Anda di halaman 1dari 8

KORELASI ILMU DAN AMAL

Studi Naskah Kitab Iqtidhâ’ Al-‘Ilm Al-‘Amal Karya Al-Khathib Al-Baghdadi

Makalah

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah

Studi Naskah Klasik

Dosen Pengampu:

Dr. Abbas Mansur Tamam, M.A.

Oleh

Muhammad Isa Anshory

FAKULTAS PASCASARJANA

PROGRAM DOKTOR PENDIDIKAN ISLAM

UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR

1434 H/2013 M
A. Pendahuluan

Tulisan ini adalah studi terhadap kitab Iqtidhâ’ Al-‘Ilm Al-‘Amal karya Al-Khathib Al-
Baghdadi. Kitab tersebut menjadi referensi tunggal dalam tulisan ini. Versi yang dijadikan
acuan adalah versi yang diterbitkan oleh Maktabah Al-Ma‘arif Riyadh tahun 2002 dengan
tahqiq oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Al-Bani. Pembahas berusaha mengambil
intisari dari bagian muqadimah kitab tersebut.

B. Biografi Singkat Al-Khathib Al-Baghdadi

Nama lengkapnya adalah Syaikh Imam Abu Bakar Muhammad Ahmad bin Ali bin
Tsabit atau lebih popular dengan sebutan Al-Khathib Al-Baghdadi. Dia lahir pada 392 H dari
keluarga miskin di Irak. Ayahnya bernama Khathib Darzanjan. Dia sangat terobsesi dengan
sang anak. Dia masukkan anaknya ke majelis semaan (pengajian dengan sistem menyimak/
talaqi ) sejak dini (tahun 403 H), kemudian disuruhnya memperdalam ilmu hadits. Sang anak
pun pergi mengembara ke berbagai wilayah untuk memperdalam ilmu, mengarang, dan
mengumpulkan literatur.

Dia sangat mahir dalam disiplin ilmu hadits. Dia menyimak hadits dari sejumlah besar
kalangan muhadditsin yang tsiqah (kredibel) di berbagai kawasan, seperti: Baghdad, Bashrah,
Naisabur, Ashbahan, Dainur, Hamadan, Kufah, Haramain (Makkah dan Madinah),
Damaskus, Al Quds, dan lain-lain. Dia datang ke Syam pada 451 H dan menetap di sana
selama 11tahun.

Konon, dia menyedekahkan seluruh harta kekayaannya senilai 200 dinar kepada para
ulama dan kaum fakir. Dia bahkan juga berwasiat agar menyedekahkan baju-bajunya
(sepeninggalnya) serta mewakafkan kitab-kitabnya kepada kaum Muslimin. Dengan
demikian, dia tidak memiliki peninggalan apa-apa lagi. Dia meninggal dunia pada 463 H.1

C. Beberapa Poin Penting dalam Kitab Iqtidhâ’ Al-‘Ilm Al-‘Amal

1. Nasihat Al-Khathib Al-Baghdadi kepada Penuntut Ilmu

1
Al-Khathib Al-Baghdadi, Iqtidhâ’ Al-‘Ilm Al-‘Amal, tahqiq Muhammad Nashiruddin Al-Albani, (Riyadh:
Maktabah Al-Ma‘arif, 2002), hlm. 3-4.
Al-Khathib Al-Baghdadi menasihati penuntut ilmu agar senantiasa mengikhlaskan
niat dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengamalkan segala konsekuensi ilmu. Dia
berkata,

“Wahai penuntut ilmu, saya wasiatkan kepadamu agar mengikhlaskan niat dalam
mencari ilmu dan bersungguh-sungguh dalam mengamalkan konsekuensinya. Sebab,
ilmu adalah pohon, sedangkan amal adalah buahnya. Seseorang tidak layak dianggap
alim apabila tidak mengamalkan ilmunya. Menurut sebuah pendapat, ilmu itu ibarat
orang tua, sedangkan amal adalah anaknya. Ilmu senantiasa menyertai amal
sebagaimana riwayat senantiasa menyertai dirayat.”2
Nasihat ini menunjukkan bahwa ilmu dan amal itu tidak bisa dipisahkan. Lebih lanjut,
Al-Khathib Al-Baghdadi mengingatkan penuntut ilmu agar tidak merasa senang beramal
padahal amalnya kosong dari ilmu dan tidak merasa senang berilmu padahal ilmunya jarang
diamalkan. Semestinya, dia menggabungkan antara ilmu dan amal. Tidak ada sesuatu yang
lebih lemah daripada orang alim yang ilmunya ditinggalkan khalayak ramai karena rusaknya
jalan yang dia tempuh dan orang bodoh yang kebodohannya diikuti khalayak ramai karena
mereka melihat ibadahnya.3

