Anda di halaman 1dari 23

Perdamaian Dunia: Implementasi Politik Luar Negeri Indonesia dalam

Menjaga Perdamaian Dunia


Oleh :

Arif Nugraha

Abstrak

Pasca Perang Dunia I Perang Dunia II dan Perang Dingin, perdamaian


masih belum terwujud di seluruh negara di dunia. Masih banyak konflik yang
terjadi di dunia contohnya, Israel-Palestina, Laut Cina Selatan, Konflik Nuklir
Korea Utara, gerakan separatis di kawasan Timur Tengah dll. Apabila hal ini
dibiarkan akan menimbulkan perang dalam skala yang lebih besar yang akan
memakan banyak korban dan menurunnya tingkat kepercayaan antar negara di
dunia. Sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia memiliki
peranan penting dalam menjaga perdamaian dunia, hal ini dapat dilihat dari
kontribusi Indonesia sebagai negara penyumbang personel misi pemelihara
perdamaian PBB terbesar ke 12 dari 122 negara dengan 2764 personel. Selain
kontribusi militer strategi Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia dapat dilihat
dari kedutaannya. Dari kedutaan-kedutaan tersebut, tercermin bahwa Indonesia
tidak mengklasifikasikan keistimewaan tertentu bagi masing-masing perwakilan
negaranya di luar. Dengan adanya kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri itu
pula, sebenarnya Indonesia memiliki kesempatan untuk bisa ikut berperan dalam
mewujudkan perdamaian dunia. Disamping itu politik Indonesia yang bebas aktif
memiliki arti, bebas yaitu untuk menentukan sikap dan kebijaksanaan terhadap
permasalahan internasional, dan tidak mengikatkan diri secara apriori pada satu
kekuatan dunia. Selain itu, sebuah negara juga memiliki kesempatan untuk turut
aktif memberikan sumbangan, baik dalam bentuk pemikiran maupun partisipasi
aktif dalam menyelesaikan konflik, sengketa dan permasalahan dunia lainnya, demi
terwujudnya ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi
dan keadilan sosial.

Kata Kunci : Perdamaian, Politik Luar Negeri, Indonesia


A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Berakhirnya Perang Dunia II tidak menjamin akan perdamaian dunia,


karena setelah Perang Dunia II terjadi perebutan kekuasaan diantara para pemenang
perang, Amerika Serika dengan Uni Soviet. Kejadian tersebut biasa disebut Perang
Dingin.

Istilah “Perang Dingin” diperkenalkan pada tahun 1947 oleh Bernard


Baruch dan Walter Lippman dari Amerika Serikat untuk menggambarkan
hubungan yang terjadi di antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Seperti yang
duniabaca.com pelajari dari wikipedia, Perang Dingin (1947-1991) adalah sebutan
bagi sebuah periode di mana terjadi konflik, ketegangan, dan kompetisi antara
Amerika Serikat (beserta sekutunya disebut Blok Barat) dan Uni Soviet (beserta
sekutunya disebut Blok Timur) yang terjadi antara tahun 1947—1991. Persaingan
keduanya terjadi di berbagai bidang: koalisi militer; ideologi, psikologi, dan tilik
sandi; militer, industri, dan pengembangan teknologi; pertahanan; perlombaan
nuklir dan persenjataan; dan banyak lagi. Ditakutkan bahwa perang ini akan
berakhir dengan perang nuklir, yang akhirnya tidak terjadi1

Secara tidak langsung, akhir dari Perang Dunia II telah melahirkan dua
kekuatan besar dunia yaitu negara yang dianggap paling dominan dan memiliki
andil yang besar bagi kemenangan blok sekutu di Perang Dunia II, yaitu Amerika
Serikat dan Uni Soviet. Perang Dingin sendiri merupakan perang yang terjadi
selama 45 tahun dengan tensi yang sangat tinggi di antara dua
negara superpower tetapi mereka tidak terlibat konflik militer secara langsung
(Carruthers 2001, 61) sehingga Perang Dingin disebut jugaPsy War atau Perang
Urat Syaraf dimana dua kekuatan itu tidak saling berhadapan langsung melainkan
berada di belakang negara-negara yang berkonflik sebagai contoh ketika terjadi
Perang Korea, Korea Selatan didukung oleh AS sedangakan Korea Utara didukung

1
;http://duniabaca.com/faktor-penyebab-terjadinya-perang-dingin.html diakses pada 12
September 2016
oleh Uni Soviet atau ketika terjadi insiden Teluk Babi dan konflik di Afghanistan,
kedua negara tersebut berusaha untuk meraih kemenangan lewat negara yang
didukungnya2. Ada nya 2 blok yang di akibatkan oleh Perang Dingin, menjadi
landasan politik luar negeri Indonesia.

Politik luar negeri Indonesia memiliki landasan yang membaginya ke dalam


tiga kategori, yaitu landasan idiil, landasan konstitutsional, dan landasan
operasional. Landasan idiil politik luar negeri Indonesia, yaitu Pancasila. Pancasila
dikenal sebagai dasar negara bangsa Indonesia yang terdiri dari lima sila. Kelima
sila tersebut menjelaskan mengenai pedoman dasar bagi pelaksanaan kehidupan
berbangsa dan bernegara yang ideal dan mencakup seluruh sendi kehidupan
manusia 3.

Landasan konstitusional politik luar negeri Indonesia, yaitu Undang-


Undang Dasar 1945. Dalam UUD 1945 ini mengandung pasal-pasal yang mengatur
kehidupan berbangsa dan bernegara, serta menjelaskan mengenai garis-garis besar
dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Terdapatnya hal semacam ini berfungsi
sebagai dalam pelaksanaan untuk mencapai kepentingan nasional Indonesia4.
Sedangkan, landasan operasionalnya, yaitu bebas aktif. Pada pelaksanaan landasan
operasional ini mengalami perubahan karena menyesuaikan dengan kepentingan
nasional yang ingin dicapai. Selain itu, landasan operasional juga mengalami
perluasan makna karena politik luar negeri Indonesia yang mengalami
perkembangan selama enam dekade 5. Implementasi dari politik luar negeri
Indonesia yang bebas aktif adalah tidak memilih antara Blok Barat maupun Blok
Timur.

