Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Batu empedu atau gallstones adalah timbunan kristal di dalam kandung


empedu atau di dalam saluran empedu. Batu yang ditemukan di dalam kandung
empedu disebut kolelitiasis, sedangkan batu di dalam saluran empedu disebut
koledokolitiasis.9

Kejadian batu empedu di negara – negara industri antara 10 – 15 %. Di


Amerika Serikat, insiden kolelitiasis diperkirakan 20 juta orang, dengan 70%
diantaranya didominasi oleh batu kolesterol dan 30% sisanya terdiri dari batu
pigmen dan komposisi yang bervariasi ( menurut “Healthy Lifestyle” Desember
2008). Sedangkan penelitian di Jakarta pada 51 pasien pasien didapatkan batu
pigmen pada 73% pasien dan batu kolesterol pada 27% pasien ( menurut divisi
Hepatology,Departemen IPD, FKUI/RSCM Jakarta, Mei 2009 ). Prevalensi
tergantung usia, jenis kelamin, dan etnis. Kasus batu empedu lebih umum
ditemukan pada wanita. Faktor risiko batu empedu memang dikenal dengan
singkatan 4-F, yakni Fatty (gemuk), Fourty ( 40th), Fertile (subur), dan Female
(wanita). Wanita lebih berisiko mengalami batu empedu karena pengaruh hormon
estrogen. Meski wanita dan usia 40th tercatat sebagai faktor risiko batu empedu, itu
tidak berarti bahwa wanita di bawah 40th dan pria tidak mungkin terkena. Penderita
diabetes mellitus ( DM ), baik wanita maupun pria, berisiko mengalami komplikasi
batu empedu akibat kolesterol tinggi. Bahkan, anak – anak pun bisa mengalaminya,
terutama anak dengan penyakit kolesterol herediter.10,11

Menurut gambaran makroskopik dan komposisi kimianya, batu empedu dapat


diklasifikasikan menjadi tiga kategori mayor, yaitu : 1. Batu kolesterol dimana
komposisi kolesterol melebihi 70%, 2. Batu pigmen coklat atau batu calcium
bilirubinate yang mengandung Ca-bilirubinate sebagai komponen utama, dan 3. Batu
pigmen hitam yang kaya akan residu hitam tak terekstraksi.9

Walaupun batu dapat terjadi dimana saja dalam saluran empedu, namun batu
kandung empedu ialah yang tersering didapat. Bila batu empedu ini tetap saja
tinggal di dalam kandung empedu, maka biasanya tidak menimbulkan gejala
apapun. Gejala – gejala biasanya timbul bila batu ini keluar menuju duodenum
melalui saluran empedu, karena dapat menyebabkan kolik empedu akibat iritasi,
hidrops, atau empiema akibat obstruksi duktus cysticus. Bila obstruksi terjadi pada
duktus koledokus maka dapat terjadi kolangitis ascendens, ikterus, dan kadang –
kadang sirosis bilier.12,13

1.2 Tujuan

Adapun tujuan pembuatan referat ini adalah untuk mengetahui dan lebih
memahami definisi, patogenesa, gejala klinis, diagnose dan penatalaksanaan
kolelitiasis karena penyakit batu empedu sudah merupakan masalah kesehatan
yang penting di negara barat, sedangkan di Indonesia baru mendapat perhatian di
klinis, sementara publikasi penelitian masih terbatas. Batu empedu walaupun
merupakan kasus yang tidak begitu sering ditemui, tetapi gejalanya yang mirip
penyakit maag, penyakit kuning ( hepatitis ), bahkan bisa mirip usus buntu, radang
pankreas dan irritable bowel syndrome. Karena diagnosa banding yang banyak itu,
butuh ketelitian pemeriksaan fisik dan diagnostik sehingga tidak terjadi kesalahan
dalam diagnosa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Sinonimnya adalah batu empedu, gallstones, biliary calculus. Batu empedu
merupakan gabungan dari beberapa unsur yang membentuk suatu material mirip
batu yang dapat ditemukan dalam kandung empedu (kolesistolitiasis) atau di dalam
saluran empedu (koledokolitiasis) atau pada kedua-duanya.1,2

