Anda di halaman 1dari 14

PROBLEM LEMBAGA PEMASYARAKATAN DI INDONESIA

DAN REORIENTASI TUJUAN PEMIDANAAN

Ismail Rumadan
Peneliti Hukum dan Peradilan pada Mahkamah Agung RI.
Dosen Pascasarjana Universitas Jayabaya

Abstrak
Berbagai persoalan kriminal yang terjadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan
menunjukan bahwa tujuan mulia dibentuknya lembaga pemasyarakatan yang
digagas oleh Sahardjo sejak awal pembentukannya sebagai lembaga Pembinaan,
etika dan kehormatan. Bahwa orang yang tersesat harus diayomi dengan
memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna
dalam masyarakat menjadi hal yang sulit untuk diwujudkan. Kondisi ini
menggugah kita untuk kembali mengkaji ulang (reorientasi) model pemidanaan
yang dugunakan dalam penegakan hukum pidana. Orientasi penegakan hukum
pidana tidak semistinya berakhir pada penjatuhan sanksi pidana berupa penjara
terhadap terdakwa, namun penjatuhan sanksi berupa sanksi sosial terhadap
terdakwa dengan skala tindak pidana yang rekatif ringan perlu untuk dikedepankan
atau diutamakan melalui pendekatan restoratif justice.
Kata Kunci: Peradilan Pidana, tujuan pemidanaan, restoratif justice.

Abstract
Many criminal problems that occurred in the prison showed that noble goal
penitentiary establishment initiated by Sahardjo since its inception as a coaching
institute, ethics and honor. That the person who lost had to give him stock diayomi
live as good citizens and useful in society to be a difficult thing to achieve. This
condition inspires us to re-review the (re-orientation) models that are used in a
criminal prosecution of criminal law enforcement. Criminal law enforcement
orientation semistinya not end at the prison in the form of criminal
sanctions against the defendant, but the imposition of sanctions in the form of
social sanction against the defendant with the crime scale reactive light need to be
prioritized or preferably through a restorative justice approach.
Keywords: Criminal Justice, the purpose of punishment, restorative
justice.

Pendahuluan
103
Kondisi terbakarnya Lembaga Pemsyarakatan (LAPAS) Kelas 1 A
Tanjung Gusta, Medan beberapa waktu yang lalu menambah panjang catatan

103
Istilah Lembaga Pemasyarakatan digunakan secara resmi sejak tanggal 27 April 1964
bersamaan dengan berubahnya sistem kepenjaraan menjadi sistem pemasyarakatan,
Lihat Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara, ( Jakarta : Pustaka Sinar Harapan,
1995), hal 25
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274

persoalan yang terjadi di sekitar kehidupan LAPAS di Indonesia. Diantara


permasalahan yang terjadi di LP adalah keributan antar sesama narapidana,
perlakuakn para petugas LAPAS terhadap narapidana, pelarian narapidana,
terjadinya pembunuhan sesam narapidana, perdagangan narkoba, pelecehan
seksual dan berbagai persoalan-persoalan negatif lain yang sering terdengar dari
balik jeruji besi tersebut.
Persoalan-persoalan tersebut di atas sering mewarnai kondisi kehidupan di
berbagai LAPAS di mana saja lebih khusus di Indonesia. Beberapa deprivasi yang
dialami narapidana selama menjalani masa pemidanaan di LAPAS serta adanya
subkultur narapi dana merupakan penyebab timbulnya berbagai persoalan yang
ada, misalnya proses prisosialisasi narapidana di LAPAS. Apabila pembicaraan
diseputar narapidana dan LAPAS dalam melaksanaan tujuan pemidanaan, maka
pembicaraan berbagai deprivasi yang dialami para narapidana, proses prisonisasi,
maupun kegagalan proses sistem pemidanaan, khususnya pidana penjara yang
masih berlangsung dan tetap ada di muka bumi ini. Setiap saat dan setiap waktu,
selalu ada perubahan dan peristiwa di LAPAS.
Di samping itu sering terjadi, narapidana yang pada awalnya tidak begitu
mengenal kehidupan kasar yang seharusnya diresosialisasi melalui pembinaan di
LAPAS, namun setelah mejalani masa pemidanaan yang cukup untuk dapat
menerima proses prisonisasi di LAPAS, ternyata mempunyai perilaku yang
mengarah kepada kehidupan yang keras dan kasar yang menjadi ciri utama
sebagian besar subkultur narapidana. Sehingga sering kita dengar bahwa LAPAS
merupakan tempat sekolah bagi narapidana yang ingin ke jenjang kejahatan yang
lebih tinggi.
Permasalahan tersebut diatas menunjukan bahwa suatu situasi yang sangat
berbeda jauh dari tujuan dan cita-cita mulia yang digagas oleh Sahardjo sejak awal
pembentukan LAPAS sebagai lembaga Pembinaan, etika dan kehormatan.
Sahardjo mengemukakan sepuluh prinsip yang harus diperhatikan dalam membina
104
dan membimbing narapidana yaitu:
1. Orang yang tersesat harus diayomi dengan memberikan kepadanya bekal
hidup sebagai warga negara yang baik dan berguna dalam masyarakat.
2. Penjatuhan pidana bukan tindakan balas dendam dari pemerintah.
3. Rasa tobat bukanlah dapat dicapai dengan menyiksa melainkan dengan
bimbingan.
4. Negara tidak berhak membuat seorang narapidana lebih buruk atau jahat
daripada sebelum ia masuk lembaga.
5. Selama kehilangan kemerdekaan bergerak, narapidana harus dikenalkan
kepada masyarakat dan tidak boleh diasingkan dari masyarakat.
6. Pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi
waktu atau hanya di peruntukkan bagi kepentingan Lembaga atau Negara
saja, pekerjaan yang diberikan harus ditujukan kepada pembangunan
negara.
7. Bimbingan dan didikkan harus berdasarkan Pancasila.

