Anda di halaman 1dari 5

1.

MM Reaksi Hipersensitivitas

1.1 Definisi

 Reaksi alergi (reaksi Hipersensitivitas) adalah reaksi-reaksi dari sistem kekebalan


yang terjadi ketika jaringan tubuh yang normal mengalami cedera/terluka.
( Hikmah, Nuzulul,. I Dewa Ayu Ratna Dewantit.2010)
 Hipersensitivitas adalah keadaan berubahnya reaktivitas, ditandai dengan reaksi
tubuh berupa respons imun yang berlebihan terhdap sesuatu yang dianggap sebagai
benda asing. (Dorland,2015)

1.2 Klasifikasi

 Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut waktu timbulnya reaksi


a. Reaksi cepat : reaksi cepat terjadi dalam hitungan detik, menghilang dalam 2
jam. Ikatan silang antara alergen dan IgE pada permukaan sel mast menginduksi
penglepasan mediator vasoaktif. Manifestasi reaksi cepat berupa anafilaksis
sistemik atau anafilaksis lokal.
b. Reaksi intermediet
Reaksi intermediet terjadi setelah beberapa jam dan menghilang dalam 24 jam.
Reaksi ini melibatkan pembentukan kompleks imun IgG dan kerusakan jaringan
melalui aktivasi komplemen dan sel NK/ADCC. Manifestasi reaksi intermediet
dapat berupa :
1) Reaksi transfusi darah, eritroblastosis fetalis dan anemia hemolitik
autoimun
2) Reaksi Arthus lokal dan reaksi sisteik seperti serum sickness, vaskulitis
nekrotis, glomerulonefritis, artritis reumatoid dan LES

Reaksi intermediet diawali oleh igG dan kerusakan jaringan pejamu yang
disebabkan oleh sel neutrofil atau sel NK.

c. Reaksi lambat
Reaksi lambat terlihat sampai sekitar 48 jam setelah terjadi pajanan dengan
antigen yang terjadi oleh aktivasi sel Th. Pada DTH, sitokin yang dilepas sel T
mengaktifkan sel efektor makrofag yang menimbulkan kerusakan jaringan.
Contoh reaksi lambat adalah dermatitis kontak, reaksi M. Tuberkulosis dan
reaksi penolakan tandur.

 Pembagian reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs


Dibagi menjadi 4 tipe :
1. Hipersensitivitas tipe I (reaksi igG/cepat)
Ikatan silang antara antigen dan IgE yang diikat sel mast dan basofil melepas
mediator vasoaktif.
Manifestasi khas : anafilaksis sistemik dan lokal seperti rinitis, asma, urtikaria,
aleri makanan dan ekzem.
2. Hipersensitivitas tipe II (reaksi sitotoksik/igG/igM)
Ab terhadap antigen permukaan sel menimbulkan destruksi sel dengan bantuan
komplemen atau ADCC.
Manifestasi khas : reaksi transfusi, eritroblastosis fetalis, anemia hemolitik
autoimun.
3. Hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun)
Kompleks Ag-Ab mengaktifkan komplemen dan respons inflamasi melalui
infiltrasi masif neutrofil.
Manifestasi khas : reaksi lokal seperti Arthus dan sistemik seperti serum
sickness, vaskulitis dengan nekrosis, glomerulonefritis, AR dan LES.
4. Hipersensitivitas tipe IV (reaksi selular)
Sel Th1 yang disensitasi melepas sitokin yang mengaktifkan makrofag atau sel Tc
yang berperan dalam kerusakan jaringan. Sel Th2 dan Tc menimbulkan respons
sama.
Manifestasi khas : dermatitis kontak, lesi tuberkulosis dan penolakan tandur.

