Laporan Kasus Fix-Ita
Laporan Kasus Fix-Ita
Oleh :
Ita Rosita
1610221206
Pembimbing :
dr. Ernita, Sp.An
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan berkah dan rahmatnya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas kepaniteraan klinik
bagian ilmu anestesi dan reanimasi Fakultas Kedokteran UPN Veteran Jakarta di
RSUP Persahabatan Jakarta periode 14 Maret – 14 April 2018. Penulis ingin
mengucapkan terimakasih kepada dr. Ernita, Sp. An, selaku pembimbing makalah
ini, dan kepada seluruh dokter yang telah membimbing selama kepaniteraan.
Tidak lupa ucapan terimakasih kepada seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan
satu persatu.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari
sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik yang
membangun agar makalah ini dapat bermanfaat bagi pembacanya.
Terimakasih atas perhatiannya, semoga makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi pihak yang terkait dan kepada seluruh pembaca.
Penulis
2
LEMBAR PENGESAHAN
3
BAB I
DESKRIPSI KASUS
Riwayat hipertensi, DM, sakit jantung, ginjal, sakit kuning dan TBC
disangkal. Riwayat alergi makanan, udara, atau obat juga disangkal.
4
Riwayat Pengobatan
Tidak ada obat yang rutin pasien minum.
Riwayat Kebiasaan
Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, ataupun mengkonsumsi narkoba
dan alkohol.
Riwayat Operasi
Pasien belum pernah menjalani operasi sebelumnya.
Kepala
Bentuk : Normocephale
Rambut : Warna hitam, distribusi rambut merata, rambut tidak
mudah dicabut.
Mata : Pelpebra tidak cekung dan tidak edema, konjungtiva
anemis (-/-),sklera tidak ikterik (-/-), pupilmata iskor
kanan dan kiri, reflex cahaya positif (+/+).
Telinga : Tidak ada cairan yang keluar dari telinga.
Hidung : Bentuk normal, tidak ada deviasi septum, tidak
hiperemis, dan tidak ada secret yang keluar dari
lubang hidung.
5
Tenggorokan : Faring tidak hiperemis, tonsil T1-T2.
Mulut : Mukosa bibir lembab, tidak pucat, tidak sianosis.
Leher
Inspeksi : Proporsi leher dalam batas normal, tidak terlihat
adanya benjolan.
Palpasi : Trakea terletak ditengah, teraba benjolan dengan
ukuran 4x3 cm, konsistensi kenyal, nyeri tekan (-),
benjolan ikut bergerak saat pasien menelan, KGB
tidak teraba.
Thorax
1) Paru-paru
Inspeksi : Bentuk dada normochest, pergerakan dinding dada
simetris, tidak terlihat adanya luka/ massa didaerah
dada
Palpasi : Vocal fremitus sama antara dada kanan dan kiri.
Perkusi : Suara perkusi sonor pada seluruh lapang paru.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, tidak ada ronkhi (-/-), tidak
ada wheezing (-/-).
2) Jantung
Inspeksi : Pulsasi iktus kordis tidak terlihat.
Palpasi : Tidak teraba pulsasi iktus kordis.
Perkusi : Perkusi tidak dilakukan secara maksimal (batas
jantung paru sulit dinilai)
Auskultasi : Bunyi jantung I-II murni regular, tidak ada murmur
dan tidak ada gallop.
Abdomen
Inspeksi : Datar, dinding perut tidak tegang.
Auskultasi : Bising usus (+) normal.
Palpasi : Perut supel, tidak teraba adanya massa di abdomen.
6
Perkusi : Timpani diseluruh lapang abdomen.
Kulit
Kulit tidak kering, tidak ada lesi, tidak sianosis dan tidak ikterik. Turgor kulit
baik, CRT <2 detik
Ekstremitas
Superior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-),
tremor (-/-), edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan
(-/-), sensorik dan motorik baik.
Inferior : Deformitas (-/-), jari tabuh (-/-), sianosis (-/-), tremor
(-/-), edema (-/-), akral dingin (-/-), kesemutan (-/-),
sensorik dan motorik baik.
Kesulitan Airway
Gigi : Tidak ada gigi yang hilang atau goyang. Tidak ada
pemakaian gigi palsu
Malampati : 1 (tampak pilar faring, palatum mole, dan uvula).
3-3-2 rules : Bukaan mulut (3), jarak mentum ke hyoid (3), jarak
tiroid ke hyoid (2).