Tidak memilih di antara kedua blok tersebut menyebabkan pilihan dalam


politik luar negeri Indonesia itu bebas dan aktif. Bebas dalam artian ini, yaitu tidak
berpihak pada blok-blok yang ada dengan bersikap netral dan memiliki cara

2
Carruthers, Susan L., (2001) “International History 1900-1945,” in Baylis, John & Smith, Steve
(eds.), The Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press, pp. 51-73.
3
Alami, Atiqah Nur, 2008. ”Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam Ganewati
Wuryandari (ed.), 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik Domestik. Jakarta:
P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, hlm. 28
4
Alami Atiqah Nur, hlm 28
5
Alami Atiqah Nur, hlm 29
tersendiri dalam mengatasi persoalan internasional. Namun, dalam hal ini Indonesia
tidak dapat dikatakan sebagai negara yang netral posisinya. Sikap netral yang
dimaksud ini adalah sikap netral yang anti sosial, namun sikap ini tidak sesuai
dengan yang dilakukan Indonesia karena Indonesia menjadi anggota PBB6. Hal ini
kemudian ditegaskan oleh Hatta karena Indonesia tidak dihadapkan pada suatu
pilihan dalam hubungan negara-negara yang sedang berperang, melainkan
Indonesia mengambil sikap tersebut untuk memperkokoh dan memperjuangkan
perdamaian7. Sedangkan, aktif dalam artiannya menjelaskan mengenai adanya
partisipasi Indonesia dalam menjaga perdamaian dan meredakan ketegangan yang
terjadi diantara kedua blok tersebut. Politik luar negeri Indonesia yang berdasarkan
prinsip bebas aktif ini juga tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945 alinea keempat. Dalam alinea tersebut dijelaskan bahwa Indonesia menentang
segala bentuk penjajahan dan ikut melaksanakan ketertiban dunia8.

Dari uraian yang telah disampaikan, dalam tulisan ini penulis berusaha
untuk menganalisa bagaimana implementasi politik luar negeri bebas aktif
Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia dengan pendekatan power. Dalam
menganalisa dari permasalahan tersebut, penulis akan menggunakan Hard Power
dan Soft Power.

6
Hatta, Mohammad, 1953, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta, Tintamas, hlm.
12
7
Alami hlm 43-44
8
Alami hlm 44-45
2. Kerangka Teoritis

A. Power

Power merupakan kata kunci yang paling sering ditemukan di dalam


studi hubungan internasional. Power digunakan sebagai konsep yang
dikenal dengan kekuasaan politik (power politics). Power berbagi peran
dengan konsep ‘negara’ sejak lahirnya disiplin ilmu hubungan internasional
dan dianggap sebagai konsep dasar dari hubungan internasional9. Tujuan
suatu negara dan power tidak dapat dipisahkan.Dengan kata lain, tujuan dari
setiap aktor (negara) adalah power10. Arnold Schwarzenberger melihat
bahwa power merupakan salah satu faktor utama dalam hubungan
internasional. Menurutnya negara-negara dalam suatu sistem internasional
akan melakukan apa yang mereka ingin kuasai secara fisik daripada apa
yang seharusnya mereka lakukan secara moral11. Hal tersebut seperti yang
dikatakan oleh Thucydides di dalam karyanya yang berjudul “The
Peloponnesian War” yang menyatakan bahwa di dalam hubungan
internasional, “might makes right”12.

Akan tetapi, power bukanlah sesuatu yang bersifat destruktif, liar,


dan statis. Power merupakan perpaduan antara pengaruh persuasif dan
kekuatan koersif13. Menurut Richard Ned Lebow dalam karyanya yang
berjudul “The Long Peace, The End of the Cold War, and the Failure of
Realism” mengartikan power sebagai fungsi dari jumlah penduduk,
teritorial, kapabilitas ekonomi, kekuatan militer, stabilitas politik dan
kepiawaian diplomasi internasional14. Power suatu negara tidak hanya

9
Scott Burchil dan Andrew Linklater, (1996), Teori-Teori Hubungan Internasional, Bandung: Nusa
Media, hlm. 242.
10
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani, (2005), Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 13.
11
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani hlm 13
12
Baylis, Wirtz, Cohen dan S. Gray, (2002), Strategy in the Contemporary World: An Introduction
to Strategic Studies, New York: Oxford, hlm. 7.
13
Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani hlm 13
14
Richard Ned Lebow, (1994), Long Peace, The End of the Cold War, and the Failure of Realism,
International Organization. Vol.48. No.2, hlm. 249-277. Dalam Anak Agung Banyu Perwita dan
Yanyan Mochamad Yani, (2005), Pengantar Ilmu Hubungan Internasional, Bandung: Remaja
Rosdakarya, hlm. 13.
mencakup kekuatan militer melainkan tingkat teknologi yang dikuasai,
sumber daya alam, bentuk pemerintahan dan kepemimpinan politik dan
ideologi.

Terdapat beberapa definisi mengenai power. Robert A. Dahl dalam


karyanya yang berjudul, “Modern Political Analysis” mendefinisikan power
sebagai, “the ability to get another actor to do what it would not otherwise
have done (or not to do what it would have done)15. Robert A. Dahl
mendefinisikan power sebagai kemampuan untukmembuat aktor lain
bertindak apa yang tidak diinginkannya (atau tidak bertindak apa yang
diinginkannya). Sehingga, jika aktor mendapatkan apa yang ia inginkan,
maka ia harus memiliki kekuatan (powerful).

