Ismail Rumadan
Peneliti Hukum dan Peradilan pada Mahkamah Agung RI.
Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya
Abstrak
Berbagai persoalan kriminal yang terjadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan
menunjukan bahwa tujuan mulia dibentuknya lembaga pemasyarakatan yang
digagas oleh Sahardjo sejak awal pembentukannya sebagai lembaga Pembinaan,
etika dan kehormatan. Bahwa orang yang tersesat harus diayomi dengan
memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna
dalam masyarakat menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan. Kondisi ini
menggugah kita untuk kembali mengkaji ulang (reorientasi) model pemidanaan
yang dugunakan dalam penegakan hukum pidana. Orientasi penegakan hukum
pidana tidak semistinya berakhir pada penjatuhan sanksi pidana berupa penjara
terhadap terdakwa, namun penjatuhan sanksi berupa sanksi sosial terhadap
terdakwa dengan skala tindak pidana yang rekatif ringan perlu untuk dikedepankan
atau diutamakan melalui pendekatan restoratif justice.
Kata Kunci: Peradilan Pidana, tujuan pemidanaan, restoratif justice.
Abstract
Many criminal problems that occurred in the prison showed that noble goal
penitentiary establishment initiated by Sahardjo since its inception as a coaching
institute, ethics and honor. That the person who lost had to give him stock diayomi
live as good citizens and useful in society to be a difficult thing to achieve. This
condition inspires us to re-review the (re-orientation) models that are used in a
criminal prosecution of criminal law enforcement. Criminal law enforcement
orientation semistinya not end at the prison in the form of criminal
sanctions against the defendant, but the imposition of sanctions in the form of
social sanction against the defendant with the crime scale reactive light need to be
prioritized or preferably through a restorative justice approach.
Keywords: Criminal Justice, the purpose of punishment, restorative
justice.
Pendahuluan
103
Kondisi terbakarnya Lembaga Pemsyarakatan (LAPAS) Kelas 1 A
Tanjung Gusta, Medan beberapa waktu yang lalu menambah panjang catatan
103
Istilah Lembaga Pemasyarakatan digunakan secara resmi sejak tanggal 27 April 1964
bersamaan dengan berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan,
Lihat Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1995), hal 25
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274
104
Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hal 2
8
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
105
Ahmad Sofian, Pernjara Kita Penuh Sesak dan Tidak Manusiawi, OPINI dalam
Kompasiana| 12 July 2013 | 09:36
106
Ibid.
9
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274
107
Ibid
108
Gambaran Keadaan Rutan dan Lapas serta Organisasi Narapidana, lihat,
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/07/12/gambaran -keadaan-rutan-dan-
lapas-serta-organisasi-narapidana-573088.html.
109
Ibid
10
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
Sistem kerajaan ini rentan sekali dengan keributan antar kerajaan (suku).
Kerajaan yang umum terdapat di beberapa rutan di jawa yaitu kerajaan DKI,
Kerajaan Selatan Jakarta, Kerajaan Utara Jakarta, Kerajaan Arek (Jawa), Kerajaan
PLG (persatuan Lampung Palembang), Kerajaan Korea (Medan), Kerajaan Cina,
Kerajaan Timor dan Ambon, Kerajaan Tangerang, Kerajaan Pasundan, dan masih
banyak lagi. Kondisi semacam inilah menimbulkan dampak negatif terhadap
persepsi di kalangan publik bahwa LAPAS menjadi "sekolah" kejahatan, pusat
pengaturan bisnis narkoba, pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap sesama
penghuni LAPAS, yang berunjung pada keributan dan aksi-aksi pembakaran yang
sering menjadi tontonan masyarakat umum.
110
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung,1992, hlm.10-11
111
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta : 1993, hlm. 26.
11
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274
112
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 16.
113
Djisman Samosir, hal.12
114
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.31.
115
Ibid
12
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
116
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, : Penerbit PT.Alumni, Bandung,2004, hlm.49-51.
117
Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Ed.1. Cet .ke 4, Bandung :Penerbit
PT.Alumni, hal.99
118
Muladi, ibid, hlm. 53
13
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274
untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan sebagai salah satu unsur teori relatif.
Kedua hal ini termasuk kedalam pandangan dari teori integratif, hanya saja unsur-
unsur teori yang lebih lebih dominan muncul didalam penerapannya akan
tergantung kepada tahap-tahap pembinaan yang dilaksanakan pada sistem
pemasyarakatan.
Tahap asimilasi yang dilaksanakan pada LAPAS Terbuka dengan metode
community based corrections adalah bagian dari sistem pemasyarakatan. Pemikiran
tentang teori dasar tujuan pemidanaan yang digunakan didalam sistem
pemasyarakatan secara umum juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
tahap asimilasi. Jika gabungan kedua teori yang ada dalam teori integratif lebih
dikhususkan sesuai dengan tahap pembinaan narapidana, maka untuk tahap
asimilasi dapat dikatakan lebih dekat hubungannya kepada teori relatif atau tujuan.
Tahap asimilasi mengedepankan kepada tujuan akhir dari sistem
pemasyarakatan, yaitu agar narapidana dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Tujuan tersebut didukung dengan penerapan metode community based corrections
yang menghendaki adanya upaya mengintegrasikan narapidana dalam lingkungan
masyarakat. Upaya mengintegrasikan dimaksudkan agar narapidana dapat hidup
secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Tahap asimilasi dengan metode ini
kegiatan pembinaannya semaksimal mungkin dengan melibatkan masyarakat pada
lingkungan yang terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya upaya
pengekangan kebebasan sebagai maksud pembalasan dari perbuatan yang telah
dilakukan oleh narapidana.
Penggunaan teori yang tepat menghadirkan tujuan pemasyarakatan yang
mengandung makna bahwa, tidak saja masyarakat diayomi terhadap perbuatan
jahat oleh terpidana melainkan juga orang yang tersesat diayomi dengan
memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna dalam
masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa penjatuhan pidana bukanlah
tindakan balas dendam oleh negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan
melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pada penyiksaan
melainkan pada hilangnya kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan
mengembalikan orang itu kepada masyarakat, yang mempunyai kewajiban
119
terhadap orang terpidana itu dan masyarakat itu“
Menurut Muladi, tujuan dari sistem peradilan pidana bersifat jangka
pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana, bersifat menengah berupa
120
pengendalian kejahatan, dan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial. Maka,
apabila dilihat dari sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice
System), pelaksanaan pidana dengan menerapkan sistem pemasyarakatan,
merupakan salah satu sub-sistem yang saling berkaitan dengan sub-sistem lainnya.
Sistem pemasyarakatan sebagai pelaksanaan pidana penjara, berpegang pada
asumsi bahwa arti pemasyarakatan adalah memasyarakatkan kembali narapidana
sehingga menjadi warga baik dan berguna atau healthy reentry into the community,
119
Ibid
120
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit
Undip,1995), hal 75.
14
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
121
yang pada hakikatnya adalah resosialisasi. Oleh karena itu, keberhasilan
pembinaan pelaku tindak pidana tidak dimulai sejak dia masuk pintu gerbang
lembaga pemasyarakatan, tetapi bahkan pengalaman sejak diperiksa oleh polisi
122
akan mempengaruhi keberhasilan resosialisasi.
121
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum, Bandung : Alumni, 1982,
hal. 30
122
Muladi, Op. Cit, hal 80.
123
LILIK MULYADI, Pergeseran Perspektif dan Praktik dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan. Makalah, tth.
124
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 2
125
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press,
California, 1968, hlm. 87
15
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274
16
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
17
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274
b) Pembayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda
yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani;
c) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
gaib;
d) Penutup malu, permintaan maaf;
e) Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
f) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum
(dalam hal ini orang yang dikenai sanksi diberikan pembatasan haknya
sebagai anggota masyarakat adat).
Dalam hal ini unsur utama dari restorative justice yaitu kerelaan dan
partisipasi dari korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas
tindak pidana yang terjadi juga merupakan ciri dari hukum adat. Dalam Kutara
Manawa dari Bab Astacorah pasal 55-56, disebutkan bentuk pemidanaan pelaku
pencurian sebagai berikut:
Jika pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati, anak
istrinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri
memiliki hamba laki-laki dan perempuan, hamba tersebut tidak diambil alih oleh
raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala hutangnya kepada pencuri yang
bersangkutan. Jika pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus
pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja
yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang terkena curi dengan cara
mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat. Dalam hal ini Kutara
Manawa telah menerapkan suatu ketetapan di mana kepentingan korban ikut
diperhatikan dalam suatu putusan pemidanaan, berupa pengembalian kerugian.
Pada dasarnya pendekatan restorative justice diasumsikan sebagai pergeseran
paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem
peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB
melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan
restorative justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan
pidana yang rasional. Jika saja pendekatan ini dilakukan maka apa yang menjadi
prinsip dasar LAPAS yang digagas oleh Sahardjo yaitu, kemulian, jatidiri dan
kehormatan, dapat terwujudkan.
Kesimpulan
Pada dasarnya kebijakan dalam hukum pidana diartikan sebagai prinsip-
prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas
termasuk penegak hukum) mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan
publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-
undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum)
yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran
masyarakat. Oleh karena itu dalam penanggulangan kejahatan (politik kriminal)
hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan yaitu kebijakan penal dengan
menggunakan sanksi pidana (termasuk bidang politik hukum pidana) dan kebijakan
nonpenal (termasuk menggunakan sanksi administrasi, sanksi perdata dan lainnya).
18
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan
DAFTAR PUSTAKA
19
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274
276