Anda di halaman 1dari 10

1.

LATAR BELAKANG
Rumah sakit adalah suatu tempat kerja yang mempunyai resiko bahaya kesehatan dan
merupakan area kerja yang mudah menularkan penyakit. Berdasarkan keputusan menteri
kesehatan republik indonesia Nomor 432/MENKES/SK/IV/2007 tentang pedoman
manajemen kesehatan dan keselamatan kerja di Rumah Sakit bahwa dalam kegiatan rumah
sakit berpotensi menimbulkan bahaya fisik, kimia, biologik, ergonomik dan psikososial yang
dapat membahayakan kesehatan baik terhadap pekerja disektor kesehatan khususnyadalam
pembahasan ini adalah dokter di lingkungan rumah sakit yang pekerjaaanya menyebabkan
kontak dengan pasien atau cairan tubuh lain dari pasien dengan mengingat yakni :
1. UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1970 No.1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No
2918)
2. UU No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 1992 Nomor 100. Tambahan negara Republik Indonesia No 4437)
3. UU No 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2003 Nomor 100. Tambahan negara Republik Indonesia No 4729)
4. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2004 Nomor 125. Tambahan negara Republik Indonesia No 4437)
5. Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran
Negara Republik Indonesia tahun 1996 Nomor 49. Tambahan negara Republik
Indonesia No 3637)
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Dampak Lingkungan
(Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1999 Nomor 59. Tambahan negara
Republik Indonesia No 3838)
7. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2000 tentang Keselamatan dan Kesehatan
terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun
2000 Nomor 136. Tambahan negara Republik Indonesia No 3992)
8. Keppres Nomor 22 tahun 1993 tentang penyakit yang timbul karena hubungan kerja.
9. Keppres Nomor 7 tahun 1999 tentang wajib laporan penyakit akibat hubungan kerja
10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1439/Menkes/SK/XI/2002 tentang Penggunaan
Gas Medis pada Sarana Pelayanan Kesehatan
11. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 351/Menkes/SK/III/2003 tentang Komite
Kesehatan dan Keselamatan kerja sektor kesehatan

Dalam UU Nomor 23a tahun 1992 pasal 23 tentang kesehatan dinyatakan bahwa upaya
Kesehatan dan Keselamatan Kerja harus diselenggarakan disemua tempat kerja khususnya
tempat kerja yang mempunyai risiko biaya kesehatan, mudahnya terjangkit penyakit atau
mmempunyai karyawan minimal 10 orang.
Jika memperhatikan isi dari pasal diatas maka jelaslah bahwa Rumah Sakit termasuk
didalam kriteria tempat kerja dengan berbagai ancaman bahaya yang dapat menimbulkan
dampak kesehatan, tidak hanya terhadap para pelaku langsung yang bekerja di Rumah Sakit
tapi juga terhadap pasien dan pengunjung rumah sakit.
Potensi Bahaya di RS selain penyakit penyakit infeksi namun juga ada potensi bahaya
lain yang mempengaruhi situasi dan kondisi di rumah sakit yaitu kecelakaan (ledakan gas,
kecelakaan yang berhubungan dengan instalasi listrik) radiasi, bahan bahan kimia,gas
anastesi, gangguan psikososial dan ergonomi. Semua potensi bahaya tersebut jelas
mengancam jiwa dan kehidupan para karyawan RS, para pasien maupun para pengunjung
RS.
Hasil Laporan National Safety Council ( NSC) tahun 1988 menunjukkan bahwa
terjadinya kecelakaan di RS 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Kasus yang sering
terjadi adalah tertusuk jarum, terkilir, sakit pinggang, tergores /terpotong, lika bakar dan
penyakit infeksi. Sejumlah kasus dilaporkan mendapatkan kompensasi pada pekerja RS yaitu
sprains 52%; contussion, crushing, bruising : 11%; cuts, laceration punctures : 10,8 % ;
fractures : 5,6 %; multiple injuries : 2,1 %; thermal burns : scrathes, abrations : 1,9 %:
infections: 1,3 %; dermatitis : 1,2 % dan lain-lain : 12,4 % (UtisS Departement of
Laboratorium, Bureau of laboratorium Statistics, 1983).
