disusun oleh :
Muh Fadhil Athief Islam (406162051)
Pembimbing
dr. Hesti Kartika Sari, Sp.A
Penulis
DAFTAR ISI
2
HALAMAN JUDUL........................................................................................ 1
KATA PENGANTAR....................................................................................... 2
DAFTAR ISI..................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR........................................................................................ 4
BAB 1. PENDAHULUAN.............................................................................. 5
1.1 Latar Belakang............................................................................................ 5
1.2 Tujuan......................................................................................................... 5
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.................................................................... 7
2.1 Definisi....................................................................................................... 7
2.2 Epedemiologi ............................................................................................. 7
2.3 Etiologi........................................................................................................ 7
2.4 Komposisi Susu Buatan.............................................................................. 8
2.5 Kerugian Susu Buatan................................................................................. 9
2.6 Komposisi Air Susu Ibu.............................................................................. 10
2.7 Patogenesis.................................................................................................. 11
2.8 Klasifikasi................................................................................................... 13
2.9 Manifestasi Klinis....................................................................................... 14
2.10 Penegakan Diagnosis................................................................................ 14
2.11 Pemeriksaan Penunjang............................................................................ 17
2.12 Penatalaksanaan........................................................................................ 18
2.13 Pencegahan............................................................................................... 20
2.14 Prognosis................................................................................................... 21
REKAM MEDIS............................................................................................... 22
ANALISIS KASUS.......................................................................................... 29
BAB III. PENUTUP........................................................................................ 33
KESIMPULAN................................................................................................. 33
SARAN............................................................................................................. 33
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 34
DAFTAR GAMBAR
3
BAB I
PENDAHULUAN
Air susu ibu (ASI) merupakan makanan terbaik bagi bayi. Namun pada kondisi
tertentu bayi tidak dapat memperoleh ASI sehingga diperlukan susu formula.
Pada beberapa tahun terakhir ini terdapat peningkatan prevalens alergi susu sapi
pada bayi dan anak dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari ringan sampai
berat. Di lain pihak produk- produk susu formula semakin banyak di pasaran.
Melihat kondisi tersebut maka IDAI bermaksud untuk memberi penjelasan
4
tentang diagnosis serta tata laksana alergi susu sapi dengan membuat suatu
rekomendasi yang didasari bukti terbaru yang ada saat ini dan akan direvisi sesuai
dengan literatur yang terbaru. Rekomendasi ini adalah hasil diskusi dan
kesepakatan antara UKK Alergi Imunologi, UKK Gastrohepatologi, dan UKK
Nutrisi dan Penyakit Metabolik. Dengan adanya rekomendasi ini, diharapkan para
dokter spesialis anak dapat melakukan diagnosis dan tata laksana alergi susu sapi
dengan benar dan seragam. (1)
Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami mengenai alergi susu sapi,
cara menegakkan diagnosisnya, penatalaksanaan, pencegahannya alergi susu sapi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Alergi susu sapi (ASS) adalah suatu penyakit yang berdasarkan reaksi
imunologis yang timbul sebagai akibat pemberian susu sapi atau makanan yang
mengandung susu sapi dan reaksi ini dapat terjadi segera atau lambat. (1)
2.2 Epidemiologi
6
Prevalens alergi susu sapi di Indonesia sekitar 2-7,5% dan reaksi alergi
terhadap susu sapi masih mungkin terjadi pada 0,5% pada bayi yang mendapat
ASI eksklusif. Sebagian besar reaksi alergi susu sapi diperantarai oleh IgE dengan
prevalens 1.5%, sedangkan sisanya adalah Rekomendasi Ikatan Dokter Anak
Indonesia tipe non-IgE. Gejala yang timbul sebagian besar adalah gejala klinis
yang ringan sampai sedang, hanya sedikit (0.1-1%) yang bermanifestasi klinis
berat. .(1,2)
Alergi susu sapi merupakan kelainan yang sering ditemukan. Susu sapi
merupakan salah satu dari “ the big-8 alergen” yang terdiri dari telur, kedelai,
gandum, kacang-kacangan, kenari, ikan, dan kerang. Susu sapi merupakan alergen
yang paling sering menimbulkan alergi pada masa bayi. Hal ini dikarenakan
sistem imun yang masih imatur. Insidens alergi susu sapi (ASS) bervariasi
menurut usia, angka kejadian ASS pada anak usia berusia di bawah 3 tahun
sekitar 2-3%. Pada bayi yang mendapat ASI eksklusif ditemukan sekitar 0,5%
menunjukan gejala ASS ringan sampai sedang. ASS biasanya bersifat sementara
dan toleransi dilaporkan hampir 80% terjadi pada usia 2 tahun. .(1,2)
2.3 Etiologi
Protein susu sapi merupakan alergen tersering pada berbagai reaksi
hipersensitivitas pada anak. Susu sapi terdiri dari 2 fraksi yaitu casein dan whey.
Fraksi casein yang membuat susu berbentuk kental (milky) dan merupakan 76%
sampai 86% dari protein susu sapi. Fraksi casein dapat diprepitasi dengan zat
asam pada pH 4, yang menghasilkan 5 casein dasar yaitu α, β, k, dan γ.
