Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
I. PENDAHULUAN
Anestesiologi ialah ilmu kedokteran yang pada awalnya berprofesi menghilangkan nyeri dan
rumatan pasien sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Definisi anestesiologi berkembang terus sesuai
dengan perkembangan ilmu kedokteran. Adapun definisi ilmu anestesi dan reanimasi saat ini adalah cabang
ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri, takut, dan rasa tidak
nyaman serta ilmu yang mempelajari tatalaksana untuk menjaga dan mempertahankan hidup dan kehidupan
pasien selama mengalami kematian akibat obat anestesi.1
Anestesi pada semua pasien yang dilakukan operasi itu bertujuan untuk memudahkan operator
dalam melakukan operasi dan hasil akhirnya diharapkan tujuan operasi tercapai. Adapun target anestesi itu
sendiri yaitu yang lebih dikenal dengan trias anestesia yang meliputi tiga target yaitu hipnotik, anelgesia,
relaksasi. Tidak terkecuali pada operasi ekstirpasi angiofibroma nasofaring, perlu dilakukan tindakan
anestesi agar pelaksanaan operasi lebih mudah.
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor nasofaring yang bersifat jinak secara histopatologis
namun secara klinis bersifat destruktif. Angiofibroma nasofaring mewakili 0,05-0,5% dari keseluruhan
tumor kepala dan leher namun merupakan tumor yang paling sering terjadi di daerah nasofaring. Tumor ini
lebih sering dijumpai pada pria usia remaja.1,2 Sebagian besar penulis mempertimbangkan tindakan bedah
sebagai penanganan utama terhadap angiofibroma nasofaring, meskipun terdapat beberapa kasus yang
diindikasikan untuk pengobatan radioterapi, terapi hormonal, ataupun gamma knife surgery.
2.4 Agiofibroma
2.4.1 Definisi Angiofibroma
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor di daerah nasofaring yang terdiri dari jaringan
fibrosa dan pembuluh darah yang secara histologi bersifat jinak namun secara klinis dapat bersifat
invasif lokal. Tumor ini dapat mendestruksi tulang di sekitarnya dan dapat meluas ke sinus
paranasal, fossa pterigomaksila, fossa infratemporal, fossa temporal, pipi, orbita, dasar
tengkorakdan rongga intrakranial.1,3,4
2.4.2 Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan. Angiofibroma
nasofaring sering ditemukan pada remaja pria berusia antara 14-25 tahun dan diperkirakan
insidensinya hanya 0,05-0,5% dari semua tumor jinak yang ada di kepala dan leher. Hondousa et
al melaporkan bahwa rerata insiden tumor ini 1:50.000 dari seluruh pasien