Anda di halaman 1dari 12

PENGARUH IRADIASI SINAR GAMA TERHADAP PERTUMBUHAN

SORGUM MANIS (Sorghum bicolor L.)

Oleh : Kelompok 15 Golongan C


Anggota :
1. Rina Fadilatur R A41151749
2. Tri Susinggit A41151764
3. Indri Lestari A41151771
4. Adi nur Arifin A41151792
5. Moh. Ali Rizal A A41151799

PROGRAM STUDI TEKNIK PRODUKSI BENIH


JURUSAN PRODUKSI PERTANIAN
POLITEKNIK NEGERI JEMBER
2018
BAB I

PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan tanaman serealia yang


mempunyai potensi besar untuk dibudidayakan, baik di daerah tropis maupun sub
tropis. Selain itu, sorgum juga sangat potensial untuk diangkat menjadi komoditas
agroindustri karena mempunyai beberapa keuntungan seperti dapat tumbuh lahan
kering, resiko kegagalan relative sedikit, kandungan nutrient yang tinggi, dan
tahan terhadap hama dan penyakit dibandingkan dengan tanaman laiinya serta
pembiayaan usaha taninya relative rendah. Untuk pemanfaatannya sorgum
memiliki manfaat yang cukup banyak.

Hal ini disebabkan karena semua bagian tanaman sorgum tersebut dapat
dimanfaatkan, baik untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan, serta nahan baku
industry (Rismunandar 2003: BATAN 2005 menjadi dua yakni kelompok sorgum
manis (sweet sorghum) dan sorgum yang tidak manis (non-sakarin). Budidaya
sorgum (non-sakarin) di Indonesia relatif masih rendah, sedangkan untuk
budidaya sorgum manis masih belum berkembang. Oleh karena itu, untuk
mengembangkan budidaya sorgum manis perlu dimulai dengan program
pemuliaan tanaman untuk memperoleh varietas tanaman sorgum manis yang
unggul dan dapat beradaptasi dengan baik pada kondisi agroekologi beberapa
lahan pertanian di Indonesia. Metode pemuliaan tanaman dengan menggunakan
aplikasi teknologi nuklir (induced mutation) telah umum digunakan dalam proses
rekayasa keragaman genetik tanaman yang meyerbuk sendiri seperti tanaman
sorgum. Beberapa varietas sorgum hasil mutasi telah dilaporkan (IAEA,1977).

Rekayasa mutasi buatan sangat membantu dalam meningkatkan


keragaman tanaman yang masih terbatas (Soeranto, 1997). Keragaman varietas
sorgum di Indonesia masih bersumber pada introduksi dari luar negeri. Varietas-
varietas introduksi tersebut masih perlu diteliti lebih lanjut mengenai daya
adaptasi dan keunggulannya di Indonesia. Dua galur sorgum manis yang berasal
dari ICRISAT (International Crop Research Institute for Semi Arid Tropics), yaitu
no. 79 dan no. 83 merupakan galur yang memiliki beberapa keunggulan untuk
dikembangkan di Indonesia. Akan tetapi, beberapa sifat agronomi yang
mendukung keunggulan kedua galur tersebut masih perlu diperbaiki melalui
program pemuliaan tanaman. Selain itu, dengan program pemuliaan tanaman ini
diharapkan ragam genetik kedua galur tersebut dapat ditingkatkan dengan mutasi
buatan, sehingga dalam proses seleksi akan diperoleh ragam yang tinggi serta
terseleksinya galur-galur baru.
1.2.Rumusan masalah
1. Bagaimana peranan dan manfaat iradiasi sinar gama terhadap tanaman
sorghum serta apa yang dimaksud dengan iradiasi sinar gama?
2. Bgaimana proses pelaksanaa iradiasi sinar gama terhadap tanaman
sorghum?
1.3.Tujuan
1. Mengetahui alur pmuliaan tanaman sorghum dengan iradiasi sinar gama.
2. Mengetahui peranan dan manfaat iradiasi sinar gama dalam pemuliaan
tanaman sorghum dan mengetahui tentang iradiasi sinar gama
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kultur Jaringan
Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari
tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan dan organ yang kemudian
menumbuhkannya dalam lingkungan yang aseptik, sehingga bagian-bagian
tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman
utuh kembali. Salah satu penerapan kultur jaringan adalah perbanyakan mikro.
Perbanyakan mikro secara umum dapat diartikan sebagai usaha menumbuhkan
bagian tanaman dalam media aseptik dan memperbanyaknya hingga
menghasilkan tanaman sempurna. Tujuan utama penerapan perbanyakan mikro
adalah produksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat terutama
untuk varietas-varietas unggul serta memperoleh tanaman yang terbebas dari
serangan patogen. Eksplan yang ditanam pada media tumbuh yang tepat dapat
beregenerasi melalui proses yang disebut organogenesis atau embriogenesis
(Neumann et al. 2009). Perbanyakan secara kultur jaringan bertujuan untuk
memproduksi tanaman dalam jumlah besar pada waktu singkat, tanpa
memerlukan tempat yang luas, penanaman tidak tergantung musim, bibit yang
dihasilkan lebih sehat dan memungkinkan terjadinya manipulasi genetik. Menurut
Gray (2005) teknik kultur jaringan mempunyai dua kegunaan utama yaitu untuk
perbanyakan klonal yang akan menghasilkan propagula bermutu dan perbaikan
karakter tanaman untuk menghasilkan kultivar baru yang lebih unggul sesuai
dengan program perbaikan pemuliaan yang dikehendaki.

