Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN
.
Sindrom Koroner Akut (SKA) merupakan suatu masalah kardiovaskular yang utama
karena menyebabkan angka perawatan rumah sakit dan angka kematian yang tinggi.Sindroma
Koroner Akut (SKA) adalahistilah yang digunakan untuk kumpulan simptom yang muncul
akibat iskemia miokard akut. SKA yang terjadi akibat infark otot jantung disebut infark
miokard. Termasuk di dalam SKA adalah unstable angina pektoris, infark miokard non
elevasi segmen ST (Non STEMI), dan infark miokard elevasi segmen ST (STEMI).1
Infark miokard adalah kematian sel miosit jantung yang disebabkan proses iskemia
akibat dari ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen otot-otot jantung. Hal ini
biasanya disebabkan oleh ruptur plak yang kemudian diikuti oleh pembentukan trombus oleh
trombosit.Lokasi dan luasnya miokard infark bergantung pada lokasi oklusi dan aliran darah
kolateral.Diagnosis infark miokard didasarkan atas diperolehnya dua atau lebih dari 3 kriteria,
yaitu riwayat nyeri dada, perubahan gambaran elektrokardiografi (EKG), dan peningkatan
marka jantung.Nyeri dada terjadi lebih dari 20 menit dan tidak ada hubungan dengan aktifitas
atau latihan. Gambaran EKG yang khas yaitu elevasi segmen ST, gelombang Q yang besar,
dan inversi gelombang T.2
Infark miokard dengan elevasi segmen ST akut (STEMI) merupakan indikator kejadian
oklusi total pembuluh darah arteri koroner. Keadaan ini memerlukan tindakan revaskularisasi
untuk mengembalikan aliran darah dan reperfusi miokard secepatnya; secara medikamentosa
menggunakan agen fibrinolitik atau secara mekanis, intervensi koroner perkutan primer.
Diagnosis STEMI ditegakkan jika terdapat keluhan angina pektoris akut disertai elevasi
segmen ST yang persisten di dua sadapan yang bersebelahan. Inisiasi tatalaksana
revaskularisasi tidak memerlukan menunggu hasil peningkatan marka jantung.1

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
Nama : Tn.N.J
Umur : 65 tahun
Jenis Kelamin : laki-laki
Alamat : Dok V
Suku : Manado
Agama : Kristen Protestan
Pendidikan :-
Pekerjaan : Suasta
Tanggal MRS :23 Maret 2017
No. Rekam Medik : 404707

2.2 Anamnesis
a. Keluhan utama (Autoamnesis)
Sesak napas, Nyeri (-), susa tidur semalam.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada dan sesak seperti tertekan. Pasien mengeluh
nyeri pada dada sebelah kiri sejak satu hari SMRS, namun nyerinya belum terlalu
mengganggu. Kurang lebih satu setengah jam SMRS pasien merasa nyeri di seluruh
bagian dada semakin bertambah berat terutama pada dada kiri, nyeri menjalar ke
lengan sebelah kiri, bahu, hingga menembuske belakang. Durasi nyeri lebih dari 20
menit. Nyeri tidak hilang dengan istirahat atau berganti berbagai posisi.Nyeri dada
tidak dicetuskan oleh aktivitas fisik dan emosi. Keluhan nyeri dada tidak didahului
keluhan nyeri pada daerah perut ataupun daerah ulu hati.Riwayat terbangun tengah
malam karena sesak ada,batuk ada, mual/ muntah tidak ada.Buang air kecil dan buang
air besar dalam batas normal.Tidak ada nyeri berkemih maupun berkemih tersendat-
sendat.Kencing banyak warna kuning muda.

2
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat sakit jantung sejak tahun 2013.Riwayat hipertensi sejak tahun
2003 rutin kontrol.Riwayat diabetes melitus disangkal.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga pasien memiliki keluhan yang sama seperti pasien.Riwayat
hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung dalam keluarga disangkal.
e.Riwayat Kebiasaan
Merokok dan alkohol disangkal
f. Riwayat Alergi
Riwayat alergi obat dan makanan disangkal pasien.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis (GCS E4V5M6)
Tanda-tanda Vital
 Tekanan Darah : 110/70 mmHg
 Nadi : 90 x/menit
 Respirasi : 26 x/menit
 Suhu Badan : 36°C
 SpO₂ : 98 %

Status Generalis :
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), OC (-), Caries (-)
Leher : Pembesaran KGB (-/-), Peningkatan JVP 5+3 cmH2O
Paru
Thoraks I : simetris, ikut gerak napas, retraksi (-/-)
P : V/F (D=S)
P : Sonor/sonor
A : Suara napas vesikuler +/+, Rhonki -/-, wheezing -/-
Jantung
I : Ictus cordis tidak tampak
P : Ictus cordis teraba di sela iga ke V linea midklavikula
sinistra, kuat angkat

3
P : Batas jantung kanan di ICS IV linea parasternal dextra
Batas jantung kiri di ICS V linea midklavikula sinistra.
Batas pinggang jantung di ICS III linea parasternal
sinistra
A : S1–S2 reguler, gallop (-), murmur (-)
Abdomen : I : Tampak cembung
A : Bising usus (+) normal : 2-3x/15 detik
P : Supel, Nyeri tekan (-)
P Tympani
Ekstremitas : Akral hangat, capillary refill time<2”; edema (-),tremor (-)
Vegetatif : Makan / minum : baik / baik
BAB / BAK : baik / baik

2.4 Pemeriksaan Penunjang


a. Pemeriksaan Elektrokardiografi
Tanggal 14 Maret 2017

4
Tanggal 15 Maret 2017

b. Pemeriksaan Foto Thorax

a
b

 Hitung CTR = {(a+b)/c}


= {(4,5+10,5)/23}
= 0,65
(karena nilai CTR > 0,5, maka terdapat pembesaran jantung)
 Kesan : Kardiomegali

c. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 23 Maret 2017
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
Laboratorium
Hemoglobin 10,9 g/dL 13,3-16,6 g/dl
HCT 31,4 % 41,3-52,1 %
5
MCV 87,2 fL 86,7-102,3 fL
MCH 30,3 pg 27,1-32,4 pg
MCHC 34,7 g/dl 29,7-36,0 g/dl
Leukosit 8.900 uL 4,0-10,0 m/mm3
PLT 339.000 uL 172-378 m/mm3
BUN 8,2 mg/dL 7-18 mg/dL
Kreatinin 1,1 mg/dL 0,6 – 1,1 mg/dL
Asam urat 6,0 mg/dL 3,4 – 7,0 mg/dL
ALT 20,8 U/I 6 – 42 U/I
AST 28,5 U/I 8 – 37 U/I
Kolesterol total 215 mg/dL < 200 mg/dL
GDS 104 mg/dL < 200 mg/dL
Kalium 3,5 mEq/L 3,5 - 5,3 mEq/L
Natrium 140 mEq/L 135 – 148 mEq/L
Klorida 103 mEq/L 98 – 106 mEq/L
Troponin I Non reaktif

2.5 Resume
Pasien Ny. R datang ke IGD RSUD Jayapura dengan keluhan utama nyeri dada.Pasien
mengeluh nyeri pada dada sebelah kiri sejak satu hari SMRS, namun nyerinya belum
terlalu mengganggu. Kurang lebih satu setengah jam SMRS pasien merasa nyeri di
seluruh bagian dada semakin bertambah berat terutama pada dada kiri, menjalar ke lengan
sebelah kiri, bahu, dan menembus hingga ke belakang. Pada pemeriksaan fisikkeadaan
umum pasien tampak sakit sedang, kesadaran compos mentis. Tekanan darah : 110/60
mmHg, Nadi : 90x/m, Respirasi : 26 x/m, Suhu : 36˚C , SpO2 : 98%, JVP : 5+3.
Pemeriksaan cor BJ I-II reguler.Pemeriksaan penunjang EKG didapatkan elevasi segmen
ST pada Lead V3-V5, sehingga lokasi Infark Miokard terdapat di anterior danpada
pemeriksaan foto polos thoraks, kesan jantung kardiomegali.

2.6 Diagnosis kerja


Syok Hipovilemik, CHF, Atrial Fibrialis

6
2.7 Terapi Saat di IGD Rumah Sakit
- Tirah baring
- Loding RL 200 cc selanjutnya mentens 1500 cc/24 jm.
- Simvastatin 1x20 gr
- Cek GDS cito
- Cek DL, PT, INR, darah lengkap Ureum, Creatinin, elektrolit
- Pantoprazole 1x 40 mg (iv)
- Valstatin 1 x 40 mg (iv)
- Total kalori 2100 k, diet jantung II, rendah purin
- Aspilet 2 x 1 tab 80 mg (po)
- Digoxim 1x1/2 tab

2.8 Prognosis
‐ Quo ad vitam : dubia ad bonam
‐ Quo ad functionam : dubia ad malam
‐ Quo ad sanationam : dubia ad malam

2.9 Follow Up Harian


Tanggal Catatan Tindakan
24/03/2017 Keluhan : Sesak↓, Nyeri dada↓, susah tidur - RL 1000 cc/24 jm
dari malam - O2 Nasal
Keadaan umun : Tampak sakit sedang - Valsartan 1x10 mg
Kesadaran: Compos Mentis - Simvastatin 1x1/2 tab
GCS : E4V5M6 - Pantoprasol 1x40 mg
- TD : 100/80mmHg - Inj. Lasix 2 x 1 amp
- Nadi : 84 x/m - ISDN 4x5 mg
- RR : 24 x/m - Simvastatin 1x40 mg
- Suhu : 36,0 ˚c - Cefixime 2x100 mg
- SpO2: 99 % - Vestein 3x1 mg
Kepala/leher : CA (-/-) SI (-/-) OC (-) - CPG 1 x 75 mg
Pemb.KGB (-) - Candesartan 1x8 mg
Thorax : - Spiranolaktan 1 x 50 mg
I: Simetris, ikut gerak nafas
P : Vokal fremitus D/S normal
P : Sonor (+/+)
A: SN Ves +/+ Rho -/- Whe -/-

7
Cor :
I : IC tidak terlihat
P: IC teraba, Thrill(-)
P : BJ kanan : ICS IV parasternal D
BJ kiri : ICS V midclavicular S
A: S1,S2 Reguler murmur (-) gallop (-)
Abdomen :
I: Tampak cembung
P : Hepar/lien (ttb), nyeri tekan (-)
P : Tympani
A: Bising Usus (+)
A : - Hipotensi
- CHF
- AF

