DISUSUN OLEH :
Tingkat 1B
2015/2016
KEJANG
1. DESKRIPSI
Kejang adalah suatu kejadian paroksismal yang disebabkan oleh lepas muatan
hipersinkron abnormal dari suatu kumpulan neuron SSP. Kejang demam (kejang tonik-klonik
demam) adalah bangkitan kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh (suhu mencapai
>38° C). Kejang demam dapat terjadi karena proses intrakranial maupun ekstrakranial.
Kejang demam terjadi pada 2-4% populasi anak berumur 6 bulan s/d. 5 tahun. Paling sering
pada anak usia 17-23 bulan.
1. Intrakranial:
- Trauma (perdarahan): perdarahan subarachnoid, subdural atau ventrikuler.
- Infeksi: bakteri, virus, parasit misalnya meningitis.
- Kongenital: disgenesis, kelainan serebri.
2. Ekstrakranial:
- Gangguan metabolik: hipoglikemia, hipokalsemia, hipomagnesia, gangguan
elektrolit (Na dan K) misalnya pada pasien dengan riwayat diare sebelumnya.
- Toksik: intoksikasi, anestesi local, sindroma putus obat.
- Kongenital: gangguan metabolisme asam basa atau ketergantungan dan
kekurangan piridoksin.
Kejang Karakteristik
Parsial Kesadaran utuh walaupun mungkin berubah; fokus disatu bagian
tetapi dapat menyebar kebagian lain.
1. Parsial Sederhana - Dapat bersifat motorik (gerakan abnormal unilateral), sensorik
(merasakan, membaui, mendengar sesuatu yang abnormal),
automik (takikardia, bardikardia, takipneu, kemerahan, rasa
tidak enak diepigastrium), psikik ( disfagia, gangguan daya
ingat)
2. Parsial Komplek Dimulai sebagai kejang parsial sederhana; berkembang menjadi
perubahan kesadaran yang disertai oleh:
- Gejala motorik, gejala sensorik, otomatisme (mengecap-
ngecapkan bibir, mengunyah, menarik-narik baju)
- Beberapa kejang parsial kompleks mungkin berkembang
menjadi kejang generalisata.
- Biasanya berlangsung 1-3 menit.
3. PATOFISOLOGI
Kejang terjadi akibat lepas muatan paroksismal yang berlebihan dari sebuah
fokus kejang atau dari jaringan normal yang terganggu akibat suatu keadaan patologik.
Aktivitas kejang sebagian bergantung pada lokasi lepas muatan yang berlebihan tersebut.
Lesi di otak tengah, talamus, dan korteks cerebrum kemungkinan besar bersifat
epileptogenik, sedangkan lesi di cerebelum dan batang otak umumnya tidak memicu
kejang.
Di tingkat membran sel, fokus kejang memperlihatkan beberapa fenomena
biokimiawi, termasuk yang berikut :
1. Instabilitas membran sel saraf, sehingga sel lebih mudah mengalami pengaktifan.
2. Neuron-neuron hipersensitif dengan ambang untuk melepaskan muatan menurun dan
apabila terpicu akan melepaskan muatan secara berlebihan.
3. Kelainan polarisasi (polarisasi berlebihan, hipopolarisasi, atau selang waktu dalam
repolarisasi) yang disebabkan oleh kelebihan asetilkolin atau defisiensi asam gama-
aminobutirat (GABA).
4. Ketidakseimbangan ion yang mengubah keseimbangan asam-basa atau elektrolit,
yang mengganggu homeostasis kimiawi neuron sehingga terjadi kelainan pada
depolarisasi neuron. Gangguan keseimbangan ini menyebabkan peningkatan
berlebihan neurotransmitter eksitatorik atau deplesi neurotransmitter inhibitorik.
Perubahan-perubahan metabolik yang terjadi selama dan segera setelah kejang
sebagian disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan energi akibat hiperaktivitas neuron.
Selama kejang, kebutuhan metabolik secara drastis meningkat; lepas muatan listrik sel-
sel saraf motorik dapat meningkat menjadi 1000 per detik. Aliran darah otak meningkat,
demikian juga respirasi dan glikolisis jaringan. Asetilkolin muncul di cairan
cerebrospinalis (CSS) selama dan setelah kejang. Asam glutamat mungkin mengalami
deplesi selama aktivitas kejang.