104
Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, (Jakarta : Djambatan, 1995), hal 2

8
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan

8. Tiap orang adalah manusia yang harus diperlakukan sebagai manusia


meskipun ia telah tersesat, tidak boleh dijatuhkan kepada narapidana
bahwa ia itu penjahat.
9. Narapidana itu hanya dijatuhkan pidana hilang kemerdekaan.
10. Sarana fisik lembaga dewasa ini merupakan salah satu hambatan
pelaksanaan sistem pemasyarakatan maka perlu didirikan lembaga
pemasyarakatan atau sarana baru sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan
program pembinaan.
Prinsip-prinsip tersebut sebagaimana dikemukanan diatas tentu sangat jauh
berbeda dengan melihat fakta dan realitas LAPAS saat ini, sehingga menjadi
pertanyaan besar. Apa yang meyebabkan kondisi semacam ini bisa terjadi, dan apa
yang harus dilakukan ke depan sehingga pandangan buram mengenai situasi dan
kondisi LAPAS di Indonesia bisa ditata kembali sesuai dengan tujuannya?

Gambaran Kondisi Umum Kehidupaan di dalam LAPAS


Kerusuhan yang terjadi di LAPAS Tanjung Gusta Medan, Batam dan
sebelumnya LAPAS Kuala Tungkal Jambi menyebabkan lebih dari 100 narapidana
kasus narkoba dan terorisme kabur. Kemudian kita masih ingat kerusuhan yang
terjadi di LAPAS Kerobogan di Bali tahun 2012 yang disebabkan pungutan liar
yang dilakukan oleh oknum sipir, kebijakan yang deskriminatif, dan over capacity.
Januari 2013 terjadi lagi kerusuhan di LAPAS Salemba, dan kerusuhan ini bukan
yang pertama tetapi yang ke sekian kalinya. Dan masih banyak lagi kerusuhan dan
disusul dengan pembakaran LP di beberapa tempat di Indonesia.
Jumlah napi yang melebih kapasitas LAPAS ditengarai sebagai salah satu
105
faktor mudahnya napi terpancing emosi. Kondisi LAPAS kita sungguh sangat
tidak manusia. Manusia diperlakukan seperti hewan. Mereka berjejal-jelanan mirip
seperti ikan kembung. Sebagian lantai LP tidak memiliki tikar, mereka dibiarkan
tidur hanya dengan beralasan lantai dingin dan berlumut. Belum lagi cerita soal
makanan. Makanan yang disajikan berasal beras “catu” dengan lauk alakadarnya
dengan tanpa garam atau malah kebanyakan garam. Sehingga banyak napi harus
“menyelundupkan” makanan dari luar karena buruknya kondisi makanan. Kondisi
sanitasi lebih buruk lagi, air yang disedikan kebanyakan adalah air dari sumur bor
yang berwarna kuning kecoklatan, hanya beberapa LP di Indonesia yang
106
menggunakan air PAM.
Secara umum kondisi LAPAS di Indonesia identik dengan penuh sesak,
sarana yang buruk, kondisi yang kurang aman, dan kurangnya tenaga yang terdidik.
Kondisi-kondisi ini telah dibiarkan berpuluh-puluh tahun tanpa ada sedikipun
reformasi di bidang lembaga pemasyarakatan. Menarik pula untuk diketahui juga
tentang kehidupan napi di lembaga pemasayarakatan, bagaimana sebuah kerajaan
dibangun di dalam lapas. Melalui sistem ini, pengorganisasian napi diatur
sedemikian rupa agar berjalan sempurna, mulai dari hubungan antarnapi, sipir,

