Anda di halaman 1dari 14

Kajian Tentang Corporate social Responsibility (CSR)

Di Kabupaten Cianjur

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Devisa negara dari sektor industri begitu besar, namun sebagian masyarakat
disekitar perusahaan masih hidup dalam kondisi yang memprihatinkan yang
menyebabkan sebagian besar diantaranya tidak memiliki daya cipta untuk berkembang.

Dalam rangka merespon kondisi tersebut pihak perusahaan lainnya telah


melakukan program CSR (corporate social responsibility). Meskipun isu tanggung jawab
sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility-CSR) sudah cukup lama muncul di
negara-negara maju, namun di Indonesia, isu tersebut baru akhir-akhir ini mengalami
perhatian yang cukup intens dari berbagai kalangan (perusahaan, pemerintah ,
akademisi, dan NGOs). Masih relatif barunya konsep CSR tersebut diperbincangkan oleh
berbagai kalangan, membuat pemahaman terhadap konsep CSR tersebut juga masih
berbeda-beda, dan dipraktekkan secara berbeda-beda pula.

Pada awalnya, program CSR didasarkan pada pemikiran bahwa perusahaan tidak
lagi dipandang sebagai entitas pencetak laba yang ekslusif bagi shareholdersnya tetapi
juga mengemban misi sosial bagi masyarakat sekitarnya dan memandang aktifitas usaha
yang dilakukan sebagai bagian dari eksistensi mereka ditengah-tengah masyarakat. Ia
merupakan bagian dari strategi bisnis bagi kelangsungan usaha dengan mengurangi
resistensi masyarakat sekitar. Sesungguhnya substansi keberadaan CSR adalah dalam
rangka memperkuat keberlanjutan perusahaan itu sendiri dengan cara membangun
kerjasama antar stakeholders yang difasilitasi perusahaan tersebut. Oleh karena itu
pengembangan CSR harus mengacu pada konsep pembangunan yang berkelanjutan
(sustainability development).

Prinsip keberlanjutan ini mengedepankan pertumbuhan, khususnya bagi


masyarakat miskin dalam mengelola lingkungannya dan kemampuan institusinya dalam
mengelola pembangunan, serta strateginya adalah kemampuan untuk mengintegrasikan
dimensi ekonomi, ekologi, dan sosial yang menghargai kemajemukan ekologi dan social
budaya. Kemudian dalam proses pengembangannya tiga stakeholder inti diharapkan
mendukung penuh, yaitu : perusahaan, pemerintah dan masyarakat. Berdasarkan hasil
kajian Mulyadi (2003) dari Center for Population Policy Studies Universitas Gajah Mada
dinyatakan bahwa hubungan ketiga stakeholders dalam merealisasikan program CSR
masih ruwet. Beberapa program berusaha meningkatkan kapasitas masyarakat namun
secara umum realisasinya berorientasi pada kegiatan kegiatan derma berupa pendirian
infrastruktur fisik seperti pembangunan fasilitas sekolah, kesehatan, transportasi, sarana
olah raga, sarana peribadatan dan lain-lain. Pada konteks ini kadang-kadang sulit
dipisahkan apakah pembangunan fasilitas tersebut untuk kepentingan masyarakat atau
untuk perusahaan. Misalnya pembangunan jalan, ditingkat tertentu sebenarnya ditujukan
untuk memperlancar transportasi kegiatan perusahaan. Kalaupun menguntungkan
masyarakat hal tersebut tidak lain hanyalah merupakan dampak dari pembangunan
tersebut, bukan tujuan utama.
Selain itu CSR tidak ditujukan untuk mempersiapkan masyarakat pasca realisasi
program, koordinasi dengan pemerintah daerah kurang atau bahkan tidak pernah
dilakukan, implementasi program secara umum dirancang oleh perusahaan tanpa
melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah, desain program tidak disusun secara
sistematis dan sebagainya. Akibatnya adalah sebagian program CSR tidak tepat sasaran
dan masyarakat kurang merasakan manfaatnya bagi perbaikan ekonomi dan kehidupan.
Sementara itu pemerintah daerah mengharapkan program CSR dapat membantu
menyelesaikan: (1). Permasalahan sosial, seperti pengangguran, kemiskinan,
pendidikan, kesehatan, dan (2). Permasalahan ekonomi, seperti pemberdayaan usaha
kecil/menengah dansebagainya.

Seringkali dalam praktek, CSR ini disamakan dangan derma (charity), sehingga
ketika ada perusahaan yang membagi-bagikan hadiah kepada masyarakat di sekitar
perusahaan sudah dianggap melaksanakan tanggung jawab sosialnya pada masyarakat.
Sesungguhnya, konsep CSR tidaklah sama dengan karikatif (charity) atau philanthropy
(kedermawanan) yang lebih spontan pemberiannya dan kurang memiliki efek jangka
panjang bagi masyarakat dalam arti pemberdayaan mereka baik secara ekonomi, sosial,
dan budaya. Menurut Widiyanarti (2005), pendekatan CSR hendaknya dilakukan secara
holistic, artinya, pendekatan yang dilakukan oleh perusahaan tidak dalam kegiatan bisnis
semata, melainkan juga bergerak dari yang sifatnya derma (charity) menuju ke arah CSR
yang lebih menekankan pada keberlanjutan pengembangan masyarakat (community
development). Intinya, bagaimana dengan CSR tersebut masyarakat menjadi berdaya
baik secara ekonomi, sosial, dan budaya secara berkelanjutan (sustainability) sehingga
perusahaan juga dapat terus berkembang secara berkelanjutan. Dalam konteks ini, CSR
lebih dimaknai sebagai investasi jangka panjang bagi perusahaan yang melakukannya.

