Anda di halaman 1dari 23

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Hukum adalah suatu norma atau peraturan yang mengikat terhadap
masyarakat baik itu tertulis maupun tidak tertulis, dalam kaitannya hukum
pidana yaitu suatu hukum yang mengatur hubungan antara subjek hukum
dalam hal perbuatan-perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan
perundang-undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan
dan/atau denda bagi para pelanggarnya dimana sanksi pemidanaan dan/atau
denda ini di jatuhkan dalam hukum acara pidana yang bertujuan untuk
mencari kebenaran secara materiil yaitu kebenaran yang sebenar-benarnya.
Karena sanksi hukum pidana ini akan merampas sebagian hak dari terdakwa,
maka dari itu diperlukan sesuatu yang jelas kebenarannya sebelum seseorang
dinyatakan bersalah atau di nyatakan sebagai terdakwa.
Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada
beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan.
Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat
(negara). Seperti halnya Negara Belanda dan Eropa, Indonesia menganut
sistem Eropa Kontinental dimana sistem ini merupakan hasil kodifikasidari
berbagai ketentuan-ketentuan hukum secara sistematis yang akan ditafsirkan
lebih lanjut oleh hakim dalam penerapannya. Artinya hakim disini berperan
aktif untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran yang sebenar-
benarnya dengan cara menafsirkan alat-alat bukti yang sah yang dihadirkan
di dalam persidangan dan mengkofidikasinya dengan teori-teori yang sudah
ada terdahulu, hakim jugalah yang memutuskan apakah seseorang itu
bersalah atau tidak, jika dinyatakan bersalah hakim pula lah yang berhak
memutuskan seorang tersebut mendapatkan sanksi berupa sanksi pidana
dan/atau sanksi denda.

1.2 Rumusan Masalah

1
1. Apasaja alat bukti yang sah untuk menguatkan suatu kebenaran perkara
pidana di Indonesia?
2. Bagaimana penerapan alat bukti dalam kekuatan pembuktian?

1.2 Tujuan Penulisan


Dengan adanya makalah ini, para teman-teman mahasiswa diharapkan dapat
mengetahui serta memahami hal-hal di bawah ini:
1. Tentang jenis-jenis alat bukti yang sah dalam perkara pidana
2. Tentang penerapan alat bukti dalam kekuatan pembuktian

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Alat bukti yang sah dalam perkara pidana di Indonesia

2
a. Pengertian Alat Bukti
Dalam kosa kata bahasa Inggris, ada dua kata yang sama diterjemahkan
dalam Bahasa Indonesia sebagai “bukti” namun kedua kata tersebut
memiliki perbedaan yang cukup prinsip. Kata yang pertama yaitu
“evidence” yang artinya yaitu informasi yang memberikan dasar-dasar yang
mendukung suatu keyakinan bahwa beberapa bagian atau keseluruhan fakta
itu benar. Kata yang kedua yaitu “proof” yang berarti suatu yang mengacu
pada hasil suatu proses evaluasi dan menarik kesimpulan terhadap evidence.
Ditarik kesimpulan oleh Dennis tentang istilah tersebut diatas bahwa
kata evidence lebih dekat pada pengertian alat bukti menurut hukum positif,
sedangkan proof dapat diartikan1 sebagai pembuktian yang mengarah pada
suatu proses.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata “bukti” terjemahan dari
Bahasa Belanda “bewijs” diartikan sebagai sesuatu yang menyatakan
kebenaran suatu peristiwa. Dalam kamus hukum “bewijs” artinya sebagai
segala sesuatu yang memperlihatkan kebenaran fakta tertentu atau
ketidakbenaran fakta lain oleh para pihak dalam perkara pengadilan guna
memberi bahan kepada hakim bagi penilaiannya. Sementara itu pembuktian
diartikan sebagai proses, perbuatan, atau cara membuktikan.
Menurut R. Subekti berpendapat bahwa membuktikan ialah
meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang
dikemukakan dalam suatu persengketaan2
Pada dasarnya bukti merujuk pada alat-alat bukti termasuk barang bukti
yang menyatakan kebenaran peristiwa, sementara pembuktian merujuk pada
suatu proses terkait mengumpulkan bukti, memperlihatkan bukti sampai
pada penyampaian bukti tersebut disidang pengadilan.3

b. Alat-alat bukti

1
Eddy.O.S.Hiariej, 2012, Teori Dan Hukum Pembuktian, Jakarta, Erlangga, hlm. 2
2
Ibid., hlm. 3
3
Ibid., hlm. 4

3
Alat – alat bukti dalam KUHAP masih tetap sama dengan yang
tercantum dalam HIR yang pada dasarnya sama dengan ketentuan dalam
Ned strafvordering dan Alat Bukti di negara yang menganut Eropa
Kontinental.
Untuk alat bukti di negara yang menganut Sistem Hukum Common
Law Seperti Amerika Serikat alat buktinya berbeda dengan Alat bukti yang
di pergunakan di negara kita alat bukti menurut Criminal Procedure Law
Amerika Serikat yang di sebut form of evidence, terdiri dari :
a. Real evidence ( bukti sungguhan )
b. Documentary evidence (bukti documenter )
c. Testimonial evidence ( bukti kesaksian )
d. Judicial notice ( pengamatan hakim )4