105
Ahmad Sofian, Pernjara Kita Penuh Sesak dan Tidak Manusiawi, OPINI dalam
Kompasiana| 12 July 2013 | 09:36
106
Ibid.

9
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274

hubungan ke orang-orang di luar lapas, hingga melakukan sebuah pergerakan


107
sebagaimana yang terjadi di Lapas Tanjung Gusta, Medan.
Sistem Kerajaan biasanya terbentuk mulai dari sel penyidik hingga ke
rutan. Di sel penyidik masih dalam skala kecil, yaitu dengan Kepala Kamar
(PalKam) sebagai pemimpin di dalam sel yang dilayani oleh para Corve (pelayan).
108
Satu Palkam memimpin beberapa orang tahanan di dalam sebuah sel. Di Rutan
sistem kerajaan ini meluas dan mulai beraroma kesukuan. Hampir setiap suku atau
beberapa suku (bersifat kedaerahan) membentuk sebuah kerajaan dan juga
pemerintahan. Ada Kerajaan dan pemerintahan sudah pasti ada Raja dan para
pembantunya serta rakyat. Sebelum era narkoba perebutan wilayah (dalam hal ini
adalah blok dan kamar-kamar) terjadi dalam bentuk kontak fisik dan perang antar
kerajaan. Begitu narkoba (kasus narkoba) mulai masuk di mulailah era ekonomi
dan perdagangan. Perluasan wilayah terjadi dalam bentuk transaksi jual beli
wilayah (kamar dan blok).
Secara berurut tingkatan dari atas ke bawah Sistem Kerajaan tergambarkan
sebagai berikut:
1. Raja atau Kepala Suku (Di kenal dengan istilah KS)
2. Wakil Raja atau Wakil Kepala Suku (Dikenal dengan istilah
Wadan/wakil komandan KS)
3. Panglima-panglima pasukan yang memimpin pasukan-pasukan di tiap
wilayah blok (dikenal dengan istilah PASTEM)
4. Kepala-kepala Kamar (Dikenal dengan istilah PALKAM)
5. Rakyat yang biasanya berasal dari suku yang sama (bisa juga dari
suku lain yang menyeberang karena alasan tertentu atau semacam
109
pencari suaka)
Jika dikatakan era ekonomi pertanyaan yang timbul tentunya adalah
bagaimana mereka mendapatkan uang? Uang bisa masuk melalui kunjungan,
transferan, voucher pulsa yang diperjual belikan, dan lain-lainnya. Setiap hari
seluruh rakyat membayar semacam pajak yang besarannya ditentukan sesuai aturan
dari kerajaan (akan lebih besar jika rakyat mendapatkan kunjungan). Uang yang
terkumpul ini kemudian di kelola termasuk salah satunya adalah untuk memasak.
Memasak ini dilakukan karena konsidi makanan yang tidak layak jika
mengandalkan dapur rutan/lapas.
Jika dalam keuangan para petinggi kerajaan ini berseleweng dalam arti
tidak benar dalam penggunaan dana dari sumber pajak ini, maka rakyat bisa
melakukan kudeta dengan segala cara termasuk mengumpulkan uang untuk
membuang sang Raja ataupun petinggi-petinggi lainnya ke rutan/lapas yang
berbeda, untuk kemudian dilakukan pemilihan Raja dan petinggi yang baru.

107
Ibid
108
Gambaran Keadaan Rutan dan Lapas serta Organisasi Narapidana, lihat,
http://lifestyle.kompasiana.com/catatan/2013/07/12/gambaran -keadaan-rutan-dan-
lapas-serta-organisasi-narapidana-573088.html.
109
Ibid

10
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan

Sistem kerajaan ini rentan sekali dengan keributan antar kerajaan (suku).
Kerajaan yang umum terdapat di beberapa rutan di jawa yaitu kerajaan DKI,
Kerajaan Selatan Jakarta, Kerajaan Utara Jakarta, Kerajaan Arek (Jawa), Kerajaan
PLG (persatuan Lampung Palembang), Kerajaan Korea (Medan), Kerajaan Cina,
Kerajaan Timor dan Ambon, Kerajaan Tangerang, Kerajaan Pasundan, dan masih
banyak lagi. Kondisi semacam inilah menimbulkan dampak negatif terhadap
persepsi di kalangan publik bahwa LAPAS menjadi "sekolah" kejahatan, pusat
pengaturan bisnis narkoba, pelecehan seksual dan diskriminasi terhadap sesama
penghuni LAPAS, yang berunjung pada keributan dan aksi-aksi pembakaran yang
sering menjadi tontonan masyarakat umum.

Reorientasi Tujuan Pemidanaan


Melihat pada situasi dan kondisi narapidana yang terjadi saat ini
sebagaimana dijelaskan diatas, dan apabila fenomena LAPAS Tanjung Gusta
dianggap sebagai problema umum LAPAS di seluruh Indonesia, nampaknya
negara memang mernghadapi permasalahan serius yang memerlukan keputusan
politik secara tegas untuk mengatasinya. Dalam jangka pendek mungkin yang bisa
dilakukan adalah melaksanakan instruksi presiden agar sebagian narapidana
dipindah ke LAPAS lain, kemudian perbaikan sarana yang berujung pada
peningkatan anggaran. Hal ini mungkin menjadi solusi jangka pendek, sebab dalam
jangka panjang solusi pemindahan narapidana ke tempat lain tidak mungkin juga
dilakukan karena kondisi LAPAS di setiap daerah pada umumnya sama sudah over
loaded, demikian juga dengan perbaikan sarana dengan peningkatan aggaran, dari-
tahun ke tahun jumlah narapidana meningkat melebihi kapasitas daya tampung
LAPAS.
Dengan demikian maka, hal yang paling mendasar yang harus dilakukan
dalam jangka panjang adalah bagaimana merumuskan kembali sistem pemidanaan
dengan melakukan pengkajian ulang terhadap tujuan pemidanaan sebagaimana
yang tergambar dalam tiga teori pemidanaan yang menjadi dasar system
pemasyarakatan.
1. Teori absolut/ retributive
Menurut teori absolut, pidana adalah suatu hal yang mutlak harus
dijatuhkan terhadap adanya suatu kejahatan. Muladi dan Barda Nawawi Arief
berpendapat bahwa “pidana merupakan akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu
pembalasan kepada orang yang melakukan kejahatan. Jadi dasar pembenaran dari
110
pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri”. Hal ini
senada dengan yang disampaikan oleh Andi Hamzah bahwa pidana adalah hal yang
111
mutlak diberikan sebagai pembalasan terhadap suatu kejahatan. Teori ini
menganggap bahwa hukuman yang diberikan kepada sipelaku tindak pidana
menjadi suatu pembalasan yang adil terhadap kerugian yang diakibatkannya.