25/3/2017 Keluhan : Nyeri dada↓, Sesak ↓ - Posisi pasien 30˚- 45˚


Keadaan umum : Tampak Sakit sedang - O2 Nasal
Kesadaran: Compos Mentis - IVFD RL 800 cc/24 jam
GCS : E4V5M6 - Minum 800 cc/24 jam
- TD : 100/70 mmHg - Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Nadi : 79 x/m - Inj. Lasix 2 x 1 amp
- RR : 20 x/m - ISDN 4x5 mg
- Suhu : 36,5 ˚c - Simvastatin 1x40 mg
- SpO2: 97% - Cefixime 2x100 mg
Kepala/leher : CA (-/-) SI (-/-) OC (-) - Vestein 3x1 mg
Pemb.KGB (-) - CPG 1 x 75 mg
Thorax : - Candesartan 1x8 mg
I: Simetris, Retraksi (-) - Spiranolaktan 1 x 25 mg
P : Vokal fremitus D/S
P : Sonor (+/+)
A: SN Ves (+/+) Rho (-/-) Whe (-/-)
Urine output : 2000 cc/24 jam

A : - SKA STEMI Anterior


- MAT
- Ischemia DCM
- ADHF
- DCFC III
Keluhan : Batuk, Sesak ↓, tidak bisa tidur - Pro Foto Thorax
11/3/2017 malam - Posisi pasien 30˚- 45˚
Keadaan umum : Tampak sakit sedang - O2 Nasal

8
Kesadaran: Compos Mentis - IVFD RL 800 cc/24 jam
GCS : E4V5M6 - Minum 800 cc/24 jam
- TD : 110/60 mmHg - Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Nadi : 86 x/m - Inj. Lasix 2 x 1 amp
- RR : 24 x/m - ISDN 4x5 mg
- Suhu : 36,2 ˚c - Simvastatin 1x40 mg
- SpO2: 96% - Cefixime 2x100 mg
Kepala/leher : CA (-/-) SI (-/-) OC (-) - Vestein 3x1 mg
Pemb.KGB (-) JVP 5+3 - CPG 1 x 75 mg
Thorax : - Candesartan 1x8 mg
I: Simetris, Retraksi (-) - Spiranolaktan 1 x 50mg
P : Vokal fremitus D/S
P : Sonor (+/+)
A: SN Ves (+/+) Rho (-/-) Whe (-/-)

Cor :
I : IC tampak di ICS V aksila anterior S
P : Thrill (-) IC teraba di ICS V aksila
anterior S
P : BJ kanan : ICS IV parasternal D
BJ kiri : ICS V midclavicular S
A: S1,S2 Reguler murmur (-) gallop (-)
Abdomen :
I: Supel
P : Hepar/lien (ttb), nyeri tekan (-)
P : Tympani
A: Bising Usus (+)

A : - SKA STEMI Anterior


- Aritmia
12/3/2017 Keluhan : Batuk, Sesak ↓, tidak bisa tidur
malam - Posisi pasien 30˚- 45˚
Keadaan umum : Tampak sakit sedang - O2 Nasal
Kesadaran: Compos Mentis - IVFD RL 800 cc/24 jam
GCS : E4V5M6 - Minum 800 cc/24 jam
- TD : 100/60 mmHg - Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Nadi : 84 x/m - Inj. Lasix 2 x 1 amp
- RR : 24 x/m - ISDN 4x5 mg
- Suhu : 36,5 ˚c - Simvastatin 1x40 mg
- SpO2: 98% - Cefixime 2x100 mg
Kepala/leher : CA (-/-) SI (-/-) OC (-) - Vestein 3x1 mg

9
Pemb.KGB (-) JVP 5+3 - CPG 1 x 75 mg
Thorax : - Candesartan 1x8 mg
I: Simetris, Retraksi (-) - Spiranolaktan 1 x 50 mg
P : Vokal fremitus D/S
P : Sonor (+/+)
A: SN Ves (+/+) Rho (-/-) Whe (-/-)
Cor :
I : IC tampak di ICS V aksila anterior S
P : Thrill (-) IC teraba di ICS V aksila
anterior S
P : BJ kanan : ICS IV parasternal D
BJ kiri : ICS V midclavicular S
A: S1,S2 Reguler murmur (-) gallop (-)
Abdomen :
I: Supel
P : Hepar/lien (ttb), nyeri tekan (-)
P : Tympani
A: Bising Usus (+)

A : - SKA STEMI Anterior


- Aritmia
13/3/2017 Keluhan : Batuk, Sesak ↓
Keadaan umum : Tampak sakit sedang - Posisi pasien 30˚- 45˚
Kesadaran: Compos Mentis - O2 Nasal
GCS : E4V5M6 - IVFD RL 800 cc/24 jam
- TD : 110/60 mmHg - Inj. Ranitidin 2x1 amp
- Nadi : 86 x/m - Inj. Lasix 2 x 1 amp
- RR : 22 x/m - ISDN 4x5 mg
- Suhu : 36,3 ˚c - Simvastatin 1x40 mg
- SpO2: 97% - Cefixime 2x100 mg
Kepala/leher : CA (-/-) SI (-/-) OC (-) - Vestein 3x1 mg
Pemb.KGB (-) JVP 8 - CPG 1 x 75 mg
Thorax : - Candesartan 1x8 mg
I: Simetris, Retraksi (-) - Spiranolaktan 1 x 50mg
P : Vokal fremitus D/S - Lansoprasole
P : Sonor (+/+) - Aff kateter
A: SN Ves (+/+) Rho (-/-) Whe (-/-) - Mobilisasi
Cor :
I : IC tampak di ICS V aksila anterior S
P : Thrill (-) IC teraba di ICS V aksila
anterior S
P : BJ kanan : ICS IV parasternal D
10
BJ kiri : ICS V midclavicular S
A: S1,S2 Reguler murmur (-) gallop (-)
Abdomen :
I: Supel
P : Hepar/lien (ttb), nyeri tekan (-)
P : Tympani
A: Bising Usus (+)

A : - SKA STEMI Anterior


- Aritmia
14/3/2017 Keluhan : Pusing berputar
Keadaan umum : Tampak sakit sedang - Posisi pasien 30˚- 45˚
Kesadaran: Compos Mentis - O2 Nasal
GCS : E4V5M6 - Inj. Furosemid 2x1 3 hari 1x1
- TD : 130/80 mmHg selanjutnya 3 hari
- Nadi : 85 x/m - ISDN 3x5 mg 7 hari
- RR : 24 x/m - Simvastatin 1x20 mg 7 hari
- Suhu : 35,7 ˚c - Cefixime 2x100 mg 7 hari
- SpO2: 98% - Vestein 3x1 mg 7 hari
Kepala/leher : CA (-/-) SI (-/-) OC (-) - CPG 1 x 75 mg 7 hari
Pemb.KGB (-) JVP 5+3 - Candesartan 1x8 mg 7 hari
Thorax : - Spiranolaktan 1 x 50mg 7 hari
I: Simetris, Retraksi (-) - Lansoprasole 1x1 7 hari
P : Vokal fremitus D/S - Mobilisasi
P : Sonor (+/+) - BPL
A: SN Ves (+/+) Rho (-/-) Whe (-/-)
Cor :
I : IC tampak di ICS V aksila anterior S
P : Thrill (-) IC teraba di ICS V aksila
anterior S
P : BJ kanan : ICS IV parasternal D
BJ kiri : ICS V midclavicular S
A: S1,S2 Reguler murmur (-) gallop (-)
Abdomen :
I: Supel
P : Hepar/lien (ttb), nyeri tekan (-)
P : Tympani
A: Bising Usus (+)

A : SKA STEMI Anterior

11
12
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA DAN PEMBAHASAN

3.1 Definisi
Sindrom koroner akut adalah gabungan gejala klinik yang menandakan iskemia
miokard akut, yang terdiri dari infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST
segment elevation myocardial infarction = STEMI), infark miokard akut tanpa
elevasi segmen ST (non ST segment elevation myocardial infarction = NSTEMI), dan
angina pectoris tidak stabil (unstable angina pectoris = UAP). Ketiga kondisi tersebut
berkaitan erat, hanya berbeda dalam derajat beratnya iskemia dan luasnya jaringan
miokardiaum yang mengalami nekrosis. UAPdanNSTEMI merupakan suatu
kesinambungan dengan kemiripan patofisiologi dan gambaran klinis. Perbedaan antara
angina pectoris tidak stabil (UAP) dengan infark miokard akut tanpa elevasi segmen
ST (NSTEMI) adalah apakah iskemi yang ditimbulkan cukup berat sehingga dapat
menimbulkan kerusakan miokardium, sehingga adanya marker kerusakan miokardium
dapat diperiksa.3

3.2 Epidemiologi
Sindroma koroner akut adalah kegawatan kardiovaskular yang merupakan penyebab
utama kematian.Kematian terbanyak terjadi di luar rumah sakit.Kematian yang terjadi
sebelum pasien sampai dirumah sakit berhubungan dengan aritmia maligna (VT/VF).
Banyak kejadian terjadi dalam empat jam pertama setelah awal serangan. Kematian
dirumah sakit lebih banyak berhubungan dengan menurunnya curah jantung termasuk
gagal jantung kongestif dan syok kardiogenik. Kematian berhubungan dengan luasnya
miokard yang terkena.11

3.3 Patogenesis
SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses
aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial disease (PAD).
Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat komplek
dan multifaktor serta saling terkait.Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan
trombosis.10
Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak akibat akumulasi beberapa bahan
seperti lipid-filled macrophages, massive extracellularlipid dan plak fibrous yang