Sedangkan kadar protein pada ASI didapatkan bahwa kandungan whey pada ASI
lebih banyak ketimbang casein, protein whey lebih banyak pada ASI dikarenakan
lebih mudah diserap oleh usus bayi3.
Beberapa protein whey mengalami denaturasi dengan pemanasan ekstensif
(albumin serum bovin, gamaglobulin bovin, α- laktalbumin). Akan tetapi dengan
pasteurisasi rutin tidak cukup untuk denaturasi protein ini, tetapi malah
meningkatkan sifat alergenitas beberapa protein susu, seperti β- laktogobulin. .(2)
7
aplikasinya dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan bayi. Berikut merupakan
komposisi gizi yang terkandung dalam susu buatan4:
1. Protein.
Kandungan protein dalam susu sapi adalah 3,1–3,5 gr/100 ml. NIilai ini
jauh lebih tinggi dibanding ASI yang hanya mengandung protein 1,1–1,4
gr/100 ml. Kadar protein utama dalam susu sapi adalah casein yang
mencapai 80%.
2. Karbohidrat.
Kandungan karbohidrat dalam susu sapi adalah 4,3 gr / 100 ml.
3. Lemak.
Susu sapi mempunyai kadar lemak yang tinggi, yaitu hampir sama dengan
ASI 3,5 gr/ 100 ml, hanya berbeda pada jenis lemaknya. Jenis lemak pada
susu sapi terutama terdiri dari asam lemak jenuh dimana asam lemak jenuh
ini sulit dicerna usus. Berbeda dengan ASI, karena asam lemak pada ASI
terutama terdiri dari asam lemak tak jenuh yang lebih mudah dicerna oleh
usus.
4. Mineral.
Kadar mineral susu sapi 4 kali lebih tinggi daripada ASI. Keadaan ini akan
menambah beban ginjal yang belum bisa berfungsi sempurna dalam
mempertahankan keseimbangan air dan elektrolit. Kadar mineral yang
tinggi juga akan mengurangi derajat keasaman lambung sehingga
menghambat proses pencernaan lambung.
5. Vitamin
Perbedaan yang penting adalah dalam kandungan vitamin K. ASI
mengandung lebih sedikit vitamin K, karena itu defisiensi vitamin K lebih
sering pada bayi yang diberi ASI. Dengan alasan tersebut, agar vitamin K
diberikan rutin pada semua neonatus dengan dosis 1 mg secara IM atau 2
mg secara oral.
8
Susu buatan mempunyai beberapa kerugian, seperti5 :
Pengenceran yang salah dapat terjadi terlalu encer atau terlalu pekat. Aturan
pengenceran yang tertera pada label sering tidak dimengerti oleh orang tua,
pembantu ataupun orang terdekat dengan bayi. Akibatnya sering terjadi
Hiper/hiponatremia, obesitas, hipertensi dan enterokolitis necrotikans. Sedangkan
larutan yang hiperosmolar sering mengakibatkan malnutrisi dan gangguan
pertumbuhan.
2. Kontaminasi mikroorganisme
3. Menyebabkan alergi
Prevalensi kejadian alergi akibat susu buatan 0,5-1%., tetapi tidak banyak
petugas kesehatan yang menyadarinya. Pada beberapa kasus menunjukan
gejala yang berat, sehingga perlu mendapatkan perhatian.
Beredar susu buatan yang digunakan untuk penyakit tertentu atau kondisi
tertentu. Sering terjadi kekeliruan dalam penggunaan susu buatan tersebut karena
ketidaktahuan indikasi penggunaannya. Dalam beberapa kasus dapat terjadi
9
infantile malnutrision Kurang Kalori Protein (KKP) pada bayi yang sering
disebabkan oleh penyapihan yang terlalu dini sehingga mengganggu
perkembangan otak/sel otak dan menyebabkan penurunan kasus buatantas mental,
intelektual dan juga fisik dimasa mendatang6 .
Hubungan batin, kasih sayang ibu lebih dihayati bayi yang mendapat ASI.
Manfaat dan dampak positif dapat dirasakan bila anak sudah lebih besar yaitu
akan berprilaku lebih baik ke orang tuanya7.
Roesli (2005) mengemukakan perbedaan komposisi ASI dari hari ke hari (stadium
laktasi) sebagai berikut8:
1. Kolostrum (colostrum/susu jolong)
Kolostrum adalah cairan encer dan sering berwarna kuning atau dapat pula jernih
yang kaya zat anti-infeksi (10-17 kali lebih banyak dari susu matang) dan protein,
dan keluar pada hari pertama sampai hari ke-4/ke-7. Kolostrum membersihkan zat
sisa dari saluran pencernaan bayi dan mempersiapkannya untuk makanan yang
akan datang. Jika dibandingkan dengan susu matang, kolostrum mengandung
karbohidrat dan lemak lebih rendah, dan total energi lebih rendah. Volume
kolostrum 150=300 ml/24 jam.
2. ASI transisi/peralihan
ASI peralihan keluar setelah kolostrum sampai sebelum menjadi ASI yang
matang. Kadar protein makin merendah, sedangkan kadar karbohidrat dan lemak
makin tinggi dan volume akan makin meningkat. ASI ini keluar sejak hari ke-
4/ke-7 sampai hari ke-10/ke-14.