Dalam konteks Indonesia umumnya, dan Cianjur khususnya, bila perusahaan-


perusahaan, baik perusahaan-perusahaan milik negara maupun swasta (nasional dan
asing) mau menjalankan CSR melalui pendekatan yang holistic, niscaya akan sangat
berkontribusi bagi pembangunan masyarakat dalam arti peningkatan kesejahteraan
keluarga dan komunitas secara berkelanjutan, khususnya yang terlibat secara langsung
dengan program-program CSR tersebut. Khusus di Cianjur, terdapat cukup banyak
perusahaan-perusahaan besar swasta seperti PT AURORA,GSI dan lain sebagainya
yang bergerak di sektor industri, dan perusahaan swasta dan asing yang juga bergerak
di sektor industri, serta perusahaan-perusahaan lainnya di berbagai sector.

Perusahaan-perusahaan tersebut, baik negara maupun swasta (nasional dan


asing), beberapa diantaranya sudah melakukan apa yang disebut sebagai Corporate
Social Responsibility (CSR), meskipun belum sepenuhnya dilakukan dengan pendekatan
yang holistic, bahkan sebagian besar hanya dilakukan dalam bentuk derma (charity).
Akibatnya, makna sesungguhnya dari CSR yang menjadi alasan penting mengapa
kalangan bisnis mau merespon dan mengembangkan isu CSR belum tercapai
sepenuhnya. Steiner (1994) menyebutkan bahwa ada tiga alasan penting mengapa
pebisnis mau merespon dan mengembangkan isu CSR dengan usahanya, pertama,
perusahaan adalah makhluk masyarakat dan oleh karenanya harus merespon
permintaan masyarakat. Ketika harapan masyarakat terhadap fungsi perusahaan
berubah, maka perusahaan juga harus melakukan aksi yang sama. Kedua, kepentingan
bisnis dalam jangka panjang ditopang oleh semangat tanggung jawab sosial itu sendiri.
Hal ini disebabkan karena arena bisnis dan masyarakat memiliki hubungan yang saling
menguntungkan (simbiotik).

Dalam jangka panjang kelangsungan hidup perusahaan tergantung pada upaya


untuk bertanggung jawab terhadap masyarakat sebagai bagian dari aktivitas bisnisnya.
Sebaliknya, kesejahteraan masyarakat tergantung pula terhadap keuntungan yang
dihasilkan dan tanggung jawab bisnis perusahaan.
Ketiga, kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan merupakan salah satu cara
untuk mengurangi atau menghindari kritik masyarakat, dan pada akhirnya akan sampai
pada upaya mempengaruhi peraturan pemerintah. Jika sebuah perusahaan menghindari
peraturan pemerintah dengan cara merespon suatu tuntutan sosial, sama halnya
mengurangi biaya perusahaan, karena diyakini bahwa adanya peraturan-peraturan
pemerintah secara umum akan membuat biaya lebih mahal dan menekan fleksibilitas
perusahaan dalam beroperasi.

Bila tiga alasan penting keberadaan CSR telah tercapai, maka konflik yang sering
muncul antara: ”pemerintah – masyarakat – perusahaan” akan dapat dieliminir, dimana
konflik tersebut seringkali merugikan tidak hanya masyarakat, tetapi merugikan semua
pihak (pemerintah, masyarakat, dan perusahaan), bahkan untuk kasus-kasus tertentu,
perusahaan “terpaksa” harus menghentikan operasional perusahaannya. Praktek CSR
yang selama ini dilakukan oleh beberapa perusahaan di Indonesia belum menunjukkan
hasil yang signifikan khususnya bila dikaitkan dengan pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Padahal bila pemanfaatan dana CSR dapat dioptimalkan dan dilakukan
dengan model (pola) yang baik, niscaya akan berkontribusi sangat besar bagi
pemberdayaan ekonomi (pengurangan angka kemiskinan) dalam masyarakat. Pola
Community Development (CD) merupakan bentuk CSR yang saat ini banyak
dipraktekkan oleh perusahaan (korporasi) besar. Masalahnya, apakah makna yang
terkandung dalam CD sudah diimplementasikan secara benar. Dalam implementasi CD
inilah modal sosial (social capital) dapat dimanfaatkan dan didayagunakan agar makna
yang terkandung dalam CD benar-benar dapat terlaksana. Agar program CSR tepat
sasaran, keterlibatan ketiga stakeholders, yakni perusahaan, masyarakat dan
pemerintah (pemerintah daerah) harus dioptimalkan.

Dalam implementasi program-program CSR, diharapkan ketiga elemen ini saling


berinteraksi, dukung-mendukung, berpartisipasi aktif dan bersinergi secara
komprehensif.

1.2. Perumusan Masalah

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian
ini adalah :

1. Bagaimana model implementasi CSR yang dilakukan oleh perusahaan di Cianjur ?

2. Bagaimana pandangan masyarakat terhadap Program CSR yang sudah dilakukan


oleh perusahaan di Cianjur ?

3. Bagaimana bentuk dan formulasi partisipasi ketiga elemen (Perusahaan – Masyarakat


– Pemerintah Daerah) dalam implementasi CSR di sektor industri sehingga lebih
efektif ?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Menganalisis kondisi eksisting model pelaksanaan CSR pada perusahaan di Cianjur.

2. Menganalisis pandangan masyarakat terkait program CSR yang dilaksanakan oleh


perusahaan.

3. Menganalisis dan memformulasikan model partisipasi stakeholders dalam mendukung


efektifitas pelaksanaan CSR pada perusahaan di Cianjur.
1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan akan memberi manfaat antara lain:

1.Meningkatnya kapasitas peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam


mengimplementasikan program-program CSR yang diselenggarakan oleh
perusahaan.