Secara umum, tidak dijumpai kelainan yang nyata pada autopsi. Bukti
histopatologik menunjang hipotesis bahwa lesi lebih bersifat neurokimiawi bukan
struktural. Belum ada faktor patologi yang secara konsisten ditemukan. Kelainan fokal
pada metabolisme kalium dan asetilkolin dijumpai diantara kejang. Fokus kejang
tampaknya sangat peka terhadap asetil kolin, suatu neurotransmitter fasilitatorik; fokus-
fokus tersebut lambat mengikat dan menyingkirkan asetilkolin.
4. OBAT PILIHAN
A. PROFIL FARMAKOLOGIK
KARBAMAZEPIN
KLASIFIKASI
Antikonvulsan
B. INDIKASI
Profilaksis kejang tonik-klonik, kejang campuran dan kejang parsial kompleks.
Penatalaksanaan nyeri pada neuralgiatrigeminus.
Penggunaan tidak resmi : bentuk lain nyeri neuralgia.
C. KERJA OBAT DAN INFORMASI UMUM
Menurunkan transmisi sinaps pada SSP.
Efek Terapeutik : Pencegahan kejang, penurunan nyeri pada neuralgia trigeminus.
FARMAKOKINETIK
Absorpsi : Diabsorpsi secara perlahan dari saluran GI namun menyeluruh. Absorpsi
terhadap bentuk suspensi mengakibatkan pencapaian kadar puncak yang lebih tinggi
dan lebih awal serta kadar terendah yang lebih rendah dibandingan bentuk tablet.
Distribusi : Didistribusikan secara luas. Menembus barier darah otak. Menembus
plasenta dan masuk ke ASI.
Metabolisme dan Ekskresi : Dimetabolisme secara luas oleh hati.
Waktu Paruh: 14-30 jam atau lebih lama.
Antikolvusan
PO (Dewasa) : dimulai dengan 200 mg dua kali sehari (tablet) atau 100 mg empat kali
sehari (suspensi); ditingkatkan 200 mg/hari sampai kadar terapeutik tercapai.
Rentangnya adalah 800-1200 mg/hari dalam dosis terbagi tiap 6-8 jam. Tidak lebih dari 1
g/hari untuk usia 12-15 tahun. Tablet lepas lambat diberikan 1-2 kali sehari.
PO (Anak 6-12 tahun) : 100 mg bid (tablet) atau 50 mg qid (suspensi) meningkat
sampai kadar terapeutik didapat (rentang 400-800 mg/hari, tidak lebih dari 1 g/hari.
Tablet lepas lambat diberikan 1-2 kali sehari.
SEDIAAN
Tablet: 200 mg
Tablet kunyah 100 mg, 200 mg
{Tablet lepas lambat: 200 mg, 400 mg,}
Suspensi oral: 100 mg/5 ml
WAKTU/PROFIL KERJA OBAT (efek antidepresan)
5. IMPLIKASI KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
- Kejang : Kaji lokasi, durasi, dan karakteristik kejang.
- Neuralgia Trigeminus : Kaji adanya nyeri pada wajah. Minta pasien
mengidentifikasi stimulus-stimulus yang dapat menyebabkan nyeri tersebut
(makanan dingin atau panas, selimut, sentuhan pada wajah).
- Pertimbangan Tes Lab : Pantau HSD, termasuk jumlah trombosit, retikulosit, dan
zat besi serum setiap minggu selama 3 bulan pertama dan setiap bulan sesudahnya,
untuk adanya bukti abnormalitas sel darah yang fatal. Pengobatan harus dihentikan
jika terjadi depresi sumsum tulang.
* Tes fungsi hati, urinalisis, dan BUN harus dilakukan secara rutin. Dapat
menyebabkan peningkatan kadar AST (SGOT), ALT (SGPT), bilirubin serum,
BUN, protein urin, dan glukosa urin.
*Tes fungsi tiroid dan konsentrasi kalsium dalam serum dapat menurun.