10
4. Perbedaan komposisi ASI dari menit ke menit
ASI yang pertama disebut foremilk dan mempunyai komposisi berbeda dengan
ASI yang keluar kemudian (hindmilk). Foremilk dihasilkan sangat banyak
sehingga cocok untuk menghilangkan rasa haus bayi. Hindmilk keluar saat
menyusui hampir selesai dan mengandung lemak 4-5 kali lebih banyak dibanding
foremilk, diduga hindmilk yang mengenyangkan bayi.
2.7 PATOGENESIS
Alergi susu sapi merupakan respon imun spesifik alergen susu sapi yang
secara predominan diperantarai IgE dan atau tidak diperantarai IgE atau seluler.
Komposisi susu sapi dan susu ibu (ASI) selain mempunyai beberapa
persamaan terdapat pula perbedaan yang nyata dalam tipe protein dan
homolognya yang memberi kemungkinan bagi sebagian besar protein susu untuk
dikenali sebagai asing oleh sitem imun manusia. Pada sebagian besar individu,
sistem imun dapat mengenali dan bertoleransi dengan protein susu sapi. Namun
pada individu yang mempunyai bakat alergi. Sistem imun akan tersensitisasi dan
bereaksi terhadap protein susu sapi sehingga menyebabkan respon imun yang
merugikan .(1)
Tabel komposisi protein utama ASI dan susu sapi8
α- s1 kasein 0 11,6
α- s2 kasein 0 3,0
γ- kasein 0 1,6
11
β- laktoglobulin 0 3,0
Protein alergi susu sapi diperantarai IgE terdapat 2 tahap pertama dari
sensitisasi terbentuk ketika kekebalan sistem tubuh diprogram dengan cara yang
menyimpang sehingga IgE antibodi terhadap protein susu sapi disekskresi.
Antibodi tersebut mengikat pada permukaan sel mast dan basofil, dan pada kontak
12
berikutnya protein susu sapi yang memicu “aktivasi” ketika IgE bergabung
dengan sel mast mengikat epitop alergi terdapat pada protein susu dan di lepaskan
mediator inflamasi dengan cepat yang berperan dalam reaksi alergi. Allergen
tersebut dipinositosis dan diekspresikan oleh antgen presenting sel (APC) .(3)
Pengetahuan tentang mekanisme imunologi yang tidak diperantarai IgE
pada alergi susu sapi masih kurang. Terdapat beberapa mekanisme telah
sisuggasted termasuk reaksi diperantarai TH 1 terbentuk dari kompleks imun yang
mengaktivasi komplemen, atau sel T/ sel mast/ interaksi neuron termasuk
perubahan fungsi dalam otot polos dan motaliti usus. Makrofag diaktifkan oleh
allergen protein susu sapi oleh sitokin, mampu mensekresi pada mediator
vasoaktif (PAF, leukotrin) dan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, GM-CSF, TNF-α ) yang
mampu meningkatkan fagositosis seluler. Ini melibatkan sel epitel, yamg
melepaskan sitokin (IL-1, IL-6, IL-8, IL-11, GM-CSF) kemokin (RANTES,
MCP-3, MCP-4, eotaxin) dan mediator lain (leukotrin, PGs, 15-HETE, endotelin-
1). Mekanisme ini menghasilkan peradangan seluler kronis (pada sistem
gastrointestinal) , kulit, dan pernafasan). Ketika proses inflamasi terlokalisir di
tingkat GI, fagositosis imun dapat mengkontribusi untuk menjaga hipermeabilitas
epitel dan berpotensi untuk meningkatkan paparan antigen protein susu sapi. Ini
melibatkan TNF- α dan IFN-γ , antagonis TGF- α dan IL-10 dalam mediasi
toleransi oral.
2.8 Klasifikasi
13
klinis: allergic eosinophilic gastroenteropathy, kolik, enterokolitis,
proktokolitis, anemia,
2.9 Manifestasi Klinis
Gejala ASS pada umumnya dimulai pada usia 6 bulan pertama kehidupan.
Dua puluh delapan persen timbul setelah 3 hari minum susu sapi, 41% setelah 7
hari dan 68% setelah 1 bulan. Berbagai manifestasi klinis dapat timbul. Pada bayi
terdapat 3 sistem organ tubuh yang paling sering terkena yaitu kulit, sistem
saluran napas, dan saluran cerna.
Gejala klinis yang dapat terjadi pada ketiga sistem tersebut adalah
14
Pada kulit tampak kekeringan kulit, urtikaria,dermatitis atopik
allergic shiner’s, Siemen grease geographic tongue, mukosa hidung
pucat, dan mengi.
