Anda di halaman 1dari 18

BAB I

LATAR BELAKANG

1.1. Pendahuluan
Di negara sedang berkembang maupun di negara maju, penyakit infeksi
masih merupakan masalah medis yang sangat penting oleh karena angka
kematiannya masih cukup tinggi. Diantara penyakit infeksi yang amat berbahaya
adalah infeksi Susunan Saraf Pusat (SSP) termasuk ke dalamnya meningitis dan
ensefalitis. Meningitis sinonim dengan leptomeningitis yang berarti adanya suatu
infeksi selaput otak yang melibatkan arakhnoid dan piamater. Sedangkan
ensefalitis adalah adanya infeksi pada jaringan parenkim otak.
Meningitis serosa disebut juga meningitis aseptik adalah sebuah penyakit
yang ditandai oleh sakit kepala, demam dan inflamasi pada selaput otak. Istilah
meningitis aseptik mengacu pada kasus dimana pasien dengan gejala meningitis
tapi pertumbuhan bakteri pada kultur tidak ditemukan. Meningitis serosa ini
biasanya disebabkan oleh mycobacterium tuberculosis dan virus.
Meningitis tuberculosis merupakan komplikasi hasil dari penyebaran
hematogen dan limfogen bakteri Mycobacterium tuberculosis dari infeksi primer
pada paru ke meningen. Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak
ditemukan karena morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi. Penyakit ini dapat
saja menyerang samua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan
alamiah yang masih rendah. Angka kejadia tertinggi dijumpai pada anak umur 6
bulan sampai dengan 4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6
bulan, hampir tidak pernah ditemukan pada anak umur dibawah 3 bulan.
Meningitis tuberkulosis menyerang 0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang
tidak diobati. Angka kematian pada meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-
20%. Sebagian besar memberikan gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan
kembali normal secara neurologi dan intelektual.
Meningitis Viral merupakan inflamasi dari leptomeningen sebagai
manifestasi dari infeksi CNS. Istilah viral digunakan karena merupakan agen
penyebab, dan penggunaan meningitis mengimplikasikan tidak terlibatnya
parenkim dan medula spinalis. Patogen virus dapat menyebabkan kombinasi
infeksi yaitu meningoencephalitis atau meningomielitis. Pada meningitis viral,

1
perjalanan klinis biasanya terbatas, dengan pemulihan komplit pada 7-10 hari.
Lebih dari 85% kasus hari ini disebabkan oleh enterovirus non polio; sehingga
karakteristik penyakit, manifestasi klinis, dan epidemiologi menunjukkan infeksi
enteroviral.

1.2. Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat ditentukan rumusan
masalah dalam makalah ini seperti:
1. Bagaimana penjelasan mengenai Meningitis Serosa ?
2. Bagaimana penjelasan mengenai defenisi dan klasifikasi Meningitis
Serosa ?
3. Bagaimana penjelasan mengenai etiologi dan factor resiko Meningitis
serosa ?
4. Bagaimana penjelasan mengenai manifestasi klinis Meningitis serosa ?
5. Bagaimana penjelasan mengenai diagnose dan Meningitis serosa ?
6. Bagaimana penjelasan mengenai terapi dan Meningitis serosa ?
7. Bagaimana penjelasan mengenai prognosis dan komplikasi Meningitis
serosa ?

1.3. Tujuan Penulisan


1.3.1. Tujuan Umum
1. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai Meningen Otak
2. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai definisi dan Meningitis serosa
3. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai etiologi dan factor resiko
Meningitis serosa
4. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai patofisiologi Meningitis
serosa
5. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai manifestasi klinis Meningitis
serosa
6. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai diagnose Meningitis serosa
7. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai terapi Meningitis serosa

2
8. Mahasiswa dapat mengetahui mengenai prognosis dan komplikasi
Meningitis serosa.

1.3.2. Tujuan Khusus


Untuk memenuhi syarat kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Penyakit Anak

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Defenisi Meningitis


Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi
disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai
adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis
bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa
pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Penularan kuman dapat terjadi secara kontak langsung dengan penderita
dan droplet infection yaitu terkena percikan ludah, dahak, ingus, cairan bersin dan
cairan tenggorok penderita. Saluran nafas merupakan port d’entree utama pada
penularan penyakit ini. Bakteri-bakteri ini disebarkan pada orang lain melalui
pertukaran udara dari pernafasan dan sekresi-sekresi tenggorokan yang masuk
secara hematogen (melalui aliran darah) ke dalam cairan serebrospinal dan
memperbanyak diri didalamnya sehingga menimbulkan peradangan pada selaput
otak dan otak.