Selain itu, Bruce Russett, Harvey Starr, David Kinsella dalam


bukunya yang berjudul “World Politics The Menu for Choice” mengartikan
power sebagai, “the ability to have an impact on the behavior of other actors
– to affect the opportunities available to others and their willingness to
choose particular courses of action16. Mereka mengartikan power sebagai
Kemampuan untuk memberikan dampak terhadap perilaku aktor-aktor lain,
atau power sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kesempatan yang
tersedia bagi orang lain dan kemauan mereka untuk memilih perilaku
tertentu dari suatu tindakan. Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan dalam
buku “International Relations: The Key Concepts mendefinisikan power
sebagai, “state’s ability to control, or at least influence, other states or the
outcome of events”17.

Martin Grffiths dan Terry O’Callaghan mengartikan power sebagai


kemampuan negara untuk mengontrol, atau setidaknya mempengaruhi,
negara lain. Selain itu, Martin dan Terry mengartikan power sebagai, “a

15
Dahl, Robert A., (1970), Modern Political Analysis, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall, 2
ed. Dalam Joshua S. Goldstein, (2004), International Relations, Washington, D. C.: American
University, hlm. 73.
16
Bruce Russett, Harvey Starr, David Kinsella, (2010), World Politics The Menu for Choice,
Wadsworth: Cengange Learning, hlm. 106.
17
Martin Griffiths & Terry O’Callaghan, (2002), International Relations: The Key Concepts,
London:Routledge, hlm. 253.
capacity of action”18. Mereka pun menyatakan bahwa, power, like money,
is instrumental, to be used primarily to achieving or defending other goals,
which could include prestige, territory, or security”19. Mereka menyatakan
power, seperti uang, merupakan instrumen, yang digunakan mendapatkan
atau mempertahankan tujuan, dimana termasuk harga diri, wilayah, dan
keamanan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka negara dapat
menggunakan pengaruh, persuasi atau memberikan reward ancaman, dan
penggunaan kekuatan (use of force).

Joshua S. Goldstein di dalam bukunya yang berjudul “International


Relations” mendefinisikan power sebagai, “the ability to influence the
behavior of others. Military force and economic sanctions are among the
various means states use to try to influence each other”20. Joshua S.
Goldstein mendefinisikan power sebagai kemampuan untuk mempengaruhi
perilaku lain (aktor). Kekuatan militer dan sanksi ekonomi merupakan
pilihan yang digunakan negara untuk mencoba mempengaruhi aktor lain.

Daniel S. Papp di dalam bukunya yang berjudul “Contemporary


International Relations: Framework for Understanding” mendefinisikan
power sebagai, “the ability of any actor to persuade, influence, force, or
otherwise induce another actor to undertake an action or change an objective
that the latter would otherwise prefer not to do”21. Daniel S. Papp
mendefinisikan power sebagai kemampuan dari aktor untuk melakukan
persuasi, pengaruh, paksaan, atau mendorong aktor lain untuk melakukan
suatu tindakan atau mengubah suatu tujuan yang seharusnya tidak lakukan
(oleh actor tersebut).

Dari definisi-definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa power


merupakan kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi atau mengontrol
negara lain untuk mendapatkan atau mempertahankan tujuan negara

18
Martin Griffiths & Terry O’Callaghan hlm 253
19
Martin Griffiths & Terry O’Callaghan hlm 253
20
Joshua S. Goldstein, (2004), International Relations, Washington, D. C.: American University,
hlm. 73.
21
Daniel S. Papp, (1984), Contemporary International Relations: Framework for Understanding,
New York: Macmillan Publishing Company, hlm. 355.
(kepentingan nasional) yaitu harga diri (prestige), wilayah, dan keamanan;
menggunakan pengaruh, persuasi, memberikan reward, ancaman, dan
penggunaan kekerasan (use of force) melalui kekuatan militer dansanksi
ekonomi sehingga membuat negara lain bertindak apa yang tidak
diinginkannya.

B. Hard Power & Soft Power

Hard Power

Di dalam power politics terdapat dua jenis power yaitu hard power
dan soft power. Dari definisi mengenai power di atas, secara implisit telah
menjelaskan mengenai penggunaan power oleh suatu aktor terhadap aktor
lain. Adapun penggunaan hard power tersebut seperti paksaan dan sanksi.
Namun untuk lebih mengetahui mengenai hard power, berikut merupakan
definisi-definisi mengenai hard power.

Joseph S. Nye dalam artikel yang berjudul “Get Smart: Combining


Hard and Soft Power” secara singkat mendefinisikan hard power sebagai,
“the use of coercion and payment.”22. Selain itu, Ikram Sehgal dalam artikel
yang berjudul “Power: Hard, Soft and Smart” mengartikan penggunaan hard
power seperti, “power politics, force, and violence.”23. Menurut Ikram
adapun penggunaan hal-hal tersebut mengacu pada kekuatan militer yang
dimiliki suatu negara.

Sedangkan penggunaan hard power menurut Christian Wagner


dalam karyanya yang berjudul “From Hard Power to Soft Power? Ideas,
Interaction, Institutions, and Images in India’s South Asia Policy” seperti,
“military intervention, coercive diplomacy, and economic sanctions.”24.

22
Foreignaffairs, (2009, Juli/Agustus), “Get Smart: Combining Hard and Soft Power,”
http://www.foreignaffairs.com/articles/65163/joseph-s-nye-jr/get-smart di akses pada 12
September 2016
23
Internationalthenews, (2013, 28 November), “Power: hard, soft and smart,”
http://www.thenews.com.pk/Todays-News-9-216746-Power-hard-soft-and-smart di akses pada
12 September 2016
24
Christian Wagner, (2005), From Hard Power to Soft Power? Ideas, Interaction, Institutions, and
Wagner melihat bahwa pola dari penggunaan hard power seperti intervensi
militer, diplomasi yang bersifat paksaan, dan sanksi ekonomi. Penjelasan
lebih lengkap mengenai hard power diberikan oleh Daryl Copeland dalam
artikel yang berjudul “Hard Power Vs Soft Power” menjabarkan mengenai
definisi, tujuan tehnik, nilai, ethos dari hard power. Adapun penjabaran
Copeland mengenai hard power seperti,

“Definitions: Hard power is about compelling your adversary to


comply with your will trough the threat or use of force. Objectives: Hard
power seeks to kill, capture, or defeat an enemy. Techniques: Hard power
relies ultimately on sanctions and flows from the barrel of a gun. Values:
Hard power is macho, absolute, and zero sum. Ethos: Hard power
engenders fear, anguish, and suspicion.”25.

