Anda di halaman 1dari 5

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Berbagai upaya pembangunan di bidang kesehatan diarahkan untuk
meningkatkan kelangsungan hidup bagi bayi dan anak. Bayi menjadi fokus
dalam setiap program kesehatan karena dalam masa pertumbuhan dan
perkembangannya setiap saat menghadapi berbagai ancaman bagi
kelangsungan hidupnya seperti kesakitan dan kematian akibat berbagai
masalah kesehatan (Argadireja, 2003). Menurut WHO pada penelitian
tahun 1994, diseluruh dunia terdapat kematian neonatus sebesar
10.000.000 jiwa pertahun. Di Indonesia angka kematian neonatal 25 per
1000 kelahiran hidup dan angka kematian neonatal dini umur 0-7 hari
sebesar 15 per 1000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2002).
Sepsis pada bayi baru lahir (sepsis neonatorum) masih merupakan
masalah utama dalam bidang pelayanan dan perawatan neonatus. Dalam
laporan WHO yang dikutip dari State of the world’s mother 2007 (data
tahun 2000-2003) dikemukakan bahwa kematian neonatus sebanyak 36 %
disebabkan oleh penyakit infeksi, diantaranya : sepsis, pneumonia, tetanus
dan diare. Sedangkan 23% kasus disebabkan oleh asfiksia, 7% kasus
disebabkan oleh kelainan bawaan, 27% kasus disebabkan oleh bayi kurang
bulan dan berat badan lahir rendah, serta 7% kasus oleh sebab lain. Angka
kejadian/insidens sepsis di negara yang sedang berkembang masih cukup
tinggi yaitu 1.8 – 18/1000 dibanding dengan negara maju 1-5 pasien /
1000 kelahiran hidup (Gerdes, 2004). Secara nasional kejadian sepsis
neonatorum belum ada. Laporan angka kejadian di rumah sakit
menunjukkan jauh lebih tinggi khususnya bila rumah sakit tersebut
merupakan tempat rujukan. Di RS Cipto Mangunkusumo misalnya, angka
kejadian sepsis neonatorum memperlihatkan angka yang tinggi dan
mencapai 13,7 % sedangkan angka kematian mencapai 14 % (Departemen
Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM, 2005).

1
2

Sepsis neonatorum adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif


dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti
darah, cairan sumsum tulang atau air kemih yang terjadi pada bayi baru
lahir dari usia 0 – 28 hari. Keadaan ini sering terjadi pada bayi yang
berisiko misalnya pada bayi kurang bulan, bayi berat lahir rendah (BBLR),
bayi dengan sindrom gangguan napas atau bayi yang lahir dari ibu dengan
faktor resiko infeksi.
Dari tahun ke tahun insiden sepsis tidak banyak mengalami
perbaikan, sebaliknya angka kematian memperlihatkan perbaikan yang
bermakna. Di Inggris, angka kematian sepsis neonatorum pada tahun
1985-1987 yaitu 25-30% menunjukkan penurunan yang bermakna
dibandingkan dengan tahun 1996-1997 menjadi 10%. Perbaikan angka
kematian ini tidak disertai dengan perubahan insiden sepsis pada waktu
tersebut (IDAI, 2012).
Pada pasien sepsis neonatorum masalah yang sering dihadapi
antara lain angka kematian yang tinggi, diagnosis yang sulit ditegakkan,
serta pemberian antibiotik spektrum luas yang berpotensi menimbulkan
resistensi jangka panjang. Diagnosis sepsis neonatorum sering sulit
ditegakkan karena gejala klinis yang aspesifik. Pada neonatus, gejala klinis
sepsis klasik jarang terlihat seperti: bayi tampak tidak sehat/iritabel,
malas/tidak mau minum, hipotermia/hipertermia, sklerema, sianosis atau
keadaan umum memburuk, letargi, iritabel, hipotoni, kejang, atau serangan
apnu, dispnu, takipnu, muntah, diare, meteorismus, atau hepatomegali,
petekie, purpura, perdarahan lain, ikterus, splenomegali, pucat, takikardia,
hipotensi, edema (Indra dkk., 2007). Gambaran penyakit dapat menyerupai
kelainan non-infeksi lain pada neonatus. Oleh karena itu pemeriksaan
penunjang seperti pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosis sepsis neonatorum. Kultur darah merupakan gold
standard atau baku emas untuk menegakkan diagnosis sepsis neonatorum.
Namun, selain membutuhkan waktu yang lama kultur darah juga
membutuhkan biaya yang cukup mahal, sedangkan apabila terlambat
3

sepsis dapat mengakibatkan komplikasi yang berat bahkan kematian.


