terjadilah redenominasi yang keduadengan menghilangkan 6 angka di
belakang (1.000.000 menjadi 1). Redenominasi yang kedua sama saja malah memicu
inflasi ribuan persen. Otoritas moneter Zimbabwe tidak melakukan pemotongan atas
fisik uangnya, tapi dengan mengeluarkan pecahan dalam nilai baru yang sudah
disesuaikan dengan nilai redenominasi.
Harga-harga barang dan jasa tidak mengikuti nilai redenominasi itu
sehingga dimana program yang ingin dijalankannya itu sebenarnya adalah
redenominasi, tapi kenyataan yang terjadi di lapangan menjadi sanering. Satu pak
kecil kopi produksi dalam negeri saat itu mencapai 1 miliar dolar Zimbabwe. Sepuluh
tahun lalu, jumlah uang sebesar itu sudah dapat digunakan untuk membeli 60 mobil
baru. Sejumlah industri manufaktur saat itu beroperasi dengan kapasitas 30%. Hal itu
karena semakin banyak karyawan yang tidak dapat pergi ke lokasi kerja karena
lonjakan ongkos bus yang tinggi.

Pemotongan enam digit nominal mata uang tak diikuti dengan penyesuaian
harga berdasarkan nominal baru. Jadi, harga barang dari 1.000.000 bukan menjadi 1,
tetapi menjadi 1000. Ini yang memicu inflasi besar-besaran di Zimbabwe. Banyak
pihak juga akhirnya memilih menggunakan berbagai mata uang asing, akibatnya,
hiperinflasi. Denominasi mata uang mengalami peningkatan, barisan angka nol pada
mata uang semakin banyak. Tadinya ingin mengurangi angka nol malah tambah
banyak.

Dolar Zimbabwe nyaris hilang nilainya baik dalam aktivitas komersil


ataupun sebagai pendapatan. Saat itu, lebih banyak transaksi bisnis dilakukan dengan
menggunakan dolar as, baik secara terbuka maupun tertutup. Ada juga orang yang
mulai paham dengan menggunakan emas untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari
sehingga tidak terkena dampak sanering. Bulan Juli 2008, bank sentral Zimbabwe
menerbitkan mata uang senilai 100 miliar dolar Zimbabwe setelah inflasi mencapai
2.000.000 %. Padahal, tiga bulan sebelumnya, baru dicetak mata uang 50 juta dolar
Zimbabwe. Ketika itu, 100 miliar dolar Zimbabwe hanya bisa membeli tiga butir
telur. Kertas 500 juta dollar zimbabwe kalau dikonversi ke Us Dollar Amerika cuma
dihargai 2 dolar. Harga-harga melambung begitu cepat hanya dalam hitungan menit
bahkan detik, tak heran jika karyawan toko-toko di zimbabwe begitu sibuk mengganti
label harga jika terjadi perubahan harga.

Nilainya di pasar gelap hanya setimpal dengan 33 dolar us. Akhirnya pada
Agustus 2008, dilakukan redenominasi yang ketiga kalinya yaitu pemangkasan 10
digit angka nol. Uang 10 miliar dolar menjadi 1 dolar. Karena lonjakan inflasi
semakin menggila, pada Januari 2009 bank sentral negeri Afrika itu kembali
mencetak rekor dengan menerbitkan mata uang berdenominasi terbesar sepanjang
sejarah manusia, 100 triliun dolar. Februari 2009, bank sentral kembali
melakukan redenominasi yang keempat kalinya dengan memangkas 12 digit angka
nol. Mata uang 1 triliun dolar tinggal menjadi 1 dolar Zimbabwe. Pecahan mata uang
terbesar hanya 500 dolar Zimbabwe.