B. Embriogenesis Somatik

Embriogenesis somatik merupakan metode perbanyakan masal yang


banyak diterapkan pada berbagai macam tanaman. Menurut Corredoira et al.
(2006), pemahaman tentang embriogenesis tanaman penting diketahui yaitu
melalui pengamatan proses seluler yang mendasari diferensiasi. Hal tersebut akan
bermanfaat untuk memperoleh metode yang tepat pada aplikasi perbanyakan bibit
secara masal, kryopreservasi, induksi mutasi dan transformasi genetik. Kultur
jaringan memungkinkan regenerasi sel somatik melalui dua alternatif jalur yaitu
organogenesis dan embriogenesis somatik. Organogenesis adalah pembentukan
tunas adventif secara langsung dari eksplan yang menghasilkan struktur unipolar,
sedangkan embriogenesis somatik adalah proses regenerasi sel somatik yang
membelah dan berkembang menjadi struktur bipolar atau embrio. Struktur
unipolar terdiri atas tunas atau akar yang terpisah jaringan pembuluhnya,
sedangkan struktur bipolar terdiri atas meristem tunas dan akar yang padu
(Gunawan 1992). Menurut Davies (2004) embrio somatik dapat terbentuk melalui
2 cara yaitu embriogenesis secara langsung dan tidak langsung. Embriogenesis
langsung terjadi pada saat embrio terbentuk langsung dari jaringan eksplan atau
Pre Embryonically Determined Cells (PEDC). Embriogenesis tidak langsung
terjadi melalui fase kalus atau kultur suspensi yang biasa disebut Induced
Embryonically Determined Cells (IEDC). Menurut Rose et al. (2010) tahap
perkembangan embrio somatik dan embrio zigotik memliki pola yang sama yaitu
dimulai dari fase globular, hati, torpedo dan planlet untuk tanaman dikotil dan
globular, hati, scutelar dan coleoptilar pada monokotil.
Menurut Purnamaningsih (2002), faktor yang mempengaruhi
pembentukan embrio somatik adalah: 1) Jenis eksplan, penggunaan eksplan yang
bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio
somatik yang lebih tinggi. Eksplan yang digunakan dapat berupa aksis embrio
zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, epikotil maupun hipokotil.
Eksplan yang digunakan dapat berbeda tergantung jenis tanaman dan tahap
perkembangan dari eksplan. 2) Sumber nitrogen, embriogenesis somatik
mengalami proses perkembangan morfologi seperti yang terjadi pada embrio
zigotik. Faktor yang penting dalam induksi dan perkembangan embriogenesis
somatik adalah komposisi nutrisi pada media kultur. Nitrogen merupakan faktor
utama dalam memacu morfogenesis secara in vitro. 3) Gula, gula merupakan salah
satu komponen organik yang harus diberikan ke dalam media tumbuh. Gula
berfungsi disamping sebagai sumber karbon, juga berguna untuk mempertahankan
tekanan osmotik media.

