Anda di halaman 1dari 12

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3369/1/penydalam-srimaryani.

pdf

PENDAHULUAN
Tuberkulosis peritoneal atau peritonitis tuberkulosa merupakan suatu peradangan
peritoneum parietal atau visceral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, dan
terlihat penyakit ini juga sering mengenai seluruh peritoneum, alat-alat sistem gastrointestinal,
mesenterium dan organ genetalia interna.1 Penyakit peritonitis tuberkulosa ini bersifat akut, jarang
terjadi dan kalau muncul merupakan bagian dari bentuk milier yang mengikuti perforasi intestinal
atau ruptur kaseosa KGB mesenterial, sedangkan peritonitis tuberkulosis kronis awalnya disertai
asites yang sanguinus kemerahan dan pembesaran kelenjar mesenterial yang berlanjut menjadi
fibrin dan berkembang menjadi adhesi dan obliterasi rongga peritoneum, omentum menebal
membentuk masa transvers yang di kenal dengan “rolled up omentum”. Penyakit ini jarang berdiri
sendiri dan biasanya merupakan kelanjutan proses tuberkulosa di tempat lain terutama dari
tuberkulosa paru, namun sering ditemukan bahwa pada waktu diagnosa ditegakkan proses
tuberkulosa di paru sudah tidak kelihatan lagi. Hal ini bisa terjadi karena proses tuberkulosa di paru
mungkin sudah menyembuh terlebih dahulu sedangkan penyebaran masih berlangsung di tempat
lain.2
Di Negara yang sedang berkembang tuberculosis peritoneal masih sering dijumpai termasuk
di Indonesia, sedangkan di negara Amerika dan Negara Barat lainnya walaupun sudah jarang ada
kecendrungan meningkat dengan meningkatnya jumlah penderita AIDS dan Imigran. Karena
perjalanan penyakitnya yang berlangsung secara perlahan-lahan dan sering tanpa keluhan atau
gejala yang jelas maka diagnosa sering tidak terdiagnosa atau terlambat ditegakkan.3 Tidak jarang
penyakit ini mempunyai keluhan menyerupai penyakit lain seperti sirosis hati atau neoplasma
dengan gejala asites yang tidak terlalu menonjol. 2

ETIOLOGI (Scribd Fadli Hasbi)


Mycobacterium adalah bakteri berbentuk basil tahan asam, non-motil, bacil pleomorfik.
Umumnya mycobacterium ditemukan di habitat seperti air atau tanah. Namun, beberapa patogen
terdapat di intraselular dalam tubuh hewan dan manusia. Mycobacterium tuberkulosis bersamaa
dengan M. bovis, M. malfricanum, M. microti semuanya merupakan penyebab tuberkulosis.
Mycobacterium tuberkulosis merupakan bekteri bersifat aerob, parasit fakultatif
intraseluler. Bakteri ini tumbuh dalam bentuk paralel yang disebut cords. Mycobacterium
tuberculosis adalah aerob, non-spora, non-motil, fakultatif, intraseluler, batang melengkung
berukuran 0,5-3 µm. Dinding sel mengandung mycolic, asam-kaya, glycolipids rantai panjang dan
phospholipoglycans (mycocides) yang melindungi mycobacterium dari serangan sel lisosomal dan
juga mempertahankan pewarna fuchsin merah dasar setelah bilasan asam (acid-fast stain). Manusia
merupakan reservoir untuk Mycobacterium tuberculosis. Organisme ini menyebar terutama sebagai
aerosol udara dari yang terinfeksi kepada individu yang belum terinfeksi.