13
mengandung sel otot polos dan kolagen. Banyak penelitian yang membuktikan bahwa
inflamasi memegang peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada
penyakit jantung koroner inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak hingga
terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan
trombosis pada SKA.10
Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan darah beku yang terdapat di
dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis
arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut
ditemukan lebih banyak platelet, dan trombosis vena (trombus merah) yang ditemukan
pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih
sedikit platelet. Komponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding
pembuluh darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi,
sistem fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah.10
Patogenesis masing-masing spektrum SKA dapat dijelaskan sebagai berikut :
1. Angina Pektoris Tidak Stabil
Plak aterosklerosis terdiri dari inti yang terdiri dari lemak dan pelindung jaringan
fibrotik.Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal
atau pada timbunan lemak.Kadang-kadang keretakan terjadi pada dinding plak yang paling
lemah karena adanya enzim protease yang dihasilkan makrofag dan secara enzimatik
melemahkan dinding plak.Ditambah aktifitas faktor VIIa memulai pembentukan trombin
dan fibrin.Platelet juga menghasilkan bahan vasoaktif, timbul spasme.Pada plak ysng
ruptur, terjadi adhesi dan agregasi platelet dan terbentuk trombus. Trombus menutup
lumen pembuluh darah, stenosis, terjadilah angina tak stabil.10

2. STEMI (Infark Miokard Dengan Elevasi Segmen ST)


Terjadi jika aliran darah koroner mengalami penurunan secara mendadak setelah oklusi
trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. STEMI terjadi jika trombus
arteri koroner terjadi secara cepat pada lokas injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan
oleh faktor-faktor merokok, hipertensi, akumulasi lipid.10

3. NSTEMI (Infark Miokard Tanpa Elevasi Segmen ST)


NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan
oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner. NTSEMI terjadi karena trombosis
akut atau proses vasokonstriksi koroner. Trombosis akut pada arteri koroner diawali

14
dengan adanya ruptur plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai
inti lipid yang besar, densitas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan
konsentrasi factor jaringan yang tinggi. Pada lokasi rupture plak dapat dijumpai sel
makrofag dan limfosit T yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan
mengeluarkan sitokin proinflamasi seperti TNFalfa, dan IL6. Selanjutnya IL-6 akan
merangsang penegeluaran hsCRP di hati.10

Manifestasi Klinis Patogenesis


1. ANGINA PEKTORIS TIDAK Pada angina pektoris tidak stabil terjadi erosi
STABIL pada plak aterosklerosis yang relatif kecil dan
menimbulkan oklusi thrombus yang transien.
Trombus biasanya labil dan menyebabkan oklusi
sementara yang berlangsung antara 10-20 menit
2. NSTEMI Pada NSTEMI kerusakan pada plak lebih berat
(Non-ST Elevation Myocardial dan menimbulkan oklusi yang lebih persisten
Infarction) dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Pada
kurang lebih ¼ pasien NSTEMI, terjadi oklusi
thrombus yang berlangsung lebih dari 1 jam,
tetapi distal dari penyumbatan terdapat koleteral.
Trombolisis spontan, resolusi vasikonstriksi dan
koleteral memegang peranan penting dalam
mencegah terjadinya NSTEMI
3. STEMI Pada STEMI disrupsi plak terjadipada daerah
(ST Elevation Myocardial yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya
Infarction) trombus yang fixed dan persisten yang
menyebabkan perfusi miokard terhenti secara
tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 (satu) jam
dan menyebabkan nekrosis miokard transmural
Tabel Patogenesis pada Berbagai Manifestasi Klinis SKA10

15
3.4 Patofisiologi

16
3.5 Faktor Risiko
Faktor resiko yang tidak dapat dimodifikasi
a. Usia
Risiko terjadinya penyakit arteri coroner meningkat dengan bertambahnya umur,
diatas 45 tahun pada pria dan diatas 55 tahun pada wanita. Pasien usia lanjut lebih
sering mengalami perubahan abnormalitas anatomi dan fisiologi kardiovaskular,
termasuk respon simpatis beta yang terbatas, peningkatan afterload jantung karena
penurunan compliance arteri dan hipertensi arterial, hipotensi ortostatik, hipertrofi
jantung, dan disfungsi ventricular terutama disfungsi diastolik dibandingkan dengan
pasien yang masih muda.3
Pada pasien didapatkan faktor risiko umur karena umur pasien adalah 61 tahun.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki memiliki risiko lebih tinggi daripada perempuan walaupun setelah
menopause angka kematian perempuan akibat penyakit jantung meningkat, tetapi
tetap tidak sebanyak tingkat kematian laki-laki akibat penyakit jantung. Pada wanita,
hormon estrogen memiliki efek ateroprotektif, meningkatkan HDL dan mengurangi
LDL, serta efek antioksidan dan antiplatelet sehingga risiko aterosklerosis dan
gangguan endotel lebih jarang terjadi pada wanita yang belum menopause.3
c. Riwayat Keluarga
Riwayat keluarga yang memiliki penyakit jantung juga merupakan faktor risiko
termasuk penyakit jantung pada ayah dan saudara pria yang didiagnosa sebelum
umur 55 tahun, dan pada ibu atau saudara perempuan yang didiagnosa sebelum umur
65 tahun.3

Faktor resiko yang dapat dimodifikasi


a. Merokok
Merokok mampu memicu infark miokard melalui proses aterosklerosis. Konsumsi
rokok meningkatkan modifikasi oksidatif dari LDL, menekan jumlah HDL,
kerusakan endotel, dan meningkatkan stress oksidatif pada pembuluh darah sehingga
aterosklerosis rentan terjadi. Merokok juga memicu respon vasokontriksi
menimbulkan hipoksia jaringan, penelitian menunujukan merokok dapat
menimbulkan infark miokard 7 tahun lebih cepat dari pada tidak merokok.3

17
b. Hipertensi
Peningkatan tekanan darah sistemik meningkatkan resistensi terhadap
pemompaan darah dari ventrikel kiri, akibatnya beban kerja jantung bertambah.
Sebagai akibatnya terjadi hipertrofi ventrikel untuk menguatkan kontraksi. Akan
tetapi kemampuan ventrikel untuk mempertahankan curah jantung dengan
hipertropi kompensasi akhirnya terlampaui, terjadi dilatasi dan payah jantung.
Jantung jadi semakin terancam dengan adanya aterosklerosis koroner. Kebutuhan
oksigen miokardium meningkat sedangkan suplai oksigen tidak mencukupi,
akhirnya mengakibatkan iskemia. Kalau berlangsung lama bisa menjadi infark.
Disamping itu, hipertensi dapat meningkatkan kerusakan endotel pembuluh
darah akibat tekanan tinggi yang lama (endothelial injury).3
c. Dislipidemia
Kolesterol dapat berakumulasi di lapisan intima dan media pembuluh arteri coroner.
Jika lemak berakumulasi terus berlangsung, akan membentuk plak sehingga
pembuluh arteri coroner yang mengalami inflamasi atau terjadi penumpukan lemak
akan mengalmi aterosklerosis. Risiko penyakit jantung coroner naik menjadi dua kali
lipat pada pasien dengan kadar kolestrol 200 mg/dL dibandingkan dengan kadar
kolestrol 240 mg/dL.3
Pada pasien didapatkan peningkatan kadar kolesterol total yaitu 215 mg/dl.
d. Obesitas
Beberapa perubahan metabolism lemak sering dijumpai pada individu dengan
obesitas. Perubahan-perubahan ini berkaitan erat dengan jumlah lemak visceral
dibandingkan dengan total lemak tubuh. Pada umumnya, obesitas cenderung
meningkatkan kadar kolestrol total dan trigliserida dan menurukan kadar HDL.
Meskipun kolestrol LDL tetap meningkat sedikit atau normal partikel small dense
LDL yang aetrogenik cenderung meningkat, terutam pada pasien dengan resistensi
insulin yang berkaitan dengan adipositas visceral. Perubahan-perubahan ini
meningkatkan risiko terjadinya aterosklerosis.3
e. Diabetes melitus
Diabetes militus sudah dikenal sebagai faktor risiko utama penyakit kardiovaskular.
Pada DM, terjadi gangguan pembuluh darah, penurunan bioavaibilitas NO sebagai
agen vasodilator, dan peningkatan adhesi leukosit, sehinggamemicu juga
aterosklerosis dan penyakit arteri koroner.3

18
3.6 Diagnosis
3.6.1 Anamnesis.
Keluhan pasien dengan iskemia miokard dapat berupa nyeri dada yang tipikal
(angina tipikal) atau atipikal (angina ekuivalen).Keluhan angina tipikal berupa rasa
tertekan/berat daerah retrosternal, menjalar ke lengan kiri, leher, rahang, area
interskapular, bahu, atau epigastrium. Keluhan ini dapat berlangsung
intermiten/beberapa menit atau persisten (>20 menit).1
Keluhan angina tipikal sering disertai keluhan penyerta seperti diaphoresis,
mual/muntah, nyeri abdominal, sesak napas, dan sinkop. Presentasi angina atipikal
yang sering dijumpai antara lain nyeri di daerah penjalaran angina tipikal, rasa
gangguan pencernaan (indigestion), sesak napas yang tidak dapat diterangkan, atau
rasa lemah mendadak yang sulit diuraikan. Keluhan atipikal ini lebih sering
dijumpai pada pasien usia muda (25-40 tahun) atau usia lanjut (>75 tahun), wanita,
penderita diabetes, gagal ginjal menahun, atau demensia. Walaupun keluhan angina
atipikal dapat muncul saat istirahat, keluhan ini patut dicurigai sebagai angina
ekuivalen jika berhubungan dengan aktivitas, terutama pada pasien dengan riwayat
penyakit jantung koroner (PJK). Hilangnya keluhan angina setelah terapi nitrat
sublingual tidak prediktif terhadap diagnosis SKA.1
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat jika keluhan tersebut ditemukan pada
pasien dengan karakteristik sebagai berikut :
1. Pria
2. Diketahui mempunyai penyakit aterosklerosis non koroner (penyakit arteri
perifer / karotis)
3. Diketahui mempunyai PJK atas dasar pernah mengalami infark miokard, bedah
pintas koroner, atau IKP
4. Mempunyai faktor risiko: umur, hipertensi, merokok, dislipidemia, diabetes
melitus, riwayat PJK dini dalam keluarga, yang diklasifikasi atas risiko tinggi,
risiko sedang, risiko rendah menurut NCEP (National Cholesterol Education
Program).
Nyeri dengan gambaran di bawah ini bukan karakteristik iskemia miokard
(nyeri dada nonkardiak):
1. Nyeri pleuritik (nyeri tajam yang berhubungan dengan respirasi atau batuk)
2. Nyeri abdomen tengah atau bawah

19
3. Nyeri dada yang dapat ditunjuk dengan satu jari, terutama di daerah apeks
ventrikel kiri atau pertemuan kostokondral.
4. Nyeri dada yang diakibatkan oleh gerakan tubuh atau palpasi
5. Nyeri dada dengan durasi beberapa detik
6. Nyeri dada yang menjalar ke ekstremitas bawah1
Hal ini sesuai berdasarkan teori dengan keluhan pasien dimana pada pasien
mengeluh nyeri di seluruh bagian dada terutama pada dada kiri dan menembus ke
belakang dan sesak seperti tertekan.Durasi nyeri lebih dari 20 menit. Nyeri tidak
hilang dengan istirahat atau berganti berbagai posisi. Dari anamnesa tersebut
didapatkan bahwa gambaran nyeri dada yang dialami pasien ialah nyeri dada
tipikal (angina) yang merupakan gejala kardinal pasien infark miokard akut.
Diagnosis SKA menjadi lebih kuat pada pasien ini karena memiliki beberapa
faktor risiko yaitu riwayat hipertensi, dislipidemia dan riwayat penyakit jantung.