Evaluasi penderita dengan kemungkinan alergi susu sapi dimulai dengan
anamnesis dan pemeriksaan fisis yang lengkap dengan mempertimbangkan
berbagai diagnosis banding antara alergi susu sapi dengan penyakit lain pada
saluran pencernaan termasuk intoleransi susu sapi (efek toksik atau kelainan
metabolik), infeksi (virus, bakteri, dan parasit) , inflammatory bowel diseases,
iskemia usus, gangguan pada kandung kemih. .(2)
Dalam anamnesis perhatian difokuskan pada reaksi alergi yang terjadi dan
kaitannya dengan makanan yang dimakan. Setelah berbagai bahan makanan yang
dicurigai menjadi penyebab alergi diperoleh. Diagnosa dikonfirmasi dengan
pemeriksaan berupa uji eliminasi dan uji provokasi.(1,3)
Prinsip uji eliminasi adalah menghindarkan bahan makanan yang menjadi
tersangka dalam hal ini adalah protein susu sapi , selama 2 minggu. dalam kurun
waktu ini diobservasi apakah gejala alergi yang ada berkurang atau tidak. Bila
gejala berkurang dapat dilanjutkan uji provokasi untuk mengkonfirmasinya lagi
yaitu dengan pemberian kembali bahan makanan tersebut, dan dicatat reaksi yang
terjadi. Jika makanan tersangkan memang penyebab alergi, maka gejala akan
berkurang saat makanan dieliminasi dan muncul kembali lagi saat diprovokasi.
Disamping penggunaan cara tersebut, cara pemeriksaan yang dapat dipakai juga
adalah dengan pemeriksaan kadar IgE dan uji kulit. Kadar IgE yang meninggi
dalam darah dapat dipergunakan sebagai petunjuk status alergi pada pasien. Dan
kadar Ige ini seringkali meningkat pada pasien alergi susu sapi . berdasarkan
observasi yang dilakukan Hidgevi dkk. Diduga kadar lokal IgE serum dan IgE
anti-α kasein memiliki nilai prognostik, yaitu bila didapatkan peningkatan pada
awal penyakit, toleransi terhadap susu sapi akan dicapai lebih lambat atau bahkan
dapat pula sifat alergi yang terjadi bersifat menetap. .(1,3)
Uji kulit yang dilakukan disebut Skin Prick Test. Namun demikian perlu
diketahui bahwa uji kulit ini memiliki nilai prediktif positif yang rendah, karena
tingginya hasil positif palsu. Interpretasi ini perlu diperhatikan sebab bila
tatalaksana dilakukan berdasarkan hasil poitif ini, maka dapat saja terjadi
15
penghindaran makanan yang sesungguhnya tidak perlu dilakukan. Disisi lain tes
ini juga memiliki nilai prediktif negatif yang tinggi , dengan demikian bila
didapatkan hasil yang negatif maka diagnosa alergi makanan dapat dianggap kecil
kemungkinannya. .(1)
Walau demikian dalam prsktek klinisnya sehari-hari diagnosis lebih sering
ditegakkan berdasarkan gejala dan respons klinis dari uji eliminasi dan provokasi.
Pemeriksaan secara laboratoris hanya bersifat pelengkap , sedangkan penggunaan
uji kulit pada anak. Selain karena masalah akurasinya yang kurang perlu juga
dipertimbangkan faktor ketidak nyamanan yang akan timbul mengingat penderita
umunya berusia 2-3 tahun.(1.2)
Pada beberapa keadaan diagnosis dapat menjadi sulit dan
membingungkan. Hal ini terjadi misalnya karena adanya reaktivasi dari makanan
lain. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah protein susu sapi dapat
menimbulkan alergi baik dalam bentuk murni, atau bisa juga dalam bentuk lain
seperti es krim, keju, dan kue yang menggunakan susu sapi sebagai bahan
dasarnya.
IgE spesifik
a. Uji tusuk kulit (Skin prick test)
Pasien tidak boleh mengkonsumsi antihistamin minimal 3 hari
untuk antihistamin generasi 1 dan minimal 1 minggu untuk
antihistamin generasi 2.
Uji tusuk kulit dilakukan di volar lengan bawah atau bagian
punggung (jika didapatkan lesi kulit luas di lengan bawah atau
lengan terlalu kecil). Batasan usia terendah untuk uji tusuk kulit
adalah 4 bulan.
Bila uji kulit positif, kemungkinan alergi susu sapi sebesar < 50%
(nilai duga positif < 50%), sedangkan bila uji kulit negatif berarti
alergi susu sapi yang diperantarai IgE dapat disingkirkan karena
nilai duga negatif sebesar > 95%
b. IgE RAST (Radio Allergo Sorbent Test)
16
Uji IgE RAST positif mempunyai korelasi yang baik dengan uji
kulit, tidak didapatkan perbedaan bermakna sensitivitas dan
spesifitas antara uji tusuk kulit dengan uji IgE RAST
Uji ini dilakukan apabila uji tusuk kulit tidak dapat dilakukan
antara lain karena adanya lesi adanya lesi kulit yang luas di daerah
pemeriksaan dan bila penderita tidak bisa lepas minum obat
antihistamin.