2.Meningkatnya hubungan yang harmonis antara perusahaan, pemerintah daerah dan


masyarakat sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif, dan terjadi pemberdayaan
social ekonomi masyarakat.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsepsional Corporate Social Responsibility (CSR)

Banyak kalangan melihat bahwa praktek CSR yang dilakukan oleh korporat masih
sebatas ”kosmetik”. Nuansa ”kosmetik” tersebut menurut Wibowo (2006) tercermin dari
berbagai aspek sejak perumusan kebijakan dan penentuan orientasi program,
pengorganisasian, pendanaan, eksekusi program, hingga evaluasi dan pelaporan. Dalam
tataran praktek, CSR hanya sekedar berfungsi sebagai public relation, citra korporasi,
atau reputasi dan kepentingan perusahaan untuk mendongkrak nilai saham di bursa
saham. Namun demikian, tidak dapat pula dipungkiri bahwa perkembangan pelaksanaan
CSR akhir-akhir ini juga mengalami kecenderungan positif dalam upaya pemberdayaan
masyarakat. Seperti yang dikemukakan oleh Kottler dan Lee (2005), bahwa telah terjadi
pergeseran dalam pendekatan korporasi dalam melaksanakan CSR. Semula CSR
dilaksanakan dalam kerangka pendekatan tradisional, dimana implementasi CSR
dianggap sebagai beban belaka, kini telah timbul kesadaran pelaksanaan CSR
merupakan bagian yang menyatu dalam strategi bisnis suatu korporasi, dimana
implementasi CSR justru mendukung tujuan-tujuan bisnis inti. Perubahan arah
kecenderungan perkembangan pelaksanaan CSR tersebut di Indonesia akhir-akhir ini
cukup intens diperbincangkan berbagai kalangan (pemerintah, pebisnis, akademisi, dan
NGOs). Namun demikian, riset-riset yang terkait dengan implementasi CSR belum
banyak dilakukan, khususnya terkait dengan riset model implementasi CSR yang
berbasis pada pemanfaatan modal sosial. Riset yang dilakukan masih berkisar pada
praktek CSR yang sedang berlangsung saat ini, seperti yang dilakukan oleh Saidi (2002);
Tanry Widiyanarti (2004); Fajar Nursahid (2006); Rusfadia Saktiyanti Jahya (2006); dan
Siti Adiprigandari Adiwoso Suprapto (2006).

Dari beberapa hasil riset tersebut secara umum dapat disimpulkan antara lain: pertama,
bahwa pebisnis umumnya melihat praktek CSR sabagai kegiatan yang memiliki makna
sosial dan bisnis sekaligus. Artinya, praktek CSR masih dikaitkan dengan peningkatan
citra korporat di mata masyarakat; kedua, praktek CSR yang dilakukan belum mencapai
hasil seperti yang diharapkan dalam arti pemberdayaan ekonomi, sosial, dan budaya
masyarakat. Hal ini terjadi antara lain disebabkan oleh kebijakan program yang terlalu
kaku, implementasi yang salah, dan belum siapnya masyarakat calon penerima bantuan.
Bila hasil penelitian tersebut dikaitkan dengan hasil penelitian yang pernah peneliti
lakukan terkait dengan pemanfaatan modal sosial (social capital) pada komunitas petani
karet (Badaruddin, 2006) dan pada komunitas nelayan (Badaruddin, (2003) maka
implementasi CSR juga sangat terkait dengan pemanfaatan modal social komunitas
lokal. Hal ini diperkuat pula oleh Ibrahim (2006) yang menyebutkan perlunya
memperkuat kembali modal sosial komunitas lokal melalui CSR.

2.2. Pemanfaatan Modal Sosial (Social Capital) pada Implementasi CSR

Konsep modal sosial yang dijadikan fokus penelitian ini, menurut Fukuyama
dalam Ibrahim (2002), pertama kali dikemukakan oleh Lyda Hudson Hanifan (1916)
untuk menggambarkan Ruaral School Community Centers. Coleman (1988) yang
mendefinisikan modal sosial sebagai aspek-aspek dari struktur hubungan antar individu
yang memungkinkan mereka menciptakan nilai-nilai baru (Lubis, 2002).
Lebih lanjut Lubis (2002) menyebutkan bahwa konsep ini menjadi populer setelah
dielaborasi oleh sejumlah sarjana dalam kajian mereka seperti Ostrom (1992); Putnam
(1993, 1995, 1999, 2000); Fukuyama (1995); Adams dan Someshwar (1996);
Babbingtone (1998); Pretty dan Ward (1999); Krishna dan Uphoff (1999); dan Rose
(1999). The World Bank sebagai salah satu institusi finansial dunia yang banyak
menyalurkan bantuan, khususnya bagi negara-negara dunia ketiga, juga tertarik dengan
hasil kajian yang menggunakan konsep modal sosial (lihat Dasgupta dan Serageldin,
1999). The World Bank mendefinisikan modal sosial sebagai norma-norma dan
hubungan sosial yang melekat dalam struktur sosial masyarakat yang mampu
mengkoordinasikan tindakan dalam mencapai tujuan. Ostrom (1993) yang mencoba
menganalisis program-program pembangunan di Negara Dunia Ketiga dengan
menggunakan konsep modal sosial ini menyebutkan bahwa pembangunan yang
memanfaatkan modal sosial menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih baik, sehingga
ia menyimpulkan bahwa modal social merupakan salah satu prasyarat bagi keberhasilan
suatu program pembangunan.

