Anda di halaman 1dari 20

ANTIINFLAMASI

A. Tujuan

Setelah menyelesaikan eksperimen, mahasiswa diharapkan :


1. Dapat memahami azas eksperimen dan memperoleh petunjuk-petunjuk
yang praktis.
2. Dapat menunjukkan beberapa kemungkinan dan batasan yang
merupakan sifat teknik percobaan.

B. Dasar Teori

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka


jaringan yang disebabkan oleh terauma fisik, zat kimia yang merusak, atau
zat-zat mikrobiologik. Inflamasi adalah usaha tubuh untuk mengaktivasi
atau merusak organisme yang menyerang, menghilangkan zat iritan dan
mengatur derajat perbaikan jaringan. Namun kadang-kadang inflamasi
tidak bisa dicetuskan oleh suatu respon imun, seperti asma atau artritis
rematoid, atau suatu zat yang tidak berbahaya seperti tepung sari.
Inflamasi dicetuskan oleh pelepasan mediator kimiawi dari jaringan yang
rusak dan migrasi sel. Mediator kimiawi bervariasi dengan tipe proses
peradangan dan meliputi amin seperti histamin dan 5-hidroksitriptamin,
lipid seperti prostaglandin, peptida kecil seperti bradikinin dan peptida
besar seperti interleukin. Penemuan variasi yang luas diantara mediator
kimiawi telah menerangkan paradoks yang tampak bahwa obat-obat anti
inflamasi dapat mempengaruhi kerja mediator utama yang penting pada
suatu tipe inflamasi, tetapi tanpa efek pada proses inflamasi yang tidak
melibatkan mediator tanpa target.
(Mycek, 2001)
Agen yang dapat menyebabkan cedera pada jaringan, yang
kemudian diikuti oleh radang adalah kuman (mikroorganisme), benda
(pisau, peluru, dsb.), suhu (panas atau dingin), berbagai jenis sinar (sinar X
atau sinar ultraviolet), listrik, zat-zat kimia, dan lain-lain. Cedera radang
yang ditimbulkan oleh berbagai agen ini menunjukkan proses yang
mempunyai pokok-pokok yang sama, yaitu terjadi cedera jaringan berupa
degenerasi (kemunduran) atau nekrosis (kematian) jaringan, pelebaran
kapiler yang disertai oleh cedera dinding kapiler, terkumpulnya cairan dan
sel (cairan plasma, sel darah, dan sel jaringan) pada tempat radang yang
disertai oleh proliferasi sel jaringan makrofag dan fibroblas, terjadinya
proses fagositosis, dan terjadinya perubahan-perubahan imunologik.
(Rukmono, 2000)

Gambaran makroskopik peradangan akut, tanda-tanda pokok


peradangan mencakup kemerahan (Rubor), panas (kalor), nyeri (dolor),
bengkak (tumor), dan gangguan fungsi (fungsio laesa).
a. Rubor (kemerahan)
Biasanya merupakan hal pertama yang terlihat di daerah yang
mengalami peradangan. Sering dengan munculnya reaksi peradangan,
arterior yang memasok darah tersebut berdilatasi sehingga
memungkinkan lebih banyak darah mengalir kedalam mikrosirkulasi
darah lokal.
b. Kolor (panas)
Kolor atau panas terjadi bersamaan dengan kemerahan pad reaki
peradangan akut. Daerah peradangan dikulit menjadi lebih hangat
dibanding dengan sekelilingnya karena lebih banyak darah (pada suhu
370 C) dialirkan dari dalam tubuh kepermukaan daerah yang terkena
dibandingkan dengan daerah yang normal.
c. Dolor (nyeri)
Pada suatu nyeri peradangan tampaknya ditimbulkan dalam
berbagai cara. Perubahan pH lokal atau konsentrasi lokal ion-ion tertentu
dapat merangsang ujung-ujung saraf. Hal yang sama, pelepasan zat-zat
kimia bioaktif lain dapat merangsang saraf. Selain itu, pembengkakan
jaringan yang meradang menyebabkan peningkatan tekanan lokal yang
tidak diragukan lagi dapat menimbulkan nyeri.
d. Tumor (pembengkakan)
Pembengkakan lokal yang dihasilkan oleh cairan dan sel-sel yang
berpindah dari aliran darah kejaringan intestisial. Campuran cairan dan
sel-sel ini yang tertimbun didaerah peradangan disebit eksudat.
e. Fungsio laesa (perubahan fungsi)
Perubahn fungsi merupaka bagian yang lazim pada reaksi
peradangan. Sepintas mudah dimengerti, bagian yang bengkak, nyeri
disertai sirkulasi abnormal dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal,
seharusnya berfugsi secara abnormal.
Penyebab-penyebab peradangan meliputi agen-agen fisik, kimia,
reaksi imunologik, dan infeksi oleh organism-organisme patogenik.
Infeksi tidak sama dengan peradangan dan infeksi hanya merupakan
salah satu penyebab peradangan.
(Price dan Wilson, 2005).