3.6.2 Pemeriksaan fisik


Pemeriksaan fisik dilakukan untuk mengidentifikasi faktor pencetus iskemia,
komplikasi iskemia, penyakit penyerta dan menyingkirkan diagnosis banding.
Regurgitasi katup mitral akut, suara jantung tiga (S3), ronkhi basah halus dan
hipotensi hendaknya selalu diperiksa untuk mengidentifikasi komplikasi
iskemia.Ditemukannya tanda-tanda regurgitasi katup mitral akut, hipotensi,
diaphoresis, ronkhi basah halus atau edema paru meningkatkan kecurigaan terhadap
SKA.Pericardial friction rubkarena perikarditis, kekuatan nadi tidak seimbang dan
regurgitasi katup aorta akibat diseksi aorta, pneumotoraks, nyeri pleuritik disertai
suara napas yang tidak seimbang perlu dipertimbangkan dalam memikirkan
diagnosis banding SKA.1
Hasil pemeriksaan fisik pada SKA biasanya bervariasi sesuai lokasi dan luas
infark yang terjadi. Pasien yang mengalami STEMI sering datang dalam keadaan
cemas, banyak bergerak mencari posisi dimana dapat mengurangi sensasi
ketidaknyamanan yang ada.

20
3.6.3 Pemeriksaan Penunjang
a. Elektrokardiogarfi (EKG)
Pemeriksaan EKG 12 sadapan harus dilakukan pada semua pasien dengan
nyeri dada atau keluhan yang dicurigai STEMI.Pemeriksaan ini harus
dilakukan segera dalam 10 menit sejak kedatangan ke Instalasi Gawat Darurat.
Jika pemeriksaan EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tetapi pasien tetap
simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI, EKG serial dengan interval
5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sandapan secara kontinyu harus
dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST. Pada
pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk
mendeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.
Berdasarkan gambaran EKG pasien SKA dapat diklasifikasikan dalam 3
kelompok :
1. Elevasi segmen ST atau LBBB (left bundle branch block baru), minimal di
dua lead yang berhubungan.
2. Depresi segmen ST atau inversi gelombang T yang dinamis pada saat pasien
mengeluh nyeri dada.
3. EKG non diagnostik baik normal ataupun hanya ada perubahan minimal.

Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami


evolusi menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark
miokard gelombang Q. Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard
gelombang non Q. Jika obstruksi trombus tidak total dan bersifat sementara atau
ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan elevasi segmen ST. Pasien
tersebut biasanya mengalami angina pektoris tak stabil atau Non STEMI.
Penilaian ST elevasi dilakukan pada J point dan ditemukan pada 2 sadapan yang
bersebelahan. Nilai ambang elevasi segmen ST untuk diagnosis STEMI untuk pria

21
dan perempuan pada sebagian besar sadapan adalah 0,1 mV. Pada sadapan V1-V3
nilai ambang untuk diagnostik beragam, bergantung pada usia dan jenis kelamin.
Nilai ambang elevasi segmen ST di sadapan V1-3 pada pria usia ≥40 tahun
adalah ≥0,2 mV, pada pria usia <40 tahun adalah ≥0,25 mV. Sedangkan pada
perempuan nilai ambang elevasi segmen ST di lead V1-3, tanpa memandang usia,
adalah ≥0,15 mV. Bagi pria dan wanita, nilai ambang elevasi segmen ST di
sadapan V3R dan V4R adalah ≥0,05 mV, kecuali pria usia <30 tahun nilai
ambang ≥0,1 mV dianggap lebih tepat. Nilai ambang di sadapan V7-V9 adalah
≥0,5 mV. Depresi segmen ST yang resiprokal, sadapan yang berhadapan dengan
permukaan tubuh segmen ST elevasi, dapat dijumpai pada pasien STEMI kecuali
jika STEMI terjadi di mid-anterior (elevasi di V3-V6).Pasien SKA dengan elevasi
segmen ST dikelompokkan bersama dengan LBBB (komplet) baru/persangkaan
baru mengingat pasien tersebut adalah kandidat terapi reperfusi. Oleh karena itu
pasien dengan EKG yang diagnostik untuk STEMI dapat segera mendapat terapi
reperfusi sebelum hasil pemeriksaan marka jantung tersedia.1

Interpretasi EKG pasien ini didapatkan Irama sinus, frekuensi 87x/menit dan
terdapat elevasi segmen ST pada Lead V3-V5.Sehingga lokasi Infark Miokard
terdapat di Anterior.

b. Laboratorium
Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Creatinine Kinase (CK)MB dan
cardiac specific troponin cTnT atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn
harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai
kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan
CKMB, pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi
diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan
biomarker.Peningkatan nilai enzim di atas dua kali nilai batas atas normal
menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).
22
Dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau troponin I/T
menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan SKA,
pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika awitan
SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan hendaknya
diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Kadar CK-MB yang meningkat
dapat dijumpai pada seseorang dengan kerusakan otot skeletal (menyebabkan
spesifisitas lebih rendah) dengan waktu paruh yang singkat (48 jam).
Mengingat waktu paruh yang singkat, CK-MB lebih terpilih untuk
mendiagnosis ekstensi infark (infark berulang) maupun infark periprosedural.1

Pemeriksaan biomarker pada pasien ini yaitu Troponin I didapatkan hasil


non reaktif, hal ini kemungkinan pemeriksaan Troponin dilakukan < 4-6 jam
dimana onset nyeri dada hingga pasien MRS sekitar satu setengah jam karena
berdasarkan teori dalam keadaan nekrosis miokard, pemeriksaan CK-MB atau
troponin I/T menunjukkan kadar yang normal dalam 4-6 jam setelah awitan
SKA, pemeriksaan hendaknya diulang 8-12 jam setelah awitan angina. Jika
awitan SKA tidak dapat ditentukan dengan jelas, maka pemeriksaan
hendaknya diulang 6-12 jam setelah pemeriksaan pertama. Oleh karena itu
seharusnya dilakukan pemeriksaan ulang biomarker namun tidak dilakukan
pada pasien ini.

c. Ekokardigrafi
Disaat tertentu, diagnosis dini infark miokard dapat tetap tidak menentu
bahkan setelah evaluasi yang cermat dari riwayat pasien, EKG, dan serum
biomarker. Dalam situasi seperti ini, sebuah studi diagnostik tambahan yang
mungkin berguna adalah ekokardiografi, yang sering mengungkapkan elainan
baru kontrksi ventrikel di wilayah iskemia atau infark.2

23
d. Angiografi Koroner
Coronary angiography merupakan pemeriksaan khusus dengan
menggunakan sinar x pada jantung dan pembuluh darah. Sering dilakukan
selama serangan untuk menemukan letak sumbatan pada arteri koroner.4

Kemungkinan SKA adalah dengan gejala dan tanda:


1. Nyeri dada yang sesuai dengan kriteria angina ekuivalen atau tidak seluruhnya tipikal
pada saat evaluasi di ruang gawat-darurat.
2. EKG normal atau nondiagnostik, dan
3. Marka jantung normal

Definitif SKA adalah dengan gejala dan tanda:


1. Angina tipikal.
2. EKG dengan gambaran elevasi yang diagnostik untuk STEMI, depresi ST atau
inversi T yang diagnostik sebagai keadaan iskemia miokard, atau LBBB
baru/persangkaan baru.
3. Peningkatan marka jantung1
Kemungkinan SKA dengan gambaran EKG nondiagnostik dan marka jantung
normal perlu menjalani observasi di ruang gawat-darurat.Definitif SKA dan angina
tipikal dengan gambaran EKG yang nondiagnostik sebaiknya dirawat di rumah sakit
dalam ruang intensive cardiovascular care (ICVCU/ICCU).

3.7 Penatalaksanaan
3.7.1 Tindakan Umum dan Langkah
Terapi awal adalah terapi yang diberikan pada pasien dengan diagnosis kerja
Kemungkinan SKA atau SKA atas dasar keluhan angina di ruang gawat darurat,
sebelum ada hasil pemeriksaan EKG dan/atau marka jantung.Terapi awal yang
dimaksud adalah Morfin, Oksigen, Nitrat, Aspirin (disingkat MONA), yang tidak
harus diberikan semua atau bersamaan.
1. Tirah baring
2. Suplemen oksigen harus diberikan segera bagi mereka dengan saturasi O2
arteri <95% atau yang mengalami distres respirasi.