Gambar 1. Batu dalam kandung empedu3

2.2 Anatomi

Sistem biliaris disebut juga sistem empedu. Sistem biliaris dan hati tumbuh
bersama. Berasal dari divertikulum yang menonjol dari foregut, dimana tonjolan
tersebut akan menjadi hepar dan sistem biliaris. Bagian kaudal dari divertikulum
akan menjadi gallbladder (kandung empedu), ductus cysticus, ductus biliaris
communis (ductus choledochus) dan bagian cranialnya menjadi hati dan ductus
hepaticus biliaris.1
Kandung empedu berbentuk bulat lonjong seperti buah pear/alpukat dengan
panjang sekitar 4-6 cm dan berisi 30-60 ml empedu . Apabila kandung empedu
mengalami distensi akibat bendungan oleh batu, maka infundibulum menonjol
seperti kantong (kantong Hartmann). Vesica fellea dibagi menjadi fundus, corpus
dan collum. Fundus berbentuk bulat dan biasanya menonjol dibawah pinggir inferior
hepar, dimana fundus berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi ujung
rawan costa IX kanan. Corpus bersentuhan dengan permukaan visceral hati dan
arahnya keatas, belakang dan kiri. Collum dilanjutkan sebagai duktus cysticus yang
berjalan dalam omentum minus untuk bersatu dengan sisi kanan ductus hepaticus
comunis membentuk duktus koledokus. Peritoneum mengelilingi fundus vesica fellea
dengan sempurna menghubungkan corpus dan collum dengan permukaan visceral
hati.
Ductus cysticus berjalan dari hati ke arah kandung empedu, panjangnya 1-2
cm, diameter 2-3 cm, diliputi permukaan dalam dengan mukosa yang banyak sekali
membentuk duplikasi (lipatan-lipatan) yang disebut Valve of Heister, yang mengatur
pasase bile ke dalam kandung empedu dan menahan alirannya dari kandung
empedu.4
Saluran empedu ekstrahepatik terletak di dalam ligamentum
hepatoduodenale dengan batas atas porta hepatis sedangkan batas bawahnya
distal papila Vateri. Bagian hulu saluran empedu intrahepatik bermuara ke saluran
yang paling kecil yang disebut kanikulus empedu yang meneruskan curahan sekresi
empedu melalui duktus interlobaris ke duktus lobaris dan selanjutkan ke duktus
hepatikus di hilus.
Panjang duktus hepatikus kanan dan kiri masing-masing antara 1-4 cm.
Panjang duktus hepatikus komunis sangat bervariasi bergantung pada letak muara
duktus sistikus. Ductus choledochus berjalan menuju duodenum dari sebelah
belakang, akan menembus pankreas dan bermuara di sebelah medial dari
duodenum descendens. Dalam keadaan normal, ductus choledochus akan
bergabung dengan ductus pancreaticus Wirsungi (baru mengeluarkan isinya ke
duodenum) Tapi ada juga keadaan di mana masing-masing mengeluarkan isinya,
pada umumnya bergabung dulu. Pada pertemuan (muara) ductus choledochus ke
dalam duodenum, disebut choledochoduodenal junction. Tempat muaranya ini
disebut Papilla Vatteri. Ujung distalnya dikelilingi oleh sfingter Oddi, yang mengatur
aliran empedu ke dalam duodenum.
Pembuluh arteri kandung empedu adalah a. cystica, cabang a. hepatica
kanan. V. cystica mengalirkan darah lengsung kedalam vena porta. Sejumlah arteri
yang sangat kecil dan vena – vena juga berjalan antara hati dan kandung empedu.
Pembuluh limfe berjalan menuju ke nodi lymphatici cysticae yang terletak
dekat collum vesica fellea. Dari sini, pembuluh limfe berjalan melalui nodi lymphatici
hepaticum sepanjang perjalanan a. hepatica menuju ke nodi lymphatici coeliacus.
Saraf yang menuju kekandung empedu berasal dari plexus coeliacus. 1

Gambar 2. Gambaran anatomi kandung empedu (Emedicine, 2007)

2.3 Fisiologi

Empedu diproduksi oleh sel hepatosit sebanyak 500-1000 ml/hari. Diluar


waktu makan, empedu disimpan untuk sementara di dalam kandung empedu, dan di
sini mengalami pemekatan sekitar 50%. Fungsi primer dari kandung empedu adalah
memekatkan empedu dengan absorpsi air dan natrium. 4 Kandung empedu
mensekresi glikoprotein dan H+. Glikoprotein berfungsi untuk memproteksi jaringan
mukosa, sedangkan H+ berfungsi menurunkan pH yang dapat meningkatkan
kelarutan kalsium, sehingga dapat mencegah pembentukan garam kalsium.
Pengaliran cairan empedu diatur oleh tiga faktor, yaitu sekresi empedu oleh hati,
kontraksi kandung empedu, dan tahanan sfingter koledokus. Dalam keadaan puasa,
empedu yang diproduksi akan disimpan di dalam kandung empedu. Setelah makan,
kandung empedu akan berkontraksi, sfingter relaksasi dan empedu mengalir ke
dalam duodenum.2,5
Menurut Guyton &Hall, 1997 empedu melakukan dua fungsi penting yaitu :
 Empedu memainkan peranan penting dalam pencernaan dan absorpsi lemak,
karena asam empedu yang melakukan dua hal antara lain: asam empedu
membantu mengemulsikan partikel-partikel lemak yang besar menjadi partikel
yang lebih kecil dengan bantuan enzim lipase yang disekresikan dalam getah
pankreas, Asam empedu membantu transpor dan absorpsi produk akhir lemak
yang dicerna menuju dan melalui membran mukosa intestinal.
 Empedu bekerja sebagai suatu alat untuk mengeluarkan beberapa produk
buangan yang penting dari darah, antara lain bilirubin, suatu produk akhir dari
penghancuran hemoglobin, dan kelebihan kolesterol yang di bentuk oleh sel-
sel hati.

Garam empedu, lesitin, dan kolesterol merupakan komponen terbesar (90%)


cairan empedu. Sisanya adalah bilirubin, asam lemak, dan garam anorganik. Garam
empedu adalah steroid yang dibuat oleh hepatosit dan berasal dari kolesterol.
Pengaturan produksinya dipengaruhi mekanisme umpan balik yang dapat
ditingkatkan sampai 20 kali produksi normal kalau diperlukan.5
Empedu dialirkan sebagai akibat kontraksi dan pengosongan parsial kandung
empedu. Mekanisme ini diawali dengan masuknya makanan berlemak kedalam
duodenum. Lemak menyebabkan pengeluaran hormon kolesistokinin dari mukosa
duodenum, hormon kemudian masuk kedalam darah, menyebabkan kandung
empedu berkontraksi. Pada saat yang sama, otot polos yang terletak pada ujung
distal duktus coledokus dan ampula relaksasi, sehingga memungkinkan masuknya
empedu yang kental ke dalam duodenum. Garam – garam empedu dalam cairan
empedu penting untuk emulsifikasi lemak dalam usus halus dan membantu
pencernaan dan absorbsi lemak.
Proses koordinasi kedua aktifitas ini disebabkan oleh dua hal yaitu :
 Hormonal :
Zat lemak yang terdapat pada makanan setelah sampai duodenum akan
merangsang mukosa sehingga hormon Cholecystokinin akan terlepas.
Hormon ini yang paling besar peranannya dalam kontraksi kandung
empedu.
 Neurogen :
o Stimulasi vagal yang berhubungan dengan fase Cephalik dari sekresi
cairan lambung atau dengan refleks intestino-intestinal akan
menyebabkan kontraksi dari kandung empedu.
o Rangsangan langsung dari makanan yang masuk sampai ke
duodenum dan mengenai Sphincter Oddi. Sehingga pada keadaan
dimana kandung empedu lumpuh, cairan empedu akan tetap keluar
walaupun sedikit.
Pengosongan empedu yang lambat akibat gangguan neurologis maupun
hormonal memegang peran penting dalam perkembangan inti batu.