INSIDENSI
Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan
perbandingan 1,5:1 dan lebih sering decade ke 3 dan 4.4,5 Risiko meningkat pada pasien dengan
sirosis, infeksi HIV, diabetes melitus, keganasan, setelah pengobatan dengan anti-tumor necrosis
factor (TNF) agen, dan pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal rawat jalan rutin. Tuberkulosis
peritoneal dijumpai 2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis Abdominal.5 Di
Amerika Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara penyakit extra paru sedangkan
peneliti lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB
paru yang aktif.6,7 Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju
semakin meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di negara maju.1

PATOGENESIS
Ketika droplet nuklei terhirup, akan disimpan dalam terminal airspaces paru-paru.
Organisme ini tumbuh selama 2-12 minggu, sampai mencapai 1000-10000 dalam jumlah yang cukup
untuk mendapatkan respon imun seluler yang dapat dideteksi oleh reaksi terhadap tes kulit
tuberkulin. Infeksi paparan aerosol menginfeksi paru-paru atau selaput lendir. Pada individu
imunokompeten, ini biasanya menghasilkan laten/infeksi aktif, hanya sekitar 5% dari orang-orang ini
kemudian menunjukkan bukti klinis. Perubahan dalam sistem kekebalan tubuh host yang
menyebabkan efektivitas kekebalan tubuh menurun dapat memungkinkan Mycobacterium
tuberculosis untuk aktif kembali, dengan penyakit tuberculosis dihasilkan dari kombinasi efek
langsung dari penularan organisme atau dari replikasi dan selanjutnya respon host yang tidak kebal
terhadap antigen tuberculosis.
Mycobacterium sangat antigenik, antigenitas Mycobacterium disebabkan karena banyak
konstituen dinding sel, termasuk glikoprotein, fosfolipid dan wax D yang mengaktifkan sel-sel
Langerhans, limfosit, dan leukosit PMN. Karena kemampuan M. tuberculosis untuk bertahan hidup
dan berkembang biak dalam fagosit mononuklear yang menelan bakteri, sehingga M. tuberculosis
dapat menyerang getah bening lokal dan menyebar extrapulmonal, seperti sumsum tulang, hati,
limpa, ginjal, tulang dan otak, yang biasanya menyebar secara hematogen. Infeksi dapat dilawan
oleh sistim kekebalan tubuh host atau ditekan menjadi bentuk yang tidak aktif yang disebut dengan
infeksi laten tuberculosis dengan host tahan pengendalian pertumbuhan Mycobacterium di fokus
jauh sebelum perkambangan penyakit aktif. Pasien dengan keadaan infeksi laten tidak dapat
menyebarkan penyakit. Meskipun Mycobacterium yang disebarkan oleh darah ke seluruh tubuh
selama infeksi awal, penyakit paru primer jarang terjadi kecuali pada host yang
immunocompromised. Pasien dengan imunosupresi tidak mampu mengontrol pertumbuhan
Mycobacterium dan dapat menyebar ke seluruh tubuh (primer miliaria). Pasien yang menjadi
immunocompromised setelah infeksi primer juga dapat berkembang menjadi tuberkulosis aktif.
Paru-paru adalah tempat yang paling umum untuk berkembangnya tuberkulosis, sekitar 85%
dari pasien tuberkulosis datang dengan keluhan paru. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi
sebagai bagian dari infeksi umum primer atau terlambat. Organ lain selain paru juga dapat berfungsi
sebagai situs reaktivasi. Penyebab utama kerusakan jaringan karena infeksi M. tuberculosis
berhubungan dengan kemampuan organisme untuk menstimulasi reaksi host intens kebal terhadap
protein dinding sel antigenik. Terdapat 4 faktor yang berkontribusi terhadap kemungkinan transmisi,
antara lain :
1. Jumlah organisme yang dikeluarkan
2. Konsentrasi organisme
3. Lama waktu paparan terkontaminasi udara
4. Status kekebalan individu yang terinfeksi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Bila material
infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila terjadi penyebaran infeksi dapat timbul
peritonitis. Akitivasi peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik, intestinal juga dapat menjadi
atoni dan dilatasi. Kehilangan cairan dan elektrolit ke intraluminal mengakibatkan dehidrasi, syok,
gangguan sirkulasi, dan oliguri. Peritonitis menyebabkan penurunan aktivitas fibrinolitik
intraabdomen (meningkatkan aktivitas inhibitor aktivator plasminogen) dan sekuestrasi fibrin
dengan adanya pembentukan jejaring pengikat. Produksi eksudat fibrin merupakan mekanisme
terpenting dari sistim pertahanan tubuh, dengan cara ini bakteri akan banyak terikat di antara
matriks fibrin. Pembentukan abses pada peritonitis pada prinsipnya merupakan mekanisme tubuh
yang melibatkan substansi pembentuk abses dan bakteri itu sendiri untuk menciptakan kondisi
abdomen yang steril. Pada keadaan jumlah bakteri yang sudah sangat banyak, tubuh sudah tidak
mampu mengeliminasi bakteri dan berusaha mengendalikan penyebaran bakteri dengan
membentuk abses. Masuknya bakteri dalam jumlah besar bisa berasal dari berbagai sumber, yang
paling sering adalah kontaminasi bakteri transien akibat penyakit viseral atau intervensi bedah yang
merusak abdomen. Selain jumlah bakteri transien yang terlalu banyak di dalam rongga abdomen,
peritonitis juga terjadi karena virulensi bakteri yang tinggi hingga mengganggu proses fagositosis dan
pembunuhan bakteri dengan neutrofil.
Fokus ileoceccal atau focus lainnya pada tuberculosis intestinal jarang menyebabkan peritonitis
difus. Penyebab paling umum adalah lanjutan dari tuberkulosis caseosa node mesenterika, yang
biasanya terjadi karena penyebaran hematogen dari fokus utama di paru-paru. Peritoneum dapat
dikenai oleh tuberculosis melalui beberapa cara 8 :
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
3. Dari kelenjar limfe mesenterium
4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat penyebaran
perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada peritoneum yang
diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (infeksi laten “Dorman
infection”).2 Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami supresi dan menyembuh. Infeksi
masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten selama hidup namun infeksi tadi bisa
berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat, jika organisme intrasseluler tadi mulai
bermutiplikasi secara cepat.2