Nasihat ini penting dan tetap relevan bagi para siswa dan mahasiswa pada zaman ini.
Terlebih, kita mendapatkan banyak siswa dan mahasiswa belajar dengan niat yang salah.
Mereka belajar, misalnya, dengan niat mendapatkan ijazah agar mudah mendapatkan
pekerjaan setelah lulus nanti. Akibatnya, mereka melakukan kecurangan untuk meraih
kelulusan.

2. Seseorang Akan Ditanya Mengenai Ilmu dan Amalnya Pada Hari Kiamat

Al-Khathib Al-Baghdadi kemudian menyebutkan beberapa hadits bahwa pada hari


kiamat nanti, seseorang akan ditanya mengenai ilmu dan amalnya. Di antaranya adalah hadits
yang diriwayatkan dari Abu Barzah Al-Aslami dan Mu‘adz bin Jabal bahwa Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ لوُلعتبن لمتاَلةةه‬، ‫ لوُلعتبن لجلستةدهة ةفيلمتاَ ألببللهل‬، ‫ لعتبن عللمتةرةه ةفيلمتاَ ألفبتنلتاَهل‬: ‫لل تلتلزوُلل قللدلماَ لعببدد يلتبولم البةقلياَلمةة لحتت يلبستأللل لعتبن ألبربلتدع‬

.‫ لوُلعبن ةعبلةمةه لماَلذا لعةملل ةفيةه‬، ‫ضلعهل‬ ‫ة‬ ‫ة‬


‫مبن أليبلن ابكتللسبلهل لوُفيلماَ لوُ ل‬
2
Ibid, hlm. 18.

3
Ibid.
Tidak akan bergeser kedua kaki seorang hamba pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya
mengenai empat perkara. Pertama, mengenai usianya, untuk apa dia habiskan. Kedua,
mengenai fisiknya, untuk apa dia gunakan. Ketiga, mengenai hartanya, dari mana dia
dapatkan dan dalam hal apa dia letakkan. Keempat, mengenai ilmnya, apa yang dia amalkan
dengannya.4

Dari hadits ini, kita memahami bahwa ilmu itu adalah amanah yang harus diamalkan.
Ilmu yang tidak diamalkan justru akan menyusahkan pemiliknya di hadapan Allah pada hari
kiamat nanti. Ilmu yang tidak diamalkan akan memperlama proses hisab.

3. Kriteria Alim Sejati

Seorang alim sejati adalah orang yang senantiasa menuntut ilmu dan mengajarkannya.
Al-Khathib Al-Baghdadi menyebutkan beberapa hadits dan atsar yang memperkuat kriteria
ini. Di antaranya adalah hadits yang diriwiyatkan dari Anas bin Malik bahwa Rasulullah
shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda,

.‫ وُل تنعوه عن أهله‬، ‫ وُل تضعوه ف غي أهله‬، ‫ وُعلموه‬، ‫تعلموا العلم وُاعملوا به‬

Pelajari, amalkan, dan ajarkanlah ilmu itu. Jangan menyampaikannya kepada orang yang
bukan ahlinya, namun jangan pula menghalanginya dari ahlinya.5

Selain hadits ini, ada beberapa hadits lain yang mempunyai makna serupa. Di antara
atsar yang disebutkan Al-Khathib Al-Baghdadi adalah perkataan sahabat Ali,