KOMPOSISI CAIRAN EMPEDU

Dari Kandung
Komponen Dari Hati
Empedu
Air 97,5 gm % 95 gm %
Garam Empedu 1,1 gm % 6 gm %
Bilirubin 0,04 gm % 0,3 gm %
Kolesterol 0,1 gm % 0,3 – 0,9 gm %
Asam Lemak 0,12 gm % 0,3 – 1,2 gm %
Lecithin 0,04 gm % 0,3 gm %
Elektrolit - -

1. Garam Empedu
Asam empedu berasal dari kolesterol. Asam empedu dari hati ada dua
macam yaitu : Asam Deoxycholat dan Asam Cholat.
Fungsi garam empedu adalah :
o Menurunkan tegangan permukaan dari partikel lemak yang terdapat
dalam makanan, sehingga partikel lemak yang besar dapat dipecah
menjadi partikel-partikel kecil untuk dapat dicerna lebih lanjut.
o Membantu absorbsi asam lemak, monoglycerid, kolesterol dan vitamin
yang larut dalam lemak
Garam empedu yang masuk ke dalam lumen usus oleh kerja kuman-kuman
usus dirubah menjadi deoxycholat dan lithocholat. Sebagian besar (90 %) garam
empedu dalam lumen usus akan diabsorbsi kembali oleh mukosa usus sedangkan
sisanya akan dikeluarkan bersama feses dalam bentuk lithocholat. Absorbsi garam
empedu tersebut terjadi disegmen distal dari ilium. Sehingga bila ada gangguan
pada daerah tersebut misalnya oleh karena radang atau reseksi maka absorbsi
garam empedu akan terganggu.4
2. Bilirubin
Hemoglobin yang terlepas dari eritrosit akan pecah menjadi heme dan globin.
Heme bersatu membentuk rantai dengan empat inti pyrole menjadi bilverdin yang
segera berubah menjadi bilirubin bebas. Zat ini di dalam plasma terikat erat oleh
albumin. Sebagian bilirubin bebas diikat oleh zat lain (konjugasi) yaitu 80 % oleh
glukuronide. Bila terjadi pemecahan sel darah merah berlebihan misalnya pada
malaria maka bilirubin yang terbentuk sangat banyak4.

2.4 Epidemiologi
Insiden kolelitiasis di negara barat adalah 20% dan banyak menyerang orang
dewasa dan usia lanjut. Angka kejadian di Indonesia di duga tidak berbeda jauh
dengan angka di negara lain di Asia Tenggara dan sejak tahu 1980-an agaknya
berkaitan erat dengan cara diagnosis dengan ultrasonografi.
Kolelitiasis dapat terjadi dengan atau tanpa faktor resiko dibawah ini. Namun,
semakin banyak faktor resiko yang dimiliki seseorang, semakin besar
kemungkinan untuk terjadinya kolelitiasis. Faktor resiko tersebut antara lain :
1. Jenis Kelamin.
Wanita mempunyai resiko 3 kali lipat untuk terkena kolelitiasis dibandingkan
dengan pria. Ini dikarenakan oleh hormon esterogen berpengaruh terhadap
peningkatan eskresi kolesterol oleh kandung empedu. Kehamilan, yang
menigkatkan kadar esterogen juga meningkatkan resiko terkena kolelitiasis.
Penggunaan pil kontrasepsi dan terapi hormon (esterogen) dapat
meningkatkan kolesterol dalam kandung empedu dan penurunan aktivitas
pengosongan kandung empedu.
2. Usia.
Resiko untuk terkena kolelitiasis meningkat sejalan dengan bertambahnya
usia. Orang dengan usia > 60 tahun lebih cenderung untuk terkena kolelitiasis
dibandingkan dengan orang degan usia yang lebih muda.
3. Berat badan (BMI).
Orang dengan Body Mass Index (BMI) tinggi, mempunyai resiko lebih tinggi
untuk terjadi kolelitiasis. Ini karenakan dengan tingginya BMI maka kadar
kolesterol dalam kandung empedu pun tinggi, dan juga mengurasi garam
empedu serta mengurangi kontraksi/ pengosongan kandung empedu.
4. Makanan.
Intake rendah klorida, kehilangan berat badan yang cepat (seperti setelah
operasi gatrointestinal) mengakibatkan gangguan terhadap unsur kimia dari
empedu dan dapat menyebabkan penurunan kontraksi kandung empedu.
5. Riwayat keluarga.
Orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai resiko lebih besar
dibandingn dengan tanpa riwayat keluarga.
6. Aktifitas fisik.
Kurangnya aktifitas fisik berhungan dengan peningkatan resiko terjadinya
kolelitiasis. Ini mungkin disebabkan oleh kandung empedu lebih sedikit
berkontraksi.
7. Penyakit usus halus.
Penyakit yang dilaporkan berhubungan dengan kolelitiasis adalah crohn
disease, diabetes, anemia sel sabit, trauma, dan ileus paralitik.
8. Nutrisi intravena jangka lama.
Nutrisi intravena jangka lama mengakibatkan kandung empedu tidak
terstimulasi untuk berkontraksi, karena tidak ada makanan/ nutrisi yang
melewati intestinal. Sehingga resiko untuk terbentuknya batu menjadi
meningkat dalam kandung empedu.6