1. Sejarah sanering di Nusantara


19 Maret 1950
Pada tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama kali dikenal dengan nama
“gunting syafrudin” dimana uang kertas betul-betul digunting menjadi dua secara
fisik dan nilainya. Dia memerintahkan agar seluruh ‘uang merah’ NICA
(Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan uang De Javasche Bank/DJB (bentukan
penjajah belanda yang kemudian berubah nama menjadi BI/Bank Indonesia) yang
bernilai Rp 5 ke atas digunting menjadi dua bagian. Gunting Syafruddin adalah
kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri
Keuangan dalam Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10
Maret 1950. Menurut kebijakan itu, “uang merah” (uang NICA) dan uang De
Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula
sampai tanggal 9 Agustus pukul 18.00.
Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian kiri itu harus ditukarkan dengan
uang kertas baru di bank dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal
tersebut, maka bagian kiri itu tidak berlaku lagi alias dibuang. Guntingan kanan
dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar
setengah dari nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3%
setahun. “Gunting Sjafruddin” itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan Rp
2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang
Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi negara yang saat itu
sedang terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung. Dengan
politik pengebirian uang tersebut, bermaksud menjadi solusi jalan pintas untuk
menekan inflasi, menurunkan harga barang dan mengisi kas pemerintah untuk
membayar utang yang besarnya diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.
25 Agustus 1959
Pada tanggal 25 Agustus 1959 terjadi sanering kedua yaitu uang pecahan
Rp 1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp
50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan. 1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus
menerus terjadi penurunan nilai rupiah sehingga akhirnya pada Bulan Desember
1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting Syafrudin’, politik pengebirian uang yang
dilakukan Soekarno membuat masyarakat menjadi panik. Apalagi diumumkan secara
diam-diam, sementara televisi belum muncul dan hanya diumumkan melalui RRI
(Radio Republik Indonesia). Karena dilakukan hari Sabtu, koran-koran baru
memuatnya Senin. Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena uang mereka
nilainya hilang 50 persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru saja
melakukan jual beli tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.