PATOLOGI
Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa. 2,3
1. Bentuk eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang banyak, gejala
menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites). Pada bentuk ini perlengketan
tidak banyak dijumpai. Tuberkel sering dijumpai kecil-kecil berwarna putih kekuning-
kuningan milier, nampak tersebar di peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di
rongga peritoneum. Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel yang lebih
besar sampai sebesar kacang tanah. Disekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum
berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat terbentuk cukup banyak, menutupi
tuberkel dan peritoneum sehingga merubah dinding perut menjadi tegang. Cairan asites
kadang-kadang bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan
kemungkinan adanya keganasan. Omentum dapat terkena sehingga terjadi penebalan dan
teraba seperti benjolan tumor.
2. Bentuk adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak dibentuk. Pada
jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan. Perlengketan yang luas antara usus dan
peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor, kadang-kadang terbentuk fistel.
Hal ini disebabkan karena adanya perlengketan. Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini
disebabkan karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parietal kemudian timbul
proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan ileus obstruksi. Tuberkel-tuberkel
biasanya lebih besar.
3. Bentuk campuran
Bentuk ini kadang-kadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi melalui proses
eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk cairan dalam kantong-kantong
perlengketan tersebut. Beberapa penulis menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat
untuk melihat tingkat penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk exudatif dan kemudian
bentuk adhesif.2 Pemberian hispatologi jaringan biopsi peritoneum akan memperlihatkan
jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel dan sel datia langerhans, dan
pengkejuan umumnya ditemukan.2,8

GEJALA KLINIS
Gejala klinis bervariasi, pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-lahan sampai
berbulan-bulan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Pada penelitian yang dilakukan di
Rumah Sakit Dr.Cipto Mangunkusumo lama keluhan berkisar dari 2 minggu s/d 2 tahun dengan rata-
rata lebih dari 16 minggu.1,2,9 Keluhan terjadi secara perlahan-lahan sampai berbulan-bulan disertai
nyeri perut, pembengkakan perut, disusul tidak nafsu makan, batuk dan demam.1,2,10,11,12,13 Pada
yang tipe plastik sakit perut lebih terasa dan muncul manisfestasi seperti sub obstruksi.2
Pada pemeriksaan jasmani gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya keluhan. Keadaan
umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan kahexia (penurunan berat badan
yang progresif, anorexia) , pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses
tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa ditemukan tanda-tanda
peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovari. 1,2
Gejala yang lebih rinci dapat dilihat dibawah ini :
Gejala Presentase
Pembengkakan perut dan nyeri 51%
Asites 43%
Hepatomegali 43%
Ronchi pada paru (kanan) 33%
Pleura effusi 27%
Splenomegali 30%
Tumor Intra abdomen 20%
Fenomena papan catur 13%
Limfadenopati 13%
Terlibatnya paru & Pleura 63%
(atas dasar foto torax)