Mobilisasi leher : Baik
Trauma cervical : Tidak ada
Leher pendek : Tidak ada
7
I.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboraturium
HITUNG JENIS
Basofil 0.5 0-1 %
Eosinofil 3.5 1-3 %
Neutrophil 58.8 52,0-76,0 %
Limfosit 31.5 20-40 %
Monosit 5.7 2-8 %
RDW-CV 12.8 11,5-14,5 %
8
Hasil Pemeriksaan Hemostasis (24-03-2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
PT + INR
PT pasien 10.1 9,8-11,2 detik
PT control 11,7
INR 0,90
APTT
APTT pasien 29.2 31,0-47,0 detik
APTT control 33.0
9
Hasil Hormon Thyroid (19-02-2018)
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan
TSH 2.2 0.4 – 4.2 IU/mL
T3 Total 1.21 1.08-3.14 nmol/L
T4 Bebas 1.1 0.8-2.7 ng/dL
Hasil:
Lobus kanan tiroid :
Ukuran normal. Struktur echo homogen. Tak tampak lesi/nodul.
Lobus kiri tiroid :
Ukuran membesar, tampak lesi anechoic bercampur isoekhoik ukuran +/-
4.15x2.91x2.48 cm, permukaan rata.
Vascular disekitar leher baik.
Muskulus disekitar leher baik.
Tak tampak pembesaran kelenjar servikal
Kesan :
Suspek gambaran colloid goiter di lobus kiri tyroid
10
Pemeriksaan Rontgen Thorax (19-02-2018)
I.6 Tindakan
Total Tiroidektomi
I.8 Kesimpulan
ASA 1
11
BAB II
ANESTESI
II.2 Tatalaksana
PREMEDIKASI
1) Midazolam
Dosis : 0,07 - 0,15 mg/kgbb.
Rentang dosis : 3,78 mg – 8.1 mg 5 mg
Sediaan : 1 mg/ml
Pemberian : 5 mg
2) Fentanyl
Dosis : 1 – 3 mcg/ml.
Rentang dosis : 54 mcg - 162 mcg 150 mcg
Sediaan : 50 mcg/ml 3 ml
Pemberian : 150 mcg
INDUKSI
1) Propofol
Dosis : 2 – 3 mg/kgbb
Rentang dosis : 108 mg – 162 mg 100 mg
Sediaan : 10 mg/ml 10 ml
Pemberian : 100 mcg
RELAKSAN
1) Atracurium
Dosis : 0,4-0,5 mg/kgbb
Rentang dosis : 21.6 mg – 27 mg 30 mg
Sediaan : 10 mg/ml 3 ml
12
Pemberian : 30 mg
MAINTENANCE
1) Inhalasi
O2 : Udara = 1 : 1
Isofluran 2 volume %
2) Relaksan
Atracurium (dosis 0,1-0.2 mg/kgbb/30 menit) 5.4 mg – 10.8
Pemberian: 10 mg
3) Obat-obatan lain
Ondansetron 4 mg.
Ranitidine 50 mg
Ketorolac 30 mg
Paracetamol 1 gr.
Transamine 1 gr.
II.3 Tindakan
1) Intubasi
Intubasi menggunakan ETT non king-king ukuran 7,0 dengan
fiksasi sedalam 20 cm.
Intubasi dilakukan setelah pasien tidur.
ETT disambungkan ke ventilator dengan Tidal volume 400, RR
12, PEEP 5 cmH2O.
Pada saat dilakukan intubasi, pemeriksa gagal melakukannya
sebanyak 2x, hal ini dikarenakan teori dan pengalaman dari
pemeriksa yang masih kurang, dari anatomi pasien letak
epiglottis bergeser ke kiri dan letaknya tinggi, ditambah lagi
tidak dilakukan sellick maneuver dan kepala pasien tidak
diganjal dengan bantal sehingga axis oral, axis faringeal dan
axis laryngeal tidak sejajar dan akan membpersulit intubasi.
Setelah itu, pemeriksa meminta bantuan kepada dokter dan
intubasi berhasil.
2) Pemasangan 2 I.V line (Tangan kiri 20 G dan Kaki kanan 20 G)
13
II.4 Monitoring
PEMANTAUAN CAIRAN
Pemberian cairan :
- Kebutuhan cairan :
14
Maintenance : Holiday segar dengan BB 54 94 ml.
Pengganti puasa: lama puasa x maintenance 6 jam x
94ml = 564ml.