C. Pemuliaan Mutasi

Upaya perbaikan kuantitas dan kualitas suatu varietas tanaman dapat


ditempuh melalui program pemuliaan tanaman. Pemuliaan tanaman bertujuan
untuk memperbaiki karakter tanaman sehingga menjadi lebih unggul dalam
beberapa sifat dibandingkan dengan tanaman asalnya, misalnya tanaman menjadi
lebih tahan terhadap serangan hama dan penyakit, tahan terhadap cekaman
lingkungan, berproduksi lebih tinggi dan memiliki kandungan gizi yang lebih baik
(Shu et al. 2012). Pemuliaan tanaman merupakan pekerjaan yang
berkesinambungan mulai dari proses peningkatan keragaman genetik tanaman,
dilanjutkan dengan seleksi, pemurnian benih, pengujian hingga pelepasan varietas
unggul tanaman. Adanya keragaman genetik yang tinggi sangat diharapkan dalam
program pemuliaan tanaman sehingga peluang keberhasilan dalam proses seleksi
tanaman unggul menjadi lebih besar. Metoda yang umum digunakan dalam upaya
peningkatan keragaman genetik tanaman melalui program pemuliaan adalah
melalui introduksi, hibridisasi, bioteknologi, induksi mutasi dan rekayasa genetika
(Shu et al. 2012).
Mutasi atau perubahan materi genetik dapat dideteksi dengan melihat perubahan
pada tingkat struktur gen atau perubahan pada tingkat ekspresinya. Untuk melihat
perubahan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan antara mutan dan
wild type. Perubahan dapat terlihat pada tingkat morfologi yang terlihat oleh mata
telanjang atau dengan berbasis molekular dengan menggunakan marka 11
molekular. Secara umum penampilan mutan dapat dilihat dengan tiga cara:
perbedaan morfologi, perbedaan tingkat biokimia dan molekular, dan perbedaan
tingkat adaptasi terhadap lingkungan tumbuh. Hasil mutasi yang paling mudah
dilihat bila terjadi perubahan morfologi seperti bentuk, ukuran dan warna (Jusuf
2001). Menurut Shu et al. (2012) mutagen yang sering digunakan terbagi menjadi
tiga yaitu: 1) radiasi pengionan, 2) radiasi non pengionan, 3) radiasi menggunakan
bahan kimia. Mutagen kimia yang banyak digunakan oleh pemulia adalah yang
berasal dari kelompok alkylating agents. Senyawa ini mengandung satu atau lebih
kelompok alkil reaktif yang dapat ditransfer ke molekul lain pada posisi dimana
kerapatan elektronnya tinggi. Alkylating agents ini akan bereaksi dengan DNA
dengan cara mengalkilasi kelompok fosfat, termasuk basa-basa purin dan
pirimidin. Mutagen kimia yang biasa digunakan diantaranya adalah EMS (ethyl
methane sulphonate), DES (diethylsulfate), El (ethylenimine), NMUT (nitroso
methyl urethane), NMU (nitro methyl urea), NEUT (nitrose ethyl urethane) dan
NEU (nitrose ethyl urea). Mutasi berdasarkan tingkatan terjadinya dapat
digolongkan menjadi mutasi genom, mutasi kromosom, mutasi gen dan mutasi
diluar inti sel. Mutasi genom disebabkan karena terjadinya perubahan jumlah dari
genom tanaman, misalnya akibat euploid maupun aneuploid. Mutasi kromosom
diakibatkan karena pecahnya benang kromosom (chromosome breakage).
Perubahan yang terjadi pada struktur kromosom tanaman digolongkan dalam
empat macam proses yaitu: 1) Duplikasi yaitu terjadinya penambahan segmen
kromosom, 2) Delesi yaitu terjadinya pengurangan segmen kromosom, 3) Inversi
yaitu pemutaran segmen kromosom, 4) Translokasi yaitu pindah silang antar
kromosom nonhomolog (Aisyah 2006).