24
3. Suplemen oksigen dapat diberikan pada semua pasien SKA dalam 6 jam
pertama, tanpa mempertimbangkan saturasi O2 arteri.
4. Aspirin 160-320 mg diberikan segera pada semua pasien yang tidak diketahui
intoleransinya terhadap aspirin. Aspirin tidak bersalut lebih terpilih mengingat
absorpsi sublingual (di bawah lidah) yang lebih cepat.
5. Penghambat reseptor ADP (adenosine diphosphate)
a. Dosis awal ticagrelor yang dianjurkan adalah 180 mg dilanjutkandengan
dosis pemeliharaan 2 x 90 mg/hari kecuali pada pasien STEMI yang
direncanakan untuk reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, atau
b. Dosis awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis
pemeliharaan 75 mg/hari (pada pasien yang direncanakan untuk terapi
reperfusi menggunakan agen fibrinolitik, penghambat reseptor ADP yang
dianjurkan adalah clopidogrel).
6. Nitrogliserin (NTG) spray/tablet sublingual bagi pasien dengan nyeri dada
yang masih berlangsung saat tiba di ruang gawat darurat. Jika nyeri dada tidak
hilang dengan satu kali pemberian, dapat diulang setiap lima menit sampai
maksimal tiga kali. Nitrogliserin intravena diberikan pada pasien yang tidak
responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual. Dalam keadaan tidak
tersedia NTG, isosorbid dinitrat (ISDN) dapat dipakai sebagai pengganti.
7. Morfin sulfat 1-5 mg intravena, dapat diulang setiap 10-30 menit, bagi pasien
yang tidak responsif dengan terapi tiga dosis NTG sublingual.1

25
Gambar 3.2 Strategi penanganan initial pada SKA 2

3.7.2 Terapi Reperfusi


Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan
derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien
STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang
maligna.
Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi
fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat
dicapai dalam 90 menit.
Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting
terhadap luas infark dan outcome pasien.Efektivitas obat fibrinolitik dalam
menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan
dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark
miokard dan menurunkan angka kematian.

26
Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien.Jika
terapi reperfusi bersama-sama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko
perdarahan dengan terapi fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih
PCI.Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus
mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi
merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan.4
 Percutaneous Coronary Interventions (PCI)
Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului
fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI efektif dalam mengembalikan
perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut.
PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang
tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka
panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik
(terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala
sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan
kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam
hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya
sarana, hanya di beberapa rumah sakit.4
 Fibrinolitik
Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to
needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi.Tujuan utamanya
adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa
macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA),
streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan
memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus
fibrin.
Fibrinolitik dianggap berhasil jika terdapat resolusi nyeri dada dan
penurunan elevasi segmen ST > 50% dalam 90 menit pemberian fibrinolitik.
Fibrinolitik tidak menunjukkan hasil pada graft vena, sehingga pada pasien
paska CABG datang dengan IMA, cara reperfusi yang lebih disukai adalah PCI.4

27
Tabel 3.1 Indikasi kontra Fibrinolitik

Obat Fibrinolitik
1) Streptokinase : merupakan fibrinolitik non-spesifik fibrin. Pasien yang pernah
terpajan dengan SK tidak boleh diberikan pajanan selanjutnya karena
terbentuknya antibodi. Reaksi alergi tidak jarang ditemukan. Manfaat
mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan intrakranial yang
rendah.
2) Tissue Plasminogen Activator (tPA, alteplase) : Global Use of Strategies to
Open Coronary Arteries (GUSTO-1) trial menunjukkan penurunan mortalitas
30 hari sebesar 15% pada pasien yang mendapatkan tPA dibandingkan SK.
Namun, tPA harganya lebih mahal dibanding SK dan risiko perdarahan
intrakranial sedikit lebih tinggi.
3) Reteplase (retevase) : INJECT trial menunjukkan efikasi dan keamanan
sebanding SK dan sebanding tPA pada GUSTO III trial dengan dosis bolus
lebih mudah karena waktu paruh yang lebih panjang.
4) Tenekteplase (TNKase) : Keuntungannya mencakup memperbaiki
spesisfisitas fibrin dan resistensi tinggi terhadap plasminogen activator
inhibitor (PAI-1). Laporan awal dari TIMI 1- B menunjukkan tenekteplase

28
mempunyai laju TIMI 3 flow dan komplikasi perdarahan yang sama
dibandingkan dengan tPA.

Tabel 3.2 Regimen fibrinolitik untuk infark miokard akut1


Terapi reperfusi pada pasien ini adalah dengan pemberian fibrinolitik
menggunakan Streptokinase, dimana pada pasien tidak terdapat indikasi
kontra absolut maupun relatif untuk diakukan terapi tersebut.Selain
itu,manfaat mencakup harganya yang murah dan insidens perdarahan
intrakranial yang rendah.

3.7.3 Terapi Lainnya


ACC/AHA dan ESC merekomendasikan dalam tata laksana semua pasien
dengan STEMI diberikan terapi dengan menggunakan anti-platelet (aspirin,
clopidogrel, thienopyridin), anti-koagulan seperti Unfractionated Heparin (UFH) /
Low Molecular Weight Heparin (LMWH), nitrat, penyekat beta, ACE-inhibitor,
dan Angiotensin Receptor Blocker.5
1. Anti Iskemia
Penyekat beta pada pasien STEMI dapat memberikan manfaat yaitu manfaat
yang terjadi segera jika obat diberikan secara akut dan yang diberikan dalam
jangka panjang jika obat diberikan untuk pencegahan sekunder setelah infark.
Penyekat beta intravena memperbaiki hubungan suplai dan kebutuhan oksigen
miokard, mengurangi nyeri, mengurangi luasnya infark, dan menurunkan risiko
kejadian aritmia ventrikel yang serius.Terapi penyekat beta pasca STEMI
bermanfaat untuk sebagian besar pasien termasuk yang mendapatkan terapi
inhibitor ACE, kecuali pada pasien dengan kontraindikasi (pasien dengan gagal
29
jantung atau fungsi sistolik ventrikel kiri sangat menurun, blok jantung,
hipotensi ortostatik, atau riwayat asma).4

Tabel 3.1 Jenis dan dosis penyekat beta untuk terapi IMA1
Pada pasien IMA-ST, terapi awal hipertensi pada pasien dengan
hemodinamik stabil adalah betablocker cardioselektif, setelah pemberian nitrat.
Tetapi bila pasien mengalami gagal jantung atau hemodinamik yang tidak stabil,
maka pemberian betablocker harus ditunda, sampai kondisi pasien menjadi stabil.
Dalam kondisi ini, maka diuretik dapat diberikan untuk tatalaksana gagal jantung
atau hipertensi.7
Nitrat.Keuntungan terapi nitrat terletak pada efek dilatasi vena yang
mengakibatkan berkurangnya preload dan volume akhir diastolik ventrikel kiri
sehingga konsumsi oksigen miokardium berkurang. Efek lain dari nitrat adalah
dilatasi pembuluh darah koroner baik yang normal maupun yang mengalami
aterosklerosis.1

Tabel 3.2 Jenis dan dosis Nitrat untuk terapi IMA1


Pada pasien ini diberikan Isosorbid dinitrate.ISDN merupakan golongan
nitrat yang berkerja cepat.Selain mengurangi nyeri dada, nitrat menurunkan
kebutuhan oksigen dan meningkatkan suplai oksigen dengan cara mempengaruhi
tonus vascular menimbulkan venodilatasi sehingga terjadi pengumpulan darah

30
pada vena perifer dan dalam splanikus.Venous pooling ini menyebabkan
berkurangnya aliran balik darah ke dalam jantung, sehingga tekanan pengisian
ventrikel kiri dan kanan (preload) menurun. Dengan cara ini, maka kebutuhan
oksigen miokard akan menurun. Nitrat juga memperbaiki sirkulasi koroner pada
pasien aterosklerosis koroner bukan dengan cara meningkatkan aliran koroner
total, tetapi dengan menimbulkan redistribusi aliran darah pada jantung. Daerah
subendokard yang sangat rentan terhadap iskemia karena letak anatomis dan
struktur pembuluh darah yang mengalami kompresi tiap sistolakan mendapatkan
perfusi yang lebih baik pada pemberian nitrat.Hal ini diduga karena nitrat
menyebabkan dilatasi pembuluh darah coroner yang besar didaerah epicardial
dan bukan pembuluh darah yang kecil (arteriol).
Calcium channel blockers (CCBs). Nifedipin dan amplodipin mempunyai
efek vasodilator arteri dengan sedikit atau tanpa efek pada SA Node atau AV
Node. Sebaliknya verapamil dan diltiazem mempunyai efek terhadap SA Node
dan AV Nodeyang menonjol dan sekaligus efek dilatasi arteri. Semua CCB
tersebut di atas mempunyai efek dilatasi koroner yang seimbang.Oleh karena itu
CCB, golongan dihidropiridin, merupakan obat pilihan untuk mengatasi angina
vasospastik. Studi menggunakan CCB pada UAP dan NSTEMI umumnya
memperlihatkan hasil yang seimbang dengan penyekat beta dalam mengatasi
keluhan angina.4

Tabel 3.3 Jenis dan obat untuk terapi IMA1

2. Anti Trombotik
Antiplatelet dan antitrombin yang digunakan selama fase awal STEMI
berperan dalam memantapkan dan mempertahankan patensi arteri koroner yang
terkait infark.Aspirin merupakan antiplatelet standar pada STEMI. Menurut
penelitian ISIS-2 pemberian aspirin menurunkan mortalitas vaskuler sebesar
23% dan infark non fatal sebesar 49%.Inhibitor glikoprotein menunjukkan

31
manfaat untuk mencegah komplikasi trombosis pada pasien STEMI yang
menjalani PCI. Penelitian ADMIRAL membandingkan abciximab dan stenting
dengan placebo dan stenting, dengan hasil penurunan kematian, reinfark, atau
revaskularisasi segera pada 20 hari dan 6 bulan pada kelompok abciximab dan
stenting.
Clopidogrel (thienopiridin) berguna sebagai pengganti aspirin untuk pasien
dengan hipersensitivitas aspirin dan dianjurkan untuk pasien dengan STEMI
yang menjalani reperfusi primer atau fibrinolitik.Penelitian Acute Coronary
Syndrome (ACOS) registry investigators mempelajari pengaruh clopidogrel di
samping aspirin pada pasien STEMI yang mendapat perawatan dengan atau
tanpa terapi reperfusi, menunjukkan penurunan kejadian kasus jantung dan
pembuluh darah serebral (kematian, reinfark non fatal, dan stroke non fatal).
Manfaat dalam penurunan kematian terbesar pada kelompok pasien tanpa terapi
reperfusi awal (8%), yang memiliki angka kematian 1 tahun tertinggi (18%).4