Stress operasi : skala sedang x BB 6 x 54 kg = 324 ml
- Pemberian cairan jam ke- :
Jam ke I : maintenance + ½ pengganti puasa + stress
operasi 94 ml + ½ (564) + 324 = 700 ml
Jam ke II : maintenance + ¼ pengganti puasa + stress
operasi 94 ml + ¼ (564) + 324 = 559 ml
Perdarahan : 50 cc
Total kebutuhan cairan :
700 ml + 559 ml = 1259 ml
Jumlah pemberian cairan :
Total pemberian cairan adalah 1000 cc, dengan rincian :
- RL : 1000 cc
15
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
16
atlantooksipital, identifikasi membran krikothiroid dan adanya kelainan patologis
di faring.3
Meskipun penemuan anatomi yang abnormal kemungkinan tidak
sepenuhnya menyebabkan kesulitan dalam bernapas, tetapi kita tetap perlu
berhati-hati. Beberapa peneliti telah menemukan bentuk anatomis yang tidak
menguntungkan apabila dilakukan tindakan laringoskop direk; sendi yang tidak
proporsional, adanya distorsi, terbatasnya gerak sendi, dan tergigit. Dalam usaha-
usaha pertama untuk menjelaskan keadaan anatomi yang berhubungan dengan
intubasi yang sulit, Cass et al menekankan pada keadaan leher pendek dengan
jumlah gigi lengkap, letak mandibula yang lebih ke posterior dengan sudut
mandibula yang lebar, gigi insisifus di maksila yang menonjol, gerakan terbatas
dari sendi temporomandibula, palatum yang tinggi dan bersudut, dan
meningkatnya jarak alveolar-mental.2,3
Studi radiografik pertama, menunjukkan kedalaman di daerah posterior
mandibula (suatu jarak antara alveolar yang bertulang yang terletak di belakang
gigi molar ketiga dan batas bawah mandibula) adalah faktor penting yang
menentukan sulit tidaknya laringoskopi. Lalu, terdapat jarak thiro-mental, suatu
jarak yang berawal dari ujung mentum sampai dengan tonjolan thiroid, yang
dikatakan sebagai suatu pengukuran yang sangat penting dan perlu dievaluasi.
Bila hasil pengukuran kurang dari 6 cm, maka kesulitan dalam tindakan
laringoskopi sudah pasti timbul. Konsep ini diperluas oleh Savva, seorang yang
mengukur jarak sternomental dengan kepala dalam keadaan ekstensi maksimal.
Pada perhitungan ini ditambahkan keadaan sendi atlanto-oksipital ke dalam
penilaian. Bila hasil pengukuran kurang dari 12 cm akan memberikan hasil yang
positif.2,3
Bila perhatian kita fokuskan pada keadaan rongga mulut, Mallampati
menyarankan bila basis lidah memiliki ukuran besar dan tidak proporsional, maka
kemungkinan besar sulit dilakukan laringoskopi dan intubasi; penyulit timbul
selain karena keadaan anatomis teteapi juga karena sudut antara basis lidah dan
laring yang sempit. Keadaan anatomis ini juga menyebabkan glotis sukar dilihat.
Kebalikannya, secara logika, tentu saja lidah yang proporsional tidak akan
menghalangi jalan atau saluran menuju laryng, sudut tidak sempit atau terbatasnya
17
gerakan persendian. Lidah yang sangat besar tidak hanya menghalangi laryng,
tetapi juga menutupi ruangan faringeal dan struktur lainnya, termasuk palatum,
uvula dan pilar fausial. Untuk melihat tanda klinis ini, pasien diminta duduk
dengan kepala dalam posisi netral, membuka mulut selebar-lebarnya dan
menjulurkan lidahnya semaksimal mungkin. Klasifikasi Mallampati berdasarkan
pada seberapa jauh basis lidah mampu menutupi struktur daerah faring.2,3
Samson dan Young memodifikasi klasifikasi Mallampati dengan
menambah kelas keempat, yang menggambarkan suatu keadaan yang ekstrim dari
Mallampati kelas III, di mana palatum mole tertutup seluruhnya oleh lidah(tabel
23.3). Dalam “kelas IV” ini, hanya palatum durum saja yang masih tampak.
Hubungan yang signifikan ditemukan antara kelas dan derajat jalan napas dari
sulit tidaknya penampakan glotis melalui laringoskopi direk. Penilaian yang
praktis dari metode ini dilihat dari mudahnya aplikasi. Sayangnya, indeks ini,
sama dengan sebagian lainnya, tidak terbukti cukup sensitif maupun spesifik
dalam menentukan sulit tidaknya mengintubasi pasien. Dalam percobaan dari 675
pasien, indeks ini ditemukan hanya 5 dari 12 kesulitan tatalaksana jalan napas dan
memberikan hasil 139 positif salah.2
Perlu dicatat bahwa pemeriksaan tradisonal dari jalan napas, termasuk
klasifikasi Mallampati/Samson dan Young, jarak thiromental dan jarak
sternomental lebih menunjukkan ke arah kemampuan klinisi untuk melakukan
laringoskopi direk, tetapi hanya sebagian kecil yang mampu menggunakan
peralatan ventilator supraglotis (contohnya LMA, Cuffed Orophrayngeal
Airway[COPA], Tracheal Esophageal Combitube) atau alat penunjuk visual
indirek (contohnya bronkoskopi fiberoptik, Bullard laryngoscope).4,5
Tabel 1. Klasifikasi Mallampati/Samsoon-Young berdasarkan penampakan dari
orofaring.2
Klasifikasi Klinis
Kelas I Tampak uvula, pilar fausial dan palatum mole
Kelas II Pilar fausial dan palatum mole terlihat
Kelas III Palatum durum dan palatum mole masih terlihat
18
Kesulitan intubasi dikatakan dapat terjadi bila seorang dokter anestesi
tidak dapat memasukan endotracheal tube pada waktu dan cara yang tepat.
