Anda di halaman 1dari 1

Mengapa Banyak Sarjana Pengangguran ?

Sebuah Upaya Rekonstruksi Makna Pendidikan Akademik Di


Indonesia
Oleh : Fajar (Sociologystudentt@gmail.com)

Secara sederhana pengangguran dapat diartikan sebagai suatu keadaan dimana penduduk di dalam
suatu negara yang telah menjadi usia angkatan kerja dan mempunyai keinginan untuk bekerja tetapi belum
menemukan pekerjaan.Apa yang coba penulis tuliskan bukan berdasarkan anaisis kuantitatif yang rill,
melainkan hasil dari renungan panjang yang bisa saja banyak orang mengira sebaga Common Sense. Melihat
realitas banyaknya pengangguran adalah suatu hal yang wajar. Tetapi, yang tidak wajar adalah ketika yang
menjadi pengangguran adalah dari kalangan sarjana. Seyogyanya, orang-orang yang telah mendapatkan
gelar sarjana adalah mereka yang telah melaksanakan pendidikan di perguruan tinggi. Baik swasta maupun
negeri.
Melihat banyaknya pengangguran dari kalangan sarjana menjadi perbincangan hangat dari berbagai
kalangan, terutama dari kalangan sivitas akademik. Tentu kita ketahui bersama, bahwa isnstitusi terkecil
dalam suatu masyarakat adalah keluarga. Melalui proses interkasi dengan anggota keluarga bahkan dari
lingkungan eksternal seperti sekolah dan lingkungan masyarakat umum merupakan suatu keadaan yang rill
yang menurut paradigma fakta sosial dapat memberikan pengaruh terhadap banyaknya pengangguran.
Mula-mula, dari lingkungan keluarga, kita telah di dorong untuk kuliah untuk dapat kerjaan setelah lulus S1.
Tanpa melihat jenis pendidikan apa yang anaknya ikuti. Belum lagi efek domino yang muncul dari kalangan
masyarakat sebagai abstraksi dari pergolkan wacana yang ada di dalam lingkungan keluarga. Seringkali orang
yang kuliah S1 di generalkan sebagai orang-orang yang telah sarjana semua bekerja menjadi buruh dalam
suatu perusahaan tertentu atau yan g paling massive adalah profesi menjadi PNS.
Hal itu sama sekali tidak relevan jika kita memperhatikan klasifikasi pendidikan yang ada di Indonesia.
Yakni ada pendidikan akademik, profesi, dan vokasi. Orang-orang yang telah memilih pendidikan akademik
seringkali digeneralkan seperti orang-orang yang mengikuti pendidikan profesi dan vokasi seperti profesi
sebagai dokter dan alumni teknik misalnya yang siap di pekerjakan di perusahaan. Berbeda dengan
pendidikan akademik yang mempunyai nilai filosofis yang sangat tinggi. Seharusnya orang-orang yang mmilih
jalur pendidikan akademik seperti misalnya memilih jurusan sosiologi seharusnya mereka tidak di dorong
untuk berpikir menjadi buruh murahan setelah ia menyelesaikan S1nya, melainkan tanggung jawab orang-
orang yang memilih jalur pendidikan akademik harusnya melakukan pengembangan ilmu, serta dipersiapkan
menjadi pemikir/konseptor dan pemimpin. Malah hal ini yang tidak nampak di negara kita hari ini. bahkan
sistem kita menghendaki orang-orang yang memilih jalur pendidikan akademik kurang lebih sebagai
tingkatan paling bawah dan lahan basa pengangguran. Kenapa ? karena ada disorientasi yang telah
melembaga. Passing grade misalnya kedokteran lebih tinggi, jurusan teknik, bahkan akuntansi ketimbang
sosiologi. Yang nyatanya orang-orang yang mengisi jurusan sosiologi seharusnya dipersiapkan menjadi
ilmuan yang ampu berkontribusi besar terhadap ilmu pengetahuan dan bangasa. Karena memiliki tanggung
jawab pengembangan ilmu dan fungsi-fungsi pemikir/konseptor dan berpeluang menjadi pemimpin di
berbagai tempat.
Hal diatas merupakan fenomena Fallacy (kesalahan berpikir) yang hadir di negara kita. Baik dari segai
mentalitas yang terbangun di masyarakat maupun mekanisme yang di hadirkan oleh negara di perguruan
tinggi. Realitas tersebut merupakan sesuatu yang seharusnya menjadi permaslahan bersama yang harus di
tuntaskan di negeri ini untuk mencapai keadaan yang lebih baik. Mesti ada citra yang dihadirkan
kependidikan akademik yang lebih tinggi dibanding pendidikan profesi dan vokasi. Bukan sebaliknya. Agar
pendidiakan akademik menghailkan orang-orang yang mau mengupgrade keilmuannya kearah yang lebih
tinggi dan menjadi pemikir sekalgus pemimpin yang dapat membawa banyak perubahan sosial. Bukan buruh
murahan dan pengangguran yang gagal dalam mentalitas karena konsekuensi sistemik. Hal yang penulis
harapkan baik untuk diri sendiri maupun orang lain yang telah memilih jalur pendidikan akademik supaya
kembali meluruskan niat belajar dan memperbaiki mentalitas. Kita adalah harapan masa depan yang cerah.

Anda mungkin juga menyukai