Obat antiinflamasi dapat dikelompokkan menjadi dua kelompok


utama, yaitu :
a. Glukokortikoid (golongan steroidal) yaitu antiinflamasi steroid.
Anti inflamasi steroid memiliki efek pada konsentrasi, distribusi dan
fungsi leukosit perifer serta penghambatan aktivitas fosfolipase.
Contohnya golongan predinison.
b. NSAID (Non Steroid Anti Inflamasi Drugs ) juga dikenal dengan
AINS (Anti Inflamasi Non Steroid). NSAIDs bekerja dengan
menhhambat enzim siklooksigenase tetapi tidak Lipoksigenase.

Tinjauan Pustaka Bahan:

1. Paracetamol
Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit fanasetin dengan efek
antipiretik. Efek antipiretik ditimbulkan oleh gugus amino-benzen.
Parasetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek
iritasi, erosi dan pendarahan lambung tidak terlihat pada obat ini, demikian
juga gangguan pernafasan dan keseimbangan asam-basa. Parasetamol
diabsorbsi cepat dan sempurna melalui saluran cerna. Konsentrasi tertiggi
dalam plasma dicapai dalam waktu ½ jam dan masa paruh plasma antara 1-
3 jam.
(Farmakologi dan Terapi edisi V, 2007)
2. Ibuprofen
Ibuprofen adalah NSAID yang paling banyak digunakan, berkat efek
sampingnya yang relatif ringan dan status OTC-nya di kebanyakan negara.
Daya analgetis dan anti-radangnya cukup baik. Resorpsinya dari usus cepat
dan baik (k.l. 80%). Resorpsi retal lebih lambat. PP-nya 90-99%, plasma
t½nya k.l. 2 jam. Ekskresi berlangsung terutama sebagai metabolit dan
konyugatnya. Konsentrasi puncak 15-30 menit.
(Tjay dan Rahardja, 2007)
3. Na Diklofenak
Mekanisme kerjanya adalah dengan menghambat sintesis prostaglandin,
mediator yang berperan penting dalam proses terjadinya inflamasi, nyeri
dan demam.Na Diklofenak termasuk NSAID yang terkuat daya anti-
radangnya dengan efek samping yang kurang kuat dibandingkan dengan
obat lainnya. Obat ini sering digunakan untuk segala macam nyeri, juga
pada migren dan encok. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap, tetapi
BA-nya rata-rata 55% akibat FPE besar. Efek analgetisnya dimulai setelah
1 jam, secara rektal dan intramuskular lebih cepat, masing-masing setelah
30 dan 15 menit. PP-nya diatas 90%, plasma t½nya k.l. 1 jam. Ekskresi
melalui kemih berlangsung untuk 60% sebagai metabolit untuk 20%
dengan empedu dan tinja.Kadar puncak obat dicapai dalam ½-1 jam.
(Tjay dan Rahardja, 2007)

4. Metil Prednisolon
Methyl Prednisolon bekerja dengan cara menembus membran sel sehingga
akan terbentuk suatu kompleks steroid-protein reseptor. Di dalam inti sel,
kompleks steroid-protein reseptor ini akan berkaitan dengan kromatin
DNA dan menstimulasi transkripsi mRNA yang merupakan bagian dari
proses sintesa protein. Sebagai antiinflamasi, obat ini menekan
Prednisolon merupakan golongan obat kortikosteroid. Golongan ini
berdaya anti-radang kuat dengan efek agak kuat dan obat ini juga memiliki
efek mineral kortikoid ringan atau retensi garam dan air. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa prednisolon 7,5 mg per-hari selama 6 bulan
mengurangi nyeri. Dosis lazim dibatasi sampai oral 5-10 mg prednisolon
sehari.
(Tjay dan Rahardja, 2007)
5. Dexamethasone