Selain itu, Gun (1983) memberikan catatan terdapat beberapa kasus penyakit kronis yang
diderita di RS, yakni hipertensi, varises, anemia (kebanyakan wanita), penyakit ginjal dan
saluran kemih (69% wanita), dermatitis dan urtikaria (57%) serta nyeri tulang belakang dan
pergeseran diskus intervertebre. Ditambahkan juga terdapat beberapa kasus penyakit akut
yang diderita petugas RS lebih besar 1,5 kali dari petugas atau pekerja lain yaiyu penyakit
infeksi dan parasit, saluran pernapasan, saluran cerna dan keluhan lainnya seperi sakit telinga,
sakit kepala, gangguan saluran kemih, masalah kelahiran anak, penyakit lambung, penyakit
kulit dan sistem otot tulang dan rangka.
Kesehatan kerja sendiri bertujuan untuk peningkatan dan pemeliharaan derajat kesehatan
fisik, mental, dan sosial yang setinggi-tingginya bagi pekerja yang disemua jenis pekerjaan,
pencegahan terhadap gangguan kesehatan pekerja yang disebabkan oleh kondisi pekerjaan,
perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari resiko akibat faktor yang merugikan
kesehatan dan penempatan serta pemeliharaan pekerja dalam suatu lingkungan kerja yang
disesuaikan dengan kondisi fisiologis dan psikologisnya karena kinerja setiap petugas
kesehatan merupakan resultan dari tga komponen yaitu kapasitas kerjam beban kerja dan
lingkungan kerja.
Yang dimaksud dengan ketiga komponen diatas tersebut adalah :
1. Kapasitas kerja adalah kemampuan seorang pekerja untuk menyelesaikan
pekerjaannya dengan baik pada suatu tempat kerja dalam waktu tertentu.
2. Beban kerja adalah suatu kondisi yang membebani pekerja baik secara fisik
maupun non fisik dalam menyelesaikan pekerjaanya, kondisi tersebut dapat
diperberat oleh kondisi lingkungan yang tidak mendukung secara fisik ataupun
non fisik.
3. Lingkungan Kerja adalah kondisi lingkungan tempat kerja yang meliputi faktor
fisik, kimia biologi dan ergonomi dan psikososial yang mempengaruhi pekerja
dalam melaksanakan pekerjaannya.
Bahaya potensial di RS dapat mengakibatkan penyakit dan kecelakaan akibat kerja
disebabkan oleh banyak faktor diantaranya faktor biologi (virus, Bakteri dan Jamur), faktor
kimia ( antiseptik, dan gas anestesi), faktor ergonomi (cara kerja yang salah), faktor fisika
(suhu, cahaya, bising, listrik, getaran dan radiasi), faktor psikososial (kerja sistem shift,
hubungan sesama karyawan).
Penyakit akibat kerja (PAK) pada umumnya berkaitan dengan faktor biologik (kuman
patogen yang berasal umumnya dari pasien), faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil
namun terus menerus antiseptik pada kulit, gas anastesi pada hati) faktor ergonomi ( cara
duduk yang salah, cara mengangkat pasien yang salah), faktor fisik dalam dosis kecil yang
terus menerus ( panas pada kulit, tegangan tinggi pada sistem reproduksi, radiasi pada sistem
peredaran darah), faktor psikologis ( ketegangan dikamar bedah, penerimaan pasien gawat
darurat dan bangsal penyakit jiwa).
Selain bahaya potensial diatas yang berkaitan dengan resiko kerja seorang dokter ada
telaah peran dan tanggung jawab hukum seoorang dokter atas penanganan terhadap pasien
dimana seorang pasien sebagai konsumen kesehatan, pada masa lampau tidak dibenarkan
untuk bertanya kondisi kesehatannya sendiri setelah diperiksa oleh seorang dokter karena
dianggap tabu atau tidak etis dan meragukan kemampuan sang dokter. Bahkan, jika terjadi
kematian pada pasien setelah ditangani oleh dokter dan paramedis, maka itu pun dianggap
sudah suratan takdir bagi pasien.
Namun kondisi sekarang sudah jauh berbeda, masyarakat sebagai pasien sekaligus
konsumen kesehatan secara yuridis formal berhak tahu akan kondisi kesehatannya, manfaat
dan khasiat dari semua terapi yang diberikan sang dokter. Pasien sangat berhak menuntut
petugas kesehatan untuk memberi pelayanan yang profesional dan bertanggung jawab
tentunya, tanpa mengenyampingkan kemampuan dari sang dokter tersebut.
Apalagi sejak diberlakukannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen No.7 tahun
1999, masyarakat khususnya pasien sebagai konsumen kesehatan, memiliki perlindungan diri
dari kemungkinan upaya kesehatan yang tidak bertanggungjawab.
