html
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN WAHAM
CURIGA
Pengkajian dilaksanakan pada tanggal 14 – 16 Juni 2005.
I. IDENTITAS KLIEN
Inisial : Tn. BS ( L)
Umur : 40 tahun
Tgl masuk : 6 Juni 2005
No. Reg : 027470
Informan : klien sendiri (Tn.BS)
II. ALASAN MASUK
Tiga hari sebelum masuk rumah sakit, di rumah klien tampak gelisah, sering marah-marah
tanpa sebab tapi tidak sampai merusak barang-barang. Klien sering merasa curiga kepada
orang lain.
III. FAKTOR PREDISPOSISI
1. Klien pernah mengalami gangguan jiwa sejak SMP pernah dirawat, sekarang dirawat
yang keempat kalinya. Terakhir dirawat 2 tahun yang lalu.
2. Pengobatan sebelumnya kurang berhasil karena klien merasa sudah sembuh dan tak mau
minum obat.
3. Klien mengatakan tidak pernah mengalami aniaya fisik,aniaya sexual, penolakan dari
lingkungan, kekerasan dalam keluarga baik sebagai pelaku, korban maupun saksi.
Klien juga tidak pernah terlibat dalam tindakan kriminal.
4. Anggota keluarga klien tak ada yang mengalami gangguan jiwa.
5. Klien mengatakan pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan adalah ketika
ditinggal mati bapaknya 6 tahun yang lalu dan ketika dirinya tidak diterima menjadi
guru setelah lulus SPG sehingga klien berpikir banyak koruptor yang menerima uang
suap sehingga dia gagal menjadi guru.
Masalah keperawatan :
- Gangguan isi pikir : waham curiga
IV. FISIK
1. Tanda –tanda vital :
TD : 120/80 mm Hg, N : 84X/menit, S : 36,50C, RR : 20 X/menit
2. Ukur :
TB : 162 cm, BB : 58 Kg
3. Keluhan fisik :
Klien mengatakan mulutnya terasa kaku untuk dibuka sehingga sulit untuk makan,
punggungnya terasa sakit akibat diikat waktu masuk, keluar ambeien dari duburnya saat
BAB tapi masih bisa dimasukkan lagi.
Masalah keperawatan : Harga diri rendah
Pemeriksaan fisik :
Kepala : rambut bersih, rapi, potong pendek
Mata : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik, tak ada konjungtivitis
Hidung : taka ada polip, tak ada discharge
Telinga : simetris, bersih, tak ada gangguan pendengaran
Mulut : bersih, bibir agak kering, tak ada stomatitis, gigi bersih, tak bau mulut
Leher : simetris, tak ada pembesaran kelenjar tiroid
Thorak : tak ada tarikan otot bantu nafas, tak ada ronkhi, wheezing
Abdomen : tak ada asites, peristaltik usus normal
Ekstremitas : tak ada udem, tak kaku sendi/otot, rentang gerak normal
Genetalia : bersih, ada hemoroid yang keluar saat BAB
V. PSIKOSOSIAL
1. Genogram
XIV.DA
FTAR
DIAGN
OSA
Gangguan isi pikir : KEPERAWATAN
waham curiga
1. Resiko tinggi perilaku kekerasan berhubungan dengan waham curiga
2. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan waham curiga
3. Gangguan isi pikir : waham curiga berhubungan dengan harga diri rendah
http://askep45kesehatan.blogspot.com/2011/10/asuhan-keperawatan-pada-pasien-waham.html
Asuhan Keperawatan Pada Pasien Waham Curiga
BAB I
PENDAHULUAN
a. Latar Belakang
Perilaku curiga merupakan gangguan berhubungan dengan orang lain dan lingkungan yang ditandai
dengan persaan tidak percaya dan ragu-ragu. Prilaku tersebut tampak jelas saat berinteraksi, klien
kecemasannya meningkat dalam merespon stresor. Perasaan ketidak nyamanan di dalam dirinya akan
diproyeksikan dan kemudian dia akan merasakan sebagai ancaman/bahaya dari luar.
Berdasarkan hasil pengkajian yang dilakukan di Ruang Melati II RSJPJ sebagai lahan praktek, diperoleh
data bahwa 75 % klien yang rawat ulang. Masalah asuhan keperawatan yang ditemukan adalah menarik
diri, curiga, halusinasi dan ketidakmampuan merawat diri. Dari masalah-masalah yang ditemukan,
pembahasan mengenai asuhan keperawatan curiga belum banyak ditemukan. Berdasarkan fenomena
tersebut, kelompok tertarik untuk mempelajari lebih lanjut dan menyajikan dalam bentuk seminar dengan
topik ”Asuhan Keperawatan Klien dengan Curiga”
b. Tujuan Penulisan.