2.2. Epidemiologi
Tingkat insidensi meningitis bervariasi, sesuai dengan etiologi spesifiknya.
Di negara-negara berkembang, seperti Indonesia, dilaporkan bahwa insidensinya
sekitar 10x lipat lebih sering dibandingkan dengan di negara-negara yang sudah
maju. Hal ini utamanya diakibatkan oleh kurangnya akses ke upaya-upaya
pencegahan.

4
2.2.1. Meningitis Tuberkulosa
Di Indonesia, meningitis tuberkulosis masih banyak ditemukan karena
morbiditas tuberkulosis anak masih tinggi. Penyakit ini dapat saja menyerang
samua usia, termasuk bayi dan anak kecil dengan kekebalan alamiah yang masih
rendah. Angka kejadia tertinggi dijumpai pada anak umur 6 bulan sampai dengan
4 atau 6 tahun, jarang ditemukan pada umur dibawah 6 bulan, hampir tidak pernah
ditemukan pada anak umur dibawah 3 bulan. Meningitis tuberkulosis menyerang
0,3% anak yang menderita tuberkulosis yang tidak diobati. Angka kematian pada
meningitis tuberkulosis berkisar antara 10-20%. Sebagian besar memberikan
gejala sisa, hanya 18% pasien yang akan kembali normal secara neurologi dan
intelektual.

2.2.2. Meningitis Viral


Di Amerika Serikat, lebih dari 10,000 kasus dilaporkan setiap tahunnya,
tetapi insiden sesungguhnya dapat mencapai hingga 75,000. Kurangnya pelaporan
dikarenakan tidak ada hasil klinis kebanyakan kasus dan ketidakmampuan dari
beberapa agen viral untuk tumbuh dalam kultur. Menurut laporan CDC,
perawatan pasien dalam rumah sakit dari meningitis virus bervariasi dari 25,000-
50,0000 setiap tahun. Dalam beberapa laporan insiden diperkirakan 11 per
100,000 populasi pertahun.
Persebaran insiden dari klinis meningitis viral di dunia bervariasi.
Penyebab meningitis viral di dunia termasuk enterovirus, virus campak, VZV, dan
HIV. Gejala meningitis dapat timbul sedikit pada 1 dari 3000 kasus infeksi oleh
agen ini. Studi dari Finlandia memperkirakan insiden 19 per 100,000 populasi
pada anak usia 1-4 tahun. Hal ini merupakan contrast signifikan hingga 219 kasus
per 100,000 yang diperkirakan untuk anak lebih muda dari 1 tahun. Virus
encephalitis B Japaneese, patogen tersering pada meningitis virus di dunia,
menyebabkan lebih dari 35,000 infeksi setiap tahunnya melalui Asia tetapi
diperkirakan menyebabkan 200-300 kali penjumlahannya dari infeksi subklinis.

5
2.3. Faktor Resiko
Faktor risiko utama untuk meningitis adalah respons imunologi terhadap
pathogen yang masih lemah, terkait dengan usia muda. Dimana pada usia muda
ini, sistem imun bayi belum sepenuhnya adekuat untuk melawan infeksi.
Beberapa faktor risiko lainnya yang berkaitan dengan meningkatnya insidensi
meningitis, adalah bayi yang lahir dengan berat badan rendah. Bayi-bayi ini
memiliki insidensi 3x lebih tinggi dibandingkan bayi dengan berat badan lahir
normal. Risiko tambahan lainnya adalah kolonisasi bakteri patogen di dalam
tubuh bayi, dapat diakibatkan oleh kontak erat antara individu dengan penderita
penyakit invasif, perumahan yang padat penduduk, kemiskinan, dan jeins kelamin
laki-laki.