Dexamethasone memiliki efek terhadap metabolisme dan mampu


mengubah respon imun. Dexamethasone memiliki efek anti-inflamasi
dengan efek mineralokortikoid yang minimal. Dexamethasone menekan
inflamasi dengan cara :

a. menstabilisasi membran leukosit lisosomal, mencegah pelepasan


asam hidrolase dari leukosit sehingga mengurangi adesi leukosit
pada endotel kapiler,

b. menghambat akumulasi makrofag pada area inflamasi

c. mengurangi permeabilitas kapiler dan pembentukan edema,

d. melawan aktivitas histamin dan pelepasan kinin,

e. mengurangi proliferasi fibroblast, deposisi kolagen dan


pembentukan jaringan parut.
Sebagai obat Antiinflamasi (kortikosteroid). Absorpsi cepat, efek puncak
tercapai dalam 1-2 jam. Mengalami metabolisme di hati menjadi bentuk
inaktif. Waktu paruh eliminasi pada fungsi ginjal normal adalah 1,8-3,5
jam.
(Tjay dan Rahardja, 2007)

C. Alat dan Bahan

Alat :

1. Pletismograf
2. Alat suntik (jarum tumpul)
3. Spuit 1 ml

Bahan :

1. Karagenin 1%
2. Ibuprofen
3. Na diklofenak
4. Deksametasone
5. Metil prednisolon
6. Binatang percobaan

D. Skema Kerja

Ditimbang tikus dan kaki kanan belakang diberi tanda sebatas mata kaki.

Dikelompokkan menjadi 6 kelompok, masing-masing kelompok terdiri


atas 3 tikus

Masing-masing kelompok diukur volume normal kaki kanan belakang


(vn) dengan mencelupkannya ke dalam cairan raksa sampai batas tanda
pada plestimograf
Diberikan perlakuan secara peroral dengan menggunakan sonde, yaitu :

Kelompok I : Diberi Methil Prednisolon dosis 0,5mg/kg BB

Kelompok II : Diberi Dexamethasone dosis 0,126mg/kg BB

Kelompok III : Diberi Paracetamol

Kelompok IV : Diberi Na diklofenak dosis 6,3mg/kg BB

Kelompok V : Diberi Ibuprofen dosis 50,4mg/kg BB

Kelompok VI : Diberi CMC Na 0,5% (kontrol)

Setengah jam setelah perlakuan diberikan, diinjeksikan dengan larutan


karagenin 1% sebanyak 0,05 ml subplantar pada kaki kanan belakang yang
diukur volumenya tadi.

Tiap setangah jam, diukur volume kaki kanan belakang dengan cara
mencelupkannya ke dalam cairan raksa sampai batas tanda pada
plestimograf. Pengukuran dilakukan selama 3 jam. Volume kaki dibaca
pada pipet ukur 1 ml dengan 1 skala pada pipet ukur sebesar 0,1 ml.

Volume udema pada setiap jam diketahui dari selisih volume telapak kaki
pada jam-jam tertentu (Vto, Vt1, Vt2, Vt3, Vt4, Vt5) dengan volume
telapak kaki normal (Vn).
E. Data Pengamatan

Waktu
Bahan Obat Tikus Pemberian Vn Vt0 Vt1 Vt2 Vt3 Vt4
ke- Obat Karag (ml) (ml) (ml) (ml) (ml) (ml)
enan
1 12:07 12:37 0,24 0,21 0,31 0,25 0,32 0,30
I 2 12:08 12:38 0,24 0,32 0,38 0,27 0,30 0,28
Methyl 3 12:08 12:38 0,38 0,38 0,39 0,30 0,39 0,37
Prednisolon
1 12:03 12:34 0,26 0,32 0,36 0,33 0,31 0,32
II 2 12:06 12:35 0,27 0,35 0,39 0,36 0,29 0,36
Dexametasone 3 12:08 12:36 0,25 0,36 0,32 0,29 0,25 0,31

1 12:05 12:35 0,22 0,35 0,40 0,34 0,33 0,33


III 2 12:09 12:39 0,23 0,39 0,29 0,32 0,32 0,32
Paracetamol 3 12:10 12:40 0,18 0,34 0,27 0,32 0,32 0,32