“Wahai para pengemban ilmu, amalkanlah ilmu kalian! Sesungguhnya orang alim itu
adalah orang yang mengamalkan ilmunya. Akan muncul sekelompok orang yang
mengemban ilmu. Mereka saling bersaing dan membanggakan ilmunya. Sampai-
sampai seseorang marah kepada rekannya apabila dia belajar kepada orang lain.
Orang-orang seperti mereka itu tidak akan naik ilmunya ke langit.”6
Abu Bakar Ar-Razi mengatakan bahwa dia mendengar Al-Khawwash berkata, “Ilmu
itu bukan dengan banyak meriwayatkan. Akan tetapi, seorang yang berilmu adalah orang
4
Ibid, hlm. 20. HR At-Tirmidzi Bab Fî Al-Qiyâmah (2417), Ath-Thabarani dalam Mu‘jam Al-Kabîr (11177),
dan Ad-Darimi Bab Man Kariha Asy-Syuhrah wa Al-Ma‘rifah (554, 556). At-Tirmidzi mengatakan hadits ini
hasan shahih.
5
Ibid, hlm. 23

6
Ibid, hlm. 25.
yang mengikuti ilmu, mengamalkannya, dan meneladani sunnah-sunnah meskipun dia
mempunyai sedikit ilmu.”7

4. Ilmu Adalah Jalan Menuju Hidayah

Mengenai hal ini, Al-Khathib Al-Baghdadi menukil perkataan Abbas bin Ahmad yang
menjelaskan tafsir ayat, “Orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami,
benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami.” (An-‘Ankabut [29]:
69) Abbas bin Ahmad berkata, “Yaitu mereka yang mengamalkan apa yang mereka ketahui.
Kami akan menunjukkan kepada mereka apa yang tidak mereka ketahui.”8

5. Tirani Ilmu dan Harta

Ilmu tanpa amal bahkan oleh para ulama dahulu dianggap sebagai tirani. Al-Khathib
Al-Baghdadi menukil perkataan Yusuf bin Al-Husain yang berkata, “Di dunia ini ada dua
tirani, yaitu tirani ilmu dan tirani harta. Yang bisa menyelamatkanmu dari tirani ilmu adalah
ibadah, sedangkan yang bisa menyelamatkanmu dari tirani harta adalah sikap zuhud
terhadapnya.”9

6. Semua Berawal dari Adab

Seorang penuntut ilmu wajib memperhatikan adab. Adab menjadi titik tolak untuk
meraih berkah dan kebaikan ilmu. Mengenai hal ini, Al-Khathib Al-Baghdadi menukil
perkataan Yusuf, “Dengan adab, engkau memahami ilmu. Dengan ilmu, amalmu menjadi
benar. Dengan beramal, engkau mendapatkan hikmah. Dengan hikmah, engkau memahami
dan memperoleh petunjuk untuk zuhud. Dengan zuhud, engkau meninggalkan dunia. Dengan
meninggalkan dunia, engkau berarti menginginkan akhirat. Dengan menginginkan akhirat,
engkau meraih ridha Allah ‘Azza wa Jalla.”10
7
Ibid, hlm. 32.

8
Ibid.

9
Ibid.

10
Ibid, hlm. 32-33.
7. Bencana Ilmu Tanpa Amal

Ilmu tanpa amal akan membawa bencana bagi pemiliknya. Al-Khathib Al-Baghdadi
menukil perkataan Abul Qasim Al-Junaid yang menjelaskan hal ini. Al-Junaid berkata,
“Tatkala engkau ingin dimuliakan karena ilmu, menisbatkan diri dengannya, dan menjadi
ahlinya sebelum memberikan apa yang harus engkau berikan kepada ilmu, maka cahaya ilmu
akan terhalang darimu. Yang tersisa untukmu adalah gambar dan tampilan luarnya. Ilmu itu
akan menjadi argumen yang menuntutmu dan tidak membelamu. Hal itu karena ilmu
menuntut untuk diamalkan. Apabila engkau tidak mengamalkan ilmu dalam tingkatan-
tingkatannya, maka lenyaplah berkahnya.”11