Bila hasil pemeriksaan kadar serum IgE spesifik untuk susu sapi >
5 kIU/L pada anak usia ≤ 2 tahun atau > 15 kIU/L pada anak usia >
2 tahun maka hasil ini mempunyai nilai duga positif 53%, nilai
duga negatif 95%, sensitivitas 57%, dan spesifisitas 94%.
c. Uji eliminasi Dan provokasi
Double Blind Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFC) merupakan
uji baku emas untuk menegakkan diagnosis alergi makanan. Uji ini dilakukan
berdasarkan riwayat alergi makanan, dan hasil positif uji tusuk kulit atau uji
RAST. Uji ini memerlukan waktu dan biaya. Jika gejala alergi menghilang
setelah dilakukan iet eliminasi selama 2-4 minggu, maka dilanjutkan dengan uji
provokasi yaitu memberikan formula dengan bahan dasar susu sapi. Uji provokasi
dilakukan di bawah pengawasan dokter dan dilakukan di rumah sakit dengan
fasilitas resusitasi yang lengkap. Uji tusuk kulit dan uji RAST negatif akan
mengurangi reaksi akut berat pada saat uji provokasi. .(3)
Uji provokasi dinyatakan positif jika gejala alergi susu sapi muncul
kembali, maka diagnosis alergi susu sapi bisa ditegakkan. Uji provokasi
dinyatakan negatif bila tidak timbul gejala alergi susu sapi pada saat uji
provokasi dan satu minggu kemudian, maka bayi tersebut diperbolehkan minum
formula susu sapi. Meskipun demikian, orang tua dianjurkan untuk tetap
mengawasi kemungkinan terjadinya reaksi tipe lambat yang bisa terjadi beberapa
hari setelah uji provokasi. (3)
d. Pemeriksaan darah pada tinja
Pada keadaan buang air besar dengan darah yang tidak nyata kadang sulit
untuk dinilai secara klinis, sehingga perlu pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan
seperti chromiun-51 labelled erythrocites pada feses dan reaksi orthotolidin
mempunyai sensitivitas dan spesifitas yang lebih baik dibanding uji
17
guaiac/benzidin. Uji guaiac hasilnya dipengaruhi oleh berbagai substrat non-
hemoglobin sehingga memberikan sensitivitas yang rendah (30-70%), spesifisitas
(88-98%) dengan nilai duga positif palsu yang tinggi. .(3)
2.12 Penatalaksanaan
1. Nutrisi
a. Prinsip utama terapi untuk alergi susu sapi adalah menghindari segala
bentuk produk susu sapi tetapi harus memberikan nutrisi yang
seimbang dan sesuai untuk tumbuh kembang bayi/anak. (1)
b. Untuk bayi dengan ASI eksklusif yang alergi susu sapi, ibu dapat
melanjutkan pemberian ASI dengan menghindari protein susu sapi dan
produk makanan yang mengandung susu sapi pada diet ibu. ASI tetap
merupakan pilihan terbaik pada bayi dengan alergi susu sapi.
Suplementasi kalsium perlu dipertimbangkan pada ibu menyusui yang
membatasi protein susu sapi dan produk makanan yang mengandung
susu sapi(1)
c. Untuk bayi yang mengkonsumsi susu formula:
Pilihan utama susu formula pada bayi dengan alergi susu sapi
adalah susu hipoalergenik. Susu hipoalergenik adalah susu
yang tidak menimbulkan reaksi alergi pada 90% bayi/anak
dengan diagnosis alergi susu sapi bila dilakukan uji klinis
tersamar ganda dengan interval kepercayaan 95%. Susu
tersebut mempunyai peptida dengan berat molekul < 1500 kDa.
Susu yang memenuhi kriteria tersebut ialah susu terhidrolisat
ekstensif dan susu formula asam amino. Sedangkan susu
terhidrolisat parsial tidak termasuk dalam kelompok ini dan
bukan merupakan pilihan untuk terapi alergi susu sapi.
Formula susu terhidrolisat ekstensif merupakan susu yang
dianjurkan pada alergi susu sapi dengan gejala klinis ringan
atau sedang. Pada alergi susu sapi berat yang tidak membaik
dengan susu formula terhidrolisat ekstensif maka perlu
diberikan susu formula asam amino. (3)
Eliminasi diet menggunakan formula susu terhidrolisat
ekstensif atau formula asam amino diberikan sampai usia bayi
9 atau 12 bulan, atau paling tidak selama 6 bulan. Setelah itu
18
uji provokasi diulang kembali, bila gejala tidak timbul kembali
berarti anak sudah toleran dan susu sapi dapat dicoba diberikan
kembali. Bila gejala timbul kembali maka eliminasi diet
dilanjutkan kembali selama 6 bulan dan seterusnya. (3)
d. Pada bayi dengan alergi susu sapi, pemberian makanan padat perlu
menghindari adanya protein susu sapi dalam makanan pendamping
ASI (MP-ASI). (3)
e. Apabila susu formula terhidrolisat ekstensif tidak tersedia atau terdapat
kendala biaya, maka pada bayi di atas 6 bulan dapat diberikan formula
kedelai dengan penjelasan kepada orangtua mengenai kemungkinan
reaksi silang alergi terhadap protein kedelai. Angka kejadian alergi
kedelai pada pasien dengan alergi susu sapi berkisar 10-35% % (tipe
IgE 12-18%, tipe non IgE 30-60%). Susu mamalia lain selain sapi
bukan merupakan alternatif karena berisiko terjadinya reaksi silang.