1 12:00 12:30 0,27 0,31 0,42 0,41 0,40 0,38


IV 2 12:01 12:31 0,29 0,31 0,41 0,33 0,38 0,36
Na diklofenak 3 12:03 12:33 0,27 0,36 0,38 0,35 0,42 0,40

1 11:48 12:21 0,24 0,28 0,35 0,41 0,35 0,32


V 2 11:44 12:19 0,24 0,30 0,30 0,39 0,30 0,28
Ibuprofen 3 11:50 12:25 0,30 0,33 0,37 0,45 0,43 0,35

1 11:45 12:15 0,26 0,39 0,41 0,41 0,40 0,38


VI 2 11:47 12:20 0,26 0,37 0,45 0,45 0,48 0,53
Kontrol 3 11:48 12:23 0,26 0,30 0,34 0,86 0,36 0,41
F. Perhitungan
Bobot rata-rata tikus
No Berat Tara Berat Tara + Tikus Berat Tikus
1 93,90 gram 198,10 gram 104,20 gram
2 93,90 gram 173,50 gram 79,60 gram
3 93,90 gram 210,30 gram 116,40 gram

Dosis Ibuprofen = 50,4 mg/kg BB


116,4 𝑔
Dosis tikus terbesar= x 50,4 mg = 5,8665 mg
1000 𝑔
5,8665 𝑚𝑔
C stok = 1 = 2,3466 mg/ml
𝑥 5 𝑚𝑙
2

Stok yang dibuat = 2,3466 mg/ml x 10 ml = 23,466 ml


58,665 𝑚𝑔
Serbuk Ibuprofen yang dibutuhkan = x 570,3 mg
400 𝑚𝑔

= 83,6416 mg ± 5%
= (79,4595 mg – 87,8236 mg)
CMC Na yang dibutuhkan :
0,5
x 25 ml = 0,125 g
100

Air untuk CMC Na = 0,125 x 20 = 2,5 ml

Penimbangan tablet
1. Berat kertas + tab Ibuprofen = 1,0402 g
Berat kertas + sisa = 0,4730 g
Berat tab Ibuprofen = 0,5672 g

2. Berat kertas + tab Ibuprofen = 1,0420 g


Berat kertas + sisa = 0,4730 g
Berat tab Ibuprofen = 0,5690 g

3. Berat kertas + tab Ibuprofen = 1,0479 g


Berat kertas + sisa = 0,4732 g
Berat tab Na diklofenak = 0,5747 g

Berat rata-rata tab Ibuprofen


= 0,5672 g + 0, 5690 g + 0,5747 g
3
=0,5703 g = 570,3 mg

Berat kertas + zat = 0,5805 g


Berat kertas + sisa = 0,4960 g
Berat zat = 0,0845 g

𝑚𝑔 𝑁𝑎 𝑑𝑖𝑘𝑙𝑜𝑓𝑒𝑛𝑎𝑘
Stok sebenarnya x etiket
𝑏𝑒𝑟𝑎𝑡 𝑡𝑎𝑏
84,5 𝑚𝑔
= 570,3 𝑚𝑔 x 400 mg

= 62,557 mg / 25 ml
= 2,5023mg / ml
104,2 𝑔
Dosis tikus 1 (104,2 g ) = x 50,4 mg = 3,2516 mg
1000 𝑔
5,2516 𝑚𝑔
VP = 2,5023 𝑚𝑔/𝑚𝑙 = 2,0987 ml ~ 2,10 ml
79,6 𝑔
Dosis tikus 2 ( 79,6 g ) = 1000 𝑔 x 50,4 mg = 4,0118 mg
4,0118 𝑚𝑔
VP = 2,5023𝑚𝑔/𝑚𝑙 =1,6032 ml ~ 1,60 ml
116,4 𝑔
Dosis tikus 3 ( 116,4 g ) = x 50,4 mg = 5,8665 mg
1000 𝑔
5,8665 𝑚𝑔
VP = 2,5023 = 2,3444 ml ~ 3,30 ml
𝑚𝑔/𝑚𝑙
Ibuprofen

Perhitungan KVU

%KVU Tikus 1
Vt0 %KVU = 0,28 – 0,24 x 100% = 16,67%
0,24
Vt1 %KVU = 0,35 – 0,24 x 100% = 45,83%
0,24
Vt2 %KVU = 0,41 – 0,24 x 100% = 70,83%
0,24
Vt3 %KVU = 0,35 – 0,24 x 100% = 45,83%
0,24
Vt4 %KVU = 0,32 – 0,24 x 100% = 33,33%
0,24