2.5 Etiologi
2.5.1 Batu Kolestrol
Batu kolestrol berhubungan dengan jenis kelamin wanita, ras Eropa,
penduduk asli Amerika, dan penambahan usia. Faktor risiko lainnya : Obesitas,
kehamilan, kandung empedu yang statis, obat, dan keturunan.
Metabolik sindrom, resistensi insulin, tipe 2 DM, hiperlipidemia sangat
berhungan dengan peningkatan sekresi kolestrol dan merupakan faktor risiko major
dari terjadinya batu kolestrol.
Batu kolestrol lebih sering pada wanita dengan kehamilan yang berulang.
Karena tingginya progesterone. Progesteron menurunkan motilitas kandung
empedu, sehingga terjadi retensi dan meningkatnya kosentrasi empedu pada
kandung empedu. Penyebab lain statisnya kandung empedu, pemberian nutrisi
secara parenteral, penurunan berat badan yang cepat (diet, gastric bypass
surgery).1,2
Pemakaian estrogen meningkatkan risiko terjadi batu kolestrol. Clofibrate atau
golongan –fibrate meningkatkan eliminasi kolestrol via sekresi empedu. Analog
somatostatin menurunkan proses pengosongan pada kandung empedu. 4

2.5.2 Batu Pigmen


Batu pigmen terjadi pada penderita dengan high heme turnover. Penyakit
hemolisis yang berkaitan dengan batu pigmen adalah sickle cell anemia, hereditary
spherocytosis, dan beta-thalasemia.3,6
Pada penderita sirosis hepatis, hipertensi portal menyebabkan splenomegali,
sehingga meningkatkan hemoglobin turnover. Setengah dari penderita sirosis
memiliki batu pigmen.4

2.6 Patogenesis
Batu empedu hampir selalu dibentuk dalam kandung empedu dan jarang
pada saluran empedu lainnya dan diklasifikasikan berdasarkan bahan
pembentuknya. Etiologi batu empedu masih belum diketahui dengan sempurna,
akan tetapi, faktor predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan
metabolisme yang disebabkan oleh perubahan susunan empedu, stasis empedu
dan infeksi kandung empedu. Perubahan susunan empedu mungkin merupakan
yang paling penting pada pembentukan batu empedu, karena terjadi pengendapan
kolesterol dalam kandung empedu. Stasis empedu dalam kandung empedu dapat
meningkatkan supersaturasi progesif, perubahan susunan kimia, dan pengendapan
unsur tersebut. Infeksi bakteri dalam saluran empedu dapat berperan sebagian
dalam pembentukan batu, melalui peningkatan dan deskuamasi sel dan
pembentukan mukus.
Sekresi kolesterol berhubungan dengan pembentukan batu empedu. Pada
kondisi yang abnormal, kolesterol dapat mengendap, menyebabkan pembentukan
batu empedu. Berbagai kondisi yang dapat menyebabkan pengendapan kolesterol
adalah : terlalu banyak absorbsi air dari empedu, terlalu banyak absorbsi garam-
garam empedu dan lesitin dari empedu, terlalu banyak sekresi kolesterol dalam
empedu, Jumlah kolesterol dalam empedu sebagian ditentukan oleh jumlah lemak
yang dimakan karena sel-sel hepatik mensintesis kolesterol sebagai salah satu
produk metabolisme lemak dalam tubuh. Untuk alasan inilah, orang yang mendapat
diet tinggi lemak dalam waktu beberapa tahun, akan mudah mengalami
perkembangan batu empedu.
Batu kandung empedu dapat berpindah kedalam duktus koledokus melalui
duktus sistikus. Didalam perjalanannya melalui duktus sistikus, batu tersebut dapat
menimbulkan sumbatan aliran empedu secara parsial atau komplet sehingga
menimbulkan gejalah kolik empedu. Kalau batu terhenti di dalam duktus sistikus
karena diameternya terlalu besar atau tertahan oleh striktur, batu akan tetap berada
disana sebagai batu duktus sistikus.7

2.7 Patofisiologi batu empedu


a. Batu Kolesterol
Batu kolestrol murni merupakan hal yang jarang ditemui dan prevalensinya
kurang dari 10%. Biasanya merupakan soliter, besar, dan permukaannya halus.
Empedu yang di supersaturasi dengan kolesterol bertanggung jawab bagi lebih dari
90 % kolelitiasis di negara Barat. Sebagian besar empedu ini merupakan batu
kolesterol campuran yang mengandung paling sedikit 75 % kolesterol berdasarkan
berat serta dalam variasi jumlah fosfolipid, pigmen empedu, senyawa organik dan
inorganik lain. Kolesterol dilarutkan di dalam empedu dalam daerah hidrofobik
micelle, sehingga kelarutannya tergantung pada jumlah relatif garam empedu dan
lesitin. Ini dapat dinyatakan oleh grafik segitiga, yang koordinatnya merupakan
persentase konsentrasi molar garam empedu, lesitin dan kolesterol.1
Proses fisik pembentukan batu kolesterol terjadi dalam tiga tahap:
- Supersaturasi empedu dengan kolesterol.
Kolesterol, phospolipid (lecithin) dan garam empedu adalah komponen
yang tak larut dalam air. Ketiga zat ini dalam perbandingan tertentu
membentuk micelle yang mudah larut. Di dalam kandung empedu ketiganya
dikonsentrasikan menjadi lima sampai tujuh kali lipat. Pelarutan kolesterol
tergantung dari rasio kolesterol terhadap lecithin dan garam empedu, dalam
keadaan normal antara 1 : 20 sampai 1 : 30. Pada keadaan supersaturasi
dimana kolesterol akan relatif tinggi rasio ini bisa mencapai 1 : 13. Pada rasio
seperti ini kolesterol akan mengendap.
Kadar kolesterol akan relatif tinggi pada keadaan sebagai berikut :
o Peradangan dinding kandung empedu, absorbsi air, garam empedu dan
lecithin jauh lebih banyak.
o Orang-orang gemuk dimana sekresi kolesterol lebih tinggi sehingga
terjadi supersaturasi.
o Diet tinggi kalori dan tinggi kolesterol (western diet)
o Pemakaian obat anti kolesterol sehingga mobilitas kolesterol jaringan
tinggi.
o Pool asam empedu dan sekresi asam empedu turun misalnya pada
gangguan ileum terminale akibat peradangan atau reseksi (gangguan
sirkulasi enterohepatik).
o Pemakaian tablet KB (estrogen) sekresi kolesterol meningkat dan kadar
chenodeoxycholat rendah, padahal chenodeoxycholat efeknya
melarutkan batu kolesterol dan menurunkan saturasi kolesterol.
Penelitian lain menyatakan bahwa tablet KB pengaruhnya hanya sampai
tiga tahun.
- Fase Pembentukan inti batu
Inti batu yang terjadi pada fase II bisa homogen atau heterogen. Inti
batu heterogen bisa berasal dari garam empedu, calcium bilirubinat atau sel-
sel yang lepas pada peradangan. Inti batu yang homogen berasal dari kristal
kolesterol sendiri yang menghadap karena perubahan rasio dengan asam
empedu.
- Fase Pertumbuhan batu menjadi besar.
Untuk menjadi batu, inti batu yang sudah terbentuk harus cukup waktu
untuk bisa berkembang menjadi besar. Pada keadaan normal dimana
kontraksi kandung empedu cukup kuat dan sirkulasi empedu normal, inti batu
yang sudah terbentuk akan dipompa keluar ke dalam usus halus. Bila
konstruksi kandung empedu lemah, kristal kolesterol yang terjadi akibat
supersaturasi akan melekat pada inti batu tersebut.
Hal ini mudah terjadi pada penderita Diabetes Mellitus, kehamilan,
pada pemberian total parental nutrisi yang lama, setelah operasi trunkal
vagotomi, karena pada keadaan tersebut kontraksi kandung empedu kurang
baik. Sekresi mucus yang berlebihan dari mukosa kandung empedu akan
mengikat kristal kolesterol dan sukar dipompa keluar.