Tujuan kelompok mahasiswa merawat klien G, melakukan seminar dan menulis laporan studi kasus
adalah :
• Mengerti asuhan keperawatan klien curiga berdasarkan konsep dan teori yang benar.
• Menerapkan asuhan keperawatan klien curiga
• Menyebarluaskan asuhan keperawatan yang telah dilakukan kepada klien .
c. Proses Penulisan.
Asuhan keperawatan yang dilakukan adalah dengan menggunakan pendekatan proses keperawatan
yang meliputi tahap pengkajian, perumusan diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan dan
evaluasi. Pengkajian dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan peran serta langsung klien dalam
kegiatan yang ada diruangan. Dari hasil pengkajian didapatkan masalah keperawatan, setelah penemuan
masalah dibuat perancanaan dan dilaksanakan serta dilakukan eveluasi kemudian diseminarkan.
BAB III
TINJAUAN TEORITIS
BAB IV
PELAKSANAAN PROSES KEPERAWATAN
Pelaksanaan proses keperawatan berorientasi pada masalah yang timbul pada klien. Pada bab ini akan
menyampaikan secara singkat mengenai pelaksanaan proses keperawatan yang meliputi : Diagnosa
Keperawatan, Tujuan jangka panjang, Intervensi, Evaluasi dan tindak lanjut. Adapun proses keperawatan
secra lengkap ada pada lampiran.
Diagnosa keperawatan I
Potensial melukai diri sendiri/ orang lain s/d ketidak mampuan klien mengungkapkan marah secara
konstruktif.
Tupan : Tidak melukai orang lain/ diri sendiri serta mampu mengungkapkan marah secara konstruktif.
Intervensi :
1. Membina hubungan saling percaya dengan klien .
2. Memelihara ketengann lingkungan, suasana hangat dan bersahabat.
3. Mempertahan kan sikap perwat secara konsisten.
4. Mendorong klien untuk mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien marah.
5. Mendiskusikan dengan klien tentang tanda-tanda yang biasa terjadi pada orang yang sedang marah.
6. Mendorong klien untuk mengatakan cara-cara yang dilekukan bila klien marah.
7. Mendiskusikan dengan klien cara mengungkapkan marah secara konstruktif.
8. Mendiskusikan dengan keluarga ( pada saat kunjungan rumah ) ttg marah pada klien , apa yang sudah
dilakukan bila klien marah dirumah bila klien cuti.
Evaluasi :
• Klien mau menerima petugas (mahasiswa ), dan membalas salam.
• Berespon secara verbal.
• Membalas jabat tangan, mau diajak berbicara.
• Klien mampu mengungkapkan penyebab marahnya.
• Klien dapat mengenal tanda-tanda marah.
• Klien megatakan kalau amuk itu tidak baik.
• Klien dapat memperagakan tehnik relaksasi.
Tindak lanjut :
• Melanjutkan untuk latihan marah yang konstruktif dengan tehnik relaksasi, tehnik asertif.
Diagnosa keperawatan II
Gangguan hubungan sosial; menarik diri sehubungan dengan curiga.
Intervensi :
1. Membina hubungan saling percaya.
2. Bersikap empati pada klien.
3. Mengeksplorasi penyebab kecurigaan pada klien .
4. Mengadakan kontak sering dan singkat.
5. Meningkat respom klien terhadap realita.
6. Memberikan obat sesuai dengan program terapi dan mengawasi respon klien.
7. Mengikut sertakan klien dalam TAK sosialisasi untuk berinteraksi.
Evaluasi :
• Klien mampu mengeksplorasi yang menyebabkan curiga.
• Klien disiplin dalam meminum obat sesuai program terapi.
Tindak lanjut:
• Teruskan untuk program sosialisasi/ interaksi klien untuk mengurangi kecurigaan.
Diagnosa Keperawatan III
Penampilan diri kurang s/d kurang minat dalam kebersihan diri.
Tupan : Penampilan klien rapih dan bersih serta klien mampu merawat kebersihan diri.
Intervensi :
1. Memperhatikan tentang kebersihan klien .
2. Mendiskusikan dengan klien ttg gunanya kebersihan.
3. Memberikan reinforsemen positif apa yang sudah dilakukan klien.
4. Mendorong klien untuk mengurus kebersihan diri.
Tindak lanjut :
• Perlu dilanjutkan dengan TAK tentang kegiatan sehari-hari.
• Berikan motivasi agar klien mau merawat diri.
BAB V
PEMBAHASAN
Ibu D ( 20 tahun ), dari data yang diketahui mengalami masalah halusinasi fase III , dengan masalah lain
yaitu menarik diri, penampilan diri tidak adequat, tidak mampu mengungkapkan marah secara konstruktif.