2.4. Anatomi dan Fisiologi Selaput Otak


Otak dan sum-sum tulang belakang diselimuti meningea yang melindungi
struktur syaraf yang halus, membawa pembuluh darah dan sekresi cairan
serebrospinal. Meningea terdiri dari tiga lapis, yaitu:

2.4.1. Lapisan Luar (Durameter)


Durameter merupakan tempat yang tidak kenyal yang membungkus otak,
sumsum tulang belakang, cairan serebrospinal dan pembuluh darah. Durameter
terbagi lagi atas durameter bagian luar yang disebut selaput tulang tengkorak
(periosteum) dan durameter bagian dalam (meningeal) meliputi permukaan
tengkorak untuk membentuk falks serebrum, tentorium serebelum dan diafragma
sella.

2.4.2. Lapisan Tengah (Arakhnoid)


Disebut juga selaput otak, merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter, membentuk sebuah kantung atau balon berisi cairan
otak yang meliputi seluruh susunan saraf pusat. Ruangan diantara durameter dan
arakhnoid disebut ruangan subdural yang berisi sedikit cairan jernih menyerupai
getah bening. Pada ruangan ini terdapat pembuluh darah arteri dan vena yang
menghubungkan sistem otak dengan meningen serta dipenuhi oleh cairan
serebrospinal.

6
2.4.3. Lapisan Dalam (Piameter)
Lapisan piameter merupakan selaput halus yang kaya akan pembuluh
darah kecil yang mensuplai darah ke otak dalam jumlah yang banyak. Lapisan ini
melekat erat dengan jaringan otak dan mengikuti gyrus dari otak. Ruangan
diantara arakhnoid dan piameter disebut sub arakhnoid. Pada reaksi radang
ruangan ini berisi sel radang. Disini mengalir cairan serebrospinalis dari otak ke
sumsum tulang belakang

2.5. Patogenesa
2.5.1. Meningitis Tuberkulosa
Meningitis tuberkulosa terjadi akibat penyebaran infeksi secara hematogen
ke meningen. Dalam perjalanannya mengitis tuberkulosa melalui 2 tahap mula-
mula terbentuk lesi di otak atau meningen akibat penyebaran basil secara
hematogen serta infeksi primer. Penyebaran secara hematogen dapat juga terjadi
pada TB kronik. Tetapi keadaan ini jarang ditemukan. Selanjutnya meningitis
terjadi akibat terlepasnya basil dan antigen TB dari fokus kaseosa (lesi permukaan
otak) akibat trauma atau proses imunologi langsung ke subarakhnoid. Meningitis
tuberkulosa biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Kebanyakan bakteri masuk ke csf dalam bentuk kolonisasi dari nasofaring
atau secara hematogen menyebar ke pleksus koroid parenkim otak, atau selaput
meningen. Vena-vena yang mengalami penyumbatan dapat menyebabkan aliran
retrograde transmisi dari infeksi. Kerusakan lapisan dura dapat disebabkan oleh
fraktur , paska bedah saraf, infeksi steroid secara epidural, tindakan anastesi,
adanya benda asing seperti implan koklear, vp shunt dan lain-lain. Sering juga
kolonisasi organisme pada kulit dapat menyebabkan meningitis. Walaupun
meningitis dikatakan sebagai perdangan selaput meningen, kerusakan meningen
dapat berasal dari infeksi yang dapat berakibat edema otak, penyumbatan vena
dan memblok aliran CSF yang dapat berakhir dengan hidrosefalus, peningkatan
tekanan intrakranial dan herniasi.

7
2.5.2. Meningitis Viral
Virus dapat memasuki tubuh melalui beberapa jalan, contohnya adalah
kulit, saluran pernafasan, dan saluran pencernaan. Setelah masuk ke dalam tubuh,
virus akan menyebar dan menimbulkan viremia, melalui cara-cara seperti
berikut:

- Penyebaran virus bersifat setempat, terbatas pada beberapa organ


tertentu
- Penyebaran secara hematogen, virus masuk ke dalam darah, menyebar
langsung ke organ, dan berkembang biak di dalam organ tersebut
- Penyebaran melalui sistem limfatik, virus masuk ke dalam sistem
drainase limfatik, lalu menyebar ke organ-organ
- Penyebaran melalui saraf, dimana virus yang sebelumnya berada di
sistem limfatik, menyebar ke saraf dan bereplikasi di saraf, lalu
menginfeksi organ yang diinervasi oleh saraf tersebut