b. Batu pigmen
Batu pigmen merupakan sekitar 10 % dari batu empedu di Amerika Serikat.
Ada dua bentuk yaitu batu pigmen murni yang lebih umum dan batu kalsium
bilirubinat. Batu pigmen murni lebih kecil (2 sampai 5 mm), multipel, sangat keras
dan penampilan hijau sampai hitam. Batu-batu tersebut mengandung dalam jumlah
bervariasi kalsium bilirubinat, polimer bilirubin, asam empedu dalam jumlah kecil
kolesterol (3 sampai 26%) dan banyak senyawa organik lain. Didaerah Timur, batu
kalsium bilirubinat dominan dan merupakan 40 sampai 60 % dari semua batu
empedu. Batu ini lebih rapuh, berwarna kecoklatan sampai hitam.2. bilirubin pigemen
kuning yang berasal dari pemecahan heme, aktiv disekresikan ke empedu oleh sel
liver. Kebanyakan bilirubin dalam empedu dibentuk dari konjugat glukorinide yang
larut air dann stabil. Tetapi ada sedikit yang terdiri dari bilirubin tidak terkkonjugasi
yang tidak larut dengan kalsium.
Patogenesis batu pigmen berbeda dari batu kolesterol. Kemungkinan
mencakup sekresi pigmen dalam jumlah yang meningkat atau pembentukan pigmen
abnormal yang mengendap dalam empedu. Sirosis dan stasis biliaris merupakan
predisposisi pembentukan batu pigmen. Pasien dengan peningkatan beban bilirubin
tak terkonjugasi (anemia hemolitik), lazim membentuk batu pigmen murni. Di negara
Timur, tingginya insiden batu kalsium bilirubinat bisa berhubungan dengan invasi
bakteri sekunder dalam batang saluran empedu yang di infeksi parasit Clonorchis
sinensis atau Ascaris Lumbricoides. E.coli membentuk B-glukoronidase yang
dianggap mendekonjugasikan bilirubin di dalam empedu, yang bisa menyokong
pembentukan kalsium bilirubinat yang tak dapat larut. 2,3
Pembentukan batu bilirubin terdiri dari 2 fase :
- Saturasi bilirubin
Pada keadaan non infeksi, saturasi bilirubin terjadi karena pemecahan
eritrosit yang berlebihan, misalnya pada malaria dan penyakit Sicklecell. Pada
keadaan infeksi saturasi bilirubin terjadi karena konversi konjugasi bilirubin
menjadi unkonjugasi yang sukar larut. Konversi terjadi karena adanya enzim
b glukuronidase yang dihasilkan oleh Escherichia Coli. Pada keadaan normal
cairan empedu mengandung glokaro 1,4 lakton yang menghambat kerja
glukuronidase.
- Pembentukan inti batu
Pembentukan inti batu selain oleh garam-garam calcium dan sel bisa juga
oleh bakteri, bagian dari parasit dan telur cacing. Tatsuo Maki melaporkan
bahwa 55 % batu pigmen dengan inti telur atau bagian badan dari cacing
ascaris lumbricoides. Sedangkan Tung dari Vietnam mendapatkan 70 % inti
batu adalah dari cacing tambang.

c. Batu campuran
Merupakan batu campuran kolesterol yang mengandung kalsium. Batu ini
sering ditemukan hampir sekitar 90 % pada penderita kolelitiasis. batu ini bersifat
majemuk, berwarna coklat tua. Sebagian besar dari batu campuran mempunyai
dasar metabolisme yang sama dengan batu kolesterol.1,7

2.8 Manifestasi klinis


2.8.1 Batu Kandung Empedu (Kolesistolitiasis)
1. Asimtomatik
Batu yang terdapat dalam kandung empedu sering tidak memberikan gejala
(asimtomatik). Dapat memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis, nyeri bilier,
nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia, mual. Studi perjalanan penyakit
sampai 50 % dari semua pasien dengan batu kandung empedu, tanpa
mempertimbangkan jenisnya, adalah asimtomatik. Kurang dari 25 % dari pasien
yang benar-benar mempunyai batu empedu asimtomatik akan merasakan gejalanya
yang membutuhkan intervensi setelah periode waktu 5 tahun. Tidak ada data yang
merekomendasikan kolesistektomi rutin dalam semua pasien dengan batu empedu
asimtomatik.2,5