Dapat dikatakan bahwa dibutuhkan lebih dari satu kali percobaan untuk
melakukan intubasi. Bagaimanapun juga sulit intubasi dapat dihubungkan
dengan derajat terlihat atau tidaknya penglihatan dari laringoskop atau grading
dari Cormack Lahene sesuai dengan gambar 2, yaitu:
1. Grade 1: glottis terlihat jelas
2. Grade 2 : hanya bagian posterior glottis yang terlihat
3. Grade 3 : hanya tip glottis yang terlihat
4. Grade 4 : glottis tidak terlihat
19
Tabel 2. Sindrom yang berperan sebagai penyulit dalam tatalaksana jalan napas.4
Keadaan Patologis Keadaan Klinis yang Mempengaruhi Jalan Napas
Kongenital Micrognasia, makroglossia, glossoptosis, cleft soft palate
Sindroma Pierre Robin Defek telinga dan mata, hipoplasi malar dan mandibula,
mikrostomia, atresia choane
Sindroma Treacher Collins Defek telinga dan matal; hipoplasia malar dan
(dysostosis mandibulofacial) mandibula; oksipitalisasi tulang atlas
Sindroma Goldenhar’s (okulo- Jembatan hidung tidak terbentuk dengan baik;
aurikula-vertebral) makroglosia;mikrosefalus;kelainan tulang servikal
Sindroma Down Penyatuan tulang servikal, terbatasnya gerakan leher
Hipoplasia maksila; cleft soft palate; kelainan tulang
Sindrom Klippel-Feil rawan di tracheobronchial
Sindrom Alpert Makroglossia
Lesi menyerupi tumor di mandibula dan maksila di
Sindrom Beckwith (infantile rongga mulut
gigantisme) Hilangnya jaringan thiroid; makroglossia; goiter;
Cherubism penekanan pada trakhea, deviasi laryng atau trakhea
Abnormalitas kromosom 5P; mikrosepal; mikrognathia;
Cretinismus laryngomalacia, stridor
Mikorsepalus, mikrognasia, celah pada epiglotis
Meningkatnya kejadian pheochromocytoma; tumor dapat
Sindrom Cri du Chat muncul di laryng dan
Kaku sendi, obstruksi saluran napas atas akibat infiltrasi
Sindrom Meckel jaringan limfoid; abnormalitas kartilago trakeobronkial;
Von Recklinghausen disease ISPA berulang
Sindrom Pompe
20
Supraglotis Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Croup
Abses (intraoral, retrofaringeal) Infeksi virus kronis yang membentuk papiloma yang
Papilomatosis obstruktif, terutam di suprlagotis. Perlu pembedahan.
Dapat berpindah ke subglotis setelah trakeostomi.
Distorsi dan stenosis jalan napas dan trismus
Ludwig’s Angina
Ankilosis sendi temporomandibula, artritis
Arthritis krikoarytenoid, deviasi laryng, terbatasnya gerakan leher
Rheumatoid arthritis Ankilosis tulang servikal, jarang terjadi di daerah
temporomandibula, terbatasnya gerakan leher.
Spondilitis ankilosis
21
breathing menggunakan teknik L (look), L (listen) dan F (feel) yang dilakukan
dalam satu gerakan dalam tempo waktu yang singkat (lihat materi pengkajian
ABC).
Pada pasien yang diduga mengalami cedera leher dan kepala hanya
dilakukan Jaw Thrust dengan hati-hati dan mencegah gerakan leher.
22
Gambar 5. Finger Sweep
Dilakukan bila jalan napas tersumbat karena adanya benda asing dalam
rongga mulut belakang atau hipofaring (gumpalan darah, muntahan, benda asing
lainnya) dan hembusan napas hilang.
23
- Chest Thrust (Pijatan Dada)
b. Dengan Alat
1) Pemasangan Pipa (Tube)
Dipasang jalan napas buatan (pipa orofaring, pipa nasofaring). Pipa
orofaring digunakan untuk mempertahankan jalan nafas dan menahan pangkal
lidah agar tidak jatuh ke belakang yang dapat menutup jalan napas terutama pada
pasien-pasien tidak sadar.