Kerusakan neurologis pada meningitis virus dapat diakibatkan oleh


beberapa mekanisme, yakni:

- Invasi secara langsung dan jaringan dihancurkan akibat translokasi DNA


dari virus ke jaringan
- Reaksi tubuh kita terhadap antigen virus tersebut, mengakibatkan
demyelinisasi dan penghancuran vaskuler

2.6. Manifestasi Klinis


Meninigitis memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset
demam yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien juga
dapat mengeluhkan gejala lainnya seperti:

- Mual dan muntah


- Kejang
- Fotofobia
- Penurunan kesadaran

8
2.6.1. Meningitis Tuberkulosa
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau
stadium prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak
seperti gejala infeksi biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat
subakut, sering tanpa demam, muntah-muntah, nafsu makan berkurang,
murung, berat badan turun, mudah tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur
terganggu dan gangguan kesadaran berupa apatis. Pada orang dewasa terdapat
panas yang hilang timbul, nyeri kepala, konstipasi, kurang nafsu makan,
fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat gelisah.
Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 – 3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat
dan kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda
rangsangan meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat
tanda-tanda peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih
hebat. Stadium III atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan
gangguan kesadaran sampai koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal
dunia dalam waktu tiga minggu bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana
mestinya.

2.6.2. Meningitis Virus


Meningitis karena virus ditandai dengan cairan serebrospinal yang jernih
serta rasa sakit penderita tidak terlalu berat. Penyakit biasanya berlangsung
mendadak, walaupun tidak menutupi kemungkinan adanya demam, beberapa hari
sebelumnya. Gejala klinis yang dikeluhkan juga tidak ada yang spesifik,
contohnya adalah demam, nyeri kepala, dan leher yang kaku, serta muntah. Gejala
lainnya yang lebih jarang ditemukan adalah penurunan kesadaran, fotofobia,
paresthesia, myalgia, dan kejang.
Pada umumnya, meningitis yang disebabkan oleh Mumpsvirus ditandai
dengan gejala anoreksia dan malaise, kemudian diikuti oleh pembesaran kelenjer
parotid sebelum invasi kuman ke susunan saraf pusat. Pada meningitis yang
disebabkan oleh Echovirus ditandai dengan keluhan sakit kepala, muntah, sakit
tenggorok, nyerri otot, demam, dan disertai dengan timbulnya ruam makopapular

9
yang tidak gatal di daerah wajah, leher, dada, badan, dan ekstremitas. Gejala yang
tampak pada meningitis Coxsackie virus yaitu tampak lesi vasikuler pada palatum,
uvula, tonsil, dan lidah dan pada tahap lanjut timbul keluhan berupa sakit kepala,
muntah, demam, kaku leher, dan nyeri punggung.
Sedangkan pada pemeriksaan fisik, temuannya juga sama dengan
meningitis baktei. Tanda-tanda rangsang meningeal seperti kaku kuduk, Kernig,
dan Brudzinski, positif.

2.7. Diagnosis
2.7.1. Meningitis Tuberkulosis
Hal-hal yang mencurigakan TB:
1. Mempunyai sejarah kontak erat dengan pasien TB dengan BTA (+)
2. Uji tuberkulin yang positif (>10 mm / >5mm pada pasien
imunokompremais)
3. Gambaran foto rontgen sugestif TB
4. Terdapat reaksi kemerahan yang cepat (dalam 3-7 hari) setelah imunisasi
dengan BCG
5. Batuk-batuk lebih dari 3 minggu
6. Sakit dan demam lama atau berulang, tanpa sebab yang jelas
7. Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan kurang baik
yang tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah dengan penanganan gizi
(failure to thrive)
8. Gejala- gejala klinis spesifik (pada kelenjar limfe, otak, tulang dll)
9. Skofuloderma
10. Konjungtivitis fliktenularis

10
Bila > 3
Dianggap TB

Beri OAT
Observasi 2 bulan

Membaik Memburuk/tetep

TB bukan TB kebal obat

Teruskan Rujuk ke rumah sakit

Prosedur yang dilakukan untuk menegakkan meningitis tuberkulosa


diantaranya:
1. Analisa CSF
Pemeriksaan CSF adalah penting dan khas pada meningitis tuberkulosa.
Pada analisa CSF dijumpai leukositosis (10.000-1000.000 sel/cc) dominan
limfosit), protein meningkat (0,5-3,0 gr/l) dan glukosa CSF; plasma <50%.
CSF dapat diambil melalui lumbal pungsi.