Di sisi lain, seorang dokter karena terikat pada hubungan perjanjian dan sumpah
profesi mempunyai peran dan tanggungjawab yang tidak main-main dalam melakukan upaya
penyembuhan. Upaya yang dilakukan oleh dokter terhadap pasien itu tidak menjamin hasil
seratus persen kesembuhan. Tapi yang dijamin adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh
dari seorang dokter secara maksimal sesuai dengan standar yang berlaku
(inspanningverbintenis). Karena harus disadari, bahwa dokter adalah manusia biasa dengan
segala keterbatasannya. Ada pasien yang sembuh oleh suatu obat, tapi ada pula yang tidak
sembuh, sepandai-pandainya dokter mengobati suatu penyakit apalagi penyakit yang sudah
gawat, kadangkala di luar jangkauan kemampuan manusia walaupun berbagai upaya
pengobatan yang telah dilakukan namun tidak kunjung berhasil.
Seiring dengan tuntutan era globalisasi yang ditandai dengan pesatnya kemajuan dalam
bidang teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi, masyarakat pun telah mengalami
perubahan pola pikir secara drastis, ini berdampak pada dunia kedokteran. Dokter dituntut
untuk berbenah dalam mengantisipasi perubahan tersebut. Masyarakat sudah semakin cerdas
dan mengerti pentingnya pemeliharaan kesehatan dan bagaimana cara untuk tetap dapat
hidup sehat.

1.2 Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien


Dokter, pasien dan rumah sakit adalah tiga istilah penting dari sekian banyak istilah dunia
kedokteran yang akrab ditelinga masyarakat Indonesia. Ketiganya ibarat sisi mata uang, satu
sama lainnya saling membutuhkan. Seorang dokter dalam melakukan analisa kesehatan dan
tanggungjawab seorang dokter atas pasien tentu tidak dapat dilepaskan dari konteks tempat
bekerja, dalam hal ini rumah sakit.

Secara yuridis formal, apabila seorang pasien datang berobat ke sebuah rumah sakit,
maka pada saat itu seolah-olah telah timbul 3 (tiga) macam hubungan hukum, yaitu:
1. Hubungan hukum antara seorang dokter dan pasien,
2. Hubungan hukum antara rumah sakit dan pasien,
3. Hubungan hukum antara dokter dan rumah sakit.
Di dalam tulisan ini, penulisan lebih menitik beratkan bahasan pada hubungan hukum yang
terjadi antara seorang dokter dan pasien. Hubungan hukum ini kemudian dikenal dengan
istilah perjanjian penyembuhan atau transaksi terapeutik.
Perjanjian terapeutik yang terjadi antara dokter dan pasien baru dianggap sah apabila
telah memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerd. Pasal ini mengemukakan beberapa
persyaratan, yaitu:
1. Adanya kesepakatan.
Kata sepakat di sini berkaitan dengan Pasal 1338 jo 1340 ayat 1 KUHPerdata. Pasal
1338 menegaskan semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagi UU bagi
yang membuatnya. Dan Pasal 1340 ayat 1 menjelaskan bahwa perjanjian hanya
berlaku antara para pihak yang membuat.
2. Para pihak cakap untuk membuat perjanjian.
3. Sepakat tersebut dalam bentuk persetujuan tindakan medik (informed consent).
4. Adanya suatu sebab yang halal yang dibenarkan dan tidak dilarang oleh peraturan
perundangan serta sebab yang masuk akal untuk dipengaruhi
Menurut Veronica Komalawati transaksi terapeutik adalah suatu perjanjian yang objeknya
adalah pelayanan medis atau upaya penyembuhan. Perjanjian terapeutik menimbulkan
kewajiban bagi dokter untuk berupaya secara maksimal dalam menyembuhkan pasien
(inspanningverbintenis), tapi ada kalanya (jarang) juga merupakan keharusan bagi dokter
untuk menghasilkan sesuatu yang pasti (resultaatsverbintenis), semisal dokter bedah yang
berhasil mengamputasi kaki para korban sunami, dokter gigi yang membuat gigi palsu.
Kedudukan antara pasien dan dokter pada dasarnya sama tetapi secara psikologis dokter lebih
tinggi atau dominan kedudukannya dibanding pasien sebab dokter dianggap pihak yang
mempunyai kekuasaan tertentu dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya.