Tabel 3.3 Jenis dan dosis antiplatelet untuk terapi IMA1


Obat antitrombin standar yang digunakan dalam praktek klinis adalah
unfractionated heparin (UFH). UFH intravena yang diberikan sebagai tambahan
terapi regimen aspirin dan obat trombolitik spesifik fibrin relatif, membantu
trombolisis dan memantapkan serta mempertahankan patensi arteri yang terkait
infark.Dosis yang direkomendasikan adalah bolus 60 U/kg (maksimum 4000U)
dilanjutkan infus inisial 12 U/kg perjam (maksimum 1000 U/jam).Activated
partial thromboplastin time selama terapi pemeliharaan harus mencapai 1,5-2
kali.
Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung
kongestif, riwayat emboli, trombus mural pada ekokardiografi 2 dimensi atau
fibrilasi atrial merupakan risiko tinggi tromboemboli paru sistemik dan harus
mendapatkan terapi antitrombin kadar terapetik penuh (UFH atau LMWH)
selama dirawat, dilanjutkan terapi warfarin minimal 3 bulan.6

32
Terapi antikoagulan harus ditambahkan pada terapi antiplatelet secepat
mungkin.Fondaparinuks secara keseluruhan memiliki profil keamanan
berbanding risiko yang paling baik. Dosis yang diberikan adalah 2,5 mg setiap
hari secara subkutan Bila antikoagulan yang diberikan awal adalah
fondaparinuks, penambahan bolus UFH (85 IU/kg diadaptasi ke ACT, atau 60
IU untuk mereka yang mendapatkan penghambat reseptor GP Iib/IIIa) perlu
diberikan saat IKP. Pemberian antikoagulan disarankan untuk semua pasien
yang mendapatkan terapi antiplatelet. Pemilihan antikoagulan dibuat
berdasarkan risiko perdarahan dan iskemia, dan berdasarkan profil efikasi-
keamanan agen tersebut.1

Tabel 3.4 Jenis dan dosis antikoagulan untuk IMA1


Pada pasien ini diberikan terapi antiplatelet ganda (Aspilet dan Clopidogrel)
Berdasarkan penelitian, kombinasi aspirin dan clopidogrel lebih baik dibanding
aspirin saja dalam mengurangi risiko stroke, tanpa meningkatkan risiko
perdarahan.Pemberian aspilet atau aspirin merupakan tatalaksana dasar pada
pasien yang dicurigai STEMI dan efektif pada spectrum sindrom coroner akut.
Inhibisi cepat siklooksigenase trombosit yang dilanjutkan reduksi kadar
tromboxan A2 (TXA2) sebagai akibatnya terjadi pengurangan agregasi trombosit.
Begitupun dengan Clopidogrel yang merupakan antitrombotik yang dapat
menghambat agregasi trombosit sehingga menyebabkan terhambatnya
pembentukan thrombus yang utama sering ditemukan pada sistem arteri.Dosis
awal clopidogrel adalah 300 mg dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 75
mg/hari.

33
3. Anti Kolesterol
Statin, tanpa melihat nilai awal kolesterol LDL dan tanpa mempertimbangkan
modifikasi diet, inhibitor hydroxymethylglutary-coenzyme Areductase (statin) harus
diberikan pada semua penderita UAP/NSTEMI, termasuk mereka yang telah menjalani
terapi revaskularisasi, jika tidak terdapat indikasi kontra. Manfaat statin dapat
menurunkan lipid, karena statin memiliki kandungan yang dapat meningkatkan fungsi
endotel, menghambat agregasi platelet dan merusak pembentukan thrombus serta
mengurangi angka kejadian kardiovaskular lainnya.2 Terapi statin dosis tinggi hendaknya
dimulai sebelum pasien keluar rumah sakit, dengan sasaran terapi untuk mencapai kadar
kolesterol LDL <100 mg/ dL. Menurunkan kadar kolesterol LDL sampai <70 mg/dL
mungkin untuk dicapai.1
Pada pasien diberikan simvastatin dimulai dari IGD hingga saat perawatan di
ruangan.SKA merupakan suatu proses inflamasi pada arteri koroner akibat plak
pembuluh darah coroner yang mengalami aterosklerosiskoyak atau pecahdan disertai
dengan disfungsi endotel. Fungsi dari simvastatin ialah sebagai antinflamasi.Pemberian
statin intensif diberikan segera setelah onset SKA untuk menstabilkan plak.

3.8 KOMPLIKASI
1. Gangguan hemodinamik
2. Gagal Jantung
Dalam fase akut dan subakut setelah STEMI, seringkali terjadi
disfungsimiokardium. Bila revaskularisasi dilakukan segera dengan IKP atau
trombolisis, perbaikan fungsi ventrikel dapat segera terjadi, namun apabila terjadi jejas
transmural dan/atau obstruksi mikrovaskular, terutama pada dinding anterior, dapat
terjadi komplikasi akut berupa kegagalan pompa dengan remodelingpatologis disertai
tanda dan gejala klinis kegagalan jantung, yang dapat berakhir dengan gagal jantung
kronik. Gagal jantung juga dapat terjadi sebagai konsekuensi dari aritmia yang
berkelanjutan atau sebagai komplikasi mekanis.1
Diagnosis gagal jantung secara klinis pada fase akut dan subakut STEMI didasari
oleh gejala-gejala khas seperti dispnea, tanda seperti sinus takikardi, suara jantung
ketiga atau ronkhi pulmonal, dan bukti-bukti objektif disfungsi kardiak seperti dilatasi
ventrikel kiri dan berkurangnya fraksi ejeksi. Peningkatan marka jantung seperti BNP
dan N-terminal pro-BNP menandakan peningkatan stress dinding miokardium dan
telah terbukti berperan dalam menentukan diagnosis, staging, perlunya rawat jalan
34
atau pemulangan pasien dan mengenali pasien yang berisiko mengalami kejadian
klinis yang tidak diharapkan. Selain itu, nilai marka jantung tersebut dipengaruhi
beberapa keadaan seperti hipertrofi ventrikel kiri, takikardia, iskemia, disfungsi ginjal,
usia lanjut, obesitas dan pengobatan yang sedang dijalani. Sejauh ini belum ada nilai
rujukan definitif pada pasien-pasien dengan tanda dan gejala gagal jantung setelah
infark akut, dan nilai yang didapatkan perlu diinterpretasikan berdasarkan keadaan
klinis pasien.1
Disfungsi ventrikel kiri merupakan satu-satunya prediktor terkuat untukmortalitas
setelah terjadinya STEMI.Mekanisme terjadinya disfungsi ventrikelkiri dalam fase
akut mencakup hilangnya dan remodeling miokardium akibat infark, disfungsi iskemik
(stunning), aritmia atrial dan ventrikular serta disfungsi katup (baik yang sudah ada
atau baru). Komorbiditas seperti infeksi, penyakit paru, gangguan ginjal, diabetes atau
anemia seringkali menambah gejala yang terlihat secara klinis.1
Penilaian hemodinamik dilakukan berdasarkan pemeriksaan fisik
lengkap,pemantauan EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan pengukuran urine
outputsetiap jam.Pasien yang dicurigai menderita gagal jantung perlu dievaluasi segera
menggunakan ekokardiografi transtorakal atau Doppler.Ekokardiografimerupakan alat
diagnosis utama dan perlu dilakukan untuk menilai fungsi dan volume ventrikel kiri,
fungsi katup, derajat kerusakan miokardium, dan untuk mendeteksi adanya komplikasi
mekanis. Evaluasi Doppler dapat memberikan gambaran aliran, gradien, fungsi
diastolik dan tekanan pengisian.1
Pemeriksaan Roentgen dada dapat menilai derajat kongesti paru dan mendeteksi
keadaan penting lain seperti infeksi paru, penyakit paru kronis dan efusi pleura. Pada
pasien yang tidak menunjukkan perbaikan dengan cara-cara konvensional yang
terdeteksi sedang mengalami iskemia, elevasi segmen ST atau LBBB baru, perlu
dipertimbangkan revaskularisasi lanjut.Pasien dengan jejas miokardium luas dalam
fase akut dapat menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung kronik.Diagnosis ini
memerlukan penatalaksanaan sesuai panduan gagal jantung kronik. Beberapa pasien
dengan gagal jantung kronik simtomatis di mana fraksi ejeksi berkurang atau terdapat
dis-sinkroni elektrik yang ditunjukkan dengan pemanjangan QRS memenuhi kriteria
implantasi defibrilator kardioverter, cardiac resynchronization therapy (CRT), atau
defibrilator terapi resinkronisasi jantung.1

35
3. Hipotensi
Hipotensi ditandai oleh tekanan darah sistolik yang menetap di bawah 90
mmHg.Keadaan ini dapat terjadi akibat gagal jantung, namun dapat juga disebabkan
oleh hipovolemia, gangguan irama atau komplikasi mekanis.Bila berlanjut, hipotensi
dapat menyebabkan gangguan ginjal, acute tubularnecrosis dan berkurangnya urine
output.1
4. Kongesti paru
Kongesti paru ditandai dispnea dengan ronki basah paru di segmen basal, berkurangnya
saturasi oksigen arterial, kongesti paru pada Roentgen dada dan perbaikan klinis
terhadap diuretik dan/atau terapi vasodilator.1
5. Keadaan output rendah
Keadaan output rendah menggabungkan tanda perfusi perifer yang buruk dengan
hipotensi, gangguan ginjal dan berkurangnya produksi urin. Ekokardiografi dapat
menunjukkan fungsi ventrikel kiri yang buruk, komplikasi mekanis atau infark
ventrikel kanan.1
6. Syok kardiogenik
Syok kardiogenik terjadi dalam 6-10% kasus STEMI dan merupakan penyebab
kematian utama, dengan laju mortalitas di rumah sakit mendekati 50%.Meskipun syok
seringkali terjadi di fase awal setelah awitan infark miokard akut, ia biasanya tidak
didiagnosis saat pasien pertama tiba di rumah sakit. Penelitian registry SHOCK
(SHould we emergently revascularize Occluded coronaries for Cardiogenic shoCK)
menunjukkan bahwa 50% syok kardiogenik terjadi dalam 6 jam dan 75% syok terjadi
dalam 24 jam. Tanda dan gejala klinis syok kardiogenik yang dapat ditemukan
beragam dan menentukan berat tidaknya syok serta berkaitan dengan luaran jangka
pendek. Pasien biasanyadatang dengan hipotensi, bukti output kardiak yang rendah
(takikardia saat istirahat, perubahan status mental, oliguria, ekstremitas dingin) dan
kongesti paru.1
Kriteria hemodinamik syok kardiogenik adalah indeks jantung <2,2,
L/menit/m2 dan peningkatan wedge pressure >18 mmHg. Selain itu, diuresis biasanya
<20 mL/jam.Pasien juga dianggap menderita syok apabila agen inotropik intravena
dan/atau IABP dibutuhkan untuk mempertahankan tekanan darah sistolik >90
mmHg.Syok kardiogenik biasanya dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri luas,
namun juga dapat terjadi pada infark ventrikel kanan. Baik mortalitas jangka pendek