Prioritas pemecahan masalah yang diatasi secara berurutan adalah; menarik diri, halusinasi dan
penampilan diri tidak adequat.
Menarik diri diutamakan karena setelah terciptanya hubungan saling percaya klien mau membuka diri
pada perawat, selanjutnya barulah dapat diintervensi masalah selanjutnya secara bersama-sama.
Dibawah ini akan dibahas satu persatu proses pemberian asuhan keperawatan berdasarkan masalah
keperawatan klien ibu D.
1. Menarik diri.
Pada awalnya klien menolak untuk berhubungan. Pada saat itu perawat menggunakan rencana tindakan
yang telah dibuat seperti melakukan teknik-teknik komunikasi terapeutik, bersikap menerima kondisi
klien, dan lain-lain sesuai rencana tindakan.
Dengan segala kesabaran akhirnya secara bertahap klien mau membuka diri. Klien bercerita tentang
kondisinya, perasaannya, problema rumah tangganya, serta harapannya. Dengan pendekatan intensif
klien lebih dapat mempercayai perawat. Dengan modal kepercayaan tersebut klien mudah untuk
diarahkan. Klien belajar berhubungan dengan lingkungan sekitar seperti dengan klien yang lain, perawat
yang lain. Klien juga dilibatkan dalam terapi aktivitas kelompok : sosialisasi dengan respon yang sangat
baik klien memperkenalkan diri, menyebutkan alamat, hobi dan lain-lain. Belakangan ini diketahui klien
telah mempunyai teman akrap ( klien lain ) dalam satu ruangan. Dengan demikian penyelesaian masalah
sampai akhir mahasiswa praktek dapat dikatakan berhasil.
2. Haluxsinasi.
Halusinasi terkaji sejak pertemuan awal, yang mana klien sering bicara dan tertawa sendiri dan tampak
mendengarkan sesuatu ( memasang kupingnya ) dengan mata menatap pada satu arah. Namun saat
dikaji lebih jauh dengan menanyakan apakah klien mendengar sesuatu, kilen mengatakan tidak, dan hal
ini tidak dapat terkaji hingga akhir praktek. Dengan adanya tingkah laku klien saat berbicara dan tertawa
sendiri telah menunjukkan adanya halusinasi dengar, dibuatlah rencana tindakan yang kemudian
diimplementasikan sebagai berikut : memutuskan halusinasi klien dengan cara kontak sering tapi singkat,
teknik distraksi, dan lain-lain sesuai dengan apa yang direncanakan. Kondisi yang sering berubah-ubah (
data tentang halusinasiny a ) membuat tindakanpun sering tak berurutan namun disesuaikan dengan
masalah klien. Sekitar 5 minggu dilakukan intervensi, klien tidak lagi menunjukkan tingkah laku halusinasi
yang sering, yang mana klien sudah dapat menceritakan tentang keluarganya, perasaannya dan lain-lain
dengan tingkah laku yang tenang. Hanya kadang-kadang tingkah laku itu muncul jika klien duduk
menyendiri, dan saat ditanya dengan siapa klien berbicara klien mengatakan tidak tahu. Namun perawat
tidak berputus asa untuk terus coba menggali permasasalahannya ( halusinasinya ) dan sekaligus
melakukan intervensi halusinasi secara berulang. Sejauh ini penyelesaian masalah boleh dikatakan
mengalami kemajuan karena beberapa teknik distraksi halusinasi sudah dapat dilakukan klien yakni
dengan mengadakan kontak dengan klien lain di ruangan dan frekuensi bicara dan tertawa sendiri
menurun. Dengan demikian dapat dikatakan permasalahan halusinasi telah terselesaikan walaupun
belum tuntas dan perlu diwaspadai pula kemungkinan kambuh.
Dari apa yang di bahas di atas, bahwa kemajuan yang diperoleh dari klien setelah dilakukan tindakan
keperawatan . walaupun sejauh ini hasil yang didapatkan belum optimal, namun dari hasil yang diperoleh
dapat dikatakan seperti apa yang dikatakan dalam teori dapat dibuktikan. Tidak optimalnya hasil, dapat
ditinjau kembali dari berbagai segi seperti waktu interaksi yang sempit yakni 2 hari dalam seminggu (
kamis & jumat ) , itupun hanya beberapa jam dalam seharinya, dapat mempengaruhi kontinuitas
interaksi. Selain itu ketidakseragaman tindakan/ asuhan yang diberikan antar sesama perawat atau tim
medis membuat ketajaman terapi sulit diberikan. Hal ini dapat terlihat dari timbul tenggelamnya halusinasi
klien. Fasilitas yang kurang baik, sarana maupun prasarana untuk mendukung tindakan keperawatan
seperti pola aktivitas dan tata ruangan merupakan salah satu kendala penyelesaian masalah. Juga
kurangnya support sistim lingkungan terutama dari keluarga dapat menghambat pengoptimalan dari
hasil.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN.