24
Bila dengan pemasangan jalan napas tersebut pernapasan belum juga baik,
dilakukan pemasangan pipa endotrakhea (ETT/endotracheal tube). Pemasangan
pipa endotrakhea akan menjamin jalan napas tetap terbuka, menghindari aspirasi
dan memudahkan tindakan bantuan pernapasan.
25
cek ulang dengan stetoskop dan dengarkan aliran udara yang masuk leawt
ETT apakah sama antara paru kanan dan kiri
o fiksasi ETT dengan Plester
o hubungkan ETT dengan konektor sumber oksigen
6. Pernafasan yang adekuat dapat di monitor melalui cek BGA (Blood Gas
Analysis) ± ½ – 1jam setelah intubasi selesai
7. Mencuci tangan sesudah melakukan intubasi
8. catat respon pernafasan pasien pada mesin ventilator
26
Bila pemasangan pipa endotrakhea tidak mungkin dilakukan, maka dipilih
tindakan krikotirotomi dengan jarum. Untuk petugas medis yang terlatih dan
trampil, dapat dilakukan krikotirotomi dengan pisau.
American Society of Anesthesiologists membagi difficult airway menjadi:1
1. Kesulitan ventilasi dengan sungkup muka atau SGA ( Difficult face mask or
Supraglottic Airway/ SGA ventilation )
Pada keadaan ini dokter tidak dapat memberikan ventilasi yang adekuat karena
beberapa keadaan berikut: penutupan masker atau SGA yang tidak adekuat,
terlalu banyak gas yang bocor, atau resistensi yang berlebihan terhadap
masuknya atau jalan keluar gas. Tanda pada ventilasi yang inadekuat
diantaranya tidak adanya atau inadekuat dari pergerakan dada, suara nafas,
tanda auskultasi pada obstruksi yang parah, sianosis, masuknya udara pada
lambung, penurunan SpO2, tidak adanya pengeluaran gas CO2, pada spirometri
tidak terlihat adanya aliran gas ekshalasi, dan perubahan hemodinamik seperti
hipoksemia atau hipercarbia (hipertensi, takikardia, dan aritmia).1
2. Kesulitan menempatkan SGA ( Difficult SGA placement )
Penempatan SGA membutuhkan beberapa upaya, dengan adanya atau tidak
adanya patologi pada trakea.1
3. Laringoskopi yang sulit ( Difficult Laryngoscopy )
Kesulitan dalam melihat plica vocalis setelah beberapa upaya pada
Laringoskopi Konvensional.1
4. Kesulitan pada intubasi trakea ( Difficult tracheal intubation )
Intubasi trakea membutuhkan beberapa upaya, dengan ada atau tidaknya
patologi pada trakea.1
5. Intubasi gagal ( Failed intubation )
Upaya untuk menempatkan Endotracheal Tube (ETT) gagal.1
27
dimana anaestesiologist terlatih konvensional mengalami kesulitan dengan
ventilasi masker atau keduanya. Berdasarkan data yang ada, insidens kegagalan
intubasi yaitu 0,05 hingga 0,35 %, sedangkan insidens kegagalan intubasi/
ketidakmampuan melakukan ventilasi masker yaitu 0,01 hingga 0,03%.
Algoritme ASA bertindak sebagai model pendekatan terhadap kesulitan
jalan nafas bagi perawat anestesi, dokter gawat darurat dan tenaga diluar rumah
sakit, juga ahli anestesi. Walaupu algoritme banyak menjelaskan tentang
algoritme, gambaran yang menonjol yang dibicarakan di sini. Satu pernyataan
pada dokumen ini mensimpulkan kesulitan menulis dan merekomendasikan
manajemen pada kesulitan jalan nafas: “ Kesulitan jalan nafas mewakili interaksi
yang kompleks antara factor pasien, keadaan klinis dan ketrampilan personel.”
Jalan masuk algoritma dimulai dengan evaluasi jalan nafas. Walaupun
terdapat beberapa pertentangan sepert metode dan indeks nilai yang dievaluasi,
klinisi harus menggunakan seluruh data yang ada dan pengalaman klinis sendiri
untuk mencapai penilaian umum sebagai kesulitan jalan nafas pasien dalam hal
laringoskopi dan intubasi, tehnik ventilasi supraglotik, resiko aspirasi atau
toleransi apnu.