DIAGNOSIS
Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin sering dijumpai adanya anemia penyakit kronis, leukositosis ringan
ataupun leukopenia, trombositosis, gangguan faal hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED)
yang meningkat, sedangkan pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya sering negatif.2,10 Pada
pemeriksaan analisa cairan asites umumnya memperlihatkan exudat dengan protein > 3 gr/dl jumlah
sel diatas 100-3000 sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adalah limfosit biasanya meningkat.9,11 Cairan
asites yang perulen dapat ditemukan begitu juga cairan asites yang bercampur darah
(serosanguinous).
Pemeriksaan basil tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5% yang positif dan
dengan kultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif.13 Ada beberapa peneliti yang
mendapatkan hampir 66% kultur BTAnya yang positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila
menggunakan kultur cairan asites yang telah disetrifuge dengan jumlah cairan lebih dari 1 liter, dan
hasil kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8 minggu.3,11 Perbandingan serum asites
albumin (SAAG) pada tuberculosis peritoneal ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa
dijumpai pada keadaan keganasan, sindroma nefrotik, penyakit pankreas, kandung empedu atau
jaringan ikat sedangkan bila ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan cairan asites akibat portal
hipertensi.13 Perbandingan glukosa cairan asites dengan darah pada tuberculosis peritoneal <0,96,
sedangkan pada asites dengan penyebab lain rationya >0,96.1 Penurunan PH cairan asites dan
peningkatan kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai signifikan
berbeda dengan cairan asites pada sirosis hati yang steril, namun pemeriksaan PH dan kadar laktat
cairan asites ini kurang spesifik dan belum merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai
pada kasus asites oleh karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.4 Pemeriksaan cairan
asites lain yang sangat membantu, cepat dan non invasive adalah pemeriksaan ADA (adenosin
deminase actifity), interferon gama (IFNϒ) dan PCR. Dengan kadar ADA > 33 u/l mempunyai
Sensitifitas 100%, spesifitas 95%, dan dengan Cutt off > 33 u/l mengurangi false positif dari sirosis
hati atau keganasan.3,7,9 Pada sirosis hati konsentrasi ADA signifikan lebih rendah dari tuberculosis
peritoneal (14 ± 10,6 u/l). Hafta A dkk dalam suatu penelitian yang membandingkan konsentrasi ADA
terhadap pasien tuberculosis peritoneal, tuberculosis peritoneal bersamaan dengan sirosis hati dan
pasien-pasien yang hanya sirosis hati. Mereka mendapatkan nilai ADA 131,1 ± 38,1 u/l pada pasien
tuberculosis peritoneal, 29 ± 18,6 u/l pada pasien tuberculosis dengan sirosis hati dan 12,9 ± 7 u/l
pada pasien yang hanya mempunyai sirosis hati, sedangkan pada pasien dengan konsentrasi protein
yang rendah dijumpai Nilai ADA yang sangat rendah sehingga mereka menyimpulkan pada
konsentrasi asites dengan protein yang rendah nilai ADA dapat menjadi false negatif.6 Untuk itu
pemeriksaan Gama interferon (INFϒ) adalah lebih baik walaupun nilainya adalah sama dengan
pemeriksaan ADA, sedangkan pada pemeriksaan PCR hasilnya lebih rendah lagi dibandingkan
dengan kedua pemeriksaan tersebut.16 Fathy ME melaporkan angka sensitifitas untuk pemeriksaan
tuberculosis peritoneal terhadap Gama interferon adalah 90,9 % , ADA : 18,8% dan PCR 36,3%
dengan masing-masing spesifitas 100%.16 Peneliti lain yang meneliti kadar ADA adalah Bargava.
Bargava dkk melakukan penelitian terhadap kadar ADA pada cairan asites dan serum penderita
peritoneal tuberculosis. Kadar ADA >36 u/l pada cairan asites dan >54 u/l pada serum mendukung
suatu diagnosis tuberculosis peritoneal. Perbandingan cairan asites dan serum (asscitic / serum ADA
ratio) lebih tingggi pada tuberculosis peritoneal dari pada kasus lain seperti sirosis, sirosis dengan
spontaneous bacterial peritonitis.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam rongga
peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong). Menurut Rama & Walter B,
gambaran sonografi tuberculosis yang sering dijumpai antara lain cairan yang bebas atau
terlokalisasi dalam rongga abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan
pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium, perlengketan lumen
usus dan penebalan omentum.1
B. CT Scan :
Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui suatu gambaran yang
khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran peritoneum yang berpasir dan untuk
pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan dengan adanya gejala klinik dari tuberculosis peritoneal.
Rodriguez E dkk yang melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberculosis peritoneal
dengan karsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat gambaran CT Scan terhadap
peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang licin dengan penebalan yang minimal dan
pembesaran yang jelas menunjukkan suatu peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang
tertanam dan penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal karsinoma.

C. Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah dan terbaik untuk
mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan asites dan sangat berguna untuk
mendapat diagnosa pada pasien dengan gejala sakit perut yang tak jelas penyebabnya dan cara ini
dapat mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95%, dan dengan direct biopsy dapat
dilakukukan pemeriksaan histologi dan bisa menemukan adanya gambaran granuloma sebesar 85%
hingga 90% dari seluruh kasus dan bila dilakukan kultur bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histologi
yang lebih penting lagi adalah bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu jika didapati
granuloma dengan pengkejuan. Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal :
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai tersebar luas
pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai permukaan hati atau alat lain
tuberkel dapat bergabung dan merupakan sebagai nodul.
2. Perlengketan yang dapat bervariasi dari adhesi yang sederhana sampai yang luas diantara
organ-organ didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak anatomi yang
normal. Permukaan hepar dapat melengket pada dinding peritoneum dan sulit untuk
dikenali. Perlengketan diantara usus mesenterium dan peritoneum dapat sangat ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat kasar yang
kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan asites sering dijumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan tidak jernih lagi
tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat dijumpai.
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara direct atau pada jaringan lain yang diduga
mengalami abnormalitas dengan menggunakan alat biopsi khusus sekaligus cairan dapat
dikeluarkan. Walupun pada umumnya gambaran laparoskopi peritonitis tuberculosis dapat dikenal
dengan mudah, namun gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti peritonitis
karsinomatosis, karena itu biopsi harus selalu diusahakan dan pengobatan sebaiknya diberikan jika
hasil pemeriksaan patologi anatomi mendukung diagnosis suatu peritonitis tuberkulosa.
D. Laparatomi
Dahulu laparotomi eksplorasi merupakan tindakan diagnosa yangs sering dilakukan, namun
saat ini banyak ahli bedah yang menganggap pembedahan hanya dilakukan jika dengan cara yang
lebih sederhana tidak meberikan kepastian diagnosa atau jika dijumpai indikasi yang mendesak
seperti obstruksi usus, perforasi, adanya cairan asites yang bernanah.

PENGOBATAN
Pada dasarnya pengobatan peritonitis tuberculosa sama dengan pengobatan tuberculosis
paru, obat-obat seperti streptomisin, INH, Etambutol, Ripamficin dan pirazinamid memberikan hasil
yang baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan
biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih. Beberapa penulis berpendapat
bahwa kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya
asites, dan juga terbukti bahwa kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan kematian,
namun pemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana terjadi resistensi
terhadap Mikobakterium tuberculosis. Alrajhi dkk yang mengadakan penelitian secara retrospektif
terhadap 35 pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan bahwa pemberian kortikosteroid
sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi sakit perut dan sumbatan pada usus.
Penatalaksanaan tuberkulosis dibagi menjadi 2 kategori. Kategori I diberikan untuk pasien
baru : 2RHZE/4R3H3. Kategori II diberikan untuk pasien kambuh dan gagal pengobatan dengan
kategori I : 2 RHZES/RHZE/5R3H3E3.