Penjelasan Copeland di atas menyatakan bahwa definisi dari hard


power adalah tentang bagaimana meyakinkan musuh Anda untuk mematuhi
Anda melalui ancaman dan penggunaan kekerasan. Tujuan dari hard power
berusaha untuk membunuh, menangkap, atau mengalahkan musuh. Teknik
yang digunakan dalam hard power seperti sanksi terhadap ekonomi dan
penggunaan senjata. Nilai yang dianut dalam hard power adalah bersifat
mutlak (zero sum-game). Etos dari hard power seperti menimbulkan rasa
takut, penderitaan, dan rasa saling curiga. Dari penjelasan di atas dapat
disimpulkan bahwa hard power merupakan penggunaan paksaan, sanksi,
kekuatan, dan paksaan melalui intervensi militer, diplomasi paksaan, dan
sanksi ekonomi.

Images in India’s South Asia Policy, Heidelberg: Universitatsbibliothek Heidelberg.

25
Themark, (2010, 2 Februari) “Hard Power Vs. Soft Power)
Soft Power

Soft power adalah salah satu konsep yang diusung oleh Joseph S.
Nye selain smart power. Soft power adalah sebuah istilah yang mulai
banyak digunakan untuk mengartikan atau menjelaskan sebuah proses relasi
dan realisasi kekuasaan. Makna soft power sendiri dapat dilihat dari istilah
‘soft’ yang berarti ‘lunak’ atau ‘halus’ dan ‘power’, yakni suatu kemampuan
untuk melakukan segala sesuatu dan mengontrol pihak lain, untuk
membuatnya melakukan sesuatu yang belum tentu ingin mereka lakukan
(“an ability to do things and control others, to get others to do what they
otherwise would not”)26. Sehingga, soft power dapat didefinisikan sebagai
sebuah kemampuan suatu negara untuk mempengaruhi perilaku negara lain
dengan cara persuasif daripada dengan koersi atau maupun imbalan. Soft
power ini bersumber dari kebudayaan, nilai-nilai yang dianut dan elemen-
elemen intangible lainnya yang menjadi daya tarik:

“ Soft power is the ability to get what you want through attraction rather
than through coercion or payments”27 – Joseph Nye

Menurut Nye, soft power suatu negara bertumpu pada tiga sumber:
“budaya (di tempat-tempat menarik bagi orang lain), nilai-nilai politik
(ketika mereka hidup di dalam dan di luar negeri), dan kebijakan luar negeri
(saat orang lain melihat negara ini memiliki kepemilikan yang sah atas suatu
kebijakan politik dan otoritas.)”28. Suatu negara dapat memperoleh hasil
yang diinginkan dalam politik dunia karena negara-negara lain mengagumi
nilai-nilainya, meniru contohnya, bercita-cita untuk meningkatkan
kemakmuran dan keterbukaan negaranya. Dalam pengertian ini penting
juga untuk mengatur agenda dan menarik pihak lain dalam politik dunia,
dan bukan hanya untuk memaksa mereka berubah dengan ancaman
kekuatan militer atau sanksi ekonomi tetapi juga dengan soft power.

26
J.S. Nye, Jr., ‘Soft Power’, dalam Foreign Policy, Twentieth Anniversary, No. 80, Autumun 1990,
hlm. 154
27
J.S. Nye, Soft Power and Higher Education, Harvard University, 2008, hlm. 11,
<http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ffp0502s.pdf>
28
J.S. Nye, Jr., hlm. 154
Beberapa bentuk soft power antara lain ialah ideologi, teknologi,
pendidikan, dan kebudayaan. Dengan demikian, dalam mengejar
kepentingan nasionalnya negara tidak pernah bisa bertindak sendirian. Ia
membutuhkan aktor-aktor lain seperti agen-agen swasta, institusi
keagamaan dan pendidikan, serta perusahaan transnasional yang bergerak
dalam bisnis perdagangan, komunikasi dan informasi, seni, dan budaya
(interdependence).

Konsep ini mengacu pada kekuatan non-militer negara seperti


perekonomian, budaya dan hal-hal yang disebut kaum realis sebagai low
politics dibanding dengan hard power seperti masalah pertahanan dan
militer, soft power juga memiliki masalah yang cukup kruisial bagi negara,
menurut Joseph S Nye, “Soft power is more difficult, because many of its
crucial resources are outside the control of governments, and their effects
depend heavily on acceptance by the receiving audiences. Moreover, soft
power resources often work indirectly by shaping the environment for
policy, and sometimes take years to produce the desired outcomes.”29

B. Pembahasan

Meski Perang Dunia I, Perang Dunia II dan Perang Dunia II berakhir, isu
perdamaian dunia masih belum dapat di wujudkan. Masih banyak terjadi konflik
antar negara di dunia. Konflik masih terjadi di negara-negara berkembang atau
negara dunia ke 3 yang terletak di kawasan Timur Tengah dan Afrika. Sudah
menjadi kewajiban negara-negara lain dunia, organiasasi Internasional seperti PBB
tak terkecuali Indonesia untuk berperan dalam menjaga perdamaian tersebut.
Seperti politik luar negeri bebas aktif Indonesia yang tidak memihak kepada
siapapun tetapi tetap aktif berpartispasi di kancah Internasional. Hal ini pun
tercantum pada Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 alinea keempat. Dalam
alinea tersebut dijelaskan bahwa Indonesia menentang segala bentuk penjajahan

29
J.S. Nye, SOFT POWER : The Means to Succes in World Politics, Public Affairs, New York, 2004,
hlm. 1
dan ikut melaksanakan ketertiban dunia30. Sehingga, dalam pembahasan ini penulis
akan mencoba menganalisa bagaimana implementasi dari politik luar negeri
Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia. Untuk menganalisa permasalahan
tersebut penulis akan membaginya dalam dua sub. Pertama, penulis akan
menganalisa implementasi polugri31 Indonesia melalui pendektan Hard Power.
Kedua, penulis akan menganalisa implementasi polugri Indonesia melalui
pendektan Soft Power.