36
maupun jangka panjang tampaknya berkaitan dengan disfungsi sistolik ventrikel kiri
awal dan beratnya regurgitasi mitral.1
Adanya disfungsi ventrikel kanan pada ekokardiografi awal juga merupakan
prediktor penting prognosis yang buruk, terutama dalam kasus disfungsi gabungan
ventrikel kiri dan kanan. Indeks volume sekuncup awal dan followupserta follow-up
stroke work index merupakan prediktor hemodinamik paling kuat untuk mortalitas 30
hari pada pasien dengan syok kardiogenik danlebih berguna daripada variabel
hemodinamik lainnya.1
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penilaian dan tatalaksana syok
kardiogenik tidak mementingkan pengukuran invasif tekanan pengisian ventrikel kiri
dan curah jantung melalui kateter pulmonar namun fraksi ejeksi ventrikel kiri dan
komplikasi mekanis yang terkait perlu dinilai segera dengan ekokardiografi Doppler 2
dimensi.1
7.Aritmia dan gangguan konduksi dalam fase akut
Aritmia dan gangguan konduksi sering ditemukan dalam beberapa jam
pertama setelah infark miokard. Monitor jantung yang dipasang dalam 11 ±5 hari
sejak infark miokard akut melaporkan insidensi fibrilasi atrium awitan baru sebesar
28%, VT yang tidak berlanjut sebesar 13%, blok AV derajat tinggi sebesar 10% (≤30
detak per menit selama ≥8 detik), sinus bradikardi sebesar 7% (≤30 detak per menit
selama ≥8 detik), henti sinus sebesar 5% (≥5 detik), VT berkelanjutan sebesar 3% dan
VF sebesar 3%. Kepentingan prognostik jangka panjang VF yang terjadi awal (<48
jam) atau VT yang berkelanjutan pada pasien dengan infark miokard akut masih
kontroversial. Pada pasien dengan infark miokard akut, VF/VT yang terjadi awal
merupakan indikator peningkatan risiko mortalitas 30 hari dengan pasien tanpa
VF/VT. ACE-I atau ARB mengurangi mortalitas 30 hari pasien-pasien ini.1
Studi-studi lain menyatakan bahwa pemberian penyekat beta dalam 24 jam
pertama setelah infark miokard akut pada pasien dengan VF/VT yang berlanjut
dikaitkan dengan berkurangnya mortalitas tanpa diikuti perburukan gagal jantung.
Aritmia yang terjadi setelah reperfusi awal dapat berupa manifestasi darikondisi berat
yang mendasarinya, seperti iskemia miokard, kegagalan pompa, perubahan tonus
otonom, hipoksia, dan gangguan elektrolit (seperti hipokalemia) dan gangguan asam-
basa.Keadaan-keadaan tersebut memerlukan perhatian dan penanganan segera. Blok
AV derajat tinggi dulunya merupakan prediktor yang lebih kuat untuk kematian akibat

37
jantung dibandingkan dengan takiaritmia pada pasien dengan fraksi ejeksi ventrikel
kiri <40% setelah infark miokard.1
8.Aritmia supraventrikular
Fibrilasi atrium merupakan komplikasi dari 6-28% infark miokard dan sering
dikaitkan dengan kerusakan ventrikel kiri yang berat dan gagal jantung.Fibrilasi
atrium dapat terjadi selama beberapa menit hingga jam dan seringkali berulang.
Seringkali aritmia dapat ditoleransi dengan baik dan tidak memerlukan pengobatan
selain antikoagulasi.Dalam beberapa kasus laju ventrikel menjadi cepat dan dapat
menyebabkan gagal jantung sehinggaperlu ditangani dengan segera.Kendali laju yang
cukup diperlukan untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokardium, dan dapat
dicapai dengan pemberian penyekat beta atau mungkin antagonis kalsium, baik secara
oral maupun intravena.Beberapa (namun tidak semua) penelitian menyatakan bahwa
terjadinya fibrilasi atrium dalam keadaan infark miokard akut merupakan prediktor
independen untuk all-cause mortality, dan tidak tergantung dari pengobatan yang
diberikan.1
Fibrilasi atrium tidak hanya meningkatkan risiko stroke iskemik selama
perawatan namun juga selama follow-up, bahkan pada AF paroksismal yang telah
kembali menjadi irama sinus saat pasien dipulangkan.Pasien dengan AF dan faktor
risiko untuk tromboembolisme perlu menjalani terapi antikoagulasi oral secara benar.
Karena AF biasanya memerlukan antikoagulasi, pemilihan stent DES saat re-stenosis
perlu dipertimbangkan secara hati-hati terhadap risiko perdarahan serius yang
dikaitkan dengankombinasi tiga terapi antitrombotik yang berkepanjangan.1
Takikardia supraventrikular jenis lain amat jarang terjadi, self-limited dan
biasanya membaik dengan manuver vagal. Adenosin intravena dapat dipertimbangkan
untuk keadaan ini bila kemungkinan atrial flutter telah disingkirkan dan status
hemodinamik stabil.Selama pemberian, EKG pasien perlu terus diawasi.Bila tidak
diindikasikontrakan, penyekat beta juga dapatberguna. Bila aritmia tidak dapat
ditolerir dengan baik, kardioversi elektrik dapat diberikan.1
9. Aritmia ventrikular
Ventricular premature beats hampir selalu terjadi dalam hari pertama fase akut
dan aritmia kompleks seperti kompleks multiform, short runs atau fenomena R-on-T
umum ditemukan.Mereka dianggap tidak dapat dijadikan prediktor untuk terjadinya
VF dan tidak memerlukan terapi spesifik.Takikardi ventrikel perlu dibedakan dengan

38
irama idioventrikular yangterakselerasi.Irama tersebut terjadi akibat reperfusi, di mana
laju ventrikel <120 detak per menit dan biasanya tidak berbahaya.VT yang tidak
berlanjut (<30 detik) bukan prediktor yang baik untuk VF awal dan dapat ditoleransi
dengan baik, biasanya tidak memerlukan pengobatan. Kejadian yang lebih lama dapat
menyebabkan hipotensi dan gagal jantung dan dapat memburuk menjadi VF.1
Tidak ada bukti bahwa pengobatan VT yang tidak berlanjut dan tanpa gejala
dapat memperpanjang hidup, sehingga pengobatan untuk keadaan ini tidak
diindikasikan, kecuali bila terjadi ketidakstabilan hemodinamik.VT yang berlanjut
atau disertai keadaan hemodinamik yang tidak stabil memerlukan terapi
supresif.Fibrilasi ventrikel memerlukan defibrilasi segera.Meskipun ditunjukan bahwa
lidokain dapat mengurangi insidensi VF pada fase akut infark miokard, obat ini
meningkatkan risiko asistol.VF yang berlanjut atau VF yang terjadi melewati fase akut
awal (di mana takiaritmia tersebut terjadi bukan karena penyebab yang reversibel
seperti gangguan elektrolit atau iskemi transien/reinfark) dapat berulang dan dikaitkan
dengan risiko kematian yang tinggi. Meskipunkemungkinan iskemia miokard perlu
selalu disingkirkan dalam kasus aritmia ventrikel, perlu ditekankan bahwa
revaskularisasi tidak dapat mencegah henti jantung berulang pada pasien dengan
fungsi ventrikel kiri abnormal yang berat atau dengan VT monomorf yang berlanjut,
bahkan bila aritmia yang terjadi awalnya merupakan akibat dari iskemia transien.1
10. Sinus bradikardi dan blok jantung
Sinus bradikardi sering terjadi dalam beberapa jam awal STEMI, terutama
pada infark inferior. Dalam beberapa kasus, hal ini disebabkan oleh karena
opioid.Sinus bradikardi seringkali tidak memerlukan pengobatan.Bila disertai dengan
hipotensi berat, sinus bradikardi perlu diterapi dengan atropin.Bila gagal dengan
atropin, dapat dipertimbangkan penggunaan pacing sementara.Blok jantung derajat
satu tidak memerlukan pengobatan.Untuk derajat dua tipe I (Mobitz I atau
Wenckebach), blokade yang terjadi biasanya dikaitkan dengan infark inferior dan
jarang menyebabkan efek hemodinamik yang buruk. Apabila terjadi perubahan
hemodinamik, berikan atropin dahulu, baru pertimbangkan pacing.1
Hindari penggunaan agen-agen yang memperlambat konduksi AV seperti
penyekat beta, digitalis, verapamil atau amiodaron. Blok AV derajat dua tipe II
(Mobitz II) dan blok total dapat merupakan indikasi pemasangan elektroda pacing,
apalagi bila bradikardi disertai hipotensi atau gagal jantung. Bila gangguan