1. Asuhan keperawatan ibu D ( 20 thn ) diberikan berdasarkan proses keperawatan yang diawali dengan
pengkajian, perumusan diagnosa, perencanaan, implementasi kemudian evaluasi.
2. Dari pengkajian diketahui klien mempunyai masalah antara lain : halusinasi, menarik diri, penampilan
diri yang tidak adequat dan ketidakmampuan menyalurkan marah secara konstruktif.
3. Setelah dibuat rencana tidakan yang kemudian diimplementasikan, dari evaluasi terhadap klien
diketahui klien mangalami kemajuan. Beberapa masalah dapat diselesaikan walaupun hasil yang didapat
belum optimal., seperti : klien sudah dapat berinteraksi dengan klien lain dan perawat, halusinasi dapat
terkontrol, penampilan diri cukup adequat dan dapat menyalurkan marah secara konstruktif.
4. Beberapa kendala yang ditemui dan menghambat pengoptimalan tindakan keperawatan yang
diberikan antatara lain : waktu interaksi yang terbatas, kurangnya kontuinitas tindakan, ketidakseragaman
tindakan yang diberikan antara sesama perawat maupun tim kesehatan lainnya, fasilitas ( sarana dan
prasarana ) yang kurang mendukung, serta kurangnya support sistem dari lingkungan terutama
keluarganya.
B. SARAN.
Penulisaaan makalah keperawaan ibu D, bukan merupakan akhir dari tugas keperawatan jiwa, melainkan
langkah awal dalam peningkatan asuhan keperawatan, oleh karena itu disarankan :
1. Pemberian asuhan keperawatan terhadap ibu D dapat dilanjutkan sesuai dengan apa yang tertera
dalam rencana tindakan, atau modifikasi berdasarkan masalah klien.
2. Perbanyak waktu interaksi dengan klien dan isi hubungan dengan tindakan (komunikasi dan perilaku )
yang terapeutik.
3. Lakukan tindakan keperawatan secara berkesinambungan, sambil senantiasa dievaluasi respon yang
didapat dari klien. Berikan tindakan sesuai dengan respon klien / masalah klien.
4. Upayakan keseragaman persepsi dan tindakan dalam memberikan asuhan kepearawatan, baik antar
sesama perawat maupun dengan tim kesehatan lainnya.
5. Memodifikasi fasilitas untuk mendukung tindakan keperawatan yang diberikan misalnya, memfasilitasi
mandi, mencuci baju sendiri dan mengeringkannya, melakukan terapi aktifitas kelompok, dan lain-lain.
6. Memotivasi terus keluarga serta melibatkannya dalam asuhan keperawatan yang diberikan.
BAB III
Proses Terjadinya Masalah.
Gangguan hubungan sosial merupakan gangguan kepribadian yang tidak fleksibel, respon sosial yang
maladaptitf yang mengganggu fungsi seseorang dalam melaksanakan hubungan sosial ( Rawlins’ l993 ).
Gangguan hubungan sosial meliputi : curiga, manipulasi , ketergantungan pada orang lain, gangguan
komunikasi dan menarik diri. Berdasarkan hasil pengkajian dan analisa maka didapatkan bahwa masalah
keperawatan yang dijumpai pada klien Ibu D. adalah menarik diri.
Menarik diri adalah suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan
sosial secara langsung ( Dirjen Keswa, l983 ). Seorang yang cenderung mengembangkan perilaku
menarik diri menunjukkan perilaku seperti : menyendiri, menolak berbicara dengan orang lain, kurang
berpartisipasi dalan aktifitas, perasaan malas, perasaan gagal karena tidak mampu melakukan sesuatu
yang berarti, sulit membuat keputusan, pola tidur memanjang dan mengisolasi diri ( Dirjen Keswa, l983 ).
Dari pengkajian terhadap Ibu D. perilaku menarik diri ditunjukkan dengan perilaku menyendiri, banyak
tiduran di tempat tidur, melamun , kurang inisiatif dan kurang berpartisipasi dalam pembicaraan,
menjawab pertanyaan perawat seperlunya saja dengan satu-dua patah kata, kurang berpartisipasi dalam
kegiatan ruang perawatan dan kurangnya perhatian pada penampilan diri atau kebersihan dirinya
.