1. Pendekatan Hard Power

A. Partisipasi Militer Indonesia

Dalam menjaga perdamaian suatu negara dapat menggunakan hard


power sebagai pendekatannya. Seperti yang di katakan oleh Ikram Sehgal
dalam artikel yang berjudul “Power: Hard, Soft and Smart” mengartikan
penggunaan hard power seperti, “power politics, force, and violence.”32.
Menurut Ikram adapun penggunaan hal-hal tersebut mengacu pada
kekuatan militer yang dimiliki suatu negara. Indonesia pun memilik peran
dalam bidang militer untuk menjaga perdamaian.

Komitmen Indonesia untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia


yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
sesuai dengan alinea IV Pembukaan Undang-Undang Dasar Republik
Indonesia Tahun 1945 senantiasa diwujudkan malalui partisipasi dan
kontribusi aktif Indonesia di dalam Misi Pemeliharaan Perdamaian PBB
(UN Peacekeeping Operations/UN PKO)33.

Dalam konteks internasional, partisipasi tersebut merupakan


indikator penting dan konkrit dari peran suatu negara dalam memberikan

30
Alami hlm 44-45
31
Polugri = Politik Luar Negeri
32
Internationalthenews, (2013, 28 November), “Power: hard, soft and smart,”
http://www.thenews.com.pk/Todays-News-9-216746-Power-hard-soft-and-smart di akses pada
12 September 2016
33
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Partisipasi-Indonesia-dalam-Pasukan-
Misi-Perdamaian-PBB.aspx di akses pada 12 September 2016
kontribusi dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional.
Sedangkan dalam konteks nasional, keterlibatan tersebut merupakan sarana
peningkatan profesionalisme individu dan organisasi yang terlibat secara
langsung dalam penggelaran operasi internasional.

Secara strategis dan ekonomis partisipasi Indonesia dalam misi


pemeliharaan perdamaian juga dapat dimanfaatkan untuk mendorong
pengembangan industri strategis nasional di bidang pertahanan. Salah satu
produk Indonesia yang digunakan dalam misi pemeliharaan perdamaian
adalah kendaraan militer lapis baja (ANOA) yang diproduksi oleh PT.
Pindad34.

Saat ini, jumlah personel Indonesia yang tengah bertugas dalam


berbagai UN PKO (sesuai data United Nations Department of Peacekeeping
Operations per 30 November 2015) adalah sejumlah 2.840
personel, dan menempatkan Indonesia di urutan ke-12 dari
124 Troops/Police Contributing Countries (T/PCC). Personel
dan Pasukan Kontingen Garuda tersebut bertugas di 10 (sepuluh) MPP
PBB, yaitu UNIFIL (Lebanon), UNAMID (Darfur,Sudan), MINUSCA
(Repubik Afrika Tengah), MONUSCO (Republik Demokratik Kongo),
MINUSMA (Mali), MINURSO (Sahara Barat), MINUSTAH (Haiti),
UNMIL (Liberia), UNMISS (Sudan Selatan), dan UNISFA (Abyei,
Sudan). Indonesia adalah negara penyumbang personel pasukan terbanyak
pada misi UNIFIL (Lebanon) dengan jumlah 1,296 personel35.

34
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Partisipasi-Indonesia-dalam-Pasukan-
Misi-Perdamaian-PBB.aspx
35
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Partisipasi-Indonesia-dalam-Pasukan-
Misi-Perdamaian-PBB.aspx
B. Peran Indonesia dalam NPT

Selain dalam militer, Indonesia juga berperan dalam pengawasan


perkembangan nuklir dunia atau biasa disebut non proliferasi nuklir.
Perjanjian non proliferasi nuklir (bahasa inggris: nuclear non-proliferation
treaty) adalah suatu perjanjian yang didantangani pada 1 juli 1968 yang
membatasi kepemilian senjata nuklir. Sebagian besar Negara berdaulat
mengikuti perjanjian ini. Perjanjian ini diusulkan oleh irlandia dan pertama
kali ditandatangani oleh finlandia. Pada tanggal 11 mei 1995 di New York
lebih dari 170 negara sepakat untuk perjanjian ini tanpa batas waktu dan
tanpa syarat.

Diplomasi Indonesia dalam isu ini diarahkan kepada penghancuran


total senjata nuklir. Oleh karenanya posisi Indonesia, bersama dengan GNB,
dalam berbagai pembahasan terkait nuklir diarahkan pada tujuan ini.
Indonesia senantiasa mendukung upaya masyarakat internasional dalam
upaya non-proliferasi dan perlucutan senjata nuklir. Dalam hal ini,
Indonesia menekankan pentingnya multilateralisme sebagai "core
principle" dalam perundingan non-proliferasi dan perlucutan senjata, dan
menegaskan bahwa pencapaian tujuan non-proliferasi dan perlucutan
senjata perlu ditempuh lewat cara-cara yang "lawful" berdasarkan hukum
internasional yang berlaku dan di bawah kerangka PBB36.

Sejak tahun 1994 Indonesia merupakan Koordinator Kelompok


Kerja (Pokja) Perlucutan Senjata GNB. Sebagai Koordinator Pokja,
Indonesia telah mengkoordinasikan posisi bersama negara-negara GNB
dalam berbagai forum mekanisme perlucutan senjata PBB, tidak hanya
nuklir, seperti di Komite I, United Nations on Disarmament
Commission (UNDC) dan Conference on Disarmament (CD) dan forum
multilateral lainnya.