1.3 Kewajiban Seorang Dokter
Dokter pada hakekatnya merupakan sebuah profesi yang sangat mulia, yakni dengan
memberikan pertolongan kepada orang yang membutuhkan. Dalam menjalankan tugasnya
sebagai seorang dokter, berlakulah adagium aegroti salus lex suprema yang berarti
keselamatan pasien adalah hukum yang tertinggi. Untuk menjamin kualitas dan
profesionalitas kerja seorang dokter, maka sebelum menunaikan tugas di dalam masyarakat,
ia terlebih dahulu harus disumpah dengan tujuan agar dalam melaksanakan tugas kedokteran
yang diembannya tidak menyimpang dari nilai-nilai, etika dan tujuan yang telah ditetapkan.
Sumpah dokter memiliki kekuatan mengikat yang dilandasi ketentuan Peraturan Pemerintah
No.26 tahun 1960
Mengikrarkan sumpah tersebut, sama artinya secara moralitas seorang dokter telah terikat
untuk selalu membaktikan dirinya kepada kemanusiaan. Sebagai konsekwensi logis lainnya
dokter akan dikenai tanggungjawab profesi dalam segala tindakannya. Tanggungjawab dapat
diindikasikan dari pelaksanaan kewajiban. Fred Ameln dalam bukunya membagi kewajiban
dokter atas tiga (3) kelompok (Fred Ameln, 1991, 56):
1. Kewajiban yang berkenaan dengan fungsi sosial pemeliharaan kesehatan (Healt
Care).
Adalah seorang dokter harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat dan tidak
mengecilkan arti kepentingan seorang pasien. Karenanya dalam melakukan kewajiban
di sini, seorang dokter harus memperhitungkan faktor kepentingan yang berhubungan
dengan masyarakat (Doelmatiggebruik). Dapat dicontohkan, seorang dokter dalam
memberikan resep obat harus mempertimbangkan apakah obat tersebut sangat
dibutuhkan atau tidak.
2. Kewajiban yang berhubungan dengan hak-hak pasien.
Adalah termasuk kewajiban seorang dokter untuk selalu memperhatikan dan
menghormati semua hak pasiennya. Berikut beberapa hak pasien yang harus
dihormati, antara lain:
a. Hak atas informasi yang jelas mengenai penyakit yang diderita pasiennya.
b. Hak untuk memberikan persetujuan atas tindakan medis yang akan dilakukan
terhadapnya (informed consent).
c. Hak atas rahasia kedokteran yang meliputi:
i. Hak atas itikad baik dokter.
ii. Hak untuk mendapatkan pelayanan medis sebaik-baiknya.
3. Kewajiban yang berhubungan dengan standart profesi dan yang timbul dari standart
profesi kedokteran.

Dokter karena profesinya mempunyai peran dan tanggungjawab penuh dalam melakukan
upaya penyembuhan. Upaya yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya itu,
tidak bisa menjamin hasil seratus persen kesembuhan. Tapi yang dijamin adalah suatu upaya
yang sungguh-sungguh dari seorang dokter secara maksimal sesuai dengan standar
pengobatan yang berlaku (inspanningverbintenis). Perlu dipahami, bahwa ada pasien yang
sembuh oleh suatu obat, tapi ada pula yang tidak sembuh, bahkan sampai terjadi reaksi alergi
(keadaan yang paling berat adalah shock atau Steven Johnson Syndrome
Dari segi yuridis formal pasien yang datang untuk berobat kepada seorang dokter ahli
secara tidak langsung telah terikat dalam hubungan hukum perjanjian penyembuhan atau
perjanjian terapeutik. Hukum perjanjian menimbulkan perikatan. Perikatan adalah “hubungan
hukum antara dua pihak dalam lapangan harta kekayaan di mana salah satu pihak berhak atas
sesuatu dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhinya”.
Dengan demikian hak-hak yang dimiliki oleh seorang pasien harus dipenuhi oleh dokter
sebagai sebuah kewajiban atas profesinya dan begitu sebaliknya. Nah inilah yang penulis
maksudkan sebagai peran dan tanggungjawab dokter atas penyembuhan pasien.
Dokter karena terikat pada hubungan perjanjian dan sumpah profesi mempunyai peran
dan tanggungjawab yang tidak main-main dalam melakukan upaya penyembuhan. Upaya
yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya itu tidak bisa menjamin hasil seratus persen
kesembuhan. Tapi yang dijamin adalah suatu upaya yang sungguh-sungguh dari seorang
dokter secara maksimal sesuai dengan standar yang berlaku (inspanningverbintenis). Karena
harus disadari, bahwa dokter adalah manusia biasa dengan segala keterbatasannya. Sepandai-
pandainya dokter mengobati suatu penyakit apalagi penyakit yang sudah gawat, kadangkala
di luar jangkauan manusia berbagai upaya pengobatan yang maksimal.