Sementara itu Rose (1999) dalam penelitiannya di Russia menemukan bahwa


modal sosial merupakan unsur utama bagi bekerjanya organisasi informal dalam
masyarakat sebagai alternatif dari organisasi formal. Putnam (1993) dan Fukuyama
(1995) menyebutkan bahwa modal sosial tidak terletak pada individu, tetapi pada
kelompok, komunitas, bahkan pada tingkat negara (state). Lebih lanjut Putnam
menyebutkan bahwa hubungan sosial adalah cerminan dari kerjasama dan koordinasi
antar warga yang didasari oleh ikatan sosial yang aktif dan bersifat resiprokal (timbal
balik). Putnam juga menyebut bahwa kepercayaan, norma dan jaringan sosial cenderung
saling memperkuat (self reinforcing) dan bersifat kumulatif. Sementara itu Coleman
(1988) yang melakukan pengkajian partisipatoris di Chicago mendefinisikan modal social
berdasarkan fungsinya, yaitu aspek-aspek struktur sosial dimana aktor dapat
menggunakan sebagai sumberdaya untuk mencapai kepentingannya. Ini menunjukkan
bahwa struktur sosial yang ada turut mempengaruhi bekerjanya modal sosial dalam
suatu masyarakat.

Dari hasil kajian yang telah dilakukan oleh beberapa sarjana, Lubis (2002) sampai
pada kesimpulan bahwa modal sosial berintikan elemen-elemen pokok yang mencakup:
(1) saling percaya (trust), yang meliputi adanya kejujuran (honesty), kewajaran (fairness),
sikap egaliter (egalitarianism), toleransi (tolerance) dan kemurahan hati (generosity); (2)
jaringan sosial (networks), yang meliputi adanya partisipasi (participations), pertukaran
timbal balik (reciprocity), solidaritas (solidarity), kerjasama (colaboration/cooperation),
dan keadilan (equity); (3) pranata (institutions), yang meliputi nilai-nilai yang dimiliki
bersama (shared value), norma-norma dan sanksi-sanksi (norms and sanctions), dan
aturan-aturan (rules). Elemen-elemen pokok modal sosial tersebut bukanlah sesuatu
yang tumbuh dan berkembang dengan sendirinya, melainkan harus dikreasikan dan
ditransmisikan melalui mekanismemekanisme sosial budaya di dalam sebuah unit sosial
seperti keluarga, komunitas, asosiasi sukarela, negara dan sebagainya. Adanya jaringan
hubungan antar individu, norma-norma dan kepercayaan, sebagai bagian dari modal
sosial memberikan manfaat dalam konteks terbentuknya kerjasama kolektif dalam
pengelolaan penjualan komoditi karet petani secara kolektif melalui sistem “lelang” yang
akan memperkuat posisi tawar (bargaining position) petani karet terhadap para
pedagang karet yang senantiasa berupaya mengeksploitasi mereka melalui penentuan
harga secara sepihak. Menurut Putnam (1999), kerjasama akan lebih mudah terjadi di
dalam suatu komunitas yang mewarisi sediaan modal social yang nyata, dalam bentuk
norma-norma resiprositas dan jaringan keterlibatan antar warga.
Dalam konteks Indonesia, penelitian yang menggunakan konsep modal social
antara lain dilakukan oleh Lubis (2002). Penelitian Lubis (2002) menemukan bahwa pada
komunitas yang mampu memanfaatkan potensi modal sosial telah mampu memberi
sumbangan bagi peningkatan kesejahteraan komunitas desa melalui penghasilan yang
diperoleh dari pengelolaan lubuk larangan secara kolektif yang dimanfaatkan untuk
pembangunan sarana dan prasarana di desa tersebut. Namun hasil yang diperoleh dari
kerjasama kolektif tersebut hanya terbatas pada peningkatan kesejahteraan komunitas
desa dan belum secara langsung menyentuh pada peningkatan penghasilan keluarga.
Studi yang dilakukan Badaruddin (2006) tentang kerjasama kolektif penjualan karet di
Kecamatan Rao Kabupaten Pasaman Propinsi Sumatera Barat menemukan bahwa
penjualan karet secara kolektif dengan sistem “lelang” telah memberi kontribusi bagi
peningkatan penghasilan keluarga dan peningkatan kesejahteraan komunitas desa
karena karet dapat terjual dengan harga yang lebih tinggi.

Peningkatan kesejahteraan komunitas desa melalui pembangunan sarana dan


prasarana desa seperti perbaikan jalan, pembangunan mesjid, pembangunan madrasah,
penggajian guru dan lain-lain diperoleh melalui sumbangan yang diberikan para petani
karet yang besarnya telah disepakati bersama. Penelitian Badaruddin (2003) terhadap
komunitas nelayan menemukan bahwa salah satu faktor penyebab sulitnya komunitas
nelayan tradisional dan nelayan buruh keluar dari perangkap kemiskinan adalah
rendahnya atau tidak berkembangnya modal sosial dalam komunitas tersebut.
Sementara itu Ali Wafa (2003) dalam studinya yang berjudul Urgensi Keberadaan Social
Capital dalam Kelompok1 Kelompok Sosial di Jawa Tengah sampai pada kesimpulan
bahwa, social capital di Kelompok Tani ”Mardi Utomo” dapat berjalan, karena didukung
dengan trust yang kuat, mekanisme kontrol sosial, pekerjaan yang sama sebagai petani,
dan tujuan yang dimiliki kelompok sosial dimana faktor-faktor pendukung tersebut berada
di dalam struktur sosial yang ada.