2. Kultur dan Tes Sensitivitas


Mencari bakteri tahan asam di CSF adalah penting untuk diagnose
definitve meningitis tuberkulosa. Pada luterature disebutksn bahwa bakteri
tahan asam dijumpai pada 80% kasus pasien dewasa, tetapi hanya 15-20%
pada anak-anak.

3. Tes tuberkulis kulit


Uji tuberkulin cara Mantoux dilakukan dengan
a. menyuntikan 0,1 ml PPD RT -23 2TU atau PPD S 5 TU
b. dibagian volar lengan bawah
c. pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan.

11
d. Pengukuran dilakukan terhadap indurasi yang timbul bukan
hiperemi/eritemanya
e. Indurasi diperiksa dengan cara palpasi untuk menentukan tepi indurasi,
di tandai dengan pulpen lalu diukur dengan alat pengukur transparan
f. Hasilnya dinyatakan dalam milimeter.

Gambaran hasil tes tuberculin kulit untuk tuberkulosis SSP bervariasi,


pada beberapa penelitian hanya 10-20% pasien dengan tuberculosis SSP
yang menunjukan hasil positif.

4. Polymerase chain reaction (PCR-TB)


Merupakan metode terbaik dalam diagnosis infeksi mycobacterium. Tes
ini menggunakan reaksi rantaipolymer untuk mengidentifikasi sekuensi
RNA atau DNA dalam CSF. Metode ini memiliki sensitifitas dan spesifitas
yang sangat tinggi untuk mendeteksi meningitis tuberkulosa.

5. Pemeriksaan imaging:
- Head CT scan
- MRI scan
- Foto toraks

Sekitar 50% pasien dengan meningitis tuberkulosis mempunyai foto toraks


dengan gambaran menunjukan tuberkulosis aktif atau pernah menderita
tuberkulosis pulmonal.

2.7.2. Meningitis Virus


Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam
pemeriksaan penyebab meningitis. CT Scan harus dilakukan pada kasus yang
berkaitan dengan tanda neurologis abnormal untuk menyingkirkan lesi
intrakranial atau hidrosefalus obstruktif sebelum pungsi lumbal (LP). Kultur CSF
tetap kriteria standar pada pemeriksaan bakteri atau piogen dari meningitis
aseptic. Lagi-lagi, pasien yang tertangani sebagian dari meningitis bakteri dapat

12
timbul dengan pewarnaan gram negative dan maka timbul aseptic. Hal berikut ini
merupakan karakteristik CSF yang digunakan untuk mendukung diagnosis
meningitis viral:
- Sel: Pleocytosis dengan hitung WBC pada kisaran 50 hingga >1000 x 109/L
darah telah dilaporkan pada meningitis virus, Sel mononuclear predominan,
tetapi PMN dapat merupakan sel utama pada 12-24 jam pertama; hitung sel
biasanya kemudian didominasi oleh limfosit pada pole CSF klasik
meningitis viral. Hal ini menolong untuk membedakan meningitis bakterial
dari viral, dimana mempunyai lebih tinggi hitung sel dan predominan PMN
pada sel pada perbedaan sel; hal ini merupakan bukan merupakan atran yang
absolute bagaimanapun.
- Protein: Kadar protein CSF biasanya sedikit meningkat, tetapi dapat
bervariasi dari normal hingga setinggi 200 mg/dL.

Pemeriksaan imaging seperti CT Scan dan MRI juga perlu dilakukan


untuk menyingkirkan penyakit lain yang terdapat pada intracranial.

2.8. Penatalaksanaan
2.8.1. Meningitis Tuberkulosis
Terapi diberikan sesuai dengan konsep baku tuberkulosis yaitu :
Terapi diberikan sesuai dengan baku tuberkulosis yaitu :
 Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti tuberkulosis,
yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
 Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan
rifampisin hingga 12 bulan.