Cara berpikir klien menarik diri dapat tiba-tiba terhambat atau tidak mampu berpikir. Tidak adanya
rangkaian cara berpikir ini menyebabkan timbulnya inkoherensi dalam proses berpikir . Gangguan proses
pikir ini dapat ditandai dengan adanya halusinasi dan waham (Dirjen Keswa,l983 ). Halusinasi adalah
persepsi terhadap stimulus ekstrenal tanpa adanya stimulus yang diberikan ( Rawlins , l993 ). Halusinasi
dapat berupa halusinasi dengar, lihat, penciuman, raba dan kecap.Dari hasil pengkajian pada Ibu D.
didapatkan bahwa ibu D.mengalami halusinasi dengar yang ditunjukkan dengan bicara atau tertawa
sendiri, tanpa adanya orang lain yang di ajak bicara,sambil memasang telinga dan memandang ke satu
arah dengan tatapan tajam.
Gangguan proses pikir lain adalah waham yaitu suatu pikiran yang salah karena bertentangan dengan
kenyataan. Namun pada Ibu D. belum dijumpai tanda-tanda ini.
Umumnya proses pikir klien menarik diri tidak adekuat, tidak sesuai dan apatis., kadang-kadang klien
menunjukkan ketegangan yang berlebihan yang tiba-tiba. Pada saat kecemasan memuncak ( excited )
tingkah lakunya dapat eksploitatif yang secara tiba-tiba ia dapat menyerang lingkungan atau melukai
dirinya. Pada diri Ibu D. didapatkan perilaku amuk ini di rumah berdasarkan informasi keluarga yaitu saat
ia sedang menonton televisi dengan adegan perkelahian atau kekerasan tiba-tiba klien mengamuk,
memecahkan barang rumah tangga dan menyerang /memukuli ibunya. Dengan alasan inilah keluarga
baru membawa klien untuk dirawat di rumah sakit jiwa. Tetapi selama di rumah sakit klien tidak
menunjukkan perilaku ini. Walaupun demikian pada klien ini tetap mempunyai potensi untuk terjadinya
amuk .
Munculnya perilaku menarik diri tidak lepas dari adanya faktor predisposisi yakni masa tumbuh kembang
teruama pada usia bayi ( 0-1 tahun ) masa pembentukan trust dan mistrust. Namun pada diri ibu D. masa
ini dilalui dengan baik , ia medapat perhatian dan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Konflik yang
terjadi pada Ibu D mulai tampak setelah ayahnya meninggal, yakni pada usia klien 9 tahun di tambah
adanya suasana komunikasi dalam keluarga yang kurang terbuka. Pada usia puber ( usia 16 tahun )
klien menikah dengan laki-laki yang sebenarnya tidak dicintainya. Faktor psikologis lain adalah kebiasaan
klien menutup diri, jarang mengungkapkan perasaan pada orang lain baik pada ibu maupun pada
kakaknya.
Faktor pencetus munculnya perilaku menarik diri pada Ibu D. disebabkan oleh adanya stress yang berat
di mana klien mengalami kegagalan dalam berumah tangga . Ia sering dimarahi dan dipukuli suaminya
oleh karena alasan ringan seperti tidak dapat memasak enak atau terlambat pulang dari pasar. Setelah
klien mengalami gangguan jiwa suaminya kemudian menceraikannnya.
Dalam upaya mengoptimalkan keefektifan proses terapi yang diberikan faktor keluarga sangat
menentukan. Kurangnya support system keluarga, ketidaksiapan keluarga seperti ketidakmampuan
keluarga merawat klien menarik diri serta lingkungan sosial yang tidak mendukung dapat meningkatkan
kondisi menarik diri dan meningkatkan resiko kambuh bila klien sudah memungkinkan untuk dipulangkan.
Dengan demikian keterlibatan dan keikutsertaan keluarga diperlukan sejak awal masuk rumah sakit.
Pada klien Ibu D, didapatkan adanya support system tetapi kurang adekuat yakni keluarga menjenguk
klien tiap 10 hari sekali , namun keluarga tidak memahami penyebab gangguan jiwa klien dan tidak
mampu merawatnya. Untuk itu selama perencanaan dan intervensi keperawatan klien keluarga telah
dilibatkan . Namun lingkungan sosialnya belum dapat dikaji lebih lanjut sehingga klien masih tetap
mempunyai potensi kambuh. Untuk intervensi ini perawat belum bisa melakukannya mengingat waktu
yang tersedia.
Konflik Sibling
Kehilangan berkepanjangan
Lampiran
PENGKAJIAN PSIKOSOSIAL
I. Identitas Klien
Nama klien
Umur
Jenis kelamin
Suku
Status
Pekerjaan
Agama
Alamat
MRS
Postur tubuh
Penampilan
Kebiasaan
Informasi : Nn.G..
: 47 Tahun
: Perempuan.
: Tionghoa.
: Gadis.
: Tidak bekerja
: Budha.