%KVU Tikus 2
Vt0 %KVU = 0,3 – 0,24 x 100% = 25,00%
0,24
Vt1 %KVU = 0,3 – 0,24 x 100% = 25,00%
0,24
Vt2 %KVU = 0,39 – 0,24 x 100% = 62,50%
0,24
Vt3 %KVU = 0,3 – 0,24 x 100% = 25,00%
0,35
Vt4 %KVU = 0,28 – 0,24 x 100% = 16,67%
0,24

%KVU Tikus 3
Vt0 %KVU = 0,33 – 0,3 x 100% = 10,00%
0,3
Vt1 %KVU = 0,37 – 0,3 x 100% = 23,33%
0,3
Vt2 %KVU = 0,45 – 0,3 x 100% = 50,00%
0,3
Vt3 %KVU = 0,43 – 0,3 x 100% = 43,33%
0,3
Vt4 %KVU = 0,35 – 0,3 x 100% = 16,67%
0,3

Perhitungan AUC

AUC Tikus 1
AUC t1-t0 = 0,35 + 0,28 x (30-0) = 9,45 ml/menit
2
AUC t2-t1 = 0,41 + 0,35 x (60-30) = 11,40 ml/menit
2
AUC t3-t2 = 0,35 + 0,41 x (90-60) = 11,40 ml/menit
2
AUC t4-t3 = 0,32 + 0,35 x (120-90) = 10,05 ml/menit
2

AUC Tikus 2
AUC t1-t0 = 0,3 + 0,3 x (30-0) = 9,00 ml/menit
2
AUC t2-t1 = 0,39 + 0,3 x (60-30) = 10,35 ml/menit
2
AUC t3-t2 = 0,3 + 0,39 x (90-60) = 10,35 ml/menit
2
AUC t4-t3 = 0,28 + 0,3 x (120-90) = 8,70 ml/menit
2

AUC Tikus 3
AUC t1-t0 = 0,37 + 0,33 x (30-0) = 10,50 ml/menit
2
AUC t2-t1 = 0,45+ 0,37 x (60-30) = 12,30 ml/menit
2
AUC t3-t2 = 0,43 + 0,45 x (90-60) = 13,20 ml/menit
2
AUC t4-t3 = 0,35 + 0,43 x (120-90) = 11,70 ml/menit

VOLUME UDEMA
CMC Na Ibuprofen Na Diklofenak
Dexamethasone Methyl Prednisolon Parasetamol
0.5

0.45

0.4

0.35

0.3

0.25

0.2

0.15

0.1

0.05

0
NORMAL T0' T30' T60' T90' T120'
%KVU
CMC Na Ibuprofen Na Diklofenak
Dexamethasone Methyl Prednisolon Parasetamol
80.00

70.00

60.00

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00
VT0' VT30' VT60' VT90' VT120'
-10.00

AUC
CMC Na 0,5% Ibuprofen Na Diklofenak
Dexamethasone Methyl Prednisolon Parasetamol
14

12

10

0
0-30' 30-60' 60-90' 90-120'
Kurva % Daya AntiiInflamasi
18.00%
16.98%
16.38% 16.55%
16.00%