Terapi farmakologis yang dapat diberikan pada meningitis tuberkulosa


berupa:

1. Rifampisin(R)
Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat
memasuki semua jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman
yang tidak dapat dibunih oleh isoniazid. Rifampisin diabsorbsi dengan

13
baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1 jam
sebelum makan) dan kadar serum puncak dicapai dalam 2 jam.
Rifampisin diberikan dalam bentuk oral, dengan dosis 10-20 mg/ kgBB /
hari. Dosis masksimalnya 600 mg per hari dengan dosis satu kali
pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan degan isoniazid, dosis
rifampisin tidak boleh melebihi 15 mg/ kgBB / hari dan dosis isoniazid
10 mg/kgBB/hari. Rifampisin didistribusikan secara luas ke jaringan dan
cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Distribusi rifampisin ke
dalam liquor cerebrospinalis Lebih baik pada keadaan selaput otak yang
sedang mengalami peradangan daripada keadaan normal. Efek samping
rifampisin adalah perubahan warna urin, ludah, keringat, sputum, dan air
mata menjadi warna oranye kemrehan. Efek samping lainnya adalah
mual dan muntah, hepatotoksik, dan trombositopenia. Rifampisin
umumnya tersedia dalam bentuk kapsul 150 mg, 300 mg, dan 450 mg.

2. INH (H)
Bersifat bakterisid dan bakteriostatik. Obat ini efektif pada kuman
intrasel dan ekstrasel, dapat berdifusi kedalam seluruh jaringan dan
cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis, cairan pleura, cairan asites,
jaringan kaseosa, dan memiliki adverse reaction yang rendah. Isoniazid
diberikan oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15 mg/ kgBB/
hari. Dosis maksimal 300 mg/ hari dan diberikandalam satu kali
pemberian. Isoniazid yang tersedia umunya dalam bentuk tablet 100 mg
dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100 mg/ 5 ml. Isoniazid terdapat
dalam air susu ibu yang mendapat isoniazid dan menembus sawar darah
plasenta. Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yakni
hepatotoksik dan neurits perifer. Keduanya jarang terjadi pada anak,
biasanya lebih banyak terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi yang
meningkat dengan bertambahnya usia. Untuk mencegah timbulnya
neuritis perifer, dapar diberikan piridoksin dengan dosis 25-50 mg satu
kali sehari, atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg isoniazid.

14
3. Pirazinamid (z)
Pirazinamid merupakan derivat dari nikotinamid, berpenetrasi baik pada
jaringan dan cairan tubuh, termasuk liquor cerebrospinalis. Obat ini bersifat
bakterisid hanya pada intrasel dan suasana asam dan direabsorbsi baik pada
saluran cerna. Dosisi pirazinamid 15-30 mg/ kgBB/ hari dengan dosis
maksimal 2 gram/ hari. Pirazinamid diberikan pada fase intensif karena
pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana asam yang timbul
akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Efek samping pirazinamid
adalah hepatotoksis, anoreksia, iritasi saluran cerna dan hiperurisemua
(jarang pada anak-anak). Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg.

4. Streptomisin (S) efek samping : gangguan pendengan dan vestibular


Streptomisin diberikan secara intramuskular dengan dosis 15-40
mg/kgBB/ hari, maksimal 1 gram/hari. Streptomisin sangat baik melewati
selaput otak yang tidak meradang. Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus kranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
dengan gejala berupa telinga berdengung (tinismus) dan pusing.
Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga perlu berhati-hati dalam
menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin, yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.

5. Etambutol.
Dosis etambutol adalah 15-20 mg/kgBB/hari, maksimal 1,25gram/hari
dengan dosis tunggal. Etambutol ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan
anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu atau dua kali sehari, tetapi
tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan meningitis.
Kemungkinan toksisitas utama etambutol adalah neuritis optik dan buta
warna merah-hijau, sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak
yang belum dapat diperiksa tajam penglihatannya. Rekomendasi WHO yang
terakhir mengenai pelaksanaan tuberkulosis pada anak, etambutol
dianjurkan penggunaannya pada anak dewasa dosis 15-25mg/ kg BB/hari.
Etambutol dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB

15
resisten obat jika obat-obat lainnya tidak tersedia atau tidak dapat
digunakan.

Disamping tuberkulostatik dapat diberikan rangkaian pengibatan dengan


Prednison untuk menghambat edema serebri dan timbulnya perlekatan-perlekatan
antara akhnoid dan otak.
Steroid diberikan untuk:
- menghambat reaksi inflamasi
- mencegah komplikasi infeksi
- menurunkan edema serebri
- mencegah perlekatan
- mencegah arteritis/infark otak.