Selain itu, susu kambing, susu domba dan sebagainya tidak boleh
diberikan pada bayi di bawah usia 1 tahun kecuali telah dibuat menjadi
susu formula bayi. Saat ini belum tersedia susu formula berbahan dasar
susu mamalia selain sapi di Indonesia. Selain itu perlu diingat pula
adanya risiko terjadinya reaksi silang. (3)
2. Medikamentosa
Gejala yang ditimbulkan alergi susu sapi diobati sesuai gejala yang terjadi.
Jika didapatkan riwayat reaksi alergi cepat, anafilaksis, asma, atau dengan
alergi makanan yang berhubungan dengan reaksi alergi yang berat,
epinefrin harus dipersiapkan. (1)
2.13 Pencegahan
Seperti juga tindakan pencegahan alergi secara umum, maka tindakan
pencegahn ASS ini dilakukan dalam 3 tahap yaitu,
1. Pencegahan primer
Dilakukan sebelum terjadi sensitisasi. Saat penghindaran dilakukan sejak
pranatal pada janin dari keluarga yang mempunyai bakat atopik. Penghindaran
susu sapi berupa pemberian susu sapi hipoalergenik, yaitu susu sapi yang
dihidrolisis secara parsial, supaya dapat merangsang timbulnya toleransi susu sapi
di kemudian hari karena masih mengandung sedikit partikel susu sapi, misalnya
19
dengan merangsang timbulnya IgG blocking agent. Tindakan pencegahan ini juga
dilakukan terhadap makanan hiperalergenik lain serta penghindaran asap rokok(2)
2. Pencegahan sekunder
Dilakukan setelah terjadi sensitisasi tetapi belum timbul manifestasi
penyakit alergi. Keadaan sensitisasi diketahui dengan cara pemeriksaan IgE
spesifik dalam serum atau darah talipusat, atau dengan uji kulit. Saat tindakan
yang optimal adalah usia 0 sampai 3 tahun. Penghindaran susu sapi dengan cara
pemberian susu sapi non alergenik, yaitu susu sapi yang dihidrolisis sempurna,
atau pengganti susu sapi misalnya susu kedele supaya tidak terjadi sensitisasi
lebih lanjut hingga terjadi manifestasi penyakit alergi. Selain itu juga disertai
tindakan lain misalnya imunomodulator, Th1- immunoajuvants, probiotik serta
penghindaran asap rokok. Tindakan ini bertujuan mengurangi dominasi sel
limfosit Th2, diharapkan dapat terjadi dalam waktu 6 bulan. (3)
3. Pencegahan tersier
Dilakukan pada anak yang sudah mengalami sensitisasi dan menunjukkan
manifestasi penyakit alergi yang masih dini misalnya dermatitis atopik atau rinitis
tetapi belum menunjukkan gejala alergi yang lebih berat misalnya asma. Saat
tindakan yang optimal adalah pada usia 6 bulan sampai 4 tahun. Penghindaran
juga dengan pemberian susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau pengganti susu
sapi, serta tindakan lain pemberian obat pencegahan misalnya setirizin,
imunoterapi, imunodulator serta penghindaran asap rokok. (3)
2.14 Prognosis
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi umumnya baik, dengan angka remisi 45-
55% pada tahun pertama, 60-75% pada tahun kedua dan 90% pada tahun ketiga.
Namun, terjadinya alergi terhadap makanan lain juga meningkat hingga 50%
terutama pada jenis: telur, kedelai, kacang, sitrus, ikan dan sereal serta alergi
inhalan meningkat 50-80% sebelum pubertas. (1)
20
REKAM MEDIS KASUS
1. Identitas Pasien
Umur : 3 bulan
Pendidikan :-
21
Agama : Islam
2. Anamnesa
Keluhan Utama
Pasien merupakan anak pertama dari satu bersaudara, pasien lahir saat usia
kandungan 39 minggu dengan berat badan lahir 3100 gram dengan plasenta lahir
normal tanpa ada yang tertinggal serta air ketuban yang keluar jernih, dilahirkan
di RSUD RAA SOEWONDO Pati secara normal dan ditolong oleh bidan, saat
lahir pasien lansung menangis dan tidak mendapatkan perawatan di ruang
perinatal.
Pasien dari 0-3 bulan mendapatkan ASI dan susu sapi, pasien
mendapatkan susu sapi dikarenakan ASI yang dikeluarkan oleh ibu sedikit serta
pasien rewel jika ASI ibu habis sehingga ibu kasian terhadap pasien, akhirnya
memberikan susu sapi terhadap pasien. Ibu sudah melakukan berbagai cara agar
22
jumlah ASI yang dapat diberikan meningkat, dari memompa ASI hingga
mengonsumsi jamu yang memiliki khasiat meningkatkan produksi ASI, tapi
hasilnya tetap sama.
Ibu memberikan susu sapi dengan cara memberikan lewat botol dot, ibu
memiliki botol dot sebanyak 5 botol, sebelum menggunakan botol dot pasien
merebusnya terlebih dahulu, setelah menggunakan botol, ibu membersihkannya
setelah itu merebus botolnya kembali dan disimpan didalam lemari agar terhindar
dari lalat.