39
hemodinamik yang terjadi berat, hati-hati dalam pemberian pacing AV
sekuensial.Pada pasien yang belum mendapatkan terapi reperfusi, revaskularisasi
segera perlu dipertimbangkan.Blok AV terkait infark dinding inferior biasanya terjadi
di atas bundle of HIS, danmenghasilkan bradikardia transien dengan escape rhythm
QRS sempit dengan laju lebih dari 40 detak per menit, dan memiliki mortalitas yang
rendah. Blok ini biasanya berhenti sendiri tanpa pengobatan. Blok AV terkait infark
dinding anterior biasanya terletak di bawah HIS (di bawah nodus AV) dan
menghasilkan QRS lebar dengan low escape rhythm, serta laju mortalitas yang tinggi
(hingga 80%) akibat nekrosis miokardial luas.1
Terjadinya bundle branch block baru atau blok sebagian biasanya
menunjukkan infark anterior luas, dan kemudian dapat terjadi blok AV komplit atau
kegagalan pompa. Asistol dapat terjadi setelah blok AV, blok bifasik atau trifasik atau
countershockelektrik. Bila elektroda pacing terpasang, perlu dicoba dilakukan pacing.
Apabila tidak, lakukan kompresi dada dan napas buatan, serta lakukan pacing
transtorakal.Elektroda pacing transvena perlu dimasukkan bila terdapat blok AV lanjut
dengan low escape rhythm seperti yang telah dijelaskan di atas, dan dipertimbangkan
apabila terjadi blok bifasik atau trifasik. Rute subklavia sebaiknya dihindari setelah
fibrinolisis atau bila terdapat antikoagulasi, dan dipilih rute alternatif.Pacing permanen
diindikasikan pada pasien dengan blok AV derajat tiga persisten, atau derajat dua
persisten terkait bundle branchblock, dan pada Mobitz II transien atau blok jantung
total terkait bundle branchblock awitan baru.1
11. Regurgitasi katup mitral
Regurgitasi katup mitral dapat terjadi selama fase subakut akibat dilatasi
ventrikel kiri, gangguan m. Papilaris, atau pecahnya ujung m. Papilaris atau chordae
tendinae.Keadaan ini biasanya ditandai dengan perburukan hemodinamis dengan
dispnea akut, kongesti paru dan murmur sistolik baru, yang biasanya tidak terlalu
diperhatikan dalam konteks ini.Diagnosis inidicurigai dengan pemeriksaan klinis dan
perlu segera dikonfirmasi dengan ekokardiografi darurat. Edema paru dan syok
kardiogenik dapat terjadidengan cepat.1
12. Ruptur jantung
Ruptur dinding bebas ventrikel kiri dapat terjadi pada fase subakut setelah
infark transmural, dan muncul sebagai nyeri tiba-tiba dan kolaps kardiovaskular
dengan disosiasi elektromekanis. Hemoperikardium dan tamponade jantung kemudian

40
akan terjadi secara cepat dan bersifat fatal. Diagnosis dikonfirmasi dengan
ekokardiografi. Apabila tersumbat oleh formasi trombus, ruptur dinding subakut yang
terdeteksi dengan cepat dapat dilakukan perikardiosentesis dan operasi segera.1
13. Ruptur septum ventrikel
Ruptur septum ventrikel biasanya ditandai perburukan klinis yang terjadi
dengan cepat dengan gagal jantung akut dan mumur sistolik yang kencang yang terjadi
pada fase subakut.Diagnosis ini dikonfirmasi denganekokardiografi, yang dapat
membedakan keadaan ini dengan regurgitasi mitral akut dan dapat menentukan lokasi
dan besarnya ruptur.Left-to-rightshunt yang terjadi sebagai akibat dari ruptur ini dapat
menghasilkan tanda dan gejala gagal jantung kanan akut awitan baru.1
Operasi segera dikaitkan dengan laju mortalitas yang tinggi dan risiko ruptur
ventrikel berulang, sementara operasi yang ditunda memungkinkan perbaikan septum
yang lebih baik namun mengandung risiko terjadinya pelebaran ruptur, tamponade dan
kematian saat menunggu operasi. Mortalitas keadaan ini tinggi untuk semua pasien
dan lebih tinggi lagi pada pasien dengan kelainan di inferobasal dibandingkan dengan
di anteroapikal.1
14. Infark ventrikel kanan
Infark ventrikel kanan dapat terjadi sendiri atau, lebih jarang lagi, terkait dengan
STEMI dinding inferior.Biasanya gejalanya muncul sebagai triad hipotensi,lapangan paru
yang bersih serta peningkatan tekanan vena jugularis. Elevasi segmen ST ≥1 mV di V1
dan V4R merupakan ciri infark ventrikel kanan dan perlu secara rutin dicari pada pasien
dengan STEMI inferior yang disertai dengan hipotensi.1
Ekokardiografi Doppler biasanya menunjukkan dilatasi ventrikel kanan, tekanan arteri
pulmonal yang rendah, dilatasi vena hepatika dan jejas dinding inferior dalam berbagai
derajat.Meskipun terjadi distensi vena jugularis, terapi tetap diberikan dengan tujuan
mempertahankan tekanan pengisian ventrikel kanan dan mencegah atau mengobati
hipotensi.Pemberian diuretik dan vasodilator perlu dihindari karena dapat memperburuk
hipotensi. Irama sinus dan sinkronisitas atrioventrikular perlu dipertahankan dan AF atau
blok AV yang terjadi perlu segera ditangani.1
15. Perikarditis
Insidensi perikarditis setelah STEMI semakin berkurang dengan semakin majunya
terapi reperfusi yang modern dan efektif. Gejala perikarditis antara lain nyeri dada

41
berulang, biasanya khas yaitu tajam dan, bertentangan dengan iskemia rekuren, terkait
dengan postur dan pernapasan.1
Perikarditis dapat muncul sebagai re-elevasi segmen ST dan biasanya ringan dan
progresif, yang membedakannya dengan re-elevasi segmen ST yang tiba-tiba seperti
padare-oklusi koroner akibat trombosis stent, misalnya.Pericardial rub yang
terusmenerus dapat mengkonfirmasi diagnosis, namun sering tidak ditemukan, terutama
apabila terjadi efusi perikardial berat. Ekokardiografi dapat mendeteksi dan menentukan
besarnya efusi, bila ada, dan menyingkirkan kecurigaan efusi hemoragik dengan
tamponade. Nyeri biasanya menghilang dengan pemberian aspirin dosis tinggi,
paracetamol atau kolkisin.1
Pemberian steroid dan NSAID jangka panjang perlu dihindari karena dapat
menyebabkanpenipisan jaringan parut dan pembentukan aneurisma atau
ruptur.Perikardiosentesis jarang diperlukan, namun perlu dilakukan apabila terdapat
perburukan hemodinamik dengan tanda-tanda tamponade. Bila terjadi efusi perikardial,
terapi antikoagulan yang sudah diberikan (misalnya sebagaiprofilaksis tromboemboli
vena) perlu dihentikan kecuali apabila benar-benar diindikasikan pemberiannya.1
16. Aneurisma ventrikel kiri
Pasien dengan infark transmural besar, terutama di dinding anterolateral, dapat
mengalami perluasan infark yang diikuti dengan pembentukan aneurisma ventrikel
kiri.Proses remodeling ini terjadi akibat kombinasi gangguan sistolik dan diastolik dan,
seringkali, regurgitasi mitral.Ekokardiografi Doppler dapat menilai volume ventrikel kiri,
fraksi ejeksi, derajat dan luasnya abnormalitas gerakan dinding, dan mendeteksi trombus
yang memerlukan antikoagulasi.ACE-I/ARB dan antagonis aldosteron telah terbukti
memperlambat proses remodeling dalam infark transmural dan meningkatkan
kemungkinan hidup, dan perlu diberikan segera sejak keadaan hemodinamik stabil.
Pasien seringkali akan menunjukkan tanda dan gejala gagal jantung kronik dan perlu
ditangani dengan sesuai.1
17. Trombus ventrikel kiri
Frekuensi terjadinya trombus ventrikel kiri telah berkurang terutama karena kemajuan
dari terapi reperfusi, penggunaan obat-obatan antitrombotik dalam STEMI, dan
berkurangnya ukuran infark miokardium akibat reperfusi miokardium yang segera dan
efektif. Meskipun beberapa penelitian menunjukkan bahwa hampir seperempat infark
miokard anterior memilikitrombus ventrikel kiri yang dapat terdeteksi, keadaan ini

42
dikaitkan dengan prognosis yang buruk karena berhubungan dengan infark yang luas,
terutama bagian anterior dengan keterlibatan apikal, dan risiko embolisme sistemik.1

3.9 Prognosis
 Klasifikasi Killip merupakan salah satu sistem untuk menentukan prognosis pasca
IMA. Klasifikasi Killip berdasarkan pemeriksaan fisik bedside sederhana, S3
gallop, kongesti paru dan syok kardiogenik.7

Tabel 3.6 Mortalitas 30 hari berdasarkan kelas Killip1


Pada pemeriksaan fisik pasien tidak didapatkan gagal jantung yang ditandai adanya
ronkhi maupun S3 sehingga termasuk kelas Killip I dengan mortalitas pasca IMA adalah
sekitar 6%.

43
BAB IV
KESIMPULAN

1. Pada pasien ini, berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
didapatkan diagnosa pasien Sindrom Koroner Akut STEMI Anterior.
2. Sesuai dengan teori yang telah di bahas pada tinjauan pustaka, penatalaksanaan pada
pasien ini diberikan oksigen, nitrat, terapi reperfusi dan terapi adjuvant.
3. Pasien boleh pulang tetapi dianjurkan untuk rawat jalan ke poli kardiologi serta
mengontrol faktor risiko.

44
DAFTAR PUSTAKA

1. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tata Laksana


Sindrom Koroner Akut Edisi Ketiga.
2. Lily Leonard. 2016. Acute Coronary Syndromes. Dalam: Pathophysiology of Heart
DiseasesSixth Edition. Lippincott Williams & Wilkins, Wolters Kluwer.Philadelphia
3. Pedoman Diagnosis dan Terapi Dept/SMF Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah.
2010. Ed V. Rumah Sakit Umum Daerah Dokter Soetomo Surabaya.
4. Khan M.G. Antiplatelet Agents, Anticoagulants, and Specifi Thrombin Inhibitors.
Cardiac Drug Therapy. 7th edition. New Jersey : Humana Press :2007. Pg. 331-348

5. ACC/AHA. 2004. ACC/AHA Guidelines for the Management of Patients With ST-
Elevation Myocardial Infarction.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing.
7. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. 2015. Pedoman Tata Laksana
Hipertensi pada Penyakit Kardiovaskular Edisi Pertama.
8. Bina D, Komunitas F, Klinik DAN, Bina D, Dan K, Kesehatan A, et al. Pharmaceutical
Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner . 2006.
http://binfar.depkes.go.id/bmsimages/1361351516.pdf
9. Risalina M.A. Patofi siologi Sindrom Koroner Akut. 2012. MajalahCDK(4):261–4.
http://www.kalbemed.com/Portals/6/08_192Patofisiologi%20Sindrom%20Koroner%20A
kut.pdf
10. Sudoyo, A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 5th ed. Jakarta: Interna Publishing. 2009.
11. Agus Subagjo, dkk. Basic Cardiac Life Support. Jakarta : Perhimpuanan Dokter Spesialis
Kardiovaskular Indonesia (PERKI). 2011

45

Anda mungkin juga menyukai