: Gg.Darmawan V. No. 3a Rt 04/Rw 04 Karang Anyar Jakarta Pusat..
: 1978.
: Klien tampak kurus, TB: 160 cm, BB: 52 kg,
Rambut pendek beruban,tidak pernah sisiran,banyak ketombe ,gigi kuning sudah banyak yang
tanggal.,kuku panjang dan kotor,tidak pernah pakai sandal.,pakaian jarang ganti.
:
Sering menyendiri di lantai dekat tempat tidur sambil merokok,suka bersih-bersih,(kamar
mandi,ruangan),cuci piring.
: Klien, keluarga dan perawat ruangan serta status klien.
b. Kosep diri
roh halus yang membisik telinganya. Klien juga mengatakan ia juga sering menyendiri, diam diri di kamar,
malas berbicara dengan keluarga. Kemudian keluarga membawa ke rumah Klien tidak ingin pulang dari
RSJ karena merasa sulit menghindari roh-roh halus atau setan yang selalu mengganggunya. Dari pada
di rumah kambuh, lebih baik di rumah sakit. Klien merasa tidak dapat bekerja karena ijasahnya hanya
SD. dan klien merasa sulit mencari kerja.
Klien mengatakan mungkin saya sampai mati di RSJ saja.
Aspek konsep diri klien S. dimana tentang gambaran diri; klien memandang dirinya sebagai manusia
yang apa adanya, harga diri klien ; klien mengatakan dirinya hanya lulus SD dan tidak mampu melakukan
sesuatu pekerjaan; identitas klien jelas dan klien tahu akan identitasnya; ideal diri klien ingin supaya
sembuh dan sehat kembali; sedangkan peran nya, klien mengatakan tidak mempunyai peran dalam
kehidupan baik pada diri sendiri ataupun keluarganya.
c. Gaya komunikasi
Klien berbicara secara berhati-hati, tidak meloncat-loncat dari satu topik ke topik yang lain. Klien
memberikan informasi dengan jelas jika diberikan pertanyaan oleh perawat. Jarang balik memberikan
pertanyaan. Ekspresi nonverbal saat berionteraksi yaitu datar, kadang-kadang kontak mata, kadang-
kadang melihat ke depan.
d. Pola interaksi
Klien jarang berinteraksi dengan klien lain dan perawat. Klien lebih suka tiduran di tempat tidur serta
melamun. Didalam berinteraksi klien lebih suka diam, mendengarkan pembicaraan orang lain atau
melamun. Klien lebih mengharapkan kedatangan keluarganya.
Di rumah klien tidak terbuka kepada anggota keluarga. Bila menghadapi masalah tidak pernah
diungkapkan pada keluarga melainkan disimpan sendiri.
e. Pola pertahanan
Bila mengatasi situasi yang sangat menekan atau sedih, klien lebih suka berdiam diri di kamar, melamun,
menekan rasa marahnya. Tetapi klien pernah membanting piring, gelas. Klien mengatakan tidak
mengetahui cara-cara untuk mengatasi masalahnya.
b. Hubungan sosial
Klien jarang menyampaikan perasaannya kepada teman-temannya. Klien tidak mempunyai teman dekat.
Dirumah klien juga jarang berbicara dengan saudara-saudaranya. Di rumah sakit klien suka tiduran,
bengong, melamun di kamar, jarang berbicara dengan pasien lain.
d. Gaya hidup
Sebelum sakit ( 10 tahun) yang lalu klien tinggal bersama ibu dan isterinya di Pekalongan. Klien
menghabiskan waktunya untuk bekerja di sawah.
V. Pengkajian Keluarga
Genogram
Klien selama ini tinggal dengan adiknya Ny. S. 37 tahun yang telah bersuami dan telah memiliki 3 orang
anak. Klien paling dekat dengan adiknya (Ny.S.) sedangkan ibu klien tinggal di Pekalongan. Meskipun
klien menikah hanya berlangsung selama 3 bulan, karena istrinya hanya menginginkan hartanya saja,
lalu meninggalkannya.
2. Penyakit sekarang
Tanggal 17 April 1997 klien mengatakan tenggorokan gatal, serak dan batuk-batuk. Pemeriksaan fisik :
Berat Badan: 47 kg; Tinggi Badan: 170 cm; Nadi: 80 x / menit; Suhu : 36,5 Celsius; Tekanan Darah :
100 / 70 mmhg; Pernapasan : 20 x / menit.
3. Pengobatan sekarang
Ampicilin 3 x 500 mg
4. Alergi
Klien tidak ada riwayat alergi / gatal-gatal terhadap makanan atau obat-obatan.