-
Riwayat keluhan serupa dengan pasien disangkal
-
Riwayat alergi pada ibu berupa makanan seafood, serta nenek dari ibu
menderita alergi seafood
-
Riwayat penyakit asthma pada ibu, kakek dari ibu, dan kakek dari
ayah.
Riwayat Perinatal
-
Pasien anak pertama dari satu bersaudara
-
Lahir normal dibantu bantu bidan, langsung menangis spontan
-
Berat badan lahir 3100 gram, panjang badan lahir lupa
Riwayat Imunisasi
-
Hepatitis B: dilakukan seminggu setalah lahir, lalu pada usia 2,3,dan 4
bulan
Kesan : imunisasi dasar lengkap
Riwayat Pertumbuhan
23
-
BB = 5,6 kg
-
TB = 59 cm
-
IMT =16,08 kg/m2
-
Kurva CDC
BB/U = 93,3% (gizi baik)
TB/U = 96.7% (normal)
BB/TB = 100% (status gizi baik)
24
Leher : letak trakea di tengah, pembesaran kelenjar tiroid (-)
Thoraks
Pulmo
Inspeksi : dada simetris, pergerakan dada kanan & kiri simetris saat statis &
dinamis, retraksi (-)
Palpasi : stem fremitus kanan & kiri sama kuat, nyeri tekan (-).
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : suara nafas dasar vesikuler +/+, ronki -/-, wheezing -/-.
Jantung
Inspeksi : pulsasi ictus cordis tidak tampak di MCL sinistra ICS V.
Palpasi : pulsasi ictus cordis teraba di MCL sinistra ICS V.
Perkusi : tidak dilakukan
Auskultasi : bunyi jantung I dan II reguler, murmur (-), gallop (-).
Abdomen :
Inspeksi : tampak datar, jaringan parut (-), buncit (-).
Auskultasi : bising usus (+) normal, 10 x/menit.
Palpasi : supel, nyeri tekan (-), benjolan (-)
Perkusi : tidak dilakukan
Ekstremitas : akral hangat (-), edema (-), sianosis (-), CRT < 2 detik, polydactyl
(-)
Kulit : turgor kulit baik, kulit kering (-), sianosis (-) ikterik (-)
KGB : tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Anus dan genitalia : tidak di lakukan
Pemeriksaan Neurologis
Tanda rangsang meningeal
1. Kaku kuduk (-)
2. Brudzinsky I (-)
3. Brudzinsky II (-)
4. Brudzinsky III (-)
5. Brudzinsky IV (-)
6. Kernig (-)
7. Laseque (-)
• Cahaya langsung (+) / (+)
• Cahaya tidak langsung (+) / (+)
Reflek Fisiologis
•Reflek patella (+)/(+)
Reflek Patologis
•Reflek Babinski (+)/(+)
•Reflek chaddock (+)/(+)
4. RESUME
Telah diperiksa seorang bayi umur 3 bulan laki-laki di Poli TUMBANG
RSUD RAA Soewondo dengan keinginan untuk imunisasi dasar dan control
pertumbuhan dan perkembangan. Saat dilakukan pemeriksaan fisik ditemukan
urtikaria pada kedua lengan.
25
Memiliki riwayat mengonsumsi susu formula dari usia 1 bulan – sekarang,
serta memiliki riwayat alergi pada keluarga seperti alergi seafood dan asthma.
5. DAFTAR MASALAH/DIAGNOSA
- Alergi susu sapi
- Status gizi baik dengan perawakan tinggi
6. PENGKAJIAN
Clinical reasoning:
Alergi Susu Sapi
- pada kulit didapatkan urtikaria.
- didapatkan riwayat minum susu sapi saat umur 1 bulan hingga sekarang.
- Riwayat penyakit atopi pada keluarga.
Status Gizi Baik dengan Perawakan Tinggi
Diagnosa banding:
- Intoleransi Laktosa
Rencana Diagnostik
- Skin prick test
- DBPCFC
- Hitung jenis eosinofil
Rencana Terapi Farmakologis
=
Terapi non farmakologis
- Memberikan ASI exclusive pada anak karena baru berusia 3 bulan.
- Jika ASI tetap kurang dapat diberikan susu formula terhidroksilat
sempurna
- Jika masih alergi terhadap susu formula terhidroksilat sempurna dapat
diganti dengan susu kedelai
Rencana Evaluasi
- Pemantauan tumbuh kembang sang bayi
- Pemantauan gejala alergi susu sapi
- Pemantauan pertumbuhan (berat badan dan tinggi badan)
Edukasi
- Edukasi tentang pentingnya ASI exclusive
- Edukasi tentang tata cara pemberian ASI
- Edukasi tentang cara penyiapan susu didalam botol
- Edukasi tentang pentingnya mengontrol pertumbuhan dan perkembangan
anak
- Edukasi tentang pentingnya melengkapi imunisasi dasar bayi
7. PROGNOSIS
- Ad vitam : bonam
- Ad sanationam : bonam
- Ad functionam : bonam
26
ANALISIS KASUS
TEORI KASUS
Definisi
Penyakit yang berdasarkan reaksi Pasien mengonsumsi susu sapi sejak
imunologis yang timbul sebagai akibat umur 1 bulan.
pemberian susu sapi atau makanan yang
mengandung susu sapi dan reaksi ini
dapat terjadi segera atau lambat.