Evaluasi ini harus mengarahkan klinisi untuk memasuki algoritme ASA
pada satu dari dua poin dasar : A-“awake intubation”, atau B- usaha intubasi
setelah induksi anestesi umum. Ini menyoroti penamaan yang salah tidak hanya
untuk kesulitan jalan nafas, tapi relevan terhadap seluruh keadaan dimana jalan
nafas ditangani. Kotak B menggambarkan pendekatan yang diambil pada
kebanyakan intubasi trakea ( dan dapat diterapkan untuk masker wajah-dan SGA-
pasien). Keputusan untuk memasuki algoritme via kotak A atau B merupakan
suatu premanajemen.
28
Algoritma Jalan Nafas Sulit
29
Terbagi atas dua teknik yaitu awake intubasi dan intubasi dalam keadaan
teranastesi.
Awake Intubasi
Intubasi “awake” memberikan banyak keuntungan atas keadaan anestesi,
termasuk menjaga ventilasi spontan pada keadaan dimana jalan nafas tidak dapat
diamankan secara cepat, meningkatkan ukuran dan patensi faring, penempatan
relative kedepan pangkal lidah, penempatan posterior laring, dan patensi ruang
retropalatum. Efek sdatif dan anestetik umum pada patensi jalan nafas mungkin
sekunder terhadap efek langsung pada motorneuron dan system activating
reticular. Pada pasien tidur apnu dapat cenderung jadi obstruksi dengan sedasi
minimal. Sebagi tambahan, keadaan sadar mempertahankan tonus spinkter
esophagus bawah dan atas, sehingga mengurangi resiko reflux. Pada kejadian
reflux, pasien dapat menutup glottis dan/atau mendorong benda asing yang
diaspirasi dengan batuk menunjukkan bahwa refleks ini tidak ditumpulkan oleh
anestetik local. Pasien yang beresiko terhadap sequele neurologist (mis, pasien
dengan kelainan tulang servikal yang tidak stabil) mungkin memerlukan
monitoring sensoris-motor setelah intubasi takea. Pada situasi emergensi, perlu
perhatian (mis, rangsangan kardiovaskuler pada iskemia kardiak atau resiko
iskemia, bronkospasme, penigkatan tekanan intra okuler, peningkatan tekanan
intracranial) tapi tidak kontraindikasi absolute untuk awake intubasi.
Kontraindikasi terhadap elektif awake intubasi termasuk penolakan pasien atau
tidak kooperatif (mis, anak kecil, retardasi mental berat, demensia, intoksikasi)
atau alergi terhadap anestetik local.
Non invasive
Anestetik local merupakan dasar dari tehnik pengendalian jalan nafas
awake. Jalan nafas, dari pangkal lidah hingga bronkus, terdiri dari jaringan yang
sangat sensitive. Anestesia topical dan tehnik blok saraf telah dikembangkan
untuk menumpulkan refleks protektif jalan nafas juga untuk menimbulkan
analgesia. Seperti diketahui dengan baik oleh praktisi anestetik, anestetik local
adalah obat yang efektif dan berbahaya. Klinisi harus memiliki pemahaman yang
benar mengenai mekanisme aksi, metabolisme, toksisitas, dan dosisi oabat
30
kumulatif yang dapat diterima yang dipilih untuk jalan nafas. Karena banyak dari
obat ini akan berada di saluran trakea-bronkial dan akan menuju alveolus, akan
terdapat absorsi intravaskuler yang signifikan dan cepat.
Tehnik noninvasive menggunakan kapas lidi yang dibasahi anestetik local, yang
diposisikan ke aspek paling inferior lipatan dan didiamkan selama 5-10 menit.
Bila tehnik noninvasive terbukti tidak adekuat, anestetik local dapat disuntikkan.
Jika teknik noninvasive terjadi kegagalan maka kita bisa menggunakan teknik
invasive (trakeostomi, krikotirotomi), menggunakan laryngeal mask airway
(LMA), atau tidak jadi menggunakan teknik awake intubasi.
31
1. Apakah dibutuhkan pengendalian jalan nafas? Tidak masalah seberapa
rutin sedasi atau anestesi umum mempunyai potensi mengakibatkan pasien
apnu, sebaiknya selalu dipertimbangkan secara serius dan alternatifnya
harus dipertimbangkan
2. Akankah laringoskopi langsung akan sulit? Jika terdapat indikasi dimana
laringoskopi langsung akan sulit (berdasarkan pemeriksaan fisik dan
riwayat), klinisi dapat melakukan dengan dengan teknik lain (induksi,
laringoskopi langsung, LMA, dll)bila sesuai klinis. Ini adalah esensi dari
kotak B ASA-DAA.