B. Kebiasaan sekarang
1. Penampilan diri
Penampilan klien ; kulit kotor, rambut kotor dan tidak disisir, gigi kotor, pakaian kusut dan tidak rapih,
serta kuku panjang dan hitam / kotor. Mandi sehari sekali, mencuci rambut seminggu sekali, jarang sikat
gigi, ganti pakaian dua hari sekali. Sikap tubuh agak bungkuk (seperti kifosis)
2. Rokok
Klien merokok, kadang-kadang sehari habis 2 batang.
3. Minuman keras
Klien mengatakan tidak pernah meminum minuman keras, seperti yang mengandung alkohol.
4. Pola tidur
Klien mengatakan sulit tidur karena sering diganggu oleh roh-roh halus serta klien jarang tidur siang.
5. Pola makan
Klien makan tiga kli sehari menghabiskan porsi yang diberikan, tetapi kadang-kadang harus sedikit
karena perutnya mual. Klien makan bersama-sama temannya.
6. Pola eliminasi
B.a.b. 1 - 2 hari sekali, b.a.k. 6 - 7 kali sehari
Klien tidak menggunakan obat laxansia.
7. Tingkat aktifitas
Peran serta dalam aktifitas jarang karena klien lebih suka melamun, tiduran di dalam kamar. Selama
MRS klien sering diajak untuk mengikuti kegiatan di ruangan seperti; menyapu, mengepel dan mengelap
kaca. Sedangkan selama di rumah klien jarang diajak atau di libatkan untuk melakukan kegiatan aktifitas
sehari-hari karena dianggap tidak mampu untuk mengerjakannya.
8. Tingkat energi
Klien tampak malas, dan tiduran terus.
B. Status sensorik:
Penglihatan
Pendengaran
Penciuman
Pengecapan
Perabaan : Kadang-kadang berkunag-kunang, secara umum : : fungsinya baik.
: Klien sering mendengan suara-suara seperti ada: : rintihan adiknya yang dibunuh orang.
: Tak ada kelainan
: Tak ada kelainan
: Tak ada kelainan
C. Status persepsi
Klien mendengarkan suara-suara yang membisik di telinganya.
Klien sering berbicara sendiri, senyum sendiri karena mendengar sesuatu.
D. Status motorik
Motorik kasar:
Klien berjalan, berpakaian, dan berbicara masih terkontrol
Motorik halus :
Klien mampu menulis, menggenggam sesuatu, memasukan kancing ke dalam
lubang kancing tanpa tremor.
E. Afek
Emosi yang ditunjukan sesuai dengan apa yang diungkapkan.
Misalnya jika klien menceritakan hal-hal yang lucu, klien turut tertawa.
F. Orientasi
Klien mengenal orang yang ada disekitarnya. Klien mengetahui berada di RSJ
Klien mengetahui tentang waktu.
G. Ingatan
Klien kurang dapat berpikir secara rasional. Contoh: Ketika ditanya sebab
kecekaaan 10 tahun yang lalu, klien mengatakan ada sesuatu yang mendorong
sepeda motornya kemudian tabrak mobil.
ANALISA DATA
KLASIFIKASI DATA MASALAH
Data Subyektif:
Klien mengatakan :
• Sering tiduran diu tempat tidur dan jarang berbicara dengan klien lain atau perawat.
• Bila berinteraksi klien lebih suka diam dan mendengar pembicaraan.
• Jarang membicarakan masalahnya dengan orang lain
• Kalau sembuh mau ngapain ijasah saya hanya SD
Data Obyektif:
• Klien sering tiduran, bengong di tempat tidur, melamun
• Klien sering tampak putus asa.
Data Subyektif :
Klien mengatakan :
• Sering mendengar suara-suara, terutama kalau sedang melamun, bengong dan menjelang tidur.
• Saya dibawa ke rumah sakit karena saya membanting gelas, piring, barang-barang lainnya karena
disuruh oleh roh halus.
• Bolehkah berteman dengan roh halus karena ia yang sering mengajak saya berbicara.
Data Obyektif:
• Klien tampak mendengarkan sesuatu bila tiduran di tempat tidur
• Klien sering tersenyum sendiri, mulut komat-kamit
Dalam bab pembahasan ini akan diuraikan sejaumana keberhasilan tindakan keperawatan secara teoritis
yang telah diaplikasikan terhadap klien S. Proses terjadinya halusinasi dengar pada klien S. sejalan
dengan fase-fase atau tahap-tahap dalam teori halusinasi, yaitu dimulai dengan klien sering menyendiri,
melamun, pemikiran internal menjadi lebih menonjol seperti gambaran suara dan sensasi, klien berada
pada tingkat listening disusul dengan halusinasi lebih menonjol. Klien menjadi lebih terbiasa dan tidak
berdaya pada halusinasi, dimana halusinasi memberikan kesenangan dan rasa aman sementara, dan
ahhirnya halusinasi berubah menjadi mengancam.