Sehingga dibutuhkan pemeriksaan lain yang lebih sederhana untuk
membantu menegakkan diagnosis sepsis neonatorum. Di RSUP
Mohammad Hoesin Palembang kriteria menegakkan diagnosis sepsis yaitu
dengan gejala klinis sepsis ditambah dengan lebih dari 1 pemeriksaan
laboratorium yang terdiri dari leukosit <5000/mm3 atau >34.000 /mm3, IT
ratio ≥ 0.2, mikro LED >15 mm/jam, CRP > 9 mg/dl, dan atau kultur
darah positif.
Di bagian NICU RSUP Mohammad Hoesin Palembang sebagian
besar bayi yang menderita sepsis mengalami trombositopenia. Seperti
yang diungkapkan (Andersen-Berry, 2006) pada penderita sepsis
neonatorum dapat terjadi trombositopenia (jumlah trombosit kurang dari
150.000/μL). Hal ini sejalan dengan (Charoo BA dkk., 2009) dari hasil
penelitiannya dari 200 pasien neonatus dengan sepsis didapat sebanyak
59,5% atau (119 pasien) mengalami trombositopenia. Penelitian yang
sebelumnya dilakukan oleh Modanlou, Ortiz dan Gluck (1977) di
California, menyimpulkan bahwa trombositopenia secara bermakna
berhubungan dengan sepsis bakterial pada neonatus (dengan p <0.05).
Penelitian ini dilakukan agar dapat mengetahui hubungan antara
sepsis neonatorum dengan trombositopenia di Departemen Kesehatan
Anak RSUP dr. Mohammad Hoesin, sehingga dapat menjadi bahan
pertimbangan bagi klinisi untuk memasukkan trombositopenia ke dalam
salah satu kriteria pemeriksaan penunjang agar membantu untuk prediksi
menegakkan diagnosis sepsis pada neonatus di RSUP Mohammad Hoesin
sedini mungkin. Seperti kriteria untuk menegakkan diagnosis yang dirujuk
dari Rodwell, Leslie, Tudehope (1998) yang memasukkan trombositopenia
sebagai salah satu kriteria untuk menegakkan diagnosis sepsis pada
neonatus meskipun menurut Khair dkk. (2010) trombositopenia bukan
merupakan parameter yang spesifik untuk sepsis neonatorum.
Kini kasus-kasus sepsis neonatorum menantang klinisi dengan
banyaknya permasalahan dalam menegakkan diagnosis sepsis. Oleh
4

karena itu, pada penelitian ini perlu dikaji hubungan sepsis neonatorum
dengan trombositopenia sehingga diharapkan adanya peningkatan baik
secara kualitas maupun secara kuantitas diagnosis dan pertolongan sepsis
neonatorum di Sumatera Selatan khususnya Rumah Sakit Mohammad
Hoesin.

1.2 Rumusan Masalah


Adakah hubungan antara sepsis neonatorum dengan trombositopenia.

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
antara sepsis neonatorum dengan trombositopenia di Departemen
Kesehatan Anak RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.

1.3.2 Tujuan Khusus


1. Mengetahui angka kejadian/prevalensi trombositopenia pada neonatus
di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang

2. Mengetahui hubungan antara sepsis neonatorum dengan


trombositopenia

1.4 Hipotesis
H0 = Tidak terdapat hubungan antara sepsis neonatorum dengan
trombositopenia.
Ha = Terdapat hubungan antara sepsis neonatorum dengan
trombositopenia.

1.5 Manfaat Penelitian


1.5.1 Manfaat Teoritis

a. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai data epidemiologi, bahan


rujukan, dan bahan pembanding untuk penelitian selanjutnya.
5

b. Membantu dalam hal memprediksi menegakkan diagnosis sepsis pada


neonatus.
c. Dokter atau penolong persalinan dapat dengan tanggap dan cepat
mengenal dan menangani trombositopenia pada sepsis neonatorum
untuk meminimalkan morbiditas dan mortalitas neonatus.

1.5.2 Manfaat Praktis


Membantu mengurangi angka kematian dan kesakitan neonatus
akibat sepsis sehingga meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak.

Anda mungkin juga menyukai