Indikasi steroid:

- kesadaran menurun
- defisit neurologis fokal

Dosis steroid :

1-2 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 dosis, maksimal 60 mg dalam 1 hari.


Lama pemberian steroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh, dilanjutkan
tappering off selama 1-2 minggu dengan menurukan dosis obat kurang lebih 5 mg
/ hari.

2.8.2. Meningitis Virus


Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang
diberikan cukup terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien tidak
diindikasikan untuk rawat inap. Pada pasien dengan defisiensi imunitas ataupun
sepsis berat pada neonatus, dapat diberikan immunoglobulin intravena.
Bukti anekdotla mendukung pemberian asiklovir untuk bagian dari terapi
meningitis Herpes Simplex virus, Epstein-barr virus, dan Varicella zoster virus.
Terapi ini biasanya diindikasikan untuk pasien dengan meningitis HSV primar
dan pasien meningitis viral yang memiliki gejala dan defisit neurologis yang
berat. Selain asiklovir, dapat diberikan juga famsiklovir, dan valasiklovir. Studi

16
membuktikkan bahwa penggunaan ketiga golongan ini, memiliki efektifitas yang
sama-sama baik. Dosis asiklovir yang biasa digunakan adalah 10 mg/kg BB,
diberikan setiap 8 jam. Hingga saat ini, belum ada rumusan pasti untuk
penggunaan famsiklovir, karena memang penggunaan obat ini masih jarang,
tetapi, suatu studi menyimpulkan bahwa dosis famsiklovir untuk anak-anak
berkisar di 150-500 mg/hari. Untuk valaskilovir, dosis yang direkomendasikan
adalah 20mg / kg BB, 3x sehari, dengan dosis maximum adalah 1000mg dalah 1
hari.

2.9. Prognosis
Meningitis aseptik adalah penyakit yang tidak berbahaya dan pada
umumya pasien sembuh sempurna setelah 4 sampai 5 hari setelah munculnya
gejala. Pada meningitis tuberkulosa faktor prognosis yang paling penting adalah
panjangnya waktu antara permulaan gejala dengan permulaan pengobatan anti
tuberkulosa, sembuhnya lambat dan umumnya meninggalkan sekuele neurologis

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Meningitis adalah infeksi cairan otak disertai radang yang mengenai
piameter (lapisan dalam selaput otak) dan arakhnoid serta dalam derajat yang
lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula spinalis yang superfisial.
Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan perubahan yang
terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis purulenta.
Meningitis serosa ditandai dengan jumlah sel dan protein yang meninggi
disertai cairan serebrospinal yang jernih. Penyebab yang paling sering dijumpai
adalah kuman Tuberculosis dan virus. Meningitis purulenta atau meningitis
bakteri adalah meningitis yang bersifat akut dan menghasilkan eksudat berupa
pus serta bukan disebabkan oleh bakteri spesifik maupun virus. Meningitis
Meningococcus merupakan meningitis purulenta yang paling sering terjadi.
Meninigitis memiliki trias gejala klinis yang cukup khas, yaitu onset
demam yang mendadak, sakit kepala, dan kaku kuduk. Selain itu, pasien juga
dapat mengeluhkan gejala lainnya seperti mual dan muntah, kejang, fotofobia dan
penurunan kesadaran.
Pemeriksaan CSF merupakan pemeriksaan yang penting dalam
pemeriksaan penyebab meningitis untuk melihat mikroorganisme yang
menginfeksi. Untuk terapi meningitis tuberculosis Terapi diberikan sesuai dengan
baku tuberculosis yaitu Fase intensif selama 2 bulan dengan 4 sampai 5 obat anti
tuberkulosis, yaitu isoniazid, rifampisin, pirazinamid, streptomisin, dan etambutol.
Terapi dilanjutkan dengan 2 obat anti tuberkulosis, yaitu isoniazid dan rifampisin
hingga 12 bulan.
Kebanyakan kasus meningitis virus bersifat self-limited dan terapi yang
diberikan cukup terapi simtomatik. Bahkan, pada beberapa kasus, pasien tidak
diindikasikan untuk rawat inap

18

Anda mungkin juga menyukai