Modifikasi klasifikasi Gell dan Coombs

- Tipe I : IgE
Gejala : Anafilaksis, urtikaria, angioedem, mengi, hipotensi, nausea, muntah, sakit abdomen,
diare
Contoh : penisilin dan Beta-laktam lain, enzim, antiserum, protamin, heparin antibodi
monoklonal, ekstrak alergen.
- Tipe II : Sitotoksik (igG dan igM)
Gejala : Agranulositosis (contoh : insulin Metamizol, fenotiazin)
Anemia hemolitik (contoh : penisilin, sefalosporin, beta-laktam, kinidin, metildopa)
Trombositopenia (contoh : karbamazepin, fenotiazin, tiourasil, sulfonamid, parasetol,
Antikonvulsan, kinin, kinidin, propil, preparat emas)
- Tipe III : Kompleks imun (igG dan igM)
Gejala : Panas, urtikaria, atralgia, limfadenopati (contoh : beta-laktam, sulfonamid, fenitoin,
Streptomisin)
Serum sickness (contoh : serum xenogenik, penisilin, globulin anti-timosit)
- Tipe IV : Hipersensitivitas Selular
Gejala : Eksim (juga sistemik) . contoh : penisilin, anestetik lokal
Eritema, lepuh, pruritus. contoh : antihistamin topikal, neomisin, pengawet, eksipien
(lanolin, paraben), desifektan
Fotoalergi. (contoh : salisilanilid (halogeneted), asam nalidilik)
Fixed drug eruption . (contoh : barbiturat, kinin)
Lesi makulopapular. (contoh : penisilin, emas, barbiturat, beta-blocker)
- Tipe V : Reaksi granuloma
Gejala : Granuloma . (contoh : ekstrak alergen, kolagen larut)
- Tipe VI : Hipersensitivitas stimulasi
Gejala : ( LE yang diinduksi obat?) . contoh : hidralazin, prokainamid
Resistensi insulin . contoh : antibodi terhadap insulin (igG)

( Baratawidjaja, Karnen Garna, Iris Rengganis. 2012)


Etiologi

Penyebab alergi tidaklah jelas walaupun tampaknya terdapat predisposisi genetik.


Predisposisi tersebut dapat berupa pengikatan IgE yang berlebihan, mudahnya sel mast dipicu
untuk berdegranulasi , atau respon sel T helper yang berlebihan. Hasil penelitian terkini
menunjukan bahwa defisiensi sel T regulatori dapat menyebabkan responsivitas berlebihan
dari system imun dan alergi. Pajanan berlebihan terhadap alergen-alergen tertentu setiap saat,
termasuk selama gestasi, dapat menyebabkan respon alergi.
Secara umum semua benda di lingkungan (pakaian, makanan, tanaman, perhiasan,
alat pembersih, dsb) dapat menjadi penyebab alergi, namun faktor lain misalnya :
- Perbedaan keadaan fisik setiap bahan
- Kekerapan pajanan
- Daya tahan tubuh seseorang
- Adanya reaksi silang antar bahan akan berpengaruh terhadap timbulnya alergi.
(Retno W.Soebaryo, 2002)

2. MM Hipersensitivitas tipe I
Reaksi tipe I yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaksis atau reaksi alergi, timbul segera
sesudah tubuh terpajan dengan alergen.

2.1 Mekanisme
 Fase sensitasi yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan igE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik (FcE-R) pada permukaan sel mast/basofil
 Fase aktivasi yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dan sel mast/ basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi.
Hal ini terjadi oleh ikatan silang antara antigen dan igE
 Fase efektor yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang dilepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.