Indonesia sendiri menggunakan alat bukti yang berbeda dengan negara


Amerika Serikat, alat bukti tersebut yaitu :
a. Keterangan Saksi
Syarat – syarat Seorang Saksi
Pada umunya semua orang dapat menjadi saksi, terkecuali orang yang
menjadi saksi yang tercantum dalam Pasal 186 KUHAP Yaitu :
- Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ke tiga dari terdakwa atau yang bersama –
sama sebagi terdakwa
- Saudara dari terdakwa atau yang bersama - sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak , juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak – anak saudara terdakwa
sampai derajat ketiga.
- Suami atau Istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama – sama sebagai terdakwa

Di dalam Pasal 168 KUHAP di katakan “cukup Jelas” banyak


Masalah yang timbul berhubungan dengan ketentuan yang di sebutkan
dalam Pasal 168 KUHAP dan dalam Pasal 170 KUHAP “ Bahwa
mereka yang karena Pekerjaan, harkat, martabat atau jabatanya di

4
Andi Hamzah, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Sinar Grafika Offse, hlm 254

4
wajibkan menyimpan rahasia dan dapat minta di bebaskan dari
kewajiban memberikan keterangan sebagai saksi.
Pekerjaan atau jabatan yang di kemukan dalam Pasl 170 KUHAP
yang menetukan adanya kewajiban untuk menyimpan rahasia di
tentukan oleh Peraturan Perundang – undangan orang yang harus
menyimpan rahasia jabatan misalnya Dokter yang harus merahasiakan
penyakit yang di derita pasienya sedangkan yang di maksud karena
martabatnya dapat mengundurkan diri adalah pastor agama Katolik
Roma (berhubungan dengan kerahasian orang – orang yang melakukan
pengakuan dosa kepada pastor tersebut )
Karena dalam Pasal 170 KUHAP mengatur mengenai “dapat minta
di bebaskan dari keawajiban untuk memberikan keterangan sebagai
saksi “kekecualian menjadi saksi karena harus menyimpan rahasia
jabatan atau karena martabatnya merupakan ke kecualian Relatif ”.
Dalam Pasal 171 KUHAP di tambah kekecualian untuk memberi ke
saksian di bawah sumpah yaitu :
- Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum
pernah kawin
- Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatanya baik kembali
Mengenai kewajiban saksi mengucapkan sumpah atau janji karena
KUHAP masih mengikuti peraturan lama (HIR) di mana di tentukan
bahwa pengucapan sumpah merupakan syarat mutlak suatu kesaksian
yaitu sebagai alat bukti
Dan dalam pasal 160 ayat ( 3 ) KUHAP di katakan bahwa
sebelum memberi keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau
janji menurut acara agamanya masing – masing, bahwa ia akan
memberikan keteranganya yang sebenarnya dan tidak lain dari pada
yang sebenarnya.
Pengucapan Sumpah itu merupakan syarat mutlak dapat di baca
dalam Pasal 161 ( 1) dan ( 2 ) KUHAP sebagai berikut :

5
“dalam hal saksi atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk
bersumpah atau berjanji , sebagaimana di maksud dalam Pasal 160 ( 3
) dan (4) maka pemeriksaan terhadap nya tetap di lakukan, sedang ia
dengan surat penetapan hakim ketua sidang dapat di kenakan sandera
di tempat rumah tahanan negara paling lama 14 hari ( ayat 1 )”
Dalam pasal 161 ( 2 ) tersebut menunjukan bahwa pengucapan
sumpah merupakan syarat mutlak “ Keterangan saksi atau ahli yang
tidak di sumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat di anggap sebagai
alat bukti yang sah tetapi hanyala merupakan keterangan yang dapat
menguatkan keyakinan hakim
Lain halnya dalam Pasal 165 ( 7 ) KUHAP “keterangan dari saksi
yang tidak di sumpah meskipun sesuatu satu dengan yang lain, tidak
merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu sesuai dengan
keterangan dari saksi yang di sumpah dapat di pergunakan sebagai
tambahan alat bukti yang sah yang lain”

Isi dan Nilai Keterangan seorang saksi:


Dalam pasal 185 (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat
maupun rekaan , yang di peroleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi dlam pasal 185 (1) Di Katakan “Dalam
Keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang di peroleh dari orang
lain atau testimonutim de auditu jadi keterangan saksi yang di peroleh
dari orang lain bukan alat bukti yang sah dan dalam pasal 30 (1) HIR
dahulu , hanya di katakan bahwa keterang saksi harus lah mengenai hal –
hal dan ke adaan yang di alami, di lihat atau di dengar olehnya sendiri
yaitu saksi.
Berhubungan dengan tidak dicantumkannya pengamatan Hakim
sebagai alat bukti dalam Pasal 184 KUHAP, maka kesaksian de auditu
tidak di jadikan alat bukti melalui pengamatan Hakim dan mungkin alat
pentunjuk, yang penilaian dan pertimbangannya hendaknya di serahkan
kepada Hakim

6
Menurut KUHAP keterangan satu saksi bukan saksi hanya berlaku
bagi pemeriksaan biasa dan pemeriksaan singkat tidak berlaku bagi
pemeriksaan cepat hal ini dapat di simpulkan dari penjelasan pasal 184
KUHAP sebagi berikut.
“Dalam acara pemeriksaan cepat keyakinan Hakim cukup di dukung
satu alat bukti yang sah”.
Jadi ini berarti satu saksi, satu keterangan ahli satu surat, satu
petunjuk atau keterangan terdakwa di sertai keyakinan hakim cukup
sebagai alat bukti untuk me midana terdakwa dalam perkara cepat.
Acara pemeriksaan cepat ini terbagi dua, Paragraf satu mengenai
acar pemeriksaan tindak pidana ringan dan paragraf – paragraf acara
pemeriksaan perkara pelangaran lalu lintas jalan.5
b. Keterangan Ahli (Verklaringen Van Een Deskundige: Expert Testimony)
Keterangan Seorang ahli di sebut sebagai alat bukti pada urutan ke
dua oleh pasal 183 KUHAP berbeda dengan di HIR dahulu tidak
mencantumkan keterangan ahli se bagai alat bukti. Dalam pasal 186
keterangan seorang ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di
sidang pengadilan jadi pasal tersebut tidak menjawab siapa yang di
sebut ahli dan apa itu keterangan ahli dalam Pasal 343 Ned Sv
keterangan ahli adalah pendapat seseorang ahli yang berhubungan
dengan ilmu pengetahuan yang telah di pelajarinya (tentang sesuatu
yang di mintai pertimbangan nya) jadi keterangan tersebut di ketahui
bahwa yang di maksud dengan keahlian ialah ilmu pengetahuan yang
telah di pelajari ( dimiliki seseorang ) dalam HR yang meliputi
kriminalistik. Dan isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda,
keterangan seorang saksi mengenai apa yang di alami saksi itu sendiri
sedangkan keterangan seorang ahli ialah mengenai sauatu penilaina
mengenai suatu penilain mengenai hal – hal yang sudah nyata ada dan
pengambilan kesimpulan mengenai hal – hal itu dan dalam KUHAP
membedakan keterangan seorang ahli di persidangan sebagai alat

5
Ibid., hlm 256

7
bukti “ keterangan ahli “ ( Pasal 186 KUHAP) dan keterangan seorang
ahli secara tertulis di luar persidangan sebagai alat bukti “Surat“ ( Pasal
187 butir c KUHAP ).6
c. Alat Bukti Surat
Dalam Pasal 184 Alat Bukti Surat terdiri atas 4 ayat
- Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang di buat oleh
pejabat umum yang berwenang atau yang di buat di hadapan nya
yang membuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang di
dengar, dilihat atau yang di alaminya di sertai alasan yang jelas
dan tegas tentang keterangan itu.
- Surat yang di buat menurut ketentuan peraturan perundang –
undangan atau surat yang di buat oleh pejabat mengenai hal yang
termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawab nya
dan yang di peruntukan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu
keadaan
- Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan ke ahlianya mengenai sesuatu hal atau ke adaaanya
yang di minta secar resmi dari padanya.
- Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungan nya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain .7

d. Alat Bukti Petunjuk


Petunjuk di dalam Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang ke
empat yaitu masih mengikuti HIR Pasal 195, HIR Pasal 295 dan dalam
Undang – undang Mahkamah Agung Nomor Undang – undang
Nomor 1 Tahun 1950 telah menghapus petunjuk sebagai alat bukti.
Defenisi alat bukti petunjuk dalam Pasal 188 (1) KUHAP “
Petunjuk adalah perbutan kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindakan pidana dan siapa pelakunya. 8
e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