2. Simtomatik
Keluhan utamanya berupa nyeri di daerah epigastrium, kuadran kanan atas.
Rasa nyeri lainnya adalah kolik bilier yang berlangsung lebih dari 15 menit, dan
kadang baru menghilang beberapa jam kemudian. Kolik biliaris, nyeri pascaprandial
kuadran kanan atas, biasanya dipresipitasi oleh makanan berlemak, terjadi 30-60
menit setelah makan, berakhir setelah beberapa jam dan kemudian pulih,
disebabkan oleh batu empedu, dirujuk sebagai kolik biliaris. Mual dan muntah sering
kali berkaitan dengan serangan kolik biliaris. 1,6

3. Komplikasi
Kolesistitis akut merupakan komplikasi penyakit batu empedu yang paling
umum dan sering meyebabkan kedaruratan abdomen, khususnya diantara wanita
usia pertengahan dan manula. Peradangan akut dari kandung empedu, berkaitan
dengan obstruksi duktus sistikus atau dalam infundibulum. Gambaran tipikal dari
kolesistitis akut adalah nyeri perut kanan atas yang tajam dan konstan, baik berupa
serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh rasa tidak nyaman di daerah
epigastrium post prandial. Nyeri ini bertambah saat inspirasi atau dengan
pergerakan dan dapat menjalar kepunggung atau ke ujung skapula. Keluhan ini
dapat disertai mual, muntah dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung
berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai tanda toksemia, nyeri tekan pada
kanan atas abdomen dan tanda klasik ”Murphy sign” (pasien berhenti bernafas
sewaktu perut kanan atas ditekan). Masa yang dapat dipalpasi ditemukan hanya
dalam 20% kasus. Kebanyakan pasien akhirnya akan mengalami kolesistektomi
terbuka atau laparoskopik.2,4,8

2.8.2 Batu Saluran Empedu (Koledokolitiasis)


Pada batu duktus koledokus, riwayat nyeri atau kolik di epigastrium dan perut
kanan atas disertai tanda sepsis, seperti demam dan menggigil bila terjadi kolangitis.
Apabila timbul serangan kolangitis yang umumnya disertai obstruksi, akan
ditemukan gejala klinis yang sesuai dengan beratnya kolangitis tersebut. Kolangitis
akut yang ringan sampai sedang biasanya kolangitis bakterial non piogenik yang
ditandai dengan trias Charcot yaitu demam dan menggigil, nyeri didaerah hati, dan
ikterus. Apabila terjadi kolangiolitis, biasanya berupa kolangitis piogenik intrahepatik,
akan timbul 5 gejala pentade Reynold, berupa tiga gejala trias Charcot, ditambah
syok, dan kekacauan mental atau penurunan kesadaran sampai koma.
Koledokolitiasis sering menimbulkan masalah yang sangat serius karena
komplikasi mekanik dan infeksi yang mungkin mengancam nyawa. Batu duktus
koledokus disertai dengan bakterobilia dalam 75% persen pasien serta dengan
adanya obstruksi saluran empedu, dapat timbul kolangitis akut. Episode parah
kolangitis akut dapat menyebabkan abses hati. Migrasi batu empedu kecil melalui
ampula Vateri sewaktu ada saluran umum diantara duktus koledokus distal dan
duktus pankreatikus dapat menyebabkan pankreatitis batu empedu. Tersangkutnya
batu empedu dalam ampula akan menyebabkan ikterus obstruktif. 7
2.9 Diagnosis
2.9.1. Anamnesis
Setengah sampai duapertiga penderita kolelitiasis adalah asintomatis.
Keluhan yang mungkin timbul adalah dispepdia yang kadang disertai intoleran
terhadap makanan berlemak. Pada yang simtomatis, keluhan utama berupa nyeri di
daerah epigastrium, kuadran kanan atas atau perikomdrium. Rasa nyeri lainnya
adalah kolik bilier yang mungkin berlangsung lebih dari 15 menit, dan kadang baru
menghilang beberapa jam kemudian. Timbulnya nyeri kebanyakan perlahan-lahan
tetapi pada 30% kasus timbul tiba-tiba.
Penyebaran nyeri pada punggung bagian tengah, skapula, atau ke puncak
bahu, disertai mual dan muntah. Lebih kurang seperempat penderita melaporkan
bahwa nyeri berkurang setelah menggunakan antasida. Kalau terjadi kolelitiasis,
keluhan nyeri menetap dan bertambah pada waktu menarik nafas dalam.4

2.9.2 Pemeriksaan Fisik


2.9.2.1. Batu kandung empedu
Apabila ditemukan kelainan, biasanya berhubungan dengan
komplikasi, seperti kolesistitis akut dengan peritonitis lokal atau umum, hidrop
kandung empedu, empiema kandung empedu, atau pankretitis. Pada
pemeriksaan ditemukan nyeri tekan dengan punktum maksimum didaerah
letak anatomis kandung empedu. Tanda Murphy positif apabila nyeri tekan
bertambah sewaktu penderita menarik nafas panjang karena kandung
empedu yang meradang tersentuh ujung jari tangan pemeriksa dan pasien
berhenti menarik nafas.

2.9.2.2. Batu saluran empedu


Batu saluran empedu tidak menimbulkan gejala dalam fase tenang.
Kadang teraba hati dan sklera ikterik. Perlu diktahui bahwa bila kadar bilirubin
darah kurang dari 3 mg/dl, gejal ikterik tidak jelas. Apabila sumbatan saluran
empedu bertambah berat, akan timbul ikterus klinis.4