14.00%

12.00%
11.18%
10.00%

8.00%

6.00%
5.29%
4.00%

2.00%

0.00%
Methyl Ibuprofen Na Diklofenak Dexamethasone Parasetamol
Prednisolon

Column1 Column2

G. Pembahasan

Inflamasi merupakan suatu respon protektif normal terhadap luka jaringan yang
disebabkan oleh trrauma fisik, zat kimia yang merusak, atau zat-zat
mikrobiologik.Sebelum praktikum hewan uji dipuasakan selama 18 jam bertujuan untuk
mengosongkan saluran pencernaan sehingga tidak akan mengganggu aktivitas obat di
dalam tubuh. Metode yang digunakan untuk mengetahui aktivitas antiinflamasi dalam
penelitian ini adalah metode pembentukan udema buatan (Rat Hind Paw Udema).
Penandaan pada mata kaki kanan tikus bertujuan untuk mengukur udem pada batas kaki
yang harus dicelupkan pada Plethysmometer. Plethysmometer digunakan untuk
mengindikasikan terjadinya inflamasi. Hal tersebut ditujukan dengan peningkatan volume
udem pada kaki belakang sebelah kanan tikus, dengan mengukur besarnya volume
pembengkakan. Digunakannya kaki kanan tikus bagian belakang karena tidak adanya
bulu, sehingga efek inflamasinya secara fisik dapat diamati lebih jelas karena bulu pada
tikus dapat menghambat pengamatan volume inflamasi yang terbentuk. Untuk
memudahkan pengamatan. Selain itu, kaki kanan belakang digunakan agar memudahkan
pada saat pencelupan dalam air raksa dan memperhitungkan bahwa kaki belakang
ukurannya lebih besar dari pada kaki depan.
Setelah itu dilakukan respon tikus terhadap kerja obat dalam hewan uji, ditandai
dengan berkurangnya volume udem pada kaki tikus. Untuk membentuk udem pada kaki
tikus, maka diinjeksikan karagenin 1 % pada telapak kaki tikus secara subkutan.
Karagenin merupakan polimer suatu lincar yang tersusun dari sekitar 25.000 turunan
galaktosa yang strukturnya tergantung pada sumber dan kondisi ekstraksi. Karagenin
dipilih untuk menguji obat antiinflamasi karena tidak bersifat antigenic dan tidak
menimbulkan efek sistemik.

( Chakraborty et al,2004)

Dari data yang sudah kita dapat dari beberapa obat selanjutnya kita analisis mengenai onset,
durasi, dan t max masing-masing obat. Onset adalah waktu dari pemberian obat sampai obat
tersebut pertama kali bekerja di dalam tubuh. Sedangkan durasi adalah waktu yang diperlukan
obat mulai dari obat berefek sampai efek hilang. Selain itu, kita juga harus mengetahui t max
atau waktu dimana kadar obat dalam plasma sampai pada puncaknya.

AUC (Area Under Curve) merupakan suatu nilai yang menggambarkan besaran volume
udema masing-masing kelompok hewan uji pada tiap satuan waktu. Semakin besar nilai
AUC menunjukkan bahwa aktivitas antiinflamasi dari suatu obat dalam menurunkan
volume udema semakin kecil. Sebaliknya, semakin kecil nilai AUC menunjukkan
aktivitas antiinflamasi obat semakin besar
(Sutrisna, Wdiyasari, & Suprapto, 2010).
Daya antiinflamasi (DAI) merupakan suatu usaha yang menggambarkan penghambatan
gejala peradangan. DAI dapat diwujudkan dalam suatu presentase. Persentase daya
antiinflamasi menunjukkan persentase kemampuan suatu senyawa dalam memberikan
aktivitas antiinflamasi.
Pada kelompok I tikus diberikan suspensi methyl prednisolon dosis 0,5mg/kg BB secara
peoral, lalu 30 menit kemudian disuntikkan karagenan secara subkutan, lalu diamati
pembengkakan yang terjadi setiap 30 menit selama 2,5 jam. Diperoleh volume kaki
normal yaitu 0,28 ml. Udem meningkat pada 30 menit pertama, kemudian pada menit ke
60 udem mulai menurun, ini merupakan onset dari methyl prednisolon. Dari menit 60 ke
menit 90 mengalami kenaikan volume udem, hal ini mungkin terjadi karena
ketidaktepatan dalam mencelupkan kaki tikus ke pletismometer sehingga mempengaruhi
pembacaan skala. Methyl prednisolon merupakan obat kortikosteroid yang memiliki
potensi antiinflamasi yang tidak sebaik Dexamethasone (hanya mendapatkan nilai 4
sedangkan Dexamethasone 25). Selain itu, obat ini juga dapat menyebabkan retensi
natrium,sehingga mungkin hal ini yang menyebabkan volume udem tiap 30 menitnya sulit
berkurang. Mungkin karena obat ini juga dapat menyebabkan pembengkakan akibat
retensi Natrium dan air. Methyl Prednisolon termasuk obat yang memiliki durasi kerja
sedang (t ½ =12-36jam).