Epidemiologi
Insidens alergi susu sapi (ASS) Pasien berusia 3 bulan
bervariasi menurut usia, angka kejadian
ASS pada anak usia berusia di bawah 3
tahun.
Faktor risiko & Etiologi
Penyebab: protein pada susu sapi Protein pada susu sapi
27
ANAMNESIS
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum: Aktif, menangis
kuat, air mata keluar.
Kesadaran: compos mentis
TD: -
HR: 144x/m
RR: 39x/m
Suhu : 36 OC
Kepala : Mesosefal, wajah simetris
Leher : letak trakea ditengah,
deviasi (-), pembesaran KGB (-)
Mata : Konjungtiva anemis - / - ,
Sklera ikterik - / - , reflek cahaya
langsung +/+, reflek cahaya tidak
langsung + / +
Thorax : SDV +/+, Ronchi -/-,
wheezing -/-
Jantung : BJ I, II reguler,
murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, tidak terdapat
benjolan, BU (+), , supel, nyeri
tekan (-)
Anus dan genitalisa: tidak di
periksa
Ekstremitas : akral hangat, edema
(-), sianosis (-), CRT < 2 dekit,
bintik bintik merah pada kedua
lengan
Pemeriksaan neurologis
28
Kaku kuduk (-)
KESIMPULAN : Urtikaria e/c
Alergi Susu Sapi
-
-
Pemeriksaan penunjang
Hitung jenis Eosinofil -
Skin prick test
DBPCFC
Tata Laksana
Pencegahan Primer Lanjutkan ASI
Pencegahan Sekunder
Susu Formula Terhidroksilat
Pencegahan Tersier
Susu Formula Terhidroksilat Sempurna
Sempurna Susu Kedelai
Susu Kedelai
Pencegahan Tersier
Efek samping obat
Prognosis
Prognosis bayi dengan alergi susu sapi Ad vitam: Dubia
umumnya baik, dengan angka remisi 45- Ad sanactionam: Dubia ad malam
Ad fungsionam: Dubia
55% pada tahun pertama, 60-75% pada
tahun kedua dan 90% pada tahun ketiga.
Namun, terjadinya alergi terhadap
makanan lain juga meningkat hingga
50% terutama pada jenis: telur, kedelai,
kacang, sitrus, ikan dan sereal serta
alergi inhalan meningkat 50-80%
sebelum pubertas.
29
Kontrol poli anak RSUD RAA Soewondo Pati
30
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Protein susu sapi merupakan protein asing yang pertama kali dikenal oleh
bayi, sehingga ASS sering diderita pada bayi usia dini. Alergi susu sapi dapat
bermanifestasi berbagai macam penyakit alergi. Pencegahan terjadinya ASS harus
dilakukan sejak dini, saat sebelum terjadi sensitisasi terhadap protein susu sapi,
yaitu sejak intrauterin. Penghindaran harus dilakukan dengan pemberian susu sapi
hipoalergenik yaitu susu sapi yang dihidrolisis parsial untuk merangsang
timbulnya toleransi susu sapi di kemudian hari. Bila sudah terjadi sensitisasi
terhadap protein susu sapi atau sudah terjadi manifestasi penyakit alergi, maka
harus diberikan susu sapi yang dihidrolisis sempurna atau pengganti susu sapi
misalnya susu kacang kedele. Alergi susu sapi yang sering timbul dapat
memudahkan terjadinya alergi makanan lain di kemudian hari bila sudah terjadi
kerusakan saluran cerna yang menetap. Oleh karena itu tata laksana ASS yang
tepat sangat diperlukan untuk mencegah alergi.
3.2 Saran
Saran yang diberikan dalam makalah ini terkait dengan kasus adalah:
Pemberian ASI exclusive pada anak saat usia 0-6 bulan agar dapat
menghindari alergi susu sapi
Selalu memperhatikan cara pemberian ASI baik secara langsung atau
melalui ASI perah.
Memperhatikan tumbuh kembang anak agar tidak terjadi keterlambatan
Memperhatikan asupan gizi anak.
Memberikan imunisasi kepada anak sesuai bulan dan tepat waktu.
31
DAFTAR PUSTAKA
3. Hendarto, A & Pringgadini, K,. 2008. Bedah ASI. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI.
5. Sidi, P., dkk. 2010. Bahan bacaan manajemen laktasi, menuju persalinan
aman dan bayi baru lahir sehat. Jakarta: Perinasia Indonesia
32
7. Markum, A.H. 2002. Buku ajar ilmu kesehatan anak. Jilid 1. Jakarta:
Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia.
8. Roesli, Utami . 2005. Inisiasi Menyusu Dini plus ASI Eksklusif . Jakarta:
Pustaka Bunda.
9. Pudjiadi Solihin. 2001. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi Keempat.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
10. Abbas AK, Litchman AH, Pober JS. Disease caused by humoral and cell-
mediated immune reactions. Dalam: Cellular and Molecular Imunology.
Philadelphia: WB Saunders. 1991; 353
33
34