D. Iradiasi Sinar Gamma

Teknologi nuklir berperan dalam pemuliaan tanaman terutama terkait


dengan kemampuannya untuk menimbulkan mutasi. Kemampuan tersebut
dikarenakan tenaga nuklir memiliki energi yang cukup tinggi sehingga jika sinar
tersebut memapar pada materi genetik akan menimbulkan perubahan struktur pada
komposisi pada materi genetik. Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada materi
genetik sehingga menyebabkan perubahan ekspresi. Perubahan dapat terjadi pada
tingkat pasangan basa, tingkat satu ruas DNA, bahkan pada tingkat kromosom
(Jusuf 2001).
Menurut Shu et al. (2012), induksi mutasi berkontribusi dalam meningkatkan
keragaman genetik tanaman. Frekuensi mutasi juga dapat ditingkatkan dengan
teknik induksi mutasi menggunakan mutagen. Penggunaan mutagen fisik pada
tanaman sangat dianjurkan dibandingkan dengan mutagen kimia, karena frekuensi
mutasinya yang tinggi dan tidak menghasilkan limbah yang bersifat karsinogenik.
Berbagai mutagen fisik secara khas dibedakan dari tipe radiasinya. Sinar Gamma
merupakan salah satu mutagen yang sering digunakan oleh pemulia tanaman.
Penggunaan sinar gamma sebagai alternatif dalam pemuliaan mutasi fisik
dikarenakan memiliki penetrasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan sinar X
ataupun sinar lainnya, serta secara global terbukti paling efektif dalam
menghasilkan varietas mutan unggul berbagai jenis tanaman.
Iradiasi sinar gamma merupakan teknologi radiasi bagian dari teknologi
nuklir yang menggunakan radioisotop. Dibandingkan mutagen kimia, radioisotop
memiliki kelebihan sifat fisik yaitu memancarkan sinar radioaktif. Keberhasilan
perlakuan iradiasi sangat ditentukan oleh sensitivitas genotipe yang diiradiasi
terhadap dosis radiasi yang diberikan. Tingkat sensitivitas tanaman dipengaruhi
oleh jenis tanaman, fase tumbuh, ukuran, dan bahan yang akan dimutasi, serta
sangat bervariasi antar jenis tanaman dan antar genotype. Shu et al. (2012)
menyatakan bahwa semakin banyak kadar oksigen dan molekul air (H2O) berada
dalam materi yang diradiasi, maka semakin banyak pula radikal bebas yang
terbentuk sehingga materi menjadi semakin sensitif.
Sensitivitas terhadap radiasi dapat diukur berdasarkan nilai LD50 (lethal
dose 50) yaitu dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi tanaman
yang diradiasi. Dalam induksi mutasi, beberapa studi menunjukkan bahwa dosis
optimum yang dapat menghasilkan mutan dengan tingkat keragaman tertinggi
umumnya diperoleh disekitar LD50 (Datta 2001). Untuk mendapatkan nilai LD50
digunakan program best curve-fit analysis, yaitu satu program analisis statistik
yang dapat digunakan untuk mencari persamaan model terbaik. Dosis iradiasi
sinar gamma dapat diukur dalam satuan Gray (Gy), 1 Gy sama dengan 0.10 krad
yakni 1 J energi per kg iradiasi yang dihasilkan. Dosis iradiasi juga merupakan
salah satu faktor penentu perlakuan radiasi. Dosis yang tinggi dapat
mengakibatkan kematian, sedangkan pada dosis rendah umumnya hanya
menyebabkan perubahan abnormal pada fenotipe tanaman. Pengaruh dosis radiasi
terhadap persen kematian, pertumbuhan, dan fertilitas telah banyak dilaporkan.
Penelitian yang dilakukan oleh Puchooa (2005) mengenai iradiasi sinar gamma
pada tanaman Anthurium menyatakan dosis iradiasi sekitar 15 Gy menyebabkan
kematian 50% pada kalus. Mahadevamma et al. (2012) menunjukkan dosis
iradiasi sebesar 30 Gy menyebabkan sekitar 50% kalus pepaya mengalami
kematian yang ditunjukkan oleh perubahan warna dan berhentinya pertumuhan
kalus. Sejalan dengan itu penelitian Ling et al. (2008) menyatakan LD50 kalus
jeruk sekitar 27 Gy. Efek iradiasi sinar gamma sangat dipengaruhi oleh jenis
tanaman, variteas serta kandungan air dan oksigen pada sel kalus. Terdapat
beberapa teknik yang biasa digunakan dalam pengaplikasian induksi mutasi
dengan mutagen fisik (radiasi), yaitu (a) iradiasi tunggal (acute irradiation), (b)
chronic irradiation, (c) Iradiasi terbagi (fractionated irradiation), dan (d) Iradiasi
berulang. Teknik iradiasi tunggal (acute irradiation) dilakukan dengan cara
pemberian dosis secara sekaligus dalam satu kali penembakan iradiasi. Chronic
irradiation adalah teknik iradiasi dengan cara memberikan dosis iradiasi yang
sangat rendah secara terus menerus dalam waktu beberapa bulan. Teknik iradiasi
terbagi (fractionated irradiation) dapat dilakukan dengan pemberian dosis iradiasi
sebanyak dua kali, dimana tiap perlakuan diberikan setengah dosis. Sedangkan
teknik iradiasi berulang adalah teknik iradiasi yang dilakukan melalui pemberian
dosis secara berulang dengan jarak waktu yang tidak terlalu lama (intermittent
irradiation) atau dapat pula diberikan dengan jarak waktu yang cukup lama
(recurrent irradiation) (Aisyah 2006).
Meningkatnya dosis iradiasi dan suhu menyebabkan banyak kalus
mengalami kematian, hal ini ditunjukkan dari perkembangan diameter, bobot dan
perubahan warna yang terjadi. Kematian kalus tertinggi pada ketiga varietas
diperoleh pada iradisi 30 Gy dan suhu seleksi 35 oC. Pengujian cekaman suhu
tinggi pada varietas Dewata menggunakan 50 kalus embriogenik untuk setiap
kombinasi perlakuan, sedangkan pada varietas Nias dan Selayar hanya
menggunakan 25 kalus embriogenik. Perbedaan ini disebabkan karena terbatasnya
jumlah kalus embriogenik yang diperoleh. Persentase daya hidup kalus pada
varietas Dewata berkisar 34.00-70.00%, Nias berkisar 36.00-76.00% dan Selayar
0.00-56.00% (Tabel 22). Varietas Selayar menunjukkan daya hidup kalus paling
rendah, hal ini mengindikasikan bahwa tingkat sensitivitas Selayar lebih tinggi
dibandingkan varietas lainnya. Kalus yang bertahan hidup dan berdiferensiasi
pada kondisi suhu tinggi tersebut diasumsikan sebagai kandidat mutan putatif
yang toleran terhadap cekaman suhu tinggi. Suhu tinggi sangat mempengaruhi
daya hidup dan pertumbuhan kalus. Pertumbuhan kalus pada suhu 25 oC lebih
pesat daripada suhu 30 dan 35 oC. Matinya kalus pada suhu tinggi didahului
dengan pencoklatan kemudian kalus menghitam, tetapi pada beberapa kalus tetap
terjadi pertumbuhan diameter dan bobot walaupun telah terjadi perubahan warna,
hal ini diduga ada sebagian sel pada kalus bagian dalam yang masih bertahan
hidup. Menurut Ali et al. (2005), cekaman suhu tinggi menyebabkan terganggu
dan hilangnya transpor elektron fotosintetik yang berakibat pada ketidakstabilan
pusat reaksi fotosistem II (PSII) karena kerusakan oksidatif. Dengan demikian,
kalus yang bertahan hidup dan berdiferensiasi pada kondisi suhu tinggi tersebut
diasumsikan sebagai mutan putatif yang toleran terhadap cekaman suhu tinggi.
Dilaporkan bahwa tanaman mampu mengatasi stres oksidatif dengan cara
menginduksi terbentuknya protein heat-shock, metabolisme antioksidan, dan
menghasilkan enzim-enzim yang bersifat protektif. Rostika et al. (2013)
menyatakan bahwa iradiasi dosis rendah dan perlakuan suhu hingga 30 oC pada
tanaman purwoceng mampu menstimulir terbentuknya embrio somatik yang
selanjutnya akan berkecambah menjadi planlet. Planlet yang dihasilkan diduga
sebagai mutan putatif yang toleran terhadap suhu tinggi.