Hasil penelitian Salman (1999) juga menemukan bahwa hasil kerja kolektif
(kolaborasi) dengan memanfaatkan potensi modal sosial dalam upaya meningkatkan
penghasilan dalam komunitas nelayan telah menunjukkan hasil yang memuaskan.
Salman (1999) mengemukakan bahwa hasil kerja kolektif (kolaborasi) yang dilakukan
nelayan di Pulau Barrang Candi (Makassar) tidak hanya berhasil meningkatkan
pendapatan secara temporer, tetapi juga pada terputusnya ikatan bergantung nelayan
kecil (klien) pada sejumlah punggawa besar (patron), berubahnya struktur bagi hasil
dalam komunitas ke arah yang lebih demokratis, serta tertanamnya kesadaran kritis
tentang pentingnya kerja kolektif diantara mereka dalam mengatasi masalah yang
mereka hadapi. Ohama (2001) juga mengajukan satu kasus kerja kolektif (kolaboratif)
yang sukses di Luzon Tengah (Filipina), dimana kerja kolektif tidak hanya mengeluarkan
komunitas petani dari perangkap kemiskinan, melainkan berhasil mengkreasi sebuah
modal sosial (social capital) dalam bentuk lahir dan berkembangnya organisasi rakyat
“Ugnayang Magsasakang San Siomon (UMSS)”.

Beberapa kasus lain adalah pengalaman sejumlah program/proyek reduksi


kemiskinan pada berbagai Negara Amerika Latin dan Karibia, seperti El Salvador,
Jamaica, Venezuela, Columbia, Argentina, dan Bolivia. Pada beberapa negara tersebut
telah berlangsung upaya reduksi kemiskinan dengan pemanfaatan potensi modal sosial
yang dinamai sebagai “Government, Business, and Civic Partnerships for Poverty
Reduction” (Fiszbein dan Lowden, 1999). Meskipun beberapa hasil penelitian yang telah
dipaparkan di atas menunjukkan bahwa pemanfaatan potensi modal sosial dalam suatu
komunitas memberikan manfaat positif, tetapi modal sosial tersebut bukanlah sesuatu
yang tumbuh dan berkembang sendiri, melainkan harus dikreasi dan ditransmisikan
melalui mekanisme-mekanisme budaya. Seperti apa yang dikemukakan Fukuyama
(1995:26), bahwa modal sosial juga adalah sesuatu yang dikreasikan dan ditransmisikan
melalui mekanisme-mekanisme kultural seperti religi, tradisi, dan kebiasaan-kebiasaan
historis.
Hasil penelitian yang dilakukan Lubis (2002) tentang modal sosial dalam
pengelolaan sumberdaya milik bersama (lubuk larangan) di Tapanuli Selatan Propinsi
Sumatera Utara sampai pada kesimpulan bahwa dalam setiap komunitas pengelola
lubuk larangan terdapat mekanisme-mekanisme sosial yang dikreasikan untuk
menautkan seluruh elemen poko modal sosial tersebut. Ada variasi antar komunitas
tentang bagaimana mekanisme itu dijalankan, tetapi secara umum memiliki benang
merah yang sama.

Aspek-aspek teoritik yang berkaitan dengan CSR dan modal sosial tersebut akan
digunakan sebagai orientasi teoritik dalam memahami dan menjelaskan: pola-pola
implementasi CSR yang sudah dilakukan oleh perusahaan (korporasi), baik korporasi
negara (BUMN) maupun Swasta; persepsi (pandangan) stakeholder (penerima bantuan)
terhadap praktek CSR yang sudah dilakukan selama ini; model implementasi CSR yang
berbasis pada tiga stakeholder yaitu: Perusahaan-Masyarakat-Pemerintah/Pemerintah
Daerah.

Adapun pihak perusahaan harus memberikan program bantuan nyata bagi


masyarakat sekitar perusahaan diantaranya :

Program Kemitraan, Program tanggungjawab sosial perusahaan ini


diimplementasikan dalam bentuk pemberian modal usaha bagi usaha kecil di berbagai
sektor yaitu, sektor industri, sektor perdagangan, sektor pertanian, sektor jasa, dan
sektor peternakan.
Untuk Program Kemitraan ini, pola implementasi program diawali dengan
pengajuan proposal oleh usaha kecil dari berbagai sektor seperti yang telah disebutkan
di atas. Proposal yang diajukan tentunya memuat usaha yang telah dilakukan selama ini
dan ditujukan untuk mengembangkan usaha yang telah dirintis dengan mengajukan
pinjaman dana sesuai dengan yang dibutuhkan dan kelayakan usahanya. Persyaratan ini
menunjukkan bahwa yang mengajukan peminjaman dana harus sudah punya
pengalaman di bidang usaha yang ditekuninya minimal satu tahun. Artinya, pinjaman
dana yang diajukan tidak untuk membuka usaha atau kegiatan baru, tetapi lebih pada
pengembangan dan peningkatan usaha yang telah ada. Proposal yang diajukan ke pihak
perusahaan sifatnya perseorangan (per kegiatan usaha) atau juga atas nama
kelembagaan dan tidak harus diketahui oleh aparat setempat (Kepala Desa atau Lurah
misalnya). Dalam konteks ini (Program Kemitraan), implemetasi program belum
melibatkan pemerintahan setempat (Kepala Desa/Lurah), meskipun menurut informan,
pihak perusahaan sudah berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak pemerintah
Kabupaten/Kota dalam implementasinya untuk menghindari terjadinya overlapping dalam
pemberian dana (bantuan) antara pemerintah dengan pihak perusahaan. Proposal yang
sudah siap, diajukan oleh yang bersangkutan ke masing-masing Distrik Manager (DM) di
wilayah masing-masing4. Proposal yang masuk ke Distrik Manager akan dievaluasi oleh
tim yang sudah terbentuk. Evaluasi meliputi kelengkapan administrasi yang disyaratkan,
antara lain: ”jaminan” peminjaman dana. ”Jaminan” yang dilampirkan dalam proposal
dapat berupa Surat Tanah (minimal Surat Camat atau Notaris), BPKP kenderaan, dan
lain-lain yang dapat menjadi jaminan.
Menurut Informan, ”jaminan” yang diberikan ini sifatnya hanyalah sebatas ikatan
moralitas yang dapat memberikan dorongan moral agar yang bersangkutan dapat
mengembalikan bantuan yang diberikan untuk dapat diteruskan pada mitra-mitra lainnya
yang juga sangat membutuhkan.