Indonesia berpandangan bahwa tiga pilar NPT harus diterapkan


secara seimbang, transparan dan komprehensif.Indonesia menganggap

36
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/pengaturan-perlucutan-senjata-dan-
non-proliferasi-di-bidang-senjata-pemusnah-massal.aspx di akses pada 12 September 2016
bahwa NPT telah mampu mencegah proliferasi horizontal senjata-senjata
nuklir, namun belum sepenuhnya berhasil mencegah proliferasi secara
vertikal.Oleh karena itu, Indonesia meminta agar seluruh negara pihak pada
NPT, termasuk negara-negara nuklir, terikat pada komitmen untuk tidak
mengembangkan senjata nuklir, baik secara vertikal maupun horizontal
(non-proliferation in all its aspects)37.

Dari kedua data tersebut, Indonesia telah menerapkan polugri bebas


aktif melalui pendekatan hard power dalam menjaga perdamaian dunia.
Indonesia bebas, tidak terikat pada satu kubu dan juga aktif dalam setiap
permasalahan yang ada di dunia. Pada data pertama, Indonesia berperan
aktif dengan menurunkan personelnya untuk menjadi bagian dari tentara
perdamaian PBB, hal ini menunjukkan bahwa Indonesia mengaplikasikan
hard power mereka yaitu berupa militer untuk menjaga perdamaian dunia.

Pada data kedua, Indonesia berperan aktif pada pengawasan


penyebaran senjata nuklir di dunia dengan ikut berpartisipasi pada
perjanjian NPT. Indonesia beranggapan bahwa nuklir dapat menimbulkan
perang dunia selanjutnya apabila penyebaran teknologi tersebut tidak
terkontrol. Karena seperti diketahui, ketakutan terbesar negara-negara dunia
pada perang dingin adalah terjadninya perang nuklir, karena dampaknya
akan sangat buruk bagi peradaban manusia.

37
http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/pengaturan-perlucutan-senjata-dan-
non-proliferasi-di-bidang-senjata-pemusnah-massal.aspx
2. Pendekatan Soft Power

A. Bali Democracy Forum

Peran Indonesia cukup dikenal sebagai inisiator berdirinya Bali


Democracy Forum (BDF). Forum internasional yang dibentuk sejak tahun
2008 lalu tersebut pada dasarnya bertujuan membangun kerjasama
penguatan prinsip, nilai dan kapasitas pelaksanaan demokrasi. Latar
belakang lahirnya BDF pada terkonsentrasi di kawasan Asia Pasifik sebagai
suatu forum tahunan yang secara terbuka memfasilitasi dialog
pembangunan demokrasi. Pelaksanaan BDF tahun ini rencananya akan
diikuti 120 negara dan ditambah 7 organisasi internasional38.

Direktur Diplomasi Publik Kementerian Luar Negeri Al Busyra


Basnur mengatakan, kegiataan BDF sebagaimana disepakati didasarkan
pada prinsip sharing of experiences dan best practices melalui pendekatan
diskusi serta pertukaran pandangan mengenai sistem demokrasi.
Berdasarkan komitmen itu, Ia menyampaikan perlu ada hasil nyata yang
dicapai dalam konteks menegakan prinsip dan nilai demokrasi.

BDF dilaksanakan didasarkan keperluan untuk mengorganisasi


proses pembelajaran-dialog yang komprehensif dalam demokrasi. Dialog
dapat meliputi pertukaran pengalaman dan best practices dalam
demokrasi. Bali Democracy Forum juga bertujuan untuk mempromosikan
kerjasama antar negara dalam pengembangan kelembagaan sosial dan
politik untuk kepemerintahan yang demokratik. Oleh karena itu, forum akan
mendiskusikan sejumlah isu berkaitan dengan pengembangan demokrasi39.

Hasil-hasil Bali Democracy Forum salah satunya menyepakati


untuk memperkuat sistem demokrasi di Asia dengan melakukan pertemuan
tahunan pada tingkat Menteri di Bali. Selain pertemuan utama, juga akan

38
http://www.gresnews.com/berita/politik/170612-pelaksanaan-bali-democracy-forum-dan-
demokrasi-di-indonesia/0/ di akses pada 12 September 2016
39
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3138 di akses pada
12 September 2016
diselenggarakan seminar, localkarya, roundtables dan research
presentations40.

Pelaksanaan Bali Democracy Forum merupakan sebuah


inisiatif dan inspirasi demokrasi yang dapat meningkatkan citra
positif Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia,
khususnya dalam pengembangan pengalaman dan best parctices bagi
demokrasi di kawasan Asia dan dapat dicermati sebagai keberhasilan
strategi diplomasi Indonesia dalam mempromosikan dan
mengembangkan demokrasi di Asia yang akan berdampak
pada pengembangan demokrasi di dalam negeri.

Demokrasi bukanlah kata asing yang baru. Demokrasi selalu


dikaitkan dengan pemerintahan yang mengutamakan rakyat atau lebih
dikenal dengan pemerintahan rakyat.

Namun dalam pelaksanaan demokrasi terdapat variasi model


demokrasi yang berkembang dalam pemerintahan di dunia. Tiap
negara mempunyai pandangan yang berbeda mengenai
pelaksanaan demokrasi, tergantung dari sistem politik yang dianut.
Pandangan-pandangan tersebut dapat menjadi indikator untuk
mengukur pelaksanaan demokrasi di suatu negara. Oleh karena itu,
demokrasi selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dalam
pemerintahan negara. Demokrasi diyakini sebagai alat perdamaian dunia
karena berorientasikan kepada rakyat.

40
http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3138
B. Multi Track Diplomacy

Konsep multi track diplomacy dikembangkan dari perdebatan yang


telah berlangsung lama dalam kajian tentang diplomasi antara diplomasi
sebagai kegiatan yang dilakukan oleh pemerintahan atau diplomasi sebagai
kegiatan yang dilakukan oleh masyarakat ke masyarakat.