2.2 Manifestasi
 Reaksi lokal
Reaksi hipersensitivitas Tipe I lokal terbatas pada jaringan atau organ spesifik yang
biasanya melibatkan permukaan epitel tempat alergen masuk. Sedikitnya 20%
populasi menunjukkan penyakit yang terjadi melalui IgE seperti rinitis alergi, asma,
dan dermatitis atopi. Sekitar 50%-70% dari populasi membentuk igE terhadap
antigen yang masuk tubuh melalui mukosa seperti selaput lendir hidung, paru dan
konjungtiva, tetapi hanya 10-20% masyarakat yang menderita rinitis alergi dan
sekitar 3%-10% yang menderita asm bronkial. IgE yang biasanya dibentuk dalam
jumlah sedikit, segera diikat oleh sel mast/basofil. IgE yang sudah ada pada
permukaan sel mast akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat pula
terjadi pasif bila serum (darah) orang yang alergi dimasukkan ke dalam
kulit/sirkulasi orang normal. Reaksi alergi yang mengenai kulit, mata, hidung, dan
saluran napas.
 Reaksi sistemik-anafilaksis
Anafilaksis adalah reaksi Tipe I yang dapat fatal dan terjadi dalam beberapa menit.
Anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas Gell dan Coombs Tipe I atau reaksi
alergi yang cepat, ditimbulkan IgE yang dapat mengacam nyawa. Sel mast
dan basofil merupakan sel efektor yang melepas berbagai mediatr. Reaksi
dapat dipacu berbagai alergen seperti makanan (asal laut, kacang-
kacangan), obat atau sengatan serangga dan juga lateks, latihan jasmani dan
bahan diagnostik lainnya. Pada 2/3 pasien dengan anafilaksis, pemicu
spesifiknya tidak dapat diindentifikasi.
 Reaksi pseudoalergi atau anafilaktoid
Reaksi Pseudoalergi atau anafilaktoid adalah reaksi sistemik umum yang melibatkan
pelepasan mediator oleh sel mast yang tidak terjadi melalui IgE. Secara klinis, reaksi ini
menyerupai reaksi tipe I seperti syok, urtikaria, bronkospasme, anafilaksis, pruritus, tetapi tidak
berdasarkan atas reaksi imun. Reaksi ini tidak memerlukan pajanan terlebih dahulu untuk
menimbulkan sensitasi. Reaksi anafilaktoid dapat ditimbulkan antimikroba, protein, kontras
dengan yodium, AINS, etilenoksid, taksol dan pelemas otot.
(Baratawidjaja, 2009)

3. MM Hipersensitivitas tipe II
Reaksi tipe II disebut juga reaksi sitotoksik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG
atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi
antibody dengan determinan antigen yang merupakan bagian dari membrane sel. Antibodi
tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcy-R dan juga sel NK yang dapat
berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC.
3.1 Mekanisme
Sel normal terinfeksi oleh antigen → IgG berikatan dengan antigen → Sel
diopsonisasi agar mudah di fagosit → Pengaktifan komplemen yang menghasilkan C3B
dan C4B yang dapat meningkatkan fagositosis → Sel yang diopsonisasi dikenali oleh Fc
receptor → Sel di fagositosis oleh makrofag dan neutrophil
Antibodi terikat pada jaringan ekstraseluler (membrane basal atau matriks) →
Pengaktifan komplemen → Menghasilkan C5a dan C3a C5a menarik neutrofil dan monosit →
Leukosit aktif melepaskan bahan perusak → Kerusakan Jaringan

Saat antibodi terikat pada jaringan ekstraselular (membran basal dan matriks),
kerusakan yang dihasilkan merupakan akibat, dari inflamasi, bukan fagositosis/lisis sel.
Antibodi yang terikat tersebut akan mengaktifkan komplemen, yang selanjutnya menghasilkan
terutama C5a (yang menarik neutrofil dan monosit). Sel yang sama juga berikatan dengan
antibodi melalui reseptor Fc. Leukosit aktif, melepaskan bahan-bahan perusak (enzim dan
intermediate oksigen reaktif), sehingga menghasilkan kerusakan jaringan. Reaksi ini berperan
pada glomerulonefritis dan vascular rejection dalam organ grafts.

3.2 Manifestasi
1. Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen.
Individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, karena
anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah
direk oleh hemolisis masif intravascular. Reaksi dapat cepat atau lambat .
Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibiltas golongan darah ABO yang dipacu
oleh IgM. Dalam beebrapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan
disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah
menjadi bilirubin yang Pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam,
menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan
hemoglobinuria.
Reaksi transfuse darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfuse
berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan
darah lainnya. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai
antigen membrane golongan darah, tersering adalah golongan rhesus, kidd, kell dan
Duffy
2. Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru
lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak
yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian
eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang
akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung
kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada
permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel
yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit.
Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk
mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.

3. Anemia hemolitik
 Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat
diabsorbsi non spesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks
serupa kompleks molekul hapten pembawa
 Pada beberapa penderita, kompleks membentuk ab yang selanjutnya mengikat obat
pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia
progresif.

Anda mungkin juga menyukai