110
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung,1992, hlm.10-11
111
Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita,
Jakarta : 1993, hlm. 26.

11
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274

2. Teori relatif/teori tujuan


Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief “pidana bukanlah untuk sekedar
melakukan pembalasan atau pengimbalan kepada orang yang telah melakukan
suatu tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat.
Oleh karena itu, teori ini sering disebut teori tujuan (utilitarian theory). Dasar
pembenaran adanya pidana menurut teori ini adalah terletak pada tujuannya.
Pidana dijatuhkan bukan “quia peccatum est” (karena membuat kejahatan)
112
melainkan “ne peccetur” (supaya jangan melakukan kejahatan). Teori ini
mengutamakan terciptanya ketertiban masyarakat melalui tujuan untuk membuat si
pelaku tindak pidana tidak melakukan kejahatan lagi. Teori relatif ini dalam hukum
pidana dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu prevensi umum (generale
preventie) dan prevensi khusus (specialle preventie).
Kedua bentuk ini mempunyai fokus perhatian yang berbeda, namun pada
dasarnya keduanya adalah saling melengkapi. Sebagaimana dijelaskan E.Utrech
bahwa prevensi umum bertujuan untuk menghindarkan supaya orang pada
umumnya tidak melanggar, sedangkan prevensi khusus mempunyai tujuan
113
menghindarkan supaya pembuat (dader) tidak melanggar. Prevensi umum
menekankan bahwa dengan melakukan pemidanaan terhadap sipelaku, maka
anggota masyarakat lainnya tidak melakukan suatu kejahatan yang sama atau
kejahatan lainnya. Sedangkan teori prevensi khusus menekankan bahwa tujuan
pidana itu adalah terhadap pelaku itu sendiri. Pemidanaan terhadap sipelaku adalah
agar tidak diulanginya lagi kejahatan tersebut. Dalam hal ini pidana itu mempunyai
fungsi untuk mendidik dan memperbaiki narapidana agar menjadi anggota
masyarakat yang baik dan berguna, sesuai dengan harkat dan martabatnya.
3. Teori gabungan
Teori ini menurut Andi Hamzah bervariasi juga, ada yang menitik beratkan
kepada pembalasan dan ada pula yang menginginkan supaya unsur pembalasan
114
seimbang dengan unsur pencegahan. Van Bemmelen sebagai salah satu tokoh
teori gabungan ini mengatakan bahwa “pidana bertujuan membalas kesalahan dan
mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara
tujuan. Jadi, pidana dan tindakan keduanya bertujuan mempersiapkan untuk
115
mengembalikan terpidana kedalam kehidupan masyarakat”. Teori gabungan ini
mengkombinasikan dua tujuan pemidanaan yaitu pembalasan terhadap kejahatan
yang dilakukan oleh sipelaku dan sebagai bentuk perlindungan terhadap masyakat.
Dari ketiga teori pemidanaan tersebut terlihat bahwa pemikiran tentang
tujuan pemidanaan itu bergerak kearah yang lebih baik. Munculnya teori absolut
dengan sifat yang tegas terhadap perilaku jahat dirasa sangat keras dan tidak
memberi peluang terhadap tujuan lebih besar yang ingin dicapai dalam
menjatuhkan pidana. Sehingga melalui teori relatif dimunculkan konsep tujuan
yang ingin dicapai dari pemidanaan. Kemudian disempurnakan lagi dengan

112
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op.Cit, hal. 16.
113
Djisman Samosir, hal.12
114
Andi Hamzah, Op.Cit, hal.31.
115
Ibid

12
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan

munculnya teori gabungan dengan menekankan tujuan pemidanaan yang seimbang.