(Goodman dan Gilman, 2014)

Pada kelompok II tikus diberikan suspensi Dexamethasone dosis 0,126mg/kg BB secara


peroral, diperoleh volume kaki normal 0,26 ml. Volume udem pada kaki tikus mulai
berkurang pada menit ke 30 sampai menit ke 90 (onset). Tetapi mengalami kenaikan pada
menit ke 120, kemungkinan hal ini terjadi karena pengukuran volume kaki tikus tidak tepat
dan tikus tidak mau mendiamkan kakinya ketika akan dicelupkan ke dalam air raksa,Sehingga
tidak sesuai tanda batas. Dexamethasone sangat mampu mengurangi inflamasi pad kaki tikus
dan cepat memberikan efek. dalam literatur disebutkan bahwa potensi obat Dexamethasone
sebagai antiinflamasi sangat tinggi yaitu 25.Dexamethasone termasuk obat yang durasi kerja
di dalam tubuhnya lama (t ½ eliminasi=36-72jam) sehingga obat ini tidak boleh digunakan
terlalu banyak dalam sehari (maksimal 1 kali pemberian dalam sehari). Selain itu,
Dexamethasoen juga tidak menyebabkan retetensi natrium. Retensi Na ini menyebabkan
hipertoni (konsentrasi cairan meninggi dan menyebabkan air ditahan sehingga jumlah cairan
ekstraseluler dan esktravaskuler juga bertambah. Hal ini yang disebut dengan udem. Jadi,
dapat terbukti Dexamethasone merupakan obat yang baik dalam mengurangi udema
(pembengkakan).

(Goodman dan Gilman, 2014)

Pada kelompok III diberikan suspensi paracetamol secara peroral, diperoleh volume kaki
normal 0,21 ml. pada 30 menit pertama setelah pemberian karagenan volume udem
berkurang, namun pada menit selanjutnya tidak menunjukkan penurunan volume udem.
Hal ini disebebkan karena Menurut buku Farmakologi dan Terapi edisi 5, Paracetamol
merupakan obat yang memiliki efek analgesik dan antipiretik yang baik namun efek
antiinflamasinya sangat lemah, oleh karena itu paracetamol tidak digunakan sebagai
antirheumatik. Paracetamol merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Menurut
Goodman dan Gilman (2014), konsentrasi puncak obat ini dicapai dalam 30-60 menit.
Jadi, cukup singkat dan cepat obat ini menimbulkan efek farmakologisnya.

Kelompok IV diberikan suspensi Na diklofenak dengan dosis 6,3 mg/kg BB secara peroral
dan diperoleh volume kaki normal 0,28 ml. Pada 30 menit pertama mengalami
peningkatan volume udem, tetapi pada menit ke 60 mengalami penurunan setelah
pemberian karagenan. ini merupakan onset dari Na diklofenak. Dari menit 90 ke menit
120 mengalami kenaikan volume udem, hal ini mungkin terjadi karena ketidaktepatan
dalam mencelupkan kaki tikus ke pletismometer sehingga mempengaruhi pembacaan
skala dan mungkin kenaikan data tersebut dikarenakan munculnya kembali mediator nyeri
dan radang yang lain sehinngga Natrium Diklofenak kurang dapat mengurangi volume
udem. Konsentrasi maksimum Natrium Diklofenak dicapai setelah 2-3 jam pemberian
obat.

(Goodman dan Gilman ,2014)

Kelompok V diberikan suspensi Ibuprofen dengan dosis 50,4mg/kg BB secara peroral dan
diperoleh volume kaki normal 0,26 ml. Pada menit ke 60 volume udem terus meningkat
setelah pemberian karagenan. Kemudian menurun ke menit 90 (onset) dan terus menurun
lagi pada menit ke 120. Begitu dengan hasil AUC yang mana jumlahnya mengalami
penurunan pada waktu 90 menit sampai 120 menit pemberian obat. Hal ini sangat jauh
berbeda dari teoritis yang menyebutkan bahwa konsentrasi maksimal Ibuprofen dalam
plasma dicapai setelah 15-30 menit pemberian obat. Hal ini mungkin terjadi karena ada
fase-fase yang terjadi dari larutan karagenan 1%. Sehingga, obat ini baru dapat
mengurangi udem di waktu 90-120 setelah pemberian obat. Untuk t ½ eliminasi Ibuprofen
cukup sinkat yaitu 2-4 jam sehingga durasi obat ini di dalam tubuh pun cukup singkat kira
kira 4-8jam. Namun, kami hanya melakukan pengamatan sampai 120 menit saja atau
sekitar 2 jam saja. Jadi, kami tidak dapat mengertahui secara pasti durasi obat ini.
(Goodman dan Gilman ,2014)

