Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini akan diuraikan hasil penelitian mengenai hubungan antara

kebiasaan merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di

puskesmas Rawat Inap Tenayan Raya kota Pekanbaru tahun 2018. Responden

penelitian ini adalah 61 orang tua atau wali yang memiliki anak berusia 1 sampai

5 tahun yang telah bersedia mengikuti penelitian dan menjawab dengan lengkap

pertanyaan.

4.1 Hasil Penelitian

4.1.1 AnalisisUnivariat

Tabel 3. Distribusi karakteristik responden di Puskesmas Rawat Inap


Tenayan Raya Pekanbaru tahun 2018.

No. Karakteristik
F %
1. Kebiasaan merokok
Ada 39 63,9
Tidak ada 22 36,1
Total 61 100%
2. Jenis kelamin
Perempuan 28 45,9
Laki – laki 33 54,1
Total 61 100%
3. Kejadian ISPA
ISPA 36 59
Tidak ISPA 25 41
Total 61 100%

Berdasarkan karakteristik kebiasaan merokok ditemukan lebih

banyak anggota keluarga yang merokok yaitu sebanyak 39 orang

36
37

(63,9%). Sedangkan untuk karakteristik jenis kelamin ditemukan lebih

banyak laki-laki yaitu 33 orang (54,1%). Karakteristik kejadian ISPA

pada balita didapatkan jumlah balita ISPA yang lebih besar sebanyak 36

orang (59%) dibandingkan balita tidak ISPA yaitu (41%).

4.1.2 Hubungan merokok dengan kejadian ISPA

Data statistik menunjukan bahwa hubungan kebiasaan merokok

dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas Rawat Inap Tenayan

Raya memiliki nilai signifikansi 0,000 (p<0,05) dan memiliki nilai Odds

Ratio sejumlah 8,889.

Tabel 4. Hubungan antara kebiasaan merokok anggota keluarga dengan


kejadian ISPA pada balita di puskesmas Rawat Inap Tenayan
Raya kota Pekanbaru tahun 2018

Kebiasaan Tidak
ISPA Total
Merokok Anggota ISPA p-value OR
Keluarga N % N % N %
Ada 30 76,9% 9 23,1% 39 63,9% 8,889
Tidak Ada 6 27,3% 16 72,7 22 36,1% 0,000 (2,683 –
Total 36 59% 25 41% 61 100% 29,453)

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa ada hubungan yang bermakna antara

kebiasaaan merokok antara anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita

(p-value = 0,000). Selain itu, diperoleh nilai Odds Ratio (OR) sebesar 8,889,

yang berarti balita yang memiliki kebiasaan merokok anggota keluarganya

berisiko 8,889 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan balita yang

tidak memiliki kebiasaan merokok anggota keluarganya.


38

4.2 Pembahasan
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan antara kebiasaan

merokok anggota keluarga dengan kejadian ISPA pada balita di Puskesmas

Tenayan Raya. Hal ini terlihat dari p-value= 0,000 dan OR = 8,889 (95% CI

2,683 – 29,543).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Asritati, et al (2012)

dimana diperoleh p-value = 0,000. Sebagian besar responden memiliki

keluarga yang merokok terutama orang tua balita yang mengalami ISPA. Hal

ini juga sejalan dengan Soolani et al (2013), dimana diperoleh adanya

hubungan kebiasaan merokok dengan kejadian ISPA pada balita dengan p-

value = 0,043.

Penelitian ini memiliki nilai Odds Ratio (OR) sebesar 8,889 yang

berarti bahwa balita yang memiliki kebiasaan merokok anggota keluarganya

berisiko 8,889 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan balita

yang tidak memiliki kebiasaan merokok anggota keluarganya. Hal ini senada

dengan Asritati et al (2012), dimana diperoleh nilai OR 7,8 yang berarti

bahwa balita yang memiliki kebiasaan merokok anggota keluarganya berisiko

7,8 kali lebih besar untuk menderita ISPA dibandingkan balita yang tidak

memiliki kebiasaan merokok anggota keluarganya.

Banyak senyawa yang diduga menyebabkan fenomena ini terjadi. Salah

satu diantaranya adalah gliserol. Senyawa ini akan berubah menjadi akrolein

saat ia terbakar. Akrolein adalah iritan poten saluran napas, reaktif secara

kimiawi, bersifat karsinogen dan bersifat siliostatik pada saluran napas.

Kakao yang ditambahkan pada rokok juga dapat menyebabkan peningkatan


39

kejadian ISPA pada individu yang menghirup asap tersebut. Produk

pembakaran kakao dapat meningkatkan permeabilitas membran saluran napas

dan meningkatkan pH. Lebih jauh lagi, rokok memiliki kandungan beberapa

mikroorganisme seperti bakteri, jamur, maupun endotoksin bakteri yang

kerap terdapat pada tembakau. Pestisida dan senyawa berbahaya lain juga

didapatkan pada rokok.(Wigand, 2006)

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa asap rokok

dapat meningkatkan resiko terjadinya ISPA baik melalui senyawa yang

bersifat merugikan terhadap saluran napas sehingga menurunkan kemampuan

pertahanan tubuh terhadap serangan mikroorganisme penyabab ISPA atau

melalui adanya mikroorganisme yang terdapat pada daun tembakau sebagai

komposisi rokok tersebut. (Wigand, 2006)

4.3 KeterbatasanPenelitian

1) Daftar pertanyaan pada kuisioner dirumuskan sendiri oleh peneliti

berdasarkan teori, sehingga diperlukan uji validitas dan reliabilitas terlebih

dahulu. Namun karena keterbatasan peneliti, maka uji tersebut tidak

dilakukan.

2) Pada pengisian kuesioner jawaban responden masih bersifat subjektif,

sehingga keterbukaan dan kejujuran dari responden tidak bisa dijamin

sepenuhnya, yang dapat mempengaruhi hasil penelitian.

3) Pengukuran variabel kebiasaan merokok anggota keluarga sebaiknya

menggunakan Indeks Brinkmann atau dose-response. Namun, karena


40

keterbatasan peneliti, variabel tersebut hanya terbatas pada ada atau

tidaknya kebiasaan merokok.

Anda mungkin juga menyukai