3. Dapatkah ventilasi SGA digunakan? Jika klinisi merasa bahwa terdapat
suatu alasan fisik bahwa ventilasi SGA (dengan facemask, LMA, atau alat
yang lain) akan sulit, suatu titik “tidak dapat diintubasi/tidak dapat
diventilasi)” (CNI/CNV) telah dicapai. Karena ini merupakan algoritme
preoperative, kotak A ASA-DAA dipilih
4. Apakah terdapat resiko aspirasi? Seperti dibicarakan di awal, pasien
dengan resiko aspirasi bukan kandidat untuk pengunaan SGA elektif.
Suatu titik waktu “ tidak dapat diintubasi/seharusnya tidak diventilasi”
telah dicapai dan kotak ASA-DAA dipilih
5. Akankah pasien mentoleransi suatu periode apnu? Pertanyaan 3 dari daftar
ini sulit dijawab dan sangat sangat tergantung pada ketrampilan dan
pengalaman klinisi. Bila intubasi gagal, dan ventilasi tidak adequate,
kemampuan pasien untuk mempertahankan saturasi oksigen akan
ditentukan kemampuannya untuk mentoleransi periode apnu. Faktor
seperti usia, obesitas, status pulmo, komsumsi oksigen abnormal ( mis,
demam), dan pilihan obat induksi akan mempengaruhi ini. Faktor ini telah
didiskusikan secara terperinci di tempat lain. Untuk mengilustrasikan
penerapan klinis AAA, jalur algoritme ini akan diikuti skenaro klinis pada
akhir bab ini.
Pengecualian terhadap AAA yaitu pasien yang tidak dapat bekerjasama karena
retardasi mental, intoksikasi, kecemasan, penurunan derajat kesadaran, atau usia.
Pasien ini mungkin masih memasuki kotak A, tetapi intubasi “awake” mungkin
32
membutuhkan modifikasi teknik yang mempertahankan ventilasi spontan (cth,
induksi inhalasi)
Persiapan pasien untuk intubasi “awake” didiskusikan nanti. Pada
kebanyakan keadaan, intubasi “awake” berhasil jika pendekatan dengan perhatian
dan kesabaran. Jika intubasi “awake” gagal, klinisi memiliki sejumlah pilihan.
Pertama, dapat dipertimbangkan pembatalan pembedahan. Pada situasi ini.
Peralatan atau personil khusus dapat dikumpulkan untuk kembali ke ruang
operasi. Jika pembatalan tidak dipilih, dapat dipertimbangkan teknik anestesi
regional, atau, jika situasi membutuhkan, jalan nafas bedah (mis, trakeostomi)
dapat diilih.
Keputusan untuk melanjutkan dengan anestesi regional karena jalan nafas
telah dinilai atau terbukti sulit untuk ditangani harus dipertimbangkan dalam hal
resiko dan benefit (table 22-15). ASA-DAA benar-benar berguna pada jalan nafas
sulit yang tidak diantisipasi (kotak B, tidak dapat diintubasi dengan laringoskopi
langsung setelah induksi anestesi). Jika obat induksi (dengan atau tanpa pelemas
otot) telah diberikan dan jalan nafas tidak dapat dikendalikan, keputusan
manajemen vital vital harus dibuat secara cepat. Secara tipikal, klinisi telah
mencoba laringoskopi langsung dan intubasi setelah anestesi ventilasi “mask”
yang berhasil atau gagal (kecuali induksi cepat sedang dilakukan). Bahkan jika
saturasi oksigen pasien tetap adequate dengan usaha ini, jumlah usaha
laringoskopi sebaiknya dibatasi hingga tiga kali. Seperti didiskusikan di awal,
trauma jaringan lunak dapat terjadi akibat laringoskopi multipel, yang
memperburuk keadaan. Pertama, ventilasi “mask” sebaiknya dilaukan. Jika
“facemask” adekuat, jalur nonemergensi ASA-DAA dimasuki. Klinisi kemudian
dapat berubah teknik ke yang paling nyaman dan/atau cocok untuk melakukan
intubasi jika dibutuhkan. Ini dapat termasuk, tapi tidak dibatasi, oral “blind” atau
intubasi nasal; intubasi yang difasilitasi dengan bronkoskop fiberoptik, LMA,
LMA-Fastrach, bougie, lighted stylet, atau retrograde wire; atau jalan nafas bedah.
(Paling luas diterapkan pada prosedur ini, juga teknik baru, didiskusikan di
skenario klinis pada bagian selanjutnya bab ini). Jika ventilasi masker gagal,
algoritma menyarankan ventilasi supraglotis melalui LMA. Jika berhasil, jalur
nonemergensi ASA-DAA telah dimasuki lagi dan teknik alternative intubasi
33
trakea dapat digunakan, jika dibutuhkan (mis, mungkin ventilasi LMA adekuat
untuk situasi klinis).