Adapun tindakan keperawatan pada klien halusinasi dengar salah satunya adalah tidak menyangkal dan
tidak mendukung. Setelah diaplikasikan pada klien S ternyata teori tersebut dapat diterima oleh klien.
Klien dapat menerima realita bahwa suara-suara tersebut hanya didengar oleh klien, sedangkan orang
lain tidak mendengar. Dalam teori tindakan halusinasi dengar harus dilakukan kontak yang sering dan
singkat dengan tujuan untuk memutuskan stimulus interna, setelah diaplikasikan pada klien S, ternyata
kontak sering dan singkat setiap 20 menit selama 3-5 menit klien mengeluh merasa capek kemudian
kami lakukan modifikasi dengan melakukan kontak setiap 1 jam selama 10 menit, dan hasilnya lebih baik.
Stimulasi internal dapat terputus dan klien tidak merasa kelelahan. Disamping melalui kontak yang sering
dan singkat, didukung juga oleh kegiatan yang dilakukan secara rutin di ruangan dengan melibatkan klien
dalam pembuatan jadwal kegiatan sehari-hari. Hasil akhir halusinasi dengar klien S yang semula
didengar pada pagi, siang, sore dan malam hari, sekarang hanya didengar pada malam hari ketika
menjelang tidur.
Terapi aktifitas kelompok: sosialisasi dan gerak (senam dan bermain volley) yang telah dilakukan pada
klien S, sangat membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi klien, terutama pada masalah menarik
diri dan halusinasi dengar. Melalui kegiatan terapi aktifitas kelompok (TAK) tersebut klien mampu
berhubungan dengan orang lain dan mampu memutuskan stimulus internal.
Didalam menyelesaikan masalah klien tentang tidak tahu cara mengungkapkan marah yang konstruktif,
kelompok menerapkan konsep cara mengungkapkan marah yang konstruktif yaitu mendorong klien untuk
mengungkapkan hal-hal yang menyebabkan klien marah, cara-cara mengekspresikan marah yang
dilakukan selama ini, berdiskusi dengan klien tentang cara mengungkapkan marah yang destruktif dan
konstruktif. Setelah tika kali pertemuan, hal ini dapat membantu klien dalam mengekspresikan marah
secara konstruktif. Klien juga dapat mengerti tanda-tanda marah dalam dirinya, klien dapat
mendemostrasikan cara mengungkapkan marah yang konstruktif.
Pada klien dengan halusinasi dengar, muncul masalah gangguan kebersihan diri. Tetapi dengan tindakan
yang selalu mengingatkan klien atau membuat jadwal kegiatan yang teratur membantu klien untuk
memelihara kebersihan dirinya.
Dari lima diagnosa keperawatan yang ditemukan pada klien S. (satu diagnosa keperawatan pada
keluarga) yang dapat terselesaikan ada tiga diagnosa keperawatan, yaitu masalah tentang menarik diri,
tidak tahu cara mengungkapkan marah secara konstruktif dan gangguan kebersihan diri.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
Setelah membandingkan teori dan pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien S dengan halusinasi
dengar, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Dengan melakukan kontak yang sering dan singkat disertai dengan tidak mendukung dan tidak
menyangkal apa yang diungkapkan klien dapat membantu memutuskan siklus halusinasi klien dan
mempercepat orientasi klien pada realita.
2. Terapi akitifitas kelompok : sosialisasi dan gerak merupakan bentuk terapi kelompok yang dapat
membantu menyelesaikan masalah halusinasi dengar dan menarik diri.
3. Cara mengungkapkan marah yang kostruktif sangat diperlukan pada klien halusinasi dengar,
khususnya isi halusinasinya bersifat menyuruh, mengejek dan mengancah.
Dari kesimpulan di atas dapat kami memberikan beberapa saran sebagai berikut :
1. Dalam memberikan asuhan keperawatan klien dengan halusinasi dengar, hendaknya dilakukan kontak
yang sering dan singkat dengan memodifikasi berdasarkan kemampuan dan kebutuhan klien. Selain itu
tidak mendukung dan tidak menyangkal isi halusinasinya.
2. Terapi aktifitas kelompok (TAK) hendaknya dilakukan secara rutin dan teratur karena merupakan sustu
terapi yang dapat mempercepat proses penyembuhan. (dapat memutuskan stimulus internal klien
dengan memberikan stimulus eksternal).
3. Klien dengan halusinasi dengar hendaknya diajarkan cara-cara marah yang konstruktif, terutama bila
isi halusinasinya bersifat menyuruh, mengejek dan mengancam agar tidak membahayakan diri sendiri,
orang lain atau lingkungan.
Diposkan oleh el suetopoe di 13:17
c