Sehingga dengan teori ini akan terangkum semua tujuan yang ada pada masing-
masing teori sebelumnya.
Muladi mengelompokkan teori-teori tentang tujuan pemidanaan menjadi 3
(tiga) kelompok, yaitu, teori absolut (retributif), teori teleologis, dan teori retributif
116
teleologis. Pendapat mengenai teori yang mendasari sistem pemasyarakatan
adalah teori relative atau tujuan disampaikan oleh Sudarto yang menyatakan bahwa
“tidak sulit untuk mengatakan, bahwa sistem itu termasuk teori yang memandang
pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang bermanfaat, jadi jelas tidak
117
dapat digolongkan kedalam teori pembalasan”. Pendapat ini dapat dibenarkan
karena pelaksanaan sistem pemasyarakatan melalui pembinaan pada LAPAS tidak
terlepas dari maksud untuk mencapai tujuan system pemasyarakatan. Sehingga
dengan maksud tersebut, maka diupayakan perlakuan-perlakuan yang mengarah
kepada tujuan yang akan dicapai.
Pendapat berikutnya disampaikan oleh Muladi yang menyebutkan bahwa
di Indonesia tujuan pemidanaan yang tepat diterapkan adalah teori integratif.
Alasannya bahwa pada saat ini masalah pemidanaan menjadi permasalahan yang
sangat kompleks, disebabkan karena perhatian lebih banyak terhadap hak asasi
manusia serta keinginan untuk menjadikan pidana bersifat operasional dan
fungsional. Sehingga pilihan terhadap teori integratif ini menghendaki adanya
118
pendekatan multidimensi terhadap dampak pemidanaan. Pendapat ini
menekankan kepada suatu maksud bahwa didalam sistem pemasyarakatan tersebut
tidak semata-mata mengutamakan tujuan yang akan dicapai dan melepaskan diri
sepenuhnya dari maksud pengimbalan atas perbuatan pelaku tindak pidana.
Sistem pemasyarakatan merupakan penyempurnaan dari sistem
kepenjaraan yang berangkat dari pemikiran perlunya perlakuan yang lebih baik
terhadap narapidana. Meskipun pada dasarnya pelaksanaan sistem pemasyarakatan
dilaksanakan untuk mencapai tujuan, namun unsur pembalasan terhadap perbuatan
yang dilakukan oleh narapidana tetap saja tidak dapat dipisahkan dalam pemikiran
tujuan tersebut. Pendapat yang disampaikan oleh Muladi tersebut lebih tepat dan
dapat diterima sebagai teori yang mendasari sistem pemasyarakatan di Indonesia.
Dimana, teori integratif ini lebih jauh mempertimbangkan tujuan penjatuhan pidana
dari berbagai aspek termasuk mengenai hak-hak asasi manusia.
Didalam teori integratif tersebut terkandung maksud pembalasan dan
tujuan yang hendak dicapai. Unsur teori retributif terlihat dengan adanya upaya
untuk mengekang kebebasan seseorang yang bersalah dalam jangka waktu tertentu
sebagai balasan atas perbuatannya. Pengekangan kebebasan tersebut dilakukan
pada LAPAS Tertutup atau RUTAN dengan sistem maksimum security. Namun,
pengekangan kebebasan tersebut tidak semata-mata hanya sebagai bentuk
pembalasan terhadap perbuatan narapidana tetapi hal tersebut diselenggarakan

116
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, : Penerbit PT.Alumni, Bandung,2004, hlm.49-51.
117
Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana, Ed.1. Cet .ke 4, Bandung :Penerbit
PT.Alumni, hal.99
118
Muladi, ibid, hlm. 53

13
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274

untuk mencapai tujuan sistem pemasyarakatan sebagai salah satu unsur teori relatif.
Kedua hal ini termasuk kedalam pandangan dari teori integratif, hanya saja unsur-
unsur teori yang lebih lebih dominan muncul didalam penerapannya akan
tergantung kepada tahap-tahap pembinaan yang dilaksanakan pada sistem
pemasyarakatan.
Tahap asimilasi yang dilaksanakan pada LAPAS Terbuka dengan metode
community based corrections adalah bagian dari sistem pemasyarakatan. Pemikiran
tentang teori dasar tujuan pemidanaan yang digunakan didalam sistem
pemasyarakatan secara umum juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari
tahap asimilasi. Jika gabungan kedua teori yang ada dalam teori integratif lebih
dikhususkan sesuai dengan tahap pembinaan narapidana, maka untuk tahap
asimilasi dapat dikatakan lebih dekat hubungannya kepada teori relatif atau tujuan.
Tahap asimilasi mengedepankan kepada tujuan akhir dari sistem
pemasyarakatan, yaitu agar narapidana dapat diterima kembali oleh masyarakat.
Tujuan tersebut didukung dengan penerapan metode community based corrections
yang menghendaki adanya upaya mengintegrasikan narapidana dalam lingkungan
masyarakat. Upaya mengintegrasikan dimaksudkan agar narapidana dapat hidup
secara wajar dalam kehidupan masyarakat. Tahap asimilasi dengan metode ini
kegiatan pembinaannya semaksimal mungkin dengan melibatkan masyarakat pada
lingkungan yang terbuka. Hal ini menunjukkan bahwa tidak adanya upaya
pengekangan kebebasan sebagai maksud pembalasan dari perbuatan yang telah
dilakukan oleh narapidana.
Penggunaan teori yang tepat menghadirkan tujuan pemasyarakatan yang
mengandung makna bahwa, tidak saja masyarakat diayomi terhadap perbuatan
jahat oleh terpidana melainkan juga orang yang tersesat diayomi dengan
memberikan kepadanya bekal hidup sebagai warga yang berguna dalam
masyarakat. Dari pengayoman itu nyata bahwa penjatuhan pidana bukanlah
tindakan balas dendam oleh negara. Tobat tidak dapat dicapai dengan penyiksaan
melainkan dengan bimbingan. Terpidana juga tidak dijatuhi pada penyiksaan
melainkan pada hilangnya kemerdekaan seseorang dan yang pada waktunya akan
mengembalikan orang itu kepada masyarakat, yang mempunyai kewajiban
119
terhadap orang terpidana itu dan masyarakat itu“
Menurut Muladi, tujuan dari sistem peradilan pidana bersifat jangka
pendek berupa resosialisasi pelaku tindak pidana, bersifat menengah berupa
120
pengendalian kejahatan, dan jangka panjang berupa kesejahteraan sosial. Maka,
apabila dilihat dari sistem peradilan pidana terpadu (Integrated Criminal Justice
System), pelaksanaan pidana dengan menerapkan sistem pemasyarakatan,
merupakan salah satu sub-sistem yang saling berkaitan dengan sub-sistem lainnya.
Sistem pemasyarakatan sebagai pelaksanaan pidana penjara, berpegang pada
asumsi bahwa arti pemasyarakatan adalah memasyarakatkan kembali narapidana
sehingga menjadi warga baik dan berguna atau healthy reentry into the community,