Bila ventilasi LMA gagal mempertahankan pasien, jalur emergensi
dimasuki. ASA-DAA menyarankan penggunaan Esophageal-Tracheal Combitube,
rigid bronkoskopi, oksigenasi transtrakeal, atau jalan nafas bedah.
Pada suatu waktu, keputusan untuk membangunkan pasien sebaiknya
dipertimbangkan berdasarkan adekuasi ventilasi, resiko aspirasi, dan resiko
memelakukan percobaan intubasi atau prosedur pembedahan.
Pemposisian LMA kedalam algoritme (pada publikasi ulang tahun 2003)
berdasar pada lebbih dari 12 tahun penggunaan klinis di Amerika (dan lebih dari
20 tahun pengalaman di seluruh dunia). Relatif sedikit kasus kegagalan LMA
dalam menghadapi situasi“CNI/CNV” telah dilaporkan. Tiga kategori berperan
pada kegagalan ini: sudut oral-faring akut, sumbatan pada level hipofaring,
sumbatan di bawah liptan fokal. Sebaliknya banyak kasus penyelamatan dengan
LMA pada jala nafas gagal telah dilaporkan. Walau studi control jarang, Parmer
mencatat bahwa seluruh kasus CNI/CNV (dengan pengecualian sumbatan
subglotis iatrogenic) terjadi pada periode 2 tahun pada satu ruma sakit
diselamatkan dengan LMA.
Sellick Manuver
Sellick manuver merupakan suatu metode untuk mencegah regurgitasi pada
pasien anestesi selama terpasang intubasi endotrakeal dengan memebrikan
tekanan pada kartilago tiroid. Metode ini dikerjakan saat intubasi untuk mencegah
distensi lambung, regurgitasi isi lambung dan membantu dalam proses intubasi.
Sellick Manuver dipertahankan sampai balon ETT sudah dikembangkan. Adapun
cara melakukan metode ini sebagai berikut :
1. Cari puncak tulang tiroid (Adam's Apple)
2. Geser jari sedikit ke kaudal sepanjang garis median sampai menemukan
lekukkan kecil (membran krikotiroid)
3. Geser lagi jari sedikit ke bawah sepanjang garis median hingga ditemukan
tonjolan kecil tulang (kartilago krikoid)
4. Tekan tonjolan ini diantara ibu jari dan telunjuk ke arah dorsokranial. Gerakan
ini akan menyebabkan oesophagus terjepit diantara bagian belakang kartilago
34
krikoid dengan tulang belakang dan lubang trakhea/rimaglotis akan terdorong
ke arah dorsal sehingga lebih mudah terlihat.5
Sniffing position
35
Sniffing position (SP) merupakan posisi yang telah direkomendasikan
untuk melakukan direk laringoskop pada dewasa. Untuk mencapai SP, leher
semestinya di ekstensikan pada sendi atlanto-occipital. Pada jalan nafas orang
dewasa, sudut panjang dari mulut terletak horizontal, pararel dengan lantai pada
keadaan berdiri. Sudut panjang dari faring terletak hampir vertical. Sedangkan
sudut panjang laring terletak vertical dari arah posterior ke anterior. Penjajaran
dari ketiga sudut ini menyebabkan pita suara dapat terlihat dari mulut. Pasien
dengan keterbatasan pergerakan cervical akan menyebabkan intubasi sulit karena
adanya keterbatasan posisi anterior dari laring.6
36
BAB IV
DISKUSI
37
pemeriksa yang masih kurang, secara anatomi letak epiglottis dari pasien sedikit
miring ke kiri dan lebih tinggi. Pemeriksa meminta bantuan dokter untuk intubasi,
setelah dibantu oleh dokter ternyata intubasi berhasil, sehingga tidak perlu untuk
melanjutkan ventilasi spontan ataupun membangunkan pasien sesuai dengan
algoritma sulit airway dari ASA.
Pasien dilakukan ekstubasi setelah operasi selesai, kemudian dilakukan
observasi di RR, setelah itu pasien sesak diduga ada perdarahan karena tidak
dipasang drain atau terkena nervus laringeus rekurens. Setelah itu pasien dipasang
intubasi dan di rawat di ruang ICU. Selama perawatan, pasien diposisikan supine
dengan kepala sedikit ekstensi untuk mempertahankan airway. Pengelolaan nyeri
selama perawatan diberikan paracetamol 3x1 gr iv, pengelolaan mual-muntah
dengan ondansetron 3x4 mg iv. Infus RL 100 cc/jam untuk memenuhi kebutuhan
cairan tubuh (50 ml/kgBB/hari). Pemantauan TTV tiap 15 menit selama 24 jam
sampai kondisi pasien stabil, selain itu juga awasi perdarahan.
38
BAB V
KESIMPULAN
39
DAFTAR PUSTAKA
40