KOMPLIKASI
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder dimana komplikasi
tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu :
a. Komplikasi dini
 Septikemia dan syok sepsis
 Syok hipovolemik
 Sepsis intraabdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan multisistem
b. Komplikasi lanjut
 Adhesi
 Obstruksi intestinal rekuren
PROGNOSIS
Peritonitis tuberkulosa jika dapat ditegakkan segera diagnosisnya dan mendapat pengobatan
segera yang efektif dan tuntas umumnya akan sembuh dengan pengobatan yang adequate. Faktor-
faktor yang mempengaruhi prognosis adalah umur, fekal peritonitis, asidosis metabolik, tekanan
darah, kegagalan organ pra-operasi, albumin serum.17

Kesimpulan
1. Tuberkulosis peritoneal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa ditempat lain
2. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering diagnosa
terlambat baru diketahui.
3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya dapat
membantu menegakkan diagnosa
4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan sembuh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit
dalam Jakarta Balai penerbit FKUI, 1996: 403-6.
2. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N,
Rani A Buku ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 1990: 456-61.
3. Ahmad M. Tuberkulosis peritonitis : fatality associated with delayed diagnosis.
South Med J 1999:92:406-408.
4. Sandikci MU,Colacoglus,ergun Y.Presentation and role of peritonoscopy and
diagnosis of tuberculous peritonitis. J Gastroenterol hepato 1992;7:298-301.
5. Manohar A,SimjeeAE,Haffejee AA,Pettengell E.Symtoms and investigative findings
in year period.Gut,1990;31:1130-2.
6. Marshall JB.Tuberculosis of the gastrointestinal tract and peritoneum,AMJ
Gastroenterol 1993;88:989-99.
7. Sibuea WH,Noer S,Saragih JB,NapitupuluJB.Peritonitis tuberculosa di RS DGI
Tjikini (abstrak) KOPAPDI IV Medan; 1978:131.
8. Spiro HM. Peritoneal tuberculosis : clinical gastroenterologi 4 th ed New York ; Mc
Graw hill INC 1993 : 551-2.
9. Sulaiman A. Peritonisis tuberculosa dalam : Hadi S, Thahir G, Daldiyono,Rani
A,Akbar N. Endoskopi dalam bidang Gastroentero Hepatologi Jakarta : PEGI
1980:265-70.
10. Small Pm,Seller UM. Abdominal tuberculosis in : Strickland GT ed Hunters tropical
medicine and emerging infection disease. 8th Philadelpia : WB Sounders Company
2000 : 503-4.
11. Mc Quid KR,Tuiberculous peritonitis in : Tierny LM,Mc Phee SJ,Papadakis MA.
Current medical diagnosis & treatment 38 th London Prentice hall Internastional
1999 : 561-62.
12. Lyche KD.Miscelaneous disease of the peritoneum & mesentery in : Grendell
Jh,Mc Quaid KR, Friedman sl ed Current diagnosis & treatment Gastroenterologi
New York : Prentice Hall international 1996 : 144-5.
13. Lombrana S,Vega dl, Linares et al.Tuberculous peritonitis ; Diagnostic value of
ascitic flid PH and lactat. Scandinavian Journal Gastroenterology,1995;30:87-91.
14. Voight,Kalvaria I,Trey C, Berman P. Lombard C, Kirsdi PE, Diagnostic value of
ascitites adenosin deaminase in tuberculous peritonitis Lancet 1989; 1:751-4.
15. Hafta A Adenosin deaminase activity in the diagnosis of peritoneal tuberculosis
with cirrhosis http://wwwcu.edu.tr/fakulteler/tf/tfd/97-2-9.htm.
16. Fathy EM, EL Salam FA,Lashin AH et al A Comparative study of different
procedures for diagnosis of tuberculous ascites: http:member,tripod.
Com/ejimunology/prviuous/jan 99/jan99-9.htm.
17. http://emedicine.medscape.com/article/230802-overview.

Anda mungkin juga menyukai