Dari review diatas maka seorang dokter yang bekerja di lingkungan rumah sakit
dimana dokter sebagai top leader pelayanan dimana seorang dokter memikul tanggung jawab
atas setiap tindakan yang dilakukannya atau yang di instruksikan kepada paramedis selaku
mitra kerjanya mulai dari resiko bahaya potensial rumah sakit terhadap kondisi fisik
tubuhnya, kondisi psikologisnya dalam menangani pasien gawat dan situasi kerja yang tidak
kondusif atas intervensi dari pihak luar atau bahkan tuntutan hukum atas tindakan medis yang
diberikannyaataupun keterangan yang diberikan olehnya yang berkaitan dengan bidang
keilmuan kedokteran. Oleh karena mengingat paparan diatas sebagai bentuk penghargaan
bagi seorang dokter yang bekerja maka sebaiknya diberikan tambahan penghasilan bagi
seorang dokter yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS) sesuai dengan peraturan yang
berlaku.
2. KONDISI KERJA DI RSUD MUKOMUKO
Rumah Sakit Umum Daerah Mukomuko merupakan suatu Badan Layanan Umum
Daerah (BLUD) yang merupakan satu-satunya rumah sakit pemerintah yang berada di
kabupaten Mukomuko yang terakreditasi C dengan kriteria salah satunya jumlah sumber daya
manusia khususnya dalam hal ini memiliki minimal 9 orang dokter umum yang bertugas
memberikan pelayanan dasar baik itu diunit gawat darurat, rawat inap maupun unit rawat
jalan. Dokter umum di RSUD Mukomuko merupakan ujung tombak pelayanan dasar pertama
yang akan ditemui oleh setiap pasien yang akan membutuhkan pelayanan medis. Alur
tatalaksana pasien khususnya yang mendapat pelayanan di bagian unit gawat darurat akan
selalu dilakukan oleh dokter umum dimana dokter umum bertindak sebagai dokter triase
( dokter yang membagi kondisi pasien berdasarkan tingkat kegawatan dan memutuskan mana
yang harus dilakukan penanganan segera) sebelum pasien tersebut menerima layanan lanjutan
yang diberikan oleh dokter konsultan dalam hal ini oleh dokter spesialisasi. Seorang dokter
umum di RSUD Mukomuko diwajibkan selalu stand by memberikan pelayanan 24 jam setiap
harinya. Hal ini menjadikan jadwal jaga seorang dokter umum di RSUD Mukomuko menjadi
lebih padat karena terbagi dalam tiga shift kerja tanpa membedakan hari kerja dan hari libur
dan dibagi menjadi dokter jaga unit gawat darurat dan dokter jaga rawat inap.
Sebagai contoh, jadwal jaga dokter yang bekerja di unit gawat darurat maupun rawat inap
RSUD Mukomuko (contoh jadwal jaga terlampir).
Dari lampiran diatas beban kerja pelayanan seorang dokter umum yang bertugas di unit
gawat darurat maupun rawat inap sangat terkait dengan jumlah dokter yang ada dan kondisi
lingkungan kerja sendiri. Seorang dokter IGD bertugas sendiri dalam menangani pasien yang
masuk ke dalam unit gawat darurat, salah satu contohnya misalkan ada 5 pasien yang masuk
bersamaan dan harus mendapatkan pelayanan segera atau pasien kecelakaan lalu lintas yang
lukanya mengancam nyawa serta ibu yang akan melahirkan dengan kondisi pembukaan
lengkap dengan penyulit. Kondisi – kondisi seperti inilah yang paling sering ditemui dalam
unit gawat darurat dimana akan ada pemilahan pasien mana yang akan didahulukan untuk
ditangani berdasarkan sisi keilmuan seorang dokter. Tindakan pemilahan ini sendiri akan
mengakibatkan rasa tidak nyaman bagi keluarga pasien. Banyak diantaranya melakukan
tindakan intimidasi, pemaksaan bahkan ancaman agar mereka didahulukan atau bahkan tidak
mematuhi aturan yang ada contoh kecil diantaranya yang boleh menunggui pasien hanya dua
orang namun keluarga masuk beramai-ramai sehinggga mengganggu dokter dalam
memberikan pelayanan. Disamping selain pemeriksaan dasar, pasien unit gawat darurat akan
selalu dekat dengan yang namanya tindakan medis. Setiap tindakan medis yang diberikan
akan selalu ada resikonya baik itu terhadap pasien itu sendiri maupun terhadap seorang
dokter. Bagi seorang dokter akan ada paparan terhadap agent penyebaran penyakit apakah
cairan tubuh pasien baik itu darah, lendir batuk, dahak pasien tb, cairan infeksi berupa nanah
atau bahkan melalui kontak langsung antara seorang dokter dengan pasiennya dalam
memberikan pelayanan medis. Dari data registrasi pasien yang masuk ke unit gawat darurat
RSUD Mukomuko hampir 85% merupakan pasien dengan resiko infeksi yang tinggi
diantaranya penyakit infeksi paru ( Tb paru, pneumonia), infeksi pada jaringan lunak dan
sistem otot rangka ( abses), ganggren, diare, demam berdarah, hepatitis dan kasus HIV AIDS
belum ter skreening.