Multi track diplomacy pada dasarnya adalah sebuah kerangka kerja


konseptual dalam memandang proses perwujudan perdamaian internasional
sebagai sebuah sistem kehidupan. Multi track diplomacy diartikan oleh
Joseph Montville sebagai bentuk diplomasi gabungan antara first track
diplomacy (pemerintah suatu negara dengan negara lainnya atau antara
organisasi pemerintahan) dan second track diplomacy (diplomasi antara
organisasi non-pemerintahan). John W. McDonnal mengatakan bahwa
multi track diplomacy adalah salah satu upaya resolusi konflik antara negara
yang melibatkan empat aspek dalam suatu negara, yaitu : pemerintah,
swasta (pelaku bisnis), rakyat dan media.41 Salah satu cara yang di lakukan
Indonesia adalah dengan diplomasi budaya melalui batik.

Tujuan penggunaan batik sebagai sarana diplomasi budaya adalah


sebagai obyek representatif bangsa Indonesia dalam memperkenalkan batik
Indonesia sebagai identitas dan jati diri bangsa, juga untuk menciptakan
pencitraan baik (nation branding) di mata Internasional, dan batik ini juga
berfungsi untuk meningkatkan pendapatan ekonomi ketika difungsikan
sebagai komoditas ekspor. Memperkenalkan batik juga merupakan proses
pertukaran budaya yang bertujuan untuk menghasilkan hubungan
diplomatik yang lebih erat baik antar warga sipil maupun pemerintahnya42.

41
McDonald, J. W., & Bendahmane, D. R. Conflict Resolution: Track Two Diplomacy.
Washington, DC: US. Government Printing Office. 1987. Hal 10-14
42
Lusianti, Leni Putri dan Faisyal Rani. 2012. Model Diplomasi Indonesia Terhadap UNESCO Dalam
Mematenkan Batik Sebagai Warisan Budaya Indonesia Tahun 2009. Jurnal Ilmu Hubungan
Intrnasional antar bangsa Vol. 1 No.2.
Diplomasi budaya ini juga termasuk ke dalam strategi soft power
Indonesia yang berusaha mencapai kepentingannya melalui seni budaya, di
mana batik dipromosikan ke negara-negara lain, baik melalui antar
perwakilan pemerintah maupun antar warga sipil (people to people) untuk
menarik minat masyarakat dunia terhadap batik, yang juga bertujuan untuk
membangun hubungan persahabatan yang baik melalui obyek budaya
tersebut. Hal ini akan berpengaruh positif tidak hanya dari segi
memperkenalkan budaya asli, tapi juga dari segi ekonomi di mana batik
akan dipromosikan sebagai komoditas ekspor yang dapat meningkatkan
pendapatan negara dan kesejahteraan masyarakat, serta dapat mendukung
promosi pariwisata Indonesia.

Selain itu, sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia


Indonesia memiliki peranan penting dalam mewujudkan perdamaian dunia.
Hal tersebut tercemin pada setiap kedutaan Indonesia di luar negeri. Dari
kedutaan-kedutaan tersebut, tercermin bahwa Indonesia tidak mengklasifikasikan
keistimewaan tertentu bagi masing-masing perwakilan negaranya di luar. Dengan
adanya kedutaan-kedutaan Indonesia di luar negeri itu pula, sebenarnya kita
memiliki kesempatan untuk bisa ikut berperan dalam mewujudkan perdamaian
dunia43.

43
http://www.umy.ac.id/indonesia-miliki-peran-penting-dalam-perdamaian-dunia.html di akses
pada 12 September 2016
C. Penutup

1. Kesimpulan

Berakhirnya Perang Dunia I, Perang Dunia II dan juga Perang Dingin tidak
dapat menjamin terciptanya perdamaian dunia. Masih banyak terjadi konflik –
konflik pada negara dunia ketiga bahkan negara maju. Setiap negara memiliki
kewajiban untuk menjaga perdamaian dunia, tak terkecuali Indonesia. Hal ini telah
di lakukan Indonesia sejak meletusnya Perang Dingin, ketika dunia dibagi menjadi
dua bagian yaitu Blok Barat (Amerika Serikat) dan Blok Timur (Uni Soviet)
Indonesia lebih memilih tidak berpihak kepada keduanya dan membuat gerakan
non blok. Meskipun tidak berpihak pada blok tertentu Indonesia tetap aktif
berpartisipasi di kancah internasional.

Dalam rangka mewujudkan perdamaian dunia, Indonesia dengan polugri


bebas aktifnya mengambil beberapa kebijakan di antaranya:

1. Partisipasi Militer yang di lakukan Indonesia. Indonesia


mengirimkan setidaknya 2.840 personel untuk menjalankan misi
perdamaian dunia di bawah naungan PBB. Seperti kata Christian
Wagner interverensi militer akan meciptakan perdamaian dengan
pendekatan kekuatan militer suatu negara atau organisasi
internasional seperti PBB.
2. Kontribusi Indonesia dalam Non Proliferasi Nuklir. Diplomasi
Indonesia dalam isu ini diarahkan kepada penghancuran total senjata
nuklir. Karena senjata nuklir dapat menimbulkan perang dunia
selanjutnya apabila setiap negara memilik senjata nuklir.
3. Bali Democracy Forum, ). Forum internasional yang dibentuk sejak
tahun 2008 lalu tersebut pada dasarnya bertujuan membangun
kerjasama penguatan prinsip, nilai dan kapasitas pelaksanaan
demokrasi. . Demokrasi diyakini sebagai alat perdamaian dunia
karena berorientasikan kepada rakyat.
4. Multi Track Diplomacy di Polandia. Konsep multi track diplomacy
dikembangkan dari perdebatan yang telah berlangsung lama dalam
kajian tentang diplomasi antara diplomasi sebagai kegiatan yang
dilakukan oleh pemerintahan atau diplomasi sebagai kegiatan yang
dilakukan oleh masyarakat ke masyarakat. Contoh praktek dari
Multi Track Diplomacy adalah memperkenalkan batik pada dunia,
karena memperkenalkan batik merupakan proses pertukaran budaya
yang bertujuan untuk menghasilkan hubungan diplomatik yang
lebih erat baik antar warga sipil maupun pemerintahnya. Hal ini
dapat mewujudkan perdamaian.
5. Reprenstasi Indonesia di negara lain, KBRI. Indonesia tidak
mengklasifikasikan keistimewaan tertentu bagi masing-masing
perwakilan negaranya di luar. Dengan adanya kedutaan-kedutaan
Indonesia di luar negeri itu pula, sebenarnya kita memiliki kesempatan
untuk bisa ikut berperan dalam mewujudkan perdamaian dunia