*Dapat menyebabkan hasil tes kehamilan positif palsu dengan tes yang menentukan
human chorionic gonadotropin (HCG).
- Toksisitas dan Overdosis : kadar darah serum harus dipantau secara rutin selama
terapi. Rentang kadar terapeutik adalah 6/12 mcg/ml.
1. DESKRIPSI
Nyeri adalah suatu proses dinamik, yaitu hubungan fisiologi antara rangsangan
nyeri dan keluaran sensorik respon nyeri dapat mengalami modifikasi seiring dengan
waktu, sifat sistem saraf ini disebut “plastisitas”. Nyeri dapat digambarkan sebagai suatu
pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang berkaitan dengan
kerusakan jaringan yang sudah atau berpotensi terjadi, atau dijelaskan berdasarkan
kerusakan tersebut.
Pada sebagian besar pasien, sensasi nyeri ditimbulkan oleh suatu cedera atau
rangsangan yang cukup kuat untuk berpotensi mencederai (berbahaya). Pada kasus
cedera atau proses proses mencederai, nyeri memiliki fungsi protektif, memicu respon
terhadap stres berupa penarikan, melarikan diri, atau imobilisasi bagian tubuh (misalnya,
menarik jari tangan dari kompor panas). Namun, apabila fungsi protektif ini sudah
selesai, nyeri yang berlanjut dapat memperlemah pasien, karena sering disertai oleh suatu
respon stres berupa meningkatnya rasa cemas, denyut jantung, tekanan darah, dan
kecepatan pernafasan.
3. PATOFISIOLOGI
Nyeri diawali dgn kerusakan jaringan (tissue damage), dimna jaringan tbh yg
cedera melepaskan zat kimia inflamatori (excitatory neurotransmitters), (histamine
dan bradykinin) sbg vasodilator yg kuat -> edema, kemerahan dan nyeri dan
menstimulasi pelepasan prostaglandins
Transduksi (transduction) : perubahan energi stimulus menjadi energi elektrik, ->
proses transmisi (transmission) yakni ketika energi listik mengenai nociceptor
dihantarkan melalui serabut saraf A dan C dihantarkan dengan cepat ke substantia
gelatinosa di dorsal horn dari spinal cord -> ke otak melalui spinothalamic tracts ->
thalamus dan pusat-pusat yg lbh tinggi termsk reticular formation, limbic system, dan
somatosensory cortex
Persepsi (perseption) : otak menginterpretasi signal, memproses informasi dr
pengalaman, pengetahuan, budaya, serta mempersepsikan nyeri -> individu mulai
menyadari nyeri.
Modulasi (modulation) : saat otak mempersepsikan nyeri, tubuh melepaskan
neuromodulator, seperti opioids (endorphins and enkephalins), serotonin,
norepinephrine & gamma aminobutyric acid -> menghalangi /menghambat transmisi
nyeri & membantu menimbulkan keadaan analgesik, & berefek menghilangkan nyeri.
Rentang Nyeri
4. OBAT PILIHAN
A. PROFIL FARMAKOLOGIK
OKSIMORFON
Numorphan
KLASIFIKASI
Analgesik opioid (agonis)
B. INDIKASI
FARMAKOKINETIK
Absorpsi : Diabsorpsi dengan baik setelah pemberiaan secara IM, SC, atau rektal.
Distribusi : Diistribusikan secara luas menembus plasenta dan memasuki ASI.
Metabolisme dan Ekskresi : Sebagian besar dimetabolisme oleh hati.
Waktu Paruh: 2, 6-4 jam.
E. PERHATIAN
SSP : Sedasi, konfusi, sakit kepala, euforia, perasaan melayang, mimpi yang tidak
biasa,
disforia, halusinasi, pusing.
Mata dan THT : miosis, diplopia, penglihatan kabur.
Resp : depresi pernapasan.
KV : hipotensi ortostatik.
GI : mual, muntah, konstipasi, mulut kering.
GU : retensi urin.
Derm : berkeringat, kemerahan.
Lain-lain : toleransi, ketergantungan fisik, ketergantungan psikologis.