8. Iman Hakiki

Iman yang hakiki juga tidak bisa dilepaskan dari ilmu dan amal. Al-Khathib Al-
Baghdadi menukil perkataan Al-Hasan Al-Bashri mengenai hal ini. Al-Hasan berkata, “Iman
itu bukan dengan berpura-pura dan berangan-angan. Akan tetapi, ia adalah apa yang tertancap
di dalam hati dan dibenarkan dengan amal. Barang siapa berkata baik, namun beramal tidak
saleh, niscaya Allah menolak perkataannya. Barang siapa berkata baik dan beramal saleh,
niscaya Allah mengangkat amalnya. Yang demikian itu karena Allah berfirman, ‘Kepada-
Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.’ (Fathir
[35]: 10)”12

9. Orang Zahid yang Sejati

Orang zahid yang sejati juga tidak bisa dilepaskan dari ilmu dan amal. Al-Khathib Al-
Baghdadi menukil perkataan Ali bin Abi Thalib mengenai hal ini. Ali berkata, “Menurut
kami, orang zahid itu adalah orang yang berilmu, lalu beramal, dan orang yang yakin, lalu
berhati-hati. Apabila berada dalam kondisi sulit, dia memuji Allah. Apabila berada dalam
kondisi mudah, dia bersyukur kepada Allah. Inilah orang zahid yang sejati.”13

11
Ibid, hlm. 33.

12
Ibid, hlm. 43.
D. Korelasi dengan Pendidikan Modern

Kitab Iqtidhâ’ Al-‘Ilm Al-‘Amal mengandung nilai-nilai pendidikan Islami.


Pendidikan Islami itu sendiri senantiasa sesuai untuk setiap tempat dan masa. Oleh karena itu,
nilai-nilai yang terkandung dalam kitab Iqtidhâ’ Al-‘Ilm Al-‘Amal sudah tentu mempunyai
relevansi dan korelasi dengan pendidikan modern.

Syed Muhammad Naquib Al-Attas menyatakan bahwa tujuan menuntut ilmu adalah
penanaman kebaikan dan keadilan dalam diri manusia sebagai seorang manusia yang utuh
dan diri-pribadi, bukan hanya dalam diri manusia sebagai warga negara atau bagian integral
dari masyarakat.14 Dengan kata lain, tujuan pendidikan dalam Islam adalah untuk
menghasilkan manusia yang baik. Manusia yang baik adalah manusia yang beradab. Menurut
Al-Attas, pendidikan adalah menyerapkan dan menanamkan adab pada manusia Adab berarti
apa yang mesti ada pada manusia jika ia ingin mengurus dirinya dengan cemerlang dan baik
dalam kehidupan ini dan hari akhirat.15

Dalam konsep pendidikan modern, penanaman adab adalah bagian dari pendidikan
karakter. Saat ini, ramai orang membicarakan pendidikan karakter. Pendidikan yang sudah
lama terselenggara dipandang gagal karena menghasilkan manusia yang rusak moralnya.
Oleh karena itu, para pakar pendidikan memandang perlu untuk merumuskan dan
menggalakkan pendidikan karakter.

Para ulama Islam sudah lama membahas dan mengembangkan pendidikan karakter.
Kitab Iqtidhâ’ Al-‘Ilm Al-‘Amal adalah salah satu karya mengenai hal itu. Dalam konsep
pendidikan Islami, ilmu itu selalu berhubungan dengan amal dan adab. Orang yang berilmu
haruslah juga beramal dan beradab. Orang yang berilmu namun tidak beramal dan beradab
berarti bukan manusia yang baik. Dengan demikian, sesuai penjelasan Al-Attas, tujuan
pendidikan Islami belum tercapai.

E. Penutup

13
Ibid,hlm. 46.

14
Syed Muhammad Naquib Al-Atts, Islam dan Sekularisme, (Bandung: Pustaka, 1981), hlm. 217.

15
Ibid, hlm. 221-222.
Demikianlah beberapa poin penting yang bisa diambil dari muqadimah kitab Iqtidhâ’
Al-‘Ilm Al-‘Amal. Poin-poin ini menjadi pengantar bagi poin-poin lain yang ditulis oleh Al-
Khathib Al-Baghdadi dalam bab-bab berikutnya. Untuk menuntaskan kajian ini, sudah
semestinya bab-bab tersebut juga dibaca hingga selesai.

Anda mungkin juga menyukai