2.9.3. Pemeriksaan Penunjang


2.9.3.1. Pemeriksaan laboratorium
Batu kandung empedu yang asimtomatik umumnya tidak menunjukkan
kelainan pada pemeriksaan laboratorium. Apabila terjadi peradangan akut,
dapat terjadi leukositosis. Apabila terjadi sindroma mirizzi, akan ditemukan
kenaikan ringan bilirubin serum akibat penekanan duktus koledukus oleh
batu. Kadar bilirubin serum yang tinggi mungkin disebabkan oleh batu di
dalam duktus koledukus. Kadar fosfatase alkali serum dan mungkin juga
kadar amilase serum biasanya meningkat sedang setiap setiap kali terjadi
serangan akut.
Alanin aminotransferase ( SGOT = Serum Glutamat – Oksalat
Transaminase ) dan aspartat aminotransferase ( SGPT = Serum Glutamat –
Piruvat Transaminase ) merupakan enzym yang disintesis dalam konsentrasi
tinggi di dalam hepatosit. Peningkatan serum sering menunjukkan kelainan
sel hati, tapi bisa timbul bersamaan dengan penyakit saluran empedu
terutama obstruksi saluran empedu.
Fosfatase alkali disintesis dalam sel epitel saluran empedu. Kadar
yang sangat tinggi, sangat menggambarkan obstruksi saluran empedu karena
sel ductus meningkatkan sintesis enzym ini.
Pemeriksaan fungsi hepar menunjukkan tanda-tanda obstruksi. Ikterik
dan alkali fosfatase pada umumnya meningkat dan bertahan lebih lama
dibandingkan dengan peningkatan kadar bilirubin.
Waktu protombin biasanya akan memanjang karena absorbsi vitamin K
tergantung dari cairan empedu yang masuk ke usus halus, akan tetapi hal ini
dapat diatasi dengan pemberian vitamin K secara parenteral.1,7

2.9.3.2. Pemeriksaan radiologis


o Foto polos Abdomen
Foto polos abdomen biasanya tidak memberikan gambaran yang khas karena
hanya sekitar 10-15% batu kandung empedu yang bersifat radioopak. Kadang
kandung empedu yang mengandung cairan empedu berkadar kalsium tinggi dapat
dilihat dengan foto polos. Pada peradangan akut dengan kandung empedu yang
membesar atau hidrops, kandung empedu kadang terlihat sebagai massa jaringan
lunak di kuadran kanan atas yang menekan gambaran udara dalam usus besar, di
fleksura hepatica.
gambar 3. Foto rongent pada kolelitiasis.4

o Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi mempunyai derajat spesifisitas dan sensitifitas yang tinggi untuk
mendeteksi batu kandung empedu dan pelebaran saluran empedu intrahepatik
maupun ekstra hepatik. Dengan USG juga dapat dilihat dinding kandung empedu
yang menebal karena fibrosis atau udem yang diakibatkan oleh peradangan maupun
sebab lain. Batu yang terdapat pada duktus koledukus distal kadang sulit dideteksi
karena terhalang oleh udara di dalam usus. Dengan USG punktum maksimum rasa
nyeri pada batu kandung empedu yang ganggren lebih jelas daripada dengan
palpasi biasa.4

Gambar 4. Kolelitiasis pada USG4

o Kolesistografi
Untuk penderita tertentu, kolesistografi dengan kontras cukup baik karena relatif
murah, sederhana, dan cukup akurat untuk melihat batu radiolusen sehingga dapat
dihitung jumlah dan ukuran batu. Kolesistografi oral akan gagal pada keadaan ileus
paralitik, muntah, kadar bilirubun serum diatas 2 mg/dl, okstruksi pilorus, dan
hepatitis karena pada keadaan-keadaan tersebut kontras tidak dapat mencapai hati.
Pemeriksaan kolesitografi oral lebih bermakna pada penilaian fungsi kandung
empedu.4

o Kolangiografi transhepatik perkutan


Merupakan cara yang baik untuk mengetahui adanya obstruksi dibagian atas
kalau salurannya melebar, meskipun saluran yang ukurannya normal dapat dimasuki
oleh jarum baru yang "kecil sekali" Gangguan pembekuan, asites dan kolangitis
merupakan kontraindikasi.4

o Kolangiopankreatografi endoskopi retrograde (ERCP = Endoscopic retrograde


kolangiopankreatograft)
Kanulasi duktus koledokus dan/atau duktus pankreatikus melalui ampula Vater
dapat diselesaikan secara endoskopis. Lesi obstruksi bagian bawah dapat
diperagakan. Pada beberapa kasus tertentu dapat diperoleh informasi tambahan
yang berharga, misalnya tumor ampula, erosis batu melalu ampula, karsinoma yang
menembus duodenum dan sebagainya) Tehnik ini lebih sulit dan lebih mahal
dibandingkan kolangiografi transhepatik. Kolangitis dan pankreatitis merupakan
komplikasi yang mungkin terjadi. Pasien yang salurannya tak melebar atau
mempunyai kontraindikasi sebaiknya dilakukan kolangiografi transhepatik, ERCP
semakin menarik karena adanya potensi yang 'baik untuk mengobati penyebab
penyumbatan tersebut (misalnya: sfingterotomi untuk jenis batu duktus koledokus
yang tertinggal).8

o CT scan
CT scan dapat memperlihatkan saluran empedu yang melebar, massa hepatik
dan massa retroperitoneal (misalnya, massa pankreatik).Bila hasil ultrasound masih
meragukan, maka biasanya dilakukan CT scan.8

2.10 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari batu empedu tergantung dari stadium penyakit. Saat batu
tersebut menjadi simptomatik maka intervensi operatif diperlukan. Biasanya yang
dipakai ialah kolesistektomi. Akan tetapi, pengobatan batu dapat dimulai dari obat-
obatan yang digunakan tunggal atau kombinasi yaitu terapi oral garam empedu (
asam ursodeoksikolat), dilusi kontak dan ESWL. Terapi tersebut akan berprognosis
baik apabila batu kecil < 1 cm dengan tinggi kandungan kolesterol.

2.10.1 Asimptomatik
Penanganan operasi pada batu empedu asimptomatik tanpa komplikasi tidak
dianjurkan. Indikasi kolesistektomi pada batu empedu asimptomatik ialah
- Pasien dengan batu empedu > 2cm
- Pasien dengan kandung empedu yang kalsifikasi yang resikko tinggi keganasan
- Pasien dengan cedera medula spinalis yang berefek ke perut

Disolusi batu empedu


Agen disolusi yang digunakan ialah asam ursodioksikolat. Pada manusia,
penggunaan jangka panjang dari agen ini akan mengurangi saturasi kolesterol pada
empedu yaitu dengan mengurangi sekresi kolesterol dan efek deterjen dari asam
empedu pada kandung empedu. Desaturasi dari empedu mencegah kristalisasi.
Dosis lazim yang digunakan ialah 8-10 mg/kgBB terbagi dalam 2-3 dosis
harian akan mempercepat disolusi. Intervensi ini membutuhkan waktu 6-18 bulan
dan berhasil bila batu yang terdapat ialah kecil dan murni batu kolesterol.

Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy (ESWL)


Litotripsi gelombang elektrosyok meskipun sangat populer beberapa tahun
yang lalu, analisis biaya-manfaat pada saat ini hanya terbatas untuk pasien yang
benar-benar telah dipertimbangkan untuk menjalani terapi ini. Efektifitas ESWL
memerlukan terapi adjuvant asam ursodeoksilat.4,8

2.10.2 Simptomatik
Kolesistektomi
Kolesistektomi adalah pengangkatan kandung empedu yang secara umum
diindikasikan bagi yang memiliki gejala atau komplikasi dari batu, kecuali yang
terkait usia tua dan memiliki resiko operasi. Pada beberapa kasus empiema
kandung empedu, diperlukan drainase sementara untuk mengeluarkan pus yang
dinamakan kolesistostomi dan kemudian baru direncanakan kolesistektomi elektif.
Indikasi yang paling umum untuk kolesistektomi adalah kolik biliaris rekuren, diikuti
oleh kolesistitis akut. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi trauma CBD,
perdarahan, dan infeksi. 4,8

Kolesistostomi
Pada pasien dengan kandung empedu yang mengalami empiema dan sepsis, yang
dapat dilakukan ialah kolesistostomi. Kolesistostomi adalah penaruhan pipa drainase
di dalam kandung empedu. Setelah pasien stabil,maka kolesistektomi dapat
dilakukan.8

Endoscopic sphincterotomy
Dilakukan apabila batu pada CBD tidak dapat dikeluarkan. Pada prosedur ini
kanula diletakan pada duktus melalui papila vateri. Dengan mennggunkan
spinterectome elektrokauter, dibuat insisi 1 cm melalui sfingter oddi dan bagian CBD
yang mengarah ke intraduodenal terbuka dan batu keluar dan diekstraksi. Prosedur
ini terutama digunakan pada batu yang impaksi di ampula vateri.4,8
BAB 3
Kesimpulan

Kolelitiasis dipengaruhi oleh beberapa factor, di antaranya etnis, jenis


kelamin, komorbiditas, dan genetic. Angka kejadian pada wanita lebih banyak 2-3
kali lebih banyak daripada pria. Risiko terjadinya kolelitiasis juga meningkat
dengan bertambahnya umur.
Dikenal tiga jenis batu empedu yaitu, batu kolesterol, batu pigmen atau
batu bilirubin yang terdiri dari kalsium bilirubinat, serta batu campuran.
Patofisiologi dari terjadinya batu tersebut berbeda-beda. Pada Asia lebih banyak
batu pigmen.
Kebanyakan kolelitiasis tidak mempunyai gejala maupun tanda.
Perpindahan batu menuju ductus cysticus menyebabkan kolik selain itu dapat
menyebabkan kolesistitis akut. Kolangitis dapat terjadi ketika batu menghambat
duktus hepaticus atau ductus billiaris sehingga mengakibatkan infeksi dan
inflamasi. Kolelitiasis kronik menyebabkan fibrosis dan hilangnya fungsi dari
kandung empedu, selain itu merupakan factor predisposisi terjadinya kanker pada
kandung empedu.
Ultrasonografi merupakan modalitas yang terpilih jika terdapat kecurigaan
penyakit kandung empedu dan saluran empedu.
Pengobatan pada kolelitiasis tergantung pada tingkat dari penyakitnya. Jika
tidak ada gejala maka tidak diperlukan kolesistektomi. Tapi jika satu kali saja
terjadi gejala, maka diperlukan kolesistektomi. Selain itu juga dapat dilakukan
penanganan non operatif dengan cara konservatif yaitu melalui obat
(ursodioksilat) dan ESWL.
DAFTAR PUSTAKA
1. Doherty GM. Biliary Tract. In : Current Diagnosis & Treatment Surgery 13 th
edition. 2010. US : McGraw-Hill Companies,p544-55.
2. Hunter JG. Gallstones Diseases. In : Schwart’s Principles of Surgery 8th
edition. 2007. US : McGraw-Hill Companies.
3. http://www.artikelkeperawatan.info/materi-kuliah-batu-empedu-171.html
4. Heuman DM. Cholelithiasis. 2011. Diunduh dari : http://emedicine.medscape.
com/article/175667-overview.
5. Silbernagl S, Lang F. Gallstones Diseases. 2000. In : Color Atlas of
Pathophysiology. New York : Thieme,p:164-7.
6. Sjamsuhidayat R, de Jong W. Kolelitiasis. Dalam : Buku Ajar Ilmu Bedah.
Edisi 1. 1997. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. 767-73.
7. Townsend CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox KL. Biliary Tract. In :
Sabiston Textbook of Surgery 17th edition. 2004. Pennsylvania : Elsevier.
8. Klingensmith ME, Chen LE, Glasgow SC, Goers TA, Spencer J. Biliary
Surgery. In : Washington Manual of Surgery 5th edition. 2008. Washington :
Lippincott Williams & Wilkins.
9. Lesmana L. Batu Empedu dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid 1. Edisi IV.
Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 2007.479
- 481
10. Lumbantobing S. M, Pemeriksaan fisik dan Mental, Jakarta: Fakultas
kedokteran Univeritas Indonesia, 1998.
11. Brunner & suddart, Keperawatan medical bedah Vol 2. Jakarta.EGC, 2001
12. Wilkison, Judit M, buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC,2006
13. http://www.scribd.com/doc/26152642/makalah-kolelitiasis

Anda mungkin juga menyukai