Dengan beberapa wujud kebijakan polugri Indonesia untuk mecinpatkan


perdamaian dunia, tidak dapat di bantahkan bahwa Indonesia memilik peranan
penting dalam perdamaian dunia. Kebijakan – kebijakan tersebut pun
mencerminkan implementasi dari polugri bebas aktif yang dianut di Indonesia.
Daftar Pustaka

Sumber Buku & Jurnal

Agung Banyu P, Anak dan Yanyan Mochamad Yani, (2005), Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 13.

Alami, Atiqah Nur, 2008. ”Landasan dan Prinsip Politik Luar Negeri Indonesia”, dalam
Ganewati Wuryandari (ed.), 2008. Politik Luar Negeri Indonesia di Tengah Pusaran Politik
Domestik. Jakarta: P2P LIPI dan Pustaka Pelajar, hlm. 28-45

Baylis, Wirtz, Cohen dan S. Gray, (2002), Strategy in the Contemporary World: An
Introduction to Strategic Studies, New York: Oxford, hlm. 7

Burchil, Scott l dan Andrew Linklater, (1996), Teori-Teori Hubungan Internasional,


Bandung: Nusa Media, hlm. 242.

Carruthers, Susan L., (2001) “International History 1900-1945,” in Baylis, John & Smith,
Steve (eds.), The Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press, pp.
51-73.
Hatta, Mohammad, 1953, Dasar Politik Luar Negeri Republik Indonesia, Jakarta,
Tintamas, hlm. 12

Dahl, Robert A., (1970), Modern Political Analysis, Englewood Cliffs, NJ: Prentice Hall,
2 ed. Dalam Joshua S. Goldstein, (2004), International Relations, Washington, D. C.:
American University, hlm. 73.

Griffiths, Martin & Terry O’Callaghan, (2002), International Relations: The Key Concepts,
London: Routledge, hlm. 253.

J.S. Nye, Soft Power and Higher Education, Harvard University, 2008, hlm. 11,
<http://net.educause.edu/ir/library/pdf/ffp0502s.pdf>

J.S. Nye, SOFT POWER : The Means to Succes in World Politics, Public Affairs, New
York, 2004, hlm. 1

Lusianti, Leni Putri dan Faisyal Rani. 2012. Model Diplomasi Indonesia Terhadap
UNESCO Dalam Mematenkan Batik Sebagai Warisan Budaya Indonesia Tahun 2009.
Jurnal Ilmu Hubungan Intrnasional antar bangsa Vol. 1 No.2.

McDonald, J. W., & Bendahmane, D. R. Conflict Resolution: Track Two Diplomacy.


Washington, DC: US. Government Printing Office. 1987. Hal 10-14

Ned Lebow, Richard, (1994), Long Peace, The End of the Cold War, and the Failure of
Realism, International Organization. Vol.48. No.2, hlm. 249-277. Dalam Anak Agung
Banyu Perwita danYanyan Mochamad Yani, (2005), Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional, Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 13

Russett, Bruce, Harvey Starr dan David Kinsella, (2010), World Politics The Menu for
Choice, Wadsworth: Cengange Learning, hlm. 106.
S. Goldstein, Joshua, (2004), International Relations, Washington, D. C.: American
University, hlm. 73.

S. Papp, Daniel, (1984), Contemporary International Relations: Framework for


Understanding, New York: Macmillan Publishing Company, hlm. 355.

Themark, (2010, 2 Februari) “Hard Power Vs. Soft Power)


J.S. Nye, Jr., ‘Soft Power’, dalam Foreign Policy, Twentieth Anniversary, No. 80,
Autumun 1990, hlm. 154

Wagner, Christian, (2005), From Hard Power to Soft Power? Ideas, Interaction,
Institutions, and Images in India’s South Asia Policy, Heidelberg: Universitats bibliothek
Heidelberg.

Sumber Internet

http://duniabaca.com/faktor-penyebab-terjadinya-perang-dingin.html diakses pada 10


September 2016

Foreignaffairs, (2009, Juli/Agustus), “Get Smart: Combining Hard and Soft Power,”
http://www.foreignaffairs.com/articles/65163/joseph-s-nye-jr/get-smart di akses pada 10
September 2016

Internationalthenews, (2013, 28 November), “Power: hard, soft and smart,”


http://www.thenews.com.pk/Todays-News-9-216746-Power-hard-soft-and-smart di akses
pada 10 September

http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Partisipasi-Indonesia-dalam-
Pasukan-Misi-Perdamaian-PBB.aspx di akses pada 12 September 2016

http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/Partisipasi-Indonesia-dalam-
Pasukan-Misi-Perdamaian-PBB.aspx di akses pada 12 September 2016

http://www.kemlu.go.id/id/kebijakan/isu-khusus/Pages/pengaturan-perlucutan-senjata-
dan-non-proliferasi-di-bidang-senjata-pemusnah-massal.aspx di akses pada 12 September
2016

http://www.gresnews.com/berita/politik/170612-pelaksanaan-bali-democracy-forum-dan-
demokrasi-di-indonesia/0/ di akses pada 12 September 2016

http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=3138 di akses
pada 12 September 2016

http://www.umy.ac.id/indonesia-miliki-peran-penting-dalam-perdamaian-
dunia.html di akses pada 12 September 2016

Anda mungkin juga menyukai