Program Bina Lingkungan, Program tanggungjawab sosial perusahaan ini


diimplemetasikan dalam bentuk beberapa kegiatan yang mencakup sarana dan
prasarana umum seperti, rumah ibadah, sarana pendidikan (gedung dan mobiler),
fasilitas kesehatan, beasiswa pendidikan, dan bantuan bencana alam. Bantuan Program
Bina Lingkungan ini sifatnya hibah. Artinya, bantuan yang diberikan tidak harus
dikembalikan oleh penerima bantuan. Penerima bantuan dalam program ini dapat
bersifat individual maupun kelompok/komunitas (institusi)
Untuk Program Bina Lingkungan ini, pola implementasinya dalam beberapa hal
sama dengan pola implementasi Program Kemitraan, yaitu kelompok/komunitas
(institusi) harus mengusulkan proposal yang ditujukan perusahaan. Pengusulan proposal
ini dilakukan untuk program-program pengadaan sarana dan prasarana. Sedangkan
untuk program pemberian beasiswa pendidikan, calon penerima tidak harus mengajukan
proposal, tetapi perusahaanlah yang melakukan pendataan terhadap siswa/siswi yang
dianggap layak untuk mendapatkan beasiswa. Dalam melakukan pendataan, pihak
perusahaan (PKBL) akan bekerjasama dengan instansi terkait, yaitu Dinas Pendidikan
untuk mendapatkan informasi siapa-siapa saja siswa/siswi yang dianggap layak untuk
mendapakan beasiswa sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh perusahaan.
Kerjasama ini juga bertujuan agar kegiatan pemberian beasiswa pendidikan oleh
perusahaan tidak tumpang tindih dengan pemberian beasiswa dari pihak lain
(pemerintah dan swasta lainnya). Kebijakan ini sangat baik untuk menghindari agar
pemerataan penerima beasiswa dapat berlangsung, sehingga tidak ada siswa yang
mendapatkan 2 (dua) beasiswa sekaligus, sementara ada siswa lain yang juga sangat
membutuhkan namun tidak mendapatkan beasiswa.
Mekanisme pengajuan proposal untuk program yang berkaitan dengan
pengadaan sarana dan prasarana seperti sarana jalan, rumah ibadah, perkantoran,
MCK, gedung sekolah, mobiler sekolah dan lain sebagainya, sama dengan pengajuan
proposal pada Program Kemitraan. Tahap pertama, calon penerima bantuan
mengajukan proposal. Proposal dibuat secara rinci sesuai dengan apa yang diperlukan,
termasuk jumlah dana yang diperlukan untuk kegiatan tersebut. Selanjutnya proposal
diserahkan dikembalikan oleh penerima bantuan. Penerima bantuan dalam program ini
dapat bersifat individual maupun kelompok/komunitas (institusi). Untuk Program Bina
Lingkungan ini, pola implementasinya dalam beberapa hal sama dengan pola
implementasi Program Kemitraan, yaitu kelompok/komunitas (institusi) harus
mengusulkan proposal yang ditujukan pada perusahaan.
Pengusulan proposal ini dilakukan untuk program-program pengadaan sarana
dan prasarana. Sedangkan untuk program pemberian beasiswa pendidikan, calon
penerima tidak harus mengajukan proposal, tetapi perusahaanlah yang melakukan
pendataan terhadap siswa/siswi yang dianggap layak untuk mendapatkan beasiswa.
Dalam melakukan pendataan, pihak perusahaan (PKBL) akan bekerjasama dengan
instansi terkait, yaitu Dinas Pendidikan untuk mendapatkan informasi siapa-siapa saja
siswa/siswi yang dianggap layak untuk mendapakan beasiswa sesuai dengan
persyaratan yang dibuat oleh perusahaan. Kerjasama ini juga bertujuan agar kegiatan
pemberian beasiswa pendidikan oleh perusahaan tidak tumpang tindih dengan
pemberian beasiswa dari pihak lain (pemerintah dan swasta lainnya). Kebijakan ini
sangat baik untuk menghindari agar pemerataan penerima beasiswa dapat berlangsung,
sehingga tidak ada siswa yang mendapatkan 2 (dua) beasiswa sekaligus, sementara ada
siswa lain yang juga sangat membutuhkan namun tidak mendapatkan beasiswa.
Mekanisme pengajuan proposal untuk program yang berkaitan dengan pengadaan
sarana dan prasarana seperti sarana jalan, rumah ibadah, perkantoran, MCK, gedung
sekolah, mobiler sekolah dan lain sebagainya, sama dengan pengajuan proposal pada
Program Kemitraan. Tahap pertama, calon penerima bantuan mengajukan proposal.
Proposal dibuat secara rinci sesuai dengan apa yang diperlukan, termasuk jumlah dana
yang diperlukan untuk kegiatan tersebut. Selanjutnya proposal diserahkan ke Distrik
Manager (DM) di area kegiatan dimana pembangunan sarana dan prasarana akan
dilaksanakan. Pihak perusahaan (DM) selanjutnya akan melakukan evaluasi terhadap
proposal-proposal yang masuk. Evaluasi terkait dengan kelayakan proposal. Artinya,
apakah proposal yang diajukan sungguh-sungguh diperlukan oleh masyarakat dan
memang layak untuk dibantu. Kriterianya antara lain, apakah secara lokasi, kegiatan itu
memang bersentuhan dengan perusahaan; apakah biaya yang diusulkan sesuai dengan
ketersediaan anggaran; apakah satuan biaya yang diusulkan sesuai dengan harga
standard, dan apakah yang diusulkan sesuai dengan fakta di lapangan, dan sebagainya
Bila pihak DM menganggap proposal tersebut layak untuk didanai, maka pihak Dm akan
melanjutkannya ke Kantor Direksi yang berkedudukan di Kota Medan melalui Bagian
Umum. Selanjutnya Bagian Umum akan mengirim proposal tersebut ke Bagian
Kemitraan dan Bina Lingkungan (KBL) untuk dipelajari dan dievaluasi oleh bagian Bina
Lingkungan.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN


Kesimpulan

Dari berbagai uraian yang telah dipaparkan dan dikaitkan dengan permasalahan
penelitian ini, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility-CSR)


merupakan program yang sudah diimplementasikan oleh korporat yang diteliti,
meskipun belum keduanya menggunakan istilah

2. Pola implementasi CSR kedua korporat yang diteliti ternyata memiliki mekanisme atau
sistem yang tidak seragam, meskipun ada kesamaan-kesamaan. Hal yang sama juga
terjadi pada bentuk kegiatan implementasi CSR.

3. Pada umumnya perusahaan belum memiliki rencana jangka panjang dan jangka
menengah dengan program CSR yang akan diimplementasikan.

4. Keterlibatan Pemerintah (Pemerintah Daerah/Kota) masih sangat minim dalam


implementasi CSR yang dilakukan oleh kedua korporat.

5. Masyarakat yang menerima bantuan dari program CSR ini memandang program ini
sangat baik untuk membantu meningkatkan perekonomian mereka. Namun demikian,
keyakinan bahwa program ini mampu mengurangi jumlah penduduk miskin masih
diragukan oleh sebagian masyarakat dengan alasan program ini belum dijalankan
dengan baik. Sinyalmen adanya KKN dalam implementasi CSR masih cukup kuat dari
masyarakat.

Saran

1. Perusahaan hendaknya memiliki rencana jangka panjang dan jangka menengah


(Renstra) dalam mengimplementasikan program CSR, sehingga memiliki makna yang
lebih berarti dalam jangka panjang.

2. Pemerintah Daerah hendaknya lebih dilibatkan sehingga ada sinergitas antara


program-program yang dibuat oleh pemerintah dan program CSR yang dibuat oleh
perusahaan, khususnya yang terkait dengan program-program pemberdayaan
masyarakat.

3. Diperlukan regulasi terhadap aturan-aturan yang terkait dengan program CSR yang
mengarah pada implementasi CSR dengan ”model kerja Kolaboratif”. Untuk itu perlu
dibuatkan PERDA tentang CSR, tentunya dengan kajian yang lebih mendalam dan
komprehensif.
Program Kemitraan, Program tanggungjawab sosial perusahaan ini
diimplementasikan dalam bentuk pemberian modal usaha bagi usaha kecil di berbagai
sektor yaitu, sektor industri, sektor perdagangan, sektor pertanian, sektor jasa, dan
sektor peternakan. Hingga tahun 2007, ± 1.748 usaha kecil telah menjadi mitra binaan
PTPN III3 dengan berbagai sektor kegiatan tersebut di atas.
Untuk Program Kemitraan ini, pola implementasi program diawali dengan
pengajuan proposal oleh usaha kecil dari berbagai sektor seperti yang telah disebutkan
di atas. Proposal yang diajukan tentunya memuat usaha yang telah dilakukan selama ini
dan ditujukan untuk mengembangkan usaha yang telah dirintis dengan mengajukan
pinjaman dana sesuai dengan yang dibutuhkan dan kelayakan usahanya. Persyaratan ini
menunjukkan bahwa yang mengajukan peminjaman dana harus sudah punya
pengalaman di bidang usaha yang ditekuninya minimal satu tahun. Artinya, pinjaman
dana yang diajukan tidak untuk membuka usaha atau kegiatan baru, tetapi lebih pada
pengembangan dan peningkatan usaha yang telah ada. Proposal yang diajukan ke pihak
PTPN III, sifatnya perseorangan (per kegiatan usaha) atau juga atas nama kelembagaan
dan tidak harus diketahui oleh aparat setempat (Kepala Desa atau Lurah misalnya).
Dalam konteks ini (Program Kemitraan), implemetasi program belum melibatkan
pemerintahan setempat (Kepala Desa/Lurah), meskipun menurut informan, pihak
perusahaan sudah berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak pemerintah
Kabupaten/Kota dalam implementasinya untuk menghindari terjadinya overlapping dalam
pemberian dana (bantuan) antara pemerintah dengan pihak perusahaan. Proposal yang
sudah siap, diajukan oleh yang bersangkutan ke masing-masing Distrik Manager (DM) di
wilayah masing-masing4. Proposal yang masuk ke Distrik Manager akan dievaluasi oleh
tim yang sudah terbentuk. Evaluasi meliputi kelengkapan administrasi yang disyaratkan,
antara lain: ”jaminan” peminjaman dana. ”Jaminan” yang dilampirkan dalam proposal
dapat berupa Surat Tanah (minimal Surat Camat5 atau Notaris), BPKP kenderaan, dan
lain-lain yang dapat menjadi jaminan. Menurut Informan, ”jaminan” yang diberikan ini
sifatnya hanyalah sebatas ikatan moralitas yang dapat memberikan dorongan moral agar
yang bersangkutan dapat mengembalikan bantuan yang diberikan untuk dapat
diteruskan pada mitra-mitra lainnya yang juga sangat membutuhkan.