Kelompok VI sebagai kontrol negatif yaitu diberikan suspensi CMC Na 0,5 % secara
peroral dan diperoleh volume kaki normal 0,26 ml. Pada kelompok kontrol tidak
menunjukkan penurunan volume udem sampai menit ke 120 atau 2 jam. Nilai AUC yang
dihasilkan menunjukkan semkin waktu semakin besar, sehingga didapatkan jumlah yang
besar pula. Jadi, benar bahwa CMC Na sebagai suspending agent tidak mempengaruhi
pengurangan volume udem.
Perbandingan AUC masing-masing obat

AUC menggambarkan besaran volume udema setiap waktunya. Jika nilai AUC besar
maka volume udem yang didapat semakin besar, sehingga obat tersebut memiliki efek
antiinflamasi yang kurang baik. Berdasarkan data, dapat dilihat bahwa AUC kelompok
kontrol bernilai 57,7. Pada kelompok I (dengan pemberian suspensi Methyl Prednisolon)
memliki nilai AUC sebesar 48,25. Pada kelompok II (dengan pemberian suspensi
Dexamethasone) memiliki nilai AUC 48,15. Pada kelompok III (dengan pemberian
suspensi Paracetamol) memiliki nilai AUC 47,90. Kelompok IV (dengan
pemberiansuspensi Na diklofenak) memiliki nilai AUC 54,65. Pada kelompok V
(diberikan suspensi Ibuprofen) memiliki nilai AUC 51,25. Dari hasil AUC yang didapat
menunjukkan bahwa potensi suspensi Na diklofenak kurang baik dan AUC yang memiliki
nilai terkecil yaitu suspensi paracetamol. Sehingga, semakin kecil udema di kaki kanan
tikus ini yang berarti obat tersebut memiliki efek analgesik yang baik.

Perbandingan DAI Masing-Masing Obat.

Daya antiinflamasi (DAI) merupakan suatu usaha yang menggambarkan penghambatan


gejala peradangan. DAI dapat diwujudkan dalam suatu persentase. Persentase daya
antiinflamasi menunjukkan persentase kemampuan suatu senyawa dalam memberikan
aktivitas antiinflamasinya.

(Anastasya dan Ebta, 2017)

DAI kelompok I (Methyl Prednisolon) yaitu 16,38 %. DAI kelompok II (Dexamethasone)


yaitu 16,55%. DAI kelompok III (Paracetamol) yaitu 16,98%. Kelompok IV (Na
diklofenak) yaitu 5,29% dan Kelompok V (Ibuprofen) yaitu 11,18%

Kesimpulan

Berdasarkan literatur obat yang memiliki daya antiinflamasi yang paling kuat adalah
Dexamethasone, Methyl Prednisolon, Na Diklofenak, Ibuprofen, lalu Parasetamol,
namun berdasarkan percobaan yang dilakukan, dapat disimpulkan bahwa obat yang
paling efektif dalam mengatasi udem (inflamasi) adalah Parasetamol, Dexamethasone,
Methyl Prednisolon, Ibuprofen, lalu Na Diklofenak. Dari percobaan tersebut obat yang
paling efektik mengatasi udem adalah parasetamol,namun pada literatur Parasetamol
memiliki khasiat antiinflamasi yang jauh lebih kecil dibandingkan efek analgetik
antipiretik, jadi dari hasil percobaan tersebut kurang sesuai dengan teori yang sudah
ada.

H. Daftar Pustaka
Mycek,J Mary. 2001. Farmakologi Ulasan Bergambar. Widya Medika: Jakarta.

Rukmono, 2000, Kumpulan Kuliah Patologi, Bagian Patologi Anatomik FK UI,


Jakarta
Guyton, A.C. & Hall, J.E. , 2005, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran , EGC, Jakarta.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5.
Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Tjay, T.H dan K. Rahardja. 2007. Obat-obatPenting. Jakarta: PT Gramedia

Semarang, 6 April 2018


Pembimbing Praktikan

Nadia Nur Aini

A.A.Hesti W.S.,M.Si.Med.,Apt Umi Rohmatun N


Venty Olivia,.A.Md.

Wicak Narulita

Yulinda Ayu Ardiyani

Anda mungkin juga menyukai