INTERAKSI
Obat-obat :
- Gunakan dengan sangat hati-hati pada pasien yang menerima inhibitor MAO (dapat
mengakibatkan reaksi yang tidak terduga- kurangi dosis awal oksikodon sampai 25 %
dosis biasa).
- Depresi SSP tambahan dengan alkohol, antihistamin, dan sedatif/ hipnotik.
- Pemberian analgesik opioid antagonis parsial dapat memicu gejala putus obat pada
pasien dengan ketergantungan fisik Nalbufin atau pentazosin dapat mengurangi efek
analgesia dari obat ini.
SEDIAAN
5. IMPLIKASI KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
- Kaji jenis, lokasi, dan intensitas nyeri sebelum dan 60 menit setelah pemberian.
- Kaji tekanan darah, nadi, dan frekuensi tempat sebelum dan secara periodik selama
pemberian.
- Penggunaan jangka panjang dapat mengakibatkan ketergantungan dan toleransi fisik
dan psikologis. Hal ini jangan sampai menghambat pasien untuk menerima analgesia
yang adekuat. Sebagian besar pasien yang menerima oksikodon untuk alasan medis
tidak mengalami ketergantungan psikologis. Dosis yang semakin tinggi mungkin
dibutuhkan untuk meredakan nyeri pada jangka panjang.
- Kaji fungsi defekasi secara rutin. Perubahan asupan cairan dan serat, pelunakan dan
laksatif dapat meminimalkan konstipasi.
Pertimbangan Tes Lab : Dapat ditingkatkan kadar amilase dan lipase plasma.
Teksisitan dan Overdosis : jika terjadi overdosis nalokson (Narean) adalah anti
dotumnya.
B. DIAGNOSIS KEPERAWATAN POTENSIAL
Nyeri (indikasi).
Perubahan persepsi sensorik penglihatan, pendengaran (efek samping).
Risiko tinggi cidera (efek samping).
C. IMPLEMENTASI
Informasi Umum : Jelaskan manfaat terapeutik dari obat ini sebelum pemberian
untuk meningkatkan efek analgesik.
Pemberian yang teratur lebih efektif daripada pemberian yang dilakukan bila perlu.
Analgesik lebih efektif jika diberikan sebelum nyeri tambah parah.
Pemberian bersama analgesik nonopioid dapat menambah efek analgesik dan
memungkinkan dosis yang lebih rendah.
Pengobatan harus dihentikan secara bertahanp setelah penggunaan jangka panjang
untuk mencegah gejala putus obat.
Rekt : Supositoria harus disimpan dalam lemario pendingin.
IV Langsung : Diberikan tanpa diencerkan selama 2-3 menit.
Kompatibilitas Y-Site : glokopirolat, hidroksizin, ranitidin.
Beritahu pasien tentang bagamana dan kapan meminta obat pereda nyeri.
Obat ini dapat menyebabkan mengantuk atau pusing. Anjurkan pasien untuk meminta
bantuan saat berambulasi atau merokok. Peringatan pasien untuk tidak mengendarai
kendaraaan atau melakukan aktivitas lain yang memerlukan kewaspadaan sampai
respons terhadap obat diketahui.
Anjurkan pasien untuk melakukan perubahan posisi secara perlahan guna
meminimalkan hipotensi ortostatik.
Anjurkan pasien untuk tidak mengkonsumsi alkohol atau depresan SSP lain
bersamaan dengan pengobatan ini.
Anjurkan pasien untuk miring, batuk, dan menarik napas dalam setiap 2 jam untuk
mencegah atelektasis.
E. EVALUASI
- Berkurangnya keparahan nyeri tanpa perubahan yang berarti pada tingkat kesadaran atau
status pernapasan.
DAFTAR PUSTAKA
Price, Sylvia Anderson. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi 6,
Vol 2. Jakarta: EGC
Deglin, Judith Hopfer. 2004. Pedoman Obat Untuk Perawat, Edisi 4. Jakarta: EGC
Nurarif, Amin Huda, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis
dan Nanda Nic-Noc, Edisi Revisi Jilid 2. Jakarta: Penerbit Mediaction
https://qittun.blogspot.com