Disamping paparan agent biologis diatas penggunaan antiseptik dosis kecil dalam
jangka lama akan menyebabkan adanya gangguan pada kulit baik itu reaksi alergi atau
bahkan memicu terjadinya kanker. Sedangkan paparan radiasi pengion dalam melakukan
tindakan foto rontgen juga berpotensi memicu perubahan struktur dalam tubuh akibat radiasi
yang dialami terus menerus. Ketegangan bekerja di instalasi gawat darurat pun juga
dirasakan secara psikologis apabila pasien yang datang dengan kondisi mengancam nyawa
dan membutuhkan tindakan resusitasi segera seperti pasien dengan henti napas, cedera kepala
berat, hiperglikemia dengan komplikasi distress pernapasan, trauma dengan perdarahan
hebat, penurunan kesadaran, serangan jantung dan kondisi-kondisi mengancam jiwa lainnya
yang membutuhkan skill yang lebih dalam melakukan tatalaksana. Disamping itu intervensi
pihak keluarga yang meminta melakukan pemeriksaan yang tidak sesuai dengan kondisi
klinis pasien, pasien dan keluarga yang tidak kooperatif serta tingkat emosional yang tinggi
yang diberikan keluarga terhadap dokter dalam menjalankan tugasnya.
Keterbatasan fasilitas sarana dan prasarana yang menjadi penunjang dalam
penanganan dan penegakan diagnosa juga menjadi salah satu faktor yang membuat kondisi
lingkungan kerja terasa lebih berat. Seorang dokter umum juga akan berhubungan dengan
kepentingan hukum diantaranya tindakan visum dan tindakan pemeriksaan narkoba. Namun
yang sering terjadi adalah permintaan visum hampir selalu tidak sertai dengan permintaan
resmi dari pihak yang berwenang seperti yang telah diatur dalam peraturan perundangan
undangan, kondisi seperti ini akan menyebabkan dokter menjadi serba salah apabila
dikelurkan maka tidak tertutup kemungkinan seorang dokter dianggap tidak mematuhi hukum
namun jika dilakukan maka seorang dokter akan bisa terjerat perkara pidana karena dianggap
tidak memberikan keterangan yang sebenarnya. Selain itu apabila terjadi respons tubuh yang
berbeda dari seorang pasien dalam melakukan tindakan maka dokter akan selalu berada
dibawah ancaman tuntutan baik itu kelalaian medis atau bahkan tuntutan mal praktek.
Untuk dokter umum yang bekerja diruangan rawat inap setiap shift jaga seorang
dokter bertugas mengcover semua pasien yang di rawat inapkan sehingga setiap ada keluhan
pasien dari masing-masing ruangan dokter rawat inap akan selalu ditangani oleh dokter jaga
rawat inap, dan apabila terdapat tindakan seperti penanganan bayi baru lahir baik yang
dilakukan secara sectio sesarea ataupun secara spontan pervaginam maka yang melakukan
tatalaksana awal adalah dokter jaga. Untuk pasien kritis yang sedang dirawat diruangan icu,
iccu atau ruangan nicu seorang dokter jaga ruangan diwajibkan untuk stand by melakukan
monitoring pemantauan secara intensif

REVIEW RESIKO DAN KONDISI KERJA DOKTER


DARI SEGI ASPEK KESEHATAN DAN LINGKUNGAN KERJA SERTA
TELAAH HUKUM ATAS PERTANGGUNGJAWABAN DALAM
MENANGANI PASIEN

Anda mungkin juga menyukai