Program Bina Lingkungan, Program tanggungjawab sosial perusahaan ini


diimplemetasikan dalam bentuk beberapa kegiatan yang mencakup sarana dan
prasarana umum seperti, rumah ibadah, sarana pendidikan (gedung dan mobiler),
fasilitas kesehatan, beasiswa pendidikan, dan bantuan bencana alam. Bantuan Program
Bina Lingkungan ini sifatnya hibah. Artinya, bantuan yang diberikan tidak harus
dikembalikan oleh penerima bantuan. Penerima bantuan dalam program ini dapat
bersifat individual maupun kelompok/komunitas (institusi)
Untuk Program Bina Lingkungan ini, pola implementasinya dalam beberapa hal
sama dengan pola implementasi Program Kemitraan, yaitu kelompok/komunitas
(institusi) harus mengusulkan proposal yang ditujukan pada PTPN III. Pengusulan
proposal ini dilakukan untuk program-program pengadaan sarana dan prasarana.
Sedangkan untuk program pemberian beasiswa pendidikan, calon penerima tidak harus
mengajukan proposal, tetapi perusahaanlah yang melakukan pendataan terhadap
siswa/siswi yang dianggap layak untuk mendapatkan beasiswa. Dalam melakukan
pendataan, pihak perusahaan (PKBL) akan bekerjasama dengan instansi terkait, yaitu
Dinas Pendidikan untuk mendapatkan informasi siapa-siapa saja siswa/siswi yang
dianggap layak untuk mendapakan beasiswa sesuai dengan persyaratan yang dibuat
oleh perusahaan. Kerjasama ini juga bertujuan agar kegiatan pemberian beasiswa
pendidikan oleh PTPN III tidak tumpang tindih dengan pemberian beasiswa dari pihak
lain (pemerintah dan swasta lainnya). Kebijakan ini sangat baik untuk menghindari agar
pemerataan penerima beasiswa dapat berlangsung, sehingga tidak ada siswa yang
mendapatkan 2 (dua) beasiswa sekaligus, sementara ada siswa lain yang juga sangat
membutuhkan namun tidak mendapatkan beasiswa.
Mekanisme pengajuan proposal untuk program yang berkaitan dengan
pengadaan sarana dan prasarana seperti sarana jalan, rumah ibadah, perkantoran,
MCK, gedung sekolah, mobiler sekolah dan lain sebagainya, sama dengan pengajuan
proposal pada Program Kemitraan. Tahap pertama, calon penerima bantuan
mengajukan proposal. Proposal dibuat secara rinci sesuai dengan apa yang diperlukan,
termasuk jumlah dana yang diperlukan untuk kegiatan tersebut. Selanjutnya proposal
diserahkan dikembalikan oleh penerima bantuan. Penerima bantuan dalam program ini
dapat bersifat individual maupun kelompok/komunitas (institusi). Untuk Program Bina
Lingkungan ini, pola implementasinya dalam beberapa hal sama dengan pola
implementasi Program Kemitraan, yaitu kelompok/komunitas (institusi) harus
mengusulkan proposal yang ditujukan pada PTPN III. Pengusulan proposal ini dilakukan
untuk program-program pengadaan sarana dan prasarana. Sedangkan untuk program
pemberian beasiswa pendidikan, calon penerima tidak harus mengajukan proposal,
tetapi perusahaanlah yang melakukan pendataan terhadap siswa/siswi yang dianggap
layak untuk mendapatkan beasiswa. Dalam melakukan pendataan, pihak perusahaan
(PKBL) akan bekerjasama dengan instansi terkait, yaitu Dinas Pendidikan untuk
mendapatkan informasi siapa-siapa saja siswa/siswi yang dianggap layak untuk
mendapakan beasiswa sesuai dengan persyaratan yang dibuat oleh perusahaan.
Kerjasama ini juga bertujuan agar kegiatan pemberian beasiswa pendidikan oleh PTPN
III tidak tumpang tindih dengan pemberian beasiswa dari pihak lain (pemerintah dan
swasta lainnya). Kebijakan ini sangat baik untuk menghindari agar pemerataan penerima
beasiswa dapat berlangsung, sehingga tidak ada siswa yang mendapatkan 2 (dua)
beasiswa sekaligus, sementara ada siswa lain yang juga sangat membutuhkan namun
tidak mendapatkan beasiswa. Mekanisme pengajuan proposal untuk program yang
berkaitan dengan pengadaan sarana dan prasarana seperti sarana jalan, rumah ibadah,
perkantoran, MCK, gedung sekolah, mobiler sekolah dan lain sebagainya, sama dengan
pengajuan proposal pada Program Kemitraan. Tahap pertama, calon penerima bantuan
mengajukan proposal. Proposal dibuat secara rinci sesuai dengan apa yang diperlukan,
termasuk jumlah dana yang diperlukan untuk kegiatan tersebut. Selanjutnya proposal
diserahkan ke Distrik Manager (DM) di area kegiatan dimana pembangunan sarana dan
prasarana akan dilaksanakan. Pihak perkebunan (DM) selanjutnya akan melakukan
evaluasi terhadap proposal-proposal yang masuk. Evaluasi terkait dengan kelayakan
proposal. Artinya, apakah proposal yang diajukan sungguh-sungguh diperlukan oleh
masyarakat dan memang layak untuk dibantu. Kriterianya antara lain, apakah secara
lokasi, kegiatan itu memang bersentuhan dengan perkebunan; apakah biaya yang
diusulkan sesuai dengan ketersediaan anggaran; apakah satuan biaya yang diusulkan
sesuai dengan harga standard, dan apakah yang diusulkan sesuai dengan fakta di
lapangan, dan sebagainya Bila pihak DM menganggap proposal tersebut layak untuk
didanai, maka pihak Dm akan melanjutkannya ke Kantor Direksi yang berkedudukan di
Kota Medan melalui Bagian Umum. Selanjutnya Bagian Umum akan mengirim proposal
tersebut ke Bagian Kemitraan dan Bina Lingkungan (KBL) untuk dipelajari dan dievaluasi
oleh bagian Bina Lingkungan.

Anda mungkin juga menyukai