6
Ibid.,hlm 267
7
Ibid.,hlm 270
8
Ibid., hlm 271

8
KUHAP Sangat jelas dan sengaja di cantumkan “Keterangan
Terdakwa” sebagai alat bukti dalam Pasal 184 butir c berbeda dengan
peraturan dalam HIR yang menyebut “Pengakuan Terdakwa” sebagai
alat bukti menurut pasal 295 dapat di lihat dengan Jelas bahwa “
Keterangan Terdakwa” sebagai alat bukti tidak perlu sama atau
berbentuk pengakuan Karena Pengakuan sebagai alat bukti mempunyai
syarat – syarat berikut :
- Mengaku ia yang melakukan delik yang di dakwakan
- Mengaku ia bersalah
- Mengaku terdakwa sebagai alat bukti

Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv Penyangkalan


terdakwa bisa menjadi alat buktiyang sah dan sudah jelas bahwa
keterangan terdakwa sebagai alat bukti dengan pengakuan terdakwa
ialah bahwa tetapi membena kan beberapa keadaan atau perbuatan
yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain
yang merupakan alat bukti.9
c. Dasar hukum
KUHAP
BAGIAN KE EMPAT
Pembuktian dan Putusan
Dalam Acara PemeriksaanBiasa

Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperbolehkan
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukanya .

Pasal 184
1) Alat bukti yang sah ialah:

9
Ibid., hlm.273

9
a. Keterangan saksi;
b. Keteranga nahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa;
2) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Pasal 185
1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya
3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya
4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang
sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian
atau keadaan tertentu.
5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran
saja, bukan merupakan keterangan saksi
6) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memperhatikan:
a. Persesuian antara keterangan saksi satu dengan yang lain ;
b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan yang tertentu;
d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
7) Keterangan dari saksi yang tidak disumpah meskipun sesuai satu dengan
yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila keterangan itu
sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah dapat dipergunakan
sebagai tambahan alat bukti sah yang lain.

Pasal 186

10
Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan.

Pasal 187
Surat sebagaimana tersebut pada pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas
sumpah jabatan atau sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah,
adalah:
a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat
umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau
surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata
laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi
pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atas sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya;
d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari
alat pembuktian yang lain.

Pasal 188
(1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena
persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi
suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.
(2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh
dari:
a. Keterangan sanksi;
b. Surat;
c. Keterangan terdakwa;
(3) Penilian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap
keadaan tertentu diakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana,
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan
keseksamaan berdasarkan hati nuraninya.

11
Pasal 189
1) Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang
tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau
alami sendiri.
2) Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat digunakan
untuk membantu menemukan bukti di sidang, asalkan keterangan itu
didukung oleh suatu alat bukti yang sah sepanjang mengenai hal yang
didakwakan kepadanya.
3) Keterangan terdakwa hanya dapa tdigunakan terhadap dirinya sendiri.
Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia
bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya,
melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.

d. Parameter pembuktian
1. Bewijstheorie
Bewijstheorie adalah teori pembuktian yang dipakai sebagai dasar
pembuktian oleh hakim di pengadilan. Ada empat teori pembuktian.
Pertama adalah posotief wettelijk bewijstheorie yang mana hakim terikat
secara positif kepada alat bukti menurut undang-undang. Artinya, jika dalam
pertimbangan, hakim telah menganggap terbukti suatu perbuatan sesuai
dengan alat-alat bukti yang disebut dalam undang-undang tanpa diperlukan
keyakinan, hakim dapat menjatuhkan putusan. Posotief wettelijk
bewijstheorie ini digunakan dalam hukum acara perdata.
Kedua, conviction intime yang berarti keyakinan semata. Artinya,
dalam menjatuhkan putusan, dasar pembuktiannya semata-mata diserahkan
kepada keyakinan hakim. Dia tidak terikat oleh alat bukti, namun atas dasar
keyakinan yang timbul dari hati nurani dan sifat bijaksana seorang hakim, ia
dapat menjatuhkan putusan.
Ketiga, conviction raisonee. Artinya, dasar pembuktian menurut
keyakinan hakim dalam batas-batas tertentu atas alasan yang logis. Dalam
konteks hukum acara pidana di Indonesia, conviction raisonee digunakan
dalam persidangan perkara tindak pidana ringan.

12
Keempat, yang secara umum dianut dalam sistem peradilan pidana
termasuk di Indonesia, adalah negatief wettelijk bewijstheorie. Dasar
pembuktian menurut keyakinan hakim yang timbul dari alat-alat bukti
dalam undang-undang secara negatif.

2. Bewijsmiddelen
Bewijsmiddelen adalah alat-alat bukti yang digunakan untuk
membuktikan telah terjadinya suatu peristiwa hukum. Mengenai apa saja
yang menjadi alat bukti, akan diatur dalam hukum acara.
Dalam hukum acara pidana di Indonesia, alat bukti yang diakui di
pengadilan sama dengan alat bukti yag digunakan di banyak Negara.

3. Bewijvoering
Secara harfiah bewijvoering diartikan sebagai penguraian cara
bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bagi
Negara-negara yang cenderung menggunakan process model dalam sistem
peradilan pidananya, perihal bewijsvoering ini cukup mendapatkan
perhatian. Dalam due process model, Negara begitu menjunjung tinggi hak
asasi manusia (hak-hak tersangka) sehingga acap kali seorang tersangka
dibebaskan oleh pengadilan dalam pemeriksaan pra peradilan lantaran alat
bukti diperoleh dengan cara yang tidak sah atau yang disebut dengan istilah
unlawful legal evidence. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan
pada hal-hal yang bersifat formalistis. Konsekuensi selanjutnya sering kali
mengesmpingkan kebenaran dan fakta yang ada.

4. Bewijslast
Bewijslast atau burden of proof adalah pembagian beban pembuktian
yang diwajibkan oleh undang-undang untuk membuktikan suatu peristiwa
hukum. Dalam hukum positif .
Dalam konteks perkara pidana secara universal yang berlaku di dunia,
kewajiban untuk membuktikan dakwaan yang di dakwakan kepada
tersangka merupakan kewajiban jaksa penuntut umum. Hal ini merupakan

13
konsekuensi atas asas diferensiasi fungsional dalam criminal process yang
menyerahkan fungsi penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pengadilan
kepada lembaga-lembaga yang berwenang, yakni kepolisian kejaksaan,
pengadilan, dan lembaga permasyarakatan.
Lazimnya jaksa penuntut umum akan membuktikan kesalahan
terdakwa, sedangkan sebaliknya terdakwa beserta penasihat hukum akan
membuktikan sebaliknya bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana yang
didakwakan.suatu kondisi yang mana jaksa penuntut umum dan terdakwa
sama-sama membuktikan di sidang pengadilan dinamakan asas pembalikan
beban pembuktian “berimbang” seperti dikenal di Amerika Serikat dan juga
di Indonesia. Pembuktian oleh terdakwa yang menunjukkan bahwa dia tidak
bersalah telah melakukan suatu kejahatan dikenal dengan istilah exculpatory
evidence. Secara sederhana exculpatory evidence diartikan sebagai bukti
yang cenderung meniadakan atau mengurangi kesalahan terdakwa.

5. Bewijskracht
Bewijskracht dapat diartikan sebagai kekuatan pembuktian masing-
masing alat bukti dalam rangkaian penilaian terbuktinya suatu dakwaan.
Penilaian tersebut merupakan otoritas hakim.
Dalam hukum acara pidana, kekuatan semua alat bukti pada hakikatnya
sama, tidak ada satu melebihi yang lain. Tegasnya, alat bukti dalam hukum
acara pidana tidak mengenal hierarki. Hanya saja ada ketentuan-ketentuan
yang mensyaratkan keterkaitan antara bukti yang satu dengn bukti yang lain.
Oleh karena itu, dalam hukum acara pidana terdapat bukti yang bersifat
sebagai pelengkap. Bukti tersebut timbul dari bukti yang lain.

6. Bewijs Minimmum
Secara sederhana, bewijs minimmum adalah bukti minimum yang
diperlukan dalam pembuktian untuk mengikat kebebasan hakim. Dalam
konteks hukum acara pidana di Indonesia, untuk menjatuhkan pidana
terhadap terdakwa, paling tidak harus ada dua alat bukti ditambah dengan

14
keyakinan hakim. Artinya untuk dapat menjatuhkan pidana, bewijs
minimmum-nya adalah dua alat bukti.

e. Tujuan dan fungsi pembuktian


R. Supomo berpendapat bahwa pembuktian mempunyai dua arti, yang
pertama dalam arti luas, pembuktian membenarkan hubungan hukum,
misal : jika hakim mengabulkan gugatan penggugat. Gugatan penggugat
yang dikabulkan mengandung arti bahwa hakim telah menarik kesimpulan
bahwa hal yang dikemukakan oleh penggugat sebagai hubungan hukum
antara penggugat dan tergugat adalah benar. Oleh karena itu membuktikan
dalam arti luas berarti memperkuat kesimpulan hakim dengan syarat-syarat
bukti yang sah. Kedua, dalam arti terbatas, pembuktian hanya diperlukan
apabila hal yang dikemukakan oleh penggugat itu dibantah oleh tergugat,
sementara hal yang tidak dibantah tidak perlu dibuktikan.
 Tujuan Pembuktian
Penuntut umum harus berusaha membuktikan tindak pidana yang
dilakukan terdakwa di muka sidang pengadilan dengan alat bukti yang telah
disiapkan secara lengkap di dalam berita acara yang telah dilimpahkan.
Di dalam sidang pengadilan penuntut umum dengan cara yang
ditentukan oleh undang-undang berusaha mendapatkan fakta-fakta prbuatan
materil yang dilakukan terdakwa sesuai dengan unsur-unsur tindak pidana
yang didakwakan.
Data-data perbuatan materil tersebut didapat dari alat bukti keterangan
saksi,keterangan ahli atau alat-alat bukti yang lain, sehingga fakta-fakta
yang didapat dari keterngan-keterangan ersebut dapat menggambarkan
tindak pidana yang dilakukan terdakwa yang sesuai dengan isi dari surat
dakwaan.
Penuntut umum dalam usaha membuktikan tindak pidana yang
dilakukan terdakwa dengan alat bukti yang diajukan berusaha untuk dapat
meyakinkan majelis hakim bahwa tindak pidana yang didakwakan betul-
betul terjadi dan dapat dinyatakan salah.
Dalam hal ini penuntut umum harus dengan cermat mencatat hasil
pembuktiaan didalam sidang. Untuk menjaga adanya kesamaan bahan

15
analisis,apabila perlu minta kepada paitera melalui hakim ketua untuk
mencatat hasil pembuktian sebagai hasil sidang (pasal 202 ayat (3)
KUHAP).
Dalam usaha penuntut umum meyakinkan hakim atas terbuktinya
surat dkwaan perlu memperhatikan :
1. Di dalam sidang harus teliti dan cermat dalam usaha menemukan bukti
perbuatan atau akibat dari perbuatan terdakwa.
2. Data dan fakta dari hasil sidang yang menentukan adanya tindak pidana
harus dicatat atau suruh catat.
Harus dapat menilai alat bukti yang memenuhi syarat yang sah dan
alat bukti yang tidak dapat digunakan karena tidak memenuhi syarat sebagai
alat bukti.
 Fungsi Pembuktian
Menurut Sudikno Mertokusumo, membuktikan mempunyai beberapa
pengertian, yaitu arti logis, konvensional dan yuridis. Dari beberapa
pengertian tersebut berkaitan dengan fungsi dari pembuktian, untuk lebih
jelasnya akan diuraikan pengertian pembuktian yang pertama, secara logis,
ialah pembuktian berfungsi untuk memberikan kepastian yang bersifat
mutlak karena berlaku bagi setiap orang dan tidak memungkinkan adanya
bukti lawan. Kedua, pembuktian dalam arti konvensional yaitu berfungsi
untuk memberikan kepastian yang bersifat nisbi atau relatif, pembuktian
secara nisbi atau relatif ini dibagi menjadi dua, yakni kepastian yang
didasarkan pada perasaan belaka atau kepastian yang bersifat intuitif yang
biasa disebut conviction intime dan kepastian yang didasarkan pada
pertimbangan akal biasa disebut conviction rasionance. Ketiga,
membuktikan dalam arti yuridis10 ialah berfungsi untuk memberi dasar-
dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna memberikan kepastian tentang kebenaran suatu peristiwa yang
diajukan.
Pada dasarnya fungsi dari pembuktian adalah mencari kebenaran atas
suatu peristiwa. Dalam konteks hukum, fungsi pembuktian adalah mecari
kebenaran suatu peristiwa hukum. Dalam konteks hukum pidana,
10
Eddy.O.S.Hiariej, Op.cit., hlm. 6

16
pembuktian merupakan inti dari persidangan perkara pidana karena dalam
hukum pidana berfungsi untuk mencari kebenaran materil. Pembuktian
dalam perkara pidana sudah dimulai sejak tahap penyelidikan untuk mencari
dan menemukan peristiwa yang diduga sebagi suatu tindak pidana guna
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan. Pada tahap ini sudah terjadi
pembuktian, dengan tindak penyidik mencari barang bukti, maksudnya guna
membuat terang suatu tindak pidana serta menentukan atau menemukan
tersangkanya.11

2.2 Penerapan alat bukti dalam kekuatan pembuktian


a. Kekuatan pembuktian
Kekuatan pembuktian atau yang dalam bahasa Belanda disebut dengan
bewijskracht yaitu masing-masing alat bukti dalam rangkaian penilian
terbuktinya suatu dakwaan. Penilaian tersebut merupakan otoritas atau
kewenangan hakim. Hakimlah yang menilai dan menentukan kesesuaian
antara alat bukti dengan alat bukti yang lain. Kekuatan pembuktian juga
terletak pada bukti yang diajukan, apakah bukti tersebut relevan atau tidak
dengan perkara yang sedangdisidangkan. Jika bukti tersebut relevan,
kekuatan pembuktian selanjutnya mengarah pada apakah bukti tersebut
dapat diterima atau tidak.
Dalam hukum acara pidana, kekuatan semua alat bukti pada hakikatnya
sama, tidak ada satu melebihi yang lain. Tegasnya alat bukti dalam hukum
acara pidana tidak mengenal hierarki. Hanya saja ada ketentuan-ketentuan
yang mensyaratkan keterkaitan antara bukti 12 yang satu dengan bukti yang
lain. Oleh karena itu, dalam hukum acara pidana terdapat bukti yang bersifat
sebagai pelengkap. Bukti tersebut timbul dari bukti yang lain.13

b. Teknik pembuktian
Sistem Pembuktian
Dalam hukum acara pidana sistem hukum pembuktian dalam sebutan:
“sistem negatif menurut undang-undang” seperti yang di atur dalam pasal
11
Ibid., hlm. 7
12
Ibid., hlm.25
13
Ibid., hlm. 26

17
183 KUHAP sebagai berikut : “hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti
yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sistem negative menurut undang-undang tersebut mempunyai maksud
:
1. supaya terdakwa dapat di nyatakan salah diperlukan bukti minimum yang di
tetapkan oleh undang-undang ( pasal 183 KUHAP).
2. namun demikian biarpun alat bukti melebihi bukti minimum yang di
tetapkan undang-undang apabila hakim tidak yakin tentang kesalahan
terdakwa ia tidak boleh menjatuhkan pidana.
Dalam hal memutus perkara di sidang peradilan peranan hakim besar
sekali, sebab meskipun alat bukti yang di ajukan penuntut umum lebih dari
bukti minimum apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa salah ia harus di
bebaskan. Dalam keyakinan yang di gunakan oleh hakim untuk menentukan
bahwa terdakwa salah adalah keyakinan dari hati nurani yang suci dan tidak
dipengaruhi oleh unsure dari luar tetapi keyakinan bersumber kepada yang
maha pencipta. Maka dalam keputusannya selalu di dahului dengan ucapan
“demi keadilan yang berdasarkan ketuhanan yang maha esa”.
Untuk menyatakan keyakinan dalam memutus perkara di dahului
dengan petimbangan hakim yang menggunakan kalimat: “berdasarkan
bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa” dan
seterusnya.
Dalam praktek peradilan sering terjadi perkara perkaan yang bertujuan
agar terdakwa di pidana, dengan adanya perkara perkaan ini wajib menuntut
umum maupun hakim harus bersifat waspada, untuk itu meskipun terdakwa
mengaku melakukan tindak pidana namun belum merupakan jaminan
bahwa tindakpidana itu ia lakukan.
Dalam pembuktian yang harus di ingat penuntut umum: “bagaimana
dengan alat bukti yang sah hakim yakin bahwa terdakwa melakukan tindak
pidana dan berbuat salah.” Karena peranan kebebasan hakim dalam

18
menerapkan hasil pembuktian kelihatan memegang peranan yang
menentukan.
Dalam sistem pembuktian ada terdapat beberapa teori
a. Teori Subjektif murni ( convection intime)
Dalam ajaran subjektif murni adalaha didasarkan kepada keyakinan
hakim semata-mata. Maka dalam pelaksanaannya dibutuhkan seorang hakim
yan luas pengetahuannya masalah hukum, adat istiadat, jujur dan
mempunyai ketetapan hati yang tidak mudah dipengaruhi yang datang dari
luar dirinya, sehingga keyakinannya murni timbul dari dalam hati sanubari.
Ajaran subjektif dianut pada zaman Ancien regime dimana raja-raja
bertindak bebas dan sewenang-wenang, dengan demikian mempengaruhi
tugas para hakim pada zaman itu sehingga hakim dalam memutus perkara
tanpa memberi alasan yang berdasarkan undang-undang.

b. Teori Positif (Positief Wetterlijk)


Ajaran ini didasarkan kepada kemurnian undang-undang seperti diatur
dalam pasal 1 ayat (1) KUHAP yang bunyinya sebagai berikut:
1) Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana
dalam undang yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan. Artinya
hakim dalam memutuskan perkara harus berdasarkan undang-undang, yang
berarti tugas hakim hanya sebagai pelaksana undang-undang belaka.
2) Tidak dapat dimungkiri bahwa dengan asas legalitet tersebut yang dapat
dipidana hanya mereka yang melakukan tindak pidana dan oleh aturan
undang-undang secara tegas dinyatakan dilarang.
Dalam ajaran tersebut memberi kesempatan bagi orang melakukan
perbuatan yang pada hakikatnya ia melakukan kejahatan tetapi karena tidak
diatur dalam undang-undang sebagai tindak pidana ia lepas dari tuntutan
pidana.
c. Teori Negatif (Negatief Wettelijk)
Apabila tindak pidana sudah dibuktikan dan ternyata terdakwa
terbukti melangggar hukum dan dinyatakan salah, hakim dalam memutus
perkara pidana masih diperlukan keyakinan atas tindak pidana yang sudah
terbukti dan yang dinyatakan salah itu.Pasal 183 KUHAP mengatur
ketentuan sebagai berikut:

19
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila
dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa
terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Bahwa hakim sebelum menjalankan tugasnya telah mengangkat
sumpah lebih dahulu, maka diharapkan tidak akan dipengaruhi, dari luar
keyakinannya sedangkan dalam batinnya para hakim wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup di dalam
masyarakat.

d. Teori Pembuktian Bebas (Vrije Bewijsler)


Dalam teori ini seorang hakim dalam menjalankan tugasnya harus
sebagai seorang ahli dalam bidangnya dan selalu mengikuti perkembangan
ilmu pengetahuan dan keputusannya harus up to date tidak hanya terpaku
kepada suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, ia wajib
mengikuti perkembangan dan kemajuan masyarakat.
Dalam memutus perkara hakim tidak terikat kepada undang-undang
semata tetapi didasarkan kepada ilmu pengetahuan dan logika, sehingga
keputusan dapat menyentuh rasa keadilan masyarakat pada zamannya.

c. Alat-alat bukti yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti


Alat-alat bukti yang tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti ialah:
1. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan (unus testis nulus
testis).
2. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri atas suatu kejadian
yang tidak ada kaitannya satu sama lain, kecuali keterangan saksi-saksi itu
ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga dapat
membuktikan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu (ketting bewijs).
3. Keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain (testimonium de auditu).
4. Saksi dalam memberi kesaksiannya merupakan pendapat atau rekaan yang
diperoleh dari pemikiran saja.
5. Keterangan saksi yang tidak di sumpah.
6. Keterangan saksi yang dinyatakan di luar sidang.

20
BAB III
PENUTUP
a. Kesimpulan
Dari makalah ini dapat ditarik kesimpulan bahwa alat bukti adalah
sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dan alat-alat yang
digunakan untuk membuktikan suatu kebenaran peristiwa pidana di
Indonesia yang sah adalah telah dijelaskan dalam Pasal 183 dan 184
KUHAP.
Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila sekurang – kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperbolehkan keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar – benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukanya .
Dan
Pasal 184
1) Sesuai dalam Pasal 184 ayat 1 KUHAP Alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi
b. Keteranga nahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;

21
e. Keterangan terdakwa;
Kemudian kekuatan pembuktian yaitu masing-masing alat bukti
dalam rangkaian penilian terbuktinya suatu dakwaan.
Dalam hukum acara pidana sistem hukum pembuktian dalam
sebutan: “sistem negatif menurut undang-undang” seperti yang di atur
dalam pasal 183 KUHAP sebagai berikut: “hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan
bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang
bersalah melakukannya.”
Untuk menyatakan keyakinan dalam memutus perkara di dahului
dengan petimbangan hakim yang menggunakan kalimat: “berdasarkan
bukti-bukti yang sah, berkeyakinan akan kesalahan terdakwa” dan
seterusnya.
Dalam hal memutus perkara di sidang peradilan peranan hakim
besar sekali, sebab meskipun alat bukti yang di ajukan penuntut umum
lebih dari bukti minimum apabila hakim tidak yakin bahwa terdakwa
salah ia harus di bebaskan.

b. Saran
Dalam memutus suatu perkara pidana, hakim tidak boleh
menjatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa atau tersangka jika
hakim belum mendapati alat-alat bukti yang sah minimal dengan dua
alat bukti, hal ini di negara Indonesia telah disebutkan dalam KUHAP
tepat di buku ke empat Pasal 183 dan 184. Dengan makalah ini, kami
menyarankan agar setiap perkara pidana haruslah diproses (mulai dari
penyelidikan, penyidikan, hingga memutus) sesuai dengan Kitab
Undang-Undang Acara Pidana yang berlaku di Indonesia, agar tidak
terjadi kesalahan dalam memutus perkara pidana.

Daftar Pustaka

22
Hamzah Andi, 2000, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta, Sinar Grafika Offset
Hiariej Eddy.O.S., 2012, Teori Dan Hukum Pembuktian. Jakarta, Erlangga

23

Anda mungkin juga menyukai