Planlet yang dihasilkan dari embrio somatik yang bertahan hidup pada
percobaan ini diharapkan mutan putatif yang memiliki ketahanan terhadap suhu
tinggi. Mutan putatif ini diharapkan bukan disebabkan oleh epigenetik melainkan
terbentuk sebagai hasil mutasi sehingga ketahanannya bersifat permanen dan
dapat diwariskan. Menurut Shu et al. (2012) varian yang disebabkan oleh
epigenetik tidak bersifat permanen dan tidak dapat diwariskan. Cekaman pada
seleksi in vitro berupa suhu tinggi ini tidak hanya berfungsi sebagai agen
penyeleksi tetapi juga dapat menginduksi terjadinya mutasi selektif atau mutasi
terarah sehingga dihasilkan mutan yang diinginkan. Mutan putatif yang terbentuk
pada perlakuan iradiasi kemungkinan merupakan mutan hasil mutasi yang
terinduksi, namun tidak tertutup kemungkinan muatnt tersebut juga merupakan
hasil dari variasi somaklonal akibat media atau merupakan hasil dari keduanya
yaitu variasi somaklonal dan mutasi yang terinduksi oleh perlakuan iradiasi.
BAB III
KESIMPULAN

Nilai Radiosensitivitas kalus embriogenik sangat bervariasi antara 7.79-


33.63 Gy pada semua varietas yang digunakan. Meningkatnya dosis iradiasi sinar
gamma menyebabkan terjadinya penurunan diameter dan bobot kalus serta
menyebabkan perubahan warna kalus menjadi menghitam akibat kerusakan dan
kematian sel. Secara umum suhu tinggi dan iradisi sinar gamma menurunkan daya
hidup kalus, jumlah embrio somatik yang dihasilkan serta menurunkan daya
berkecambah embrio somatik menjadi planlet. Pengujian peningkatan keragaman
menggunakan iradiasi gamma dan seleksi suhu tinggi mampu menghasilkan 19
planlet mutan putatif yang diduga memiliki ketahanan lebih terhadap suhu tinggi

Anda mungkin juga menyukai