1. Pengertian Sanering
Sanering berasal dari bahasa belanda yang berarti “penyehatan,
pembersihan atau reorganisasi”. Sedangkan menurut konteks ilmu moneter, sanering
adalah pemotongan nilai uang tanpa mengurangi nilai harga, sehingga daya beli
masyarakat menurun. Misalnya, jika nilai uang Rp.100.000,00 dipotong menjadi Rp.
100,00 karena nialinya sudah diturunkan. Jumlah barang yang dibeli dengan uang
baru akan lebih sedikit dibandingkan dengan uang lama. Jika Rp.100.000,00 lama
bisa dapat baju satu, maka dengan uang Rp.100,00 pecahan baru tidak bisa lagi
mendapatkan baju yang sama.
2. Dampak Sanering
A. Dampak positif (manfaat) sanering
Kebijakan sanering yang pernah dilakukan pemerintah di indonesia dimulai
pertama kali pada tahun 1950, Tepatnya 19 maret 1950. Pemerintah melakukan
sanering yaitu untuk mengatasi situasi perekonomian indonesia yang saat itu sedang
terpuruk yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung tinggi. Hal
tersebut disebabkan perekonomian indonesia yang masih belum tertata setelah
kemerdekaan. Untuk itu pemerintah melakukan tindakan sanering yang dikenal
dengan sebutan gunting syafruddin.
Kemudian pemerintah kembali melakukan tindakan sanering yang kedua
pada tahun 1959, tepatnya pada tanggal 25 agustus 1959. Hal ini dilakukan untuk
menekan laju inflasi sehingga pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah
(PEPRU) No. 2 dan N0. 3 tahun 1959 yang pada intinya melakukan pemotongan nilai
uang kertas dari Rp. 500,- dan Rp.. 1000,- menjadi Rp. 50,- dan Rp. 100,-. Dan
pembekuan simpanan (giro dan deposito) di bank-bank.
Selanjutnya pemerintah untuk yang ketiga kalinya melakukan tindakan
sanering dengan sebab dan alasan yang sama dengan sebelumnya, yaitu untuk
mengurangi jumlah uang yang beredar yang disebabkan oleh inflasi. Kebijakan
sanering ini dilakukan oleh pemerintah tepatnya pada 13 desember 1965. Hal ini
menyebabkan penurunan drastis pada rupiah dari nilai Rp.1000,- (uang lama) menjadi
Rp.1,-(uang baru).
Jika dilihat dari sebab terjadinya sanering mulai 1950, 1959 dan 1965.
Maka kebijakan sanering yang dilakukan pemerintah terlihat adanya dampak positif
(manfaatnya) yaitu:
1. Pada sanering tahun 1950, untuk mengatasi situasi ekonomi indonesia yang
saat itu sedang terpuruk dan belum tertata setelah kemerdekaan, yakni utang
menumpuk, inflasi tinggi, dan harga melambung. Dengan adanya sanering bisa
mengisi kas pemerintah yang kosong setelah kemerdekaan dan menurunkan harga-
harga akibat inflasi.
2. Sanering pada tahun 1959 dilakukan untuk menekan laju inflasi dan menutup
hutang pemerintah di bank yaitu dengan adanya pembekuan simpanan (giro dan
deposito) yang diganti dengan simpanan jangka panjang oleh pemerintah. Sehingga
membantu menutup sebagian hutang pemerintah.
3. Sanering pada tahun 1965 dilakukan untuk mengurangi jumlah uang yang beredar
akibat inflasi yang telah menjadi hyperinflasi.
B. Dampak Negatif (Mudarat) Sanering
Setelah diuraikan sebelumnya tentang adanya manfaat dari kebijakan
sanering, akan tetapi terdapat juga dampak negatif (mudarat) dari kebijakan sanering
yaitu:
1. Kebijakan sanering yang dilakukan pada tahun 1950 kurang tepat dilakukan
pemerintah pada saat itu karena menyebabkan terjadinya tindakan sanering
berikutnya yang semakin menyebabkan masyarakat menderita. Dan pada dasarnya
sanering tersebut dilakukan cenderung untuk kepentingan pemerintah semata, yaitu
untuk mengatasi hutang pemerintah yang menumpuk tanpa memikirkan kesulitan
rakyatnya yang disebabkan pemotongan nilai rupiah tersebut.
2. Sanering yang kedua yaitu tahun 1959 menyebabkan banyak bank-bank yang
mengalami kesulitan liquiditas. Sehingga akhirnya pemerintah mengeluarkan
peraturan pemerintah No.2 dan N0.3 yang isinya melakukan penurunan nilai rupiah
dan pembekuan simpanan di bank-bank.
3. Sanering yang ketiga juga tidak membawa perubahan yang lebih baik karena
terjadi penurunan secara drastis nilai rupiah dari Rp1000,- menjadi Rp1,-. Setelah itu
tanpa henti terjadi depresiasi nilai rupiah sehingga pada saat terjadi krisis financial di
Asia tahun 1997, nilai rupiah semakin menurun dan tidak berharga.
3. Pengalaman Kebijakan Sanering Di Indonesia
a. Kebijakan sanering terjadi pertama kali dilakukan pada tahun 1950, tepatnya 19
maret 1950 yang dikenal dengan sebutan “gunting sjafruddin. Kebijakan ini
ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, menteri keuangan dalam kabinet Hatta
II. Kebijakan tersebut dibuat untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang saat
itu sedang terpuruk. Yaitu utang menumpuk, inflasi tinggi dan harga melambung.
Menurut kebijakan tersebut uang merah (uang NICA) dan uang De
Javanesche bank dari pecahan Rp5,- digunting menjadi dua. Gunting kiri tetap
berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai
semula. Kemudian gunting kiri itu harus ditukar dengan uang kertas baru di bank
dan tempat-tempat yang telah ditunjuk. Selebihnya bisa juga tidak berlaku atau
dibuang. Sedangkan bagian kanan juga tidak berlaku, tetapi masih bisa
ditukarkan dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan
dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% setahun. Hal ini juga berlaku pada
simpanan di bank.
b. Kebijakan sanering yang kedua yaitu terjadi pada tahun 1959. Kebijakan sanering
ini salah satu kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk menekan laju inflasi.
Akan tetapi akibat dari kebijakan ini banyak bank-bank yang mengalami kesulitan
liquiditas, yang ditanggapi bank indonesia melalui pemberian kredit. Yaitu terjadi
pada tanggal 25 agustus 1959, pemerintah melakukan kebijakan sanering dengan
memberlakukan peraturan pemerintah (PERPU) No.2 dan No.3 tahun 1959 yang
isinya adalah:
1. Penurunan nilai uang kertas Rp 500 dan Rp 100 menjadi Rp 50 dan Rp 100
(Perpu No.2 tahun 1959). Penukaran uang kertas ini harus di lakukan sebelum 1
januari 1960 (Perpu No.6 tahun 1959). Sedangkan untuk nilai uang yang hialng
akibat pemberlakuan Perpu No.2, tidak akan diperhatikan pada perhitungan laba
maupun pajak (Perpu N0.5 tahun 1959, 25 agustus 1959).
2. Pembekuan sebagian simpanan pada bank-bank (giro dan deposito) sebesar
90% dari jumlah simpanan di atas Rp 25.000, dengan ketentuan bahwa simpanan
yang di bekukan akan diganti dengan simpanan jangka panjang oleh pemeritah
(Perpu No.3 tahun 1959 tanggal 24 agustus 1959).
c. Kebijakan sanering yang ketiga kalinya dilakukan pada tahun 1965. Tepatnya
pada tangal 13 desember 1965, pada sanering yang ketiga ini terjadi penurunan
nilai drastis dari nilai Rp 1000,- (uang lama) menjadi 1,- (uang baru). Kebijakan
ini harus dilakukan lagi oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah uang yang
beredar akibat inflasi. Karena sejak dilakukan tindakan sanering yang kedua, pada
tahun 1959, inflasi memang menurun. Akan tetapi harga tetap menunjukan
kenaikan. Tetapi sejak tahun 1960, inflasi kembali mengalami peningkatan.
Bahkan pada tahun 1962, inflasi meningkat menjadi hyperinflasi. Untuk itu
pemerintah kembali mengeluarkan pereturan melalui penetapan presiden (Penpre)
No.27 pasal 3 tahun 1965 yang isinya adalah:
1. Sesudah 1 (satu) bulan berlakunya penetapan presiden ini maka semua jenis uang
kertas Bank Negara Indonesia dari pechan-pecahan Rp10.000,- (sepuluh ribu
rupiah) dan Rp5.000,- (lima ribu rupiah) yang beredar sebagai alat pembayaran
yang sah sebelum penetap presiden ini berlaku, tidak lagi merupan alat pembayaran
yang sah.
2. Sesudah 3 (tiga) bulan berlakunya penetapan presiden ini maka semua jenis uang
kertas Bank Negara Indonesi dari pecahan Rp.2.500,- (dua ribu lima ratus rupiah),
Rp.1000,- (seribu rupiah) dan Rp.500,- (lima ratus rupiah) yang beredar sebagai alat
pembayaran yang sah sebelum penetapanpresiden ini berlaku, tidak lagi merupakan
alat pembayaranyang sah.
3. Sesudah 6 (enam) bulan berlakunya penetapan presiden ini maka semua jenis
uang kertas di bank, uang kertas pemerintah dan uang logam dari pecahan-pecahan
Rp.100,- (seratus rupiah) ke bawah yang beredar sebagai alat pembayaran yang sah
sebelum penetapan presiden ini berlaku, tidak lagi merupakan alat pembayaran yang
sah.
4. Penarikan uang rupiah Irian Barat dari peredaran yang berlaku dan beredar
sebagai alat pembayaran yang sah sebelum penetapan presiden ini berlaku, akan
diatur lebih lanjut oleh pemerintah”.
Sejak saat itu akibat dari pengeluaran uang rupiah baru yang nilainya
ditetapkan sebesar 1000 kali uang rupiah lama, tidak berarti bahwa harga barang-
barang dalam rupiah baru menjadi seperseribu dari harga uang rupiah lama. Hal ini
menunjukan bahwa nilai tukar antara uang rupiah baru dengan uang rupiah lama
bergerak antara 1:10. Jadi nilai uang rupiah baru hanya dinilai kurang lebih 10 kali
lebih tinggi daripada uang rupiah lama. Setelah itu tanpa henti terjadi depresiasi nilai
mata uang rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia tahun 1997 nilai 1,-
US $ menjadi Rp.5.500 dan terus-menerus tidak terkendali.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Redenominasi adalah penyederhanaan jumlah digit pada denominasi atau
pecahan rupiah tanpa mengurangi daya beli, harga atau nilai tukar rupiah terhadap
harga barang dan/ atau jasa. dari nilai pecahan rupiah yang ada. Misalnya dari
Rp1.000 menjadi Rp1. Harga barang yang semula Rp 1.000 juga berubah menjadi
seharga Rp 1. Contohnya, pada harga bawang putih 1 kilogram Rp.4000, dengan
redenominasi tiga digit nolnya dihilangkan, maka harga bawang putih menjadi Rp.4.
Harga bawang putih tetap, hanya nominalnya saja yang disederhanakan. Daya beli
uang yang dikenakan redenominasi pun tetap. Dengan uang Rp.4, masyarakat tetap
dapat membeli 1 kilogram bawang putih.
Sedangkan dalam sanering adalah pemotongan nilai uang sedangkan harga-
harga barang tetap bahkan cenderung meningkat sehingga daya beli efektif
masyarakat menjadi menurun. Misalnya harga bawang putih yang semula Rp 4000,
tidak serta merta bisa menjadi Rp 4. Bisa jadi, harga barang tetap seperti harganya
semula. Sementara nilai uang Rp 4000 di masyarakat, telah berubah menjadi Rp 4.
Artinya, daya beli masyarakat akan menurun drastis dengan adanya sanering. Kita
jadi tak mampu membeli bawang putih lagi.

B. SARAN
Dalam pembuatan makalah ini, apabila ada materi yang kurang lengkap
atau kesalahan dalam penulisan kami mohon maaf yang sebesar-besarnya. Karena
manusia adalah makhluk Allah yang tak luput dari kesalahan. Dan kami sangat
berterima kasih apabila ada saran atau kritik yang bersifat membangun sebagai
penyempurna makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA

Chapra, M. Umer. 2001. Sistem Moneter Islam. Jakarta: GIP dan Tazkia Cendikia.

Karim, Adiwarman. 2008. Ekonomi Makro Islami. Jakarta: PT. Grafindo Persada.

Hasan, Ahmad. 2005. Mata Uang Islami. Jakarta: PT. Grafindo Persada

Anda mungkin juga menyukai