119
Ibid
120
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit
Undip,1995), hal 75.

14
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan

121
yang pada hakikatnya adalah resosialisasi. Oleh karena itu, keberhasilan
pembinaan pelaku tindak pidana tidak dimulai sejak dia masuk pintu gerbang
lembaga pemasyarakatan, tetapi bahkan pengalaman sejak diperiksa oleh polisi
122
akan mempengaruhi keberhasilan resosialisasi.

Alternatif Kebijakan Pemidanaan


Dalam konteks Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) maka di
Indonesia dikenal institusi yang merupakan sub Sistem Peradilan Pidana, yaitu
Lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan. Pada
Sistem Peradilan Pidana tersebut yang berpuncak adanya “putusan” atau “vonnis”
hakim hakekatnya dikaji dari perspektif teoritik dan praktik peradilan acapkali
menimbulkan disparitas dalam hal pemidanaan (sentencing of disparity) dan juga
berkorelasi dengan “kebijakan pidana” dimana kebijakan formulatif merupakan
kebijakan strategis dan menentukan bagi kebijakan aplikatif. Pada dasarnya,
konteks “kebijakan” dalam hukum pidana diartikan sebagai prinsip-prinsip umum
yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas termasuk penegak
hukum) mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-
masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan
mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum) yang mengarah
pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga
123
negara).
Pada koteks di atas maka, kebijakan hukum pidana hakikatnya merupakan
“usaha untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana agar sesuai
dengan keadaan pada waktu tertentu (ius constitutum) dan masa mendatang (ius
constituendum)”. Konsekuensi logisnya, kebijakan hukum pidana identik dengan
penal reform dalam arti sempit. Dikaji dari perspektif politik hukum maka politik
hukum pidana berusaha membuat dan merumuskan perundang-undangan pidana
yang baik. Menurut Marc Ancel maka penal policy merupakan “Ilmu sekaligus
seni yang bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif yang
dirumuskan secara lebih baik”. Peraturan hukum positif di sini diartikan sebagai
peraturan perundang-undangan hukum pidana. Konkretnya, menurut Jeremy
Bentham, janganlah hukum pidana dikenakan/digunakan apabila groundless,
124
needless, unprofitable or inefficacious. Demikian pula Packer pernah
mengingatkan bahwa penggunaan sanksi pidana secara sembarangan/tidak pandang
bulu/menyamaratakan dan digunakan secara paksa (coercively) akan menyebabkan
125
sarana pidana itu menjadi suatu “pengancam yang utama” (prime threatener).

121
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum, Bandung : Alumni, 1982,
hal. 30
122
Muladi, Op. Cit, hal 80.
123
LILIK MULYADI, Pergeseran Perspektif dan Praktik dari Mahkamah Agung Republik
Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan. Makalah, tth.
124
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996, hlm. 2
125
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University Press,
California, 1968, hlm. 87

15
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274

Karena keterbatasan penal, maka dalam penanggulangan kejahatan (politik


kriminal) hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan yaitu kebijakan penal dengan
menggunakan sanksi pidana (termasuk bidang politik hukum pidana) dan kebijakan
nonpenal (termasuk menggunakan sanksi administrasi, sanksi perdata dan lainnya).
Kedua kebijakan itu dilakukan melalui pendekatan terpadu (integrated approach)
antara politik, kriminal dan sosial serta keterpaduan (integritas) antara upaya
penanggulangan kejahatan dengan sarana penal dan nonpenal.
Dalam konteks kajian ini, maka salah satu alternatif yang ditawarkan
secara permanen untuk mengatasi permasalah pada LAPAS adalah penggunaan
sarana non panel dalam menanggulangi kejahatan dalam setiap tingkatan proses
peradilan pidana yang terintegrated. Baik pada tahapan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, pengadilan maupun pada tahap akhir di LAPAS. Penggunaan sarana
non panel ini dapat saja dilakukan melalui pendekatan “restoratif justice”. Konsep
restorative justice merupakan suatu model pendekatan yang muncul dalam era
tahun 1960-an dalam upaya penyelesaian perkara pidana. Berbeda dengan
pendekatan yang dipakai pada sistem peradilan pidana konvensional di
mana masyarakat dan korban merasa tersisihkan. Pendekatan ini menitikberatkan
pada adanya partisipasi langsung pelaku, korban dan masyarakat dalam proses
penyelesaian perkara pidana.
Model pendekatan restorative justice merupakan suatu model pendekatan
yang baru yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak
hukum. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan restorative justice
menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani
suatu tindak pidana. Dalam pandangan restorative justice makna tindak pidana
pada dasarnya sama seperti pandangan hukum pidana pada umumnya yaitu
serangan terhadap individu dan masyarakat serta hubungan kemasyarakatan. Akan
tetapi dalam pendekatan restorative justice, korban utama atas terjadinya suatu
tindak pidana bukanlah negara, sebagaimana dalam sistem peradilan pidana yang
sekarang ada. Oleh karenanya kejahatan menciptakan kewajiban untuk membenahi
rusaknya hubungan akibat terjadinya suatu tindak pidana. Sementara keadilan
dimaknai sebagai proses pencarian pemecahan masalah yang terjadi atas suatu
perkara pidana dimana keterlibatan korban, masyarakat dan pelaku menjadi penting
dalam usaha perbaikan, rekonsiliasi dan penjaminan keberlangsungan usaha
perbaikan tersebut.
Sejumlah keuntungan yang dapat diperoleh melalui pendekatan ini adalah:
a. Masyarakat telah diberikan ruang untuk menangani sendiri permasalahan
hukumnya yang dirasakan lebih adil. Dalam hal ini asas sederhana,
terang dan tunai yang lebih banyak dikenal dan dipergunakan dalam
hukum adat untuk penanganan perkara-perkara keperdataan dapat juga
diterapkan dalam hukum pidana. Apalagi karena pada dasarnya hukum
adat Indonesia memang tidak mengenal perbedaan pidana dan perdata.
b. Beban Negara dalam beberapa hal menjadi berkurang misalnya: Beban
untuk mengurusi tindak pidana-tindak pidana yang masih dapat
diselesaikan secara mandiri oleh masyarakat. Aparat kepolisian,

16
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan

kejaksaan dan pengadilan dapat lebih memfokuskan diri untuk


memberantas tindak pidana-tindak pidana yang kualifikasinya lebih
berbahaya seperti narkotika, terorisme, perdagangan manusia atau
pelanggaran HAM berat. Kemudian secara administratif, jumlah perkara
yang masuk ke dalam sistem peradilan dapat dikurangi sehingga beban
institusi pengadilan sebagaimana diungkapkan di atas menjadi
berkurang.
c. Beban untuk menyediakan anggaran penyelenggaraan sistem peradilan
pidana utamanya dalam hal penyelenggaraan lembaga pemasyarakatan
dimana fokus penyelesaian perkara pidana kebanyakan berakhir pada
penjatuhan pidana kurungan atau penjara menjadikan munculnya banyak
permasalahan di dalam lembaga pemasyarakatan ini. Dapat diharapkan
lahirnya bentuk sanksi-sanksi baru yang lebih baik dan berdayaguna
(sebagaimana yang tengah dikembangkan dalam rancangan KUHP
Indonesia saat ini).
Sistem pemenjaraan dalam hukum pidana modern yang sangat mahal
namun tidak efektif bahkan telah gagal dalam mengurangi kejahatan di dalam
masyarakat. Maka para ahli hukum dengan pandangan barunya yaitu restorative
justice mencari sistem hukum lain yang telah ada sebelumnya yaitu sistem hukum
kuno untuk menggantikan sistem hukum pidana modern.
Contoh-contoh pelaksanaan restorative justice, di mana digunakan
hukuman denda, dan hukuman tanpa pemenjaraan lain.
a) Kitab Hammurabi (1700 S.M) mendekripsikan adanya ganti rugi
sebagai satu jenis sanksi atas tindak pidana terhadap harta benda;
b) Kitab Ur-Nammi Sumeria (2060 S.M), mencantumkan ganti rugi
sebagai satu jenis sanksi bagi semua tindak pidana;
c) Hukum ”Twelve Table” Romawi (496 M), mengatur mengenai
pembayaran dengan jumlah dua kali harga barang bagi pelaku perkara
pencurian.
d) Kitab hukum pidana Kutara Manawa yang diterapkan pada masa
pemerintahan Majapahit.
e) Qonun Mangkuta Alam yang dibuat semasa pemerintahan Sultan
Iskandar Muda.
Dalam hal ini Marc Levin menyatakan bahwa pendekatan yang dulu
dinyatakan sebagai usang, kuno dan tradisional kini justru dinyatakan sebagai
pendekatan yang progresif. Dalam berbagai literatur antara lain dalam Kutara
Manawa yang dinyatakan sebagai kitab hukum pidana yang diterapkan masa
pemerintahan Majapahit, Qonun Mangkuta Alam yang dibuat semasa
pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan cerminan dari keberlakuan hukum
adat yang hingga kini masih menjadi rujukan dari keberlakuan hukum adat
di beberapa daerah di Indonesia. Dalam bagian X dari ”Pandecten van het adatrecht
(1936)” dijelaskan bahwa sanksi adat dapat berupa:
a) Pengganti kerugian immaterieel dalam pelbagai rupa seperti paksaan
menikahi gadis yang telah dicemarkan;

17
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274

b) Pembayaran ”uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda
yang sakti sebagai pengganti kerugian rohani;
c) Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran
gaib;
d) Penutup malu, permintaan maaf;
e) Pelbagai rupa hukuman badan hingga hukuman mati;
f) Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang di luar tata hukum
(dalam hal ini orang yang dikenai sanksi diberikan pembatasan haknya
sebagai anggota masyarakat adat).
Dalam hal ini unsur utama dari restorative justice yaitu kerelaan dan
partisipasi dari korban, pelaku dan masyarakat dalam melakukan perbaikan atas
tindak pidana yang terjadi juga merupakan ciri dari hukum adat. Dalam Kutara
Manawa dari Bab Astacorah pasal 55-56, disebutkan bentuk pemidanaan pelaku
pencurian sebagai berikut:
Jika pencuri tertangkap dalam pencurian, dikenakan pidana mati, anak
istrinya, miliknya dan tanahnya diambil alih oleh raja yang berkuasa. Jika pencuri
memiliki hamba laki-laki dan perempuan, hamba tersebut tidak diambil alih oleh
raja yang berkuasa, tetapi dibebaskan dari segala hutangnya kepada pencuri yang
bersangkutan. Jika pencuri mengajukan permohonan hidup, maka ia harus menebus
pembebasannya sebanyak delapan tali, membayar denda empat laksa kepada raja
yang berkuasa, membayar kerugian kepada orang yang terkena curi dengan cara
mengembalikan segala milik yang diambilnya dua kali lipat. Dalam hal ini Kutara
Manawa telah menerapkan suatu ketetapan di mana kepentingan korban ikut
diperhatikan dalam suatu putusan pemidanaan, berupa pengembalian kerugian.
Pada dasarnya pendekatan restorative justice diasumsikan sebagai pergeseran
paling mutakhir dari berbagai model dan mekanisme yang bekerja dalam sistem
peradilan pidana dalam menangani perkara-perkara pidana pada saat ini. PBB
melalui Basic principles yang telah digariskannya menilai bahwa pendekatan
restorative justice adalah pendekatan yang dapat dipakai dalam sistem peradilan
pidana yang rasional. Jika saja pendekatan ini dilakukan maka apa yang menjadi
prinsip dasar LAPAS yang digagas oleh Sahardjo yaitu, kemulian, jatidiri dan
kehormatan, dapat terwujudkan.

Kesimpulan
Pada dasarnya kebijakan dalam hukum pidana diartikan sebagai prinsip-
prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas
termasuk penegak hukum) mengelola, mengatur atau menyelesaikan urusan-urusan
publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang penyusunan peraturan perundang-
undangan dan mengalokasikan hukum/peraturan dengan suatu tujuan (umum)
yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran
masyarakat. Oleh karena itu dalam penanggulangan kejahatan (politik kriminal)
hendaknya dimanfaatkan dua kebijakan yaitu kebijakan penal dengan
menggunakan sanksi pidana (termasuk bidang politik hukum pidana) dan kebijakan
nonpenal (termasuk menggunakan sanksi administrasi, sanksi perdata dan lainnya).

18
Problem Lembaga Pemasyarakatan dan Reorientasi Tujuan Pemidanaan

Kedua kebijakan itu dilakukan melalui pendekatan terpadu (integrated approach)


antara politik, kriminal dan sosial.
Model pendekatan restorative justice merupakan suatu model pendekatan
yang dapat digunakan dalam merespon suatu tindak pidana bagi penegak hukum
untuk memberikan ruang bagi masyarakat dalam menangani sendiri permasalahan
hukumnya (terutama dalam kasus-kasus pidana yang relatif ringan) yang dirasakan
lebih adil. Dalam hal ini asas sederhana, terang dan tunai yang lebih banyak
dikenal dan dipergunakan dalam hukum adat untuk penanganan perkara-perkara
keperdataan dapat juga diterapkan dalam hukum pidana. Apalagi karena pada
dasarnya hukum adat Indonesia memang tidak mengenal perbedaan pidana dan
perdata. Dengan cara demikian setidaknya dapat mengurangi jumlah narapidana
yang harus mendekam dalam lembaga pemasyarakatan.

DAFTAR PUSTAKA

Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan di Indonesia, Pradnya Paramita,


Jakarta : 1993.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Pidana, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 1996
Herbert L. Packer, The Limits of the Criminals Sanctions, Stanford University
Press, California, 1968
Petrus Irwan Panjaitan dan Pandapotan Simorangkir, Lembaga Pemasyarakatan
Dalam Prespektif Sistem Peradilan Pidana Penjara, ( Jakarta : Pustaka
Sinar Harapan, 1995.
Harsono, Sistem Baru Pembinaan Narapidana, Jakarta : Djambatan, 1995.
Ahmad Sofian, Pernjara Kita Penuh Sesak dan Tidak Manusiawi, OPINI dalam
Kompasiana| 12 July 2013.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni,
Bandung,1992.
Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, : Penerbit PT.Alumni, Bandung, 2004.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, (Semarang : Badan Penerbit
Undip,1995
Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum, Bandung : Alumni,
1982
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Ed.1. Cet .ke 4, Bandung :Penerbit
PT.Alumni, 2010.
LILIK MULYADI, Pergeseran Perspektif dan Praktik dari Mahkamah Agung
Republik Indonesia Mengenai Putusan Pemidanaan. Maklah, tth

19
Jurnal Hukum dan Peradilan, Volume 2 Nomor 2 Juli 2013 ISSN : 2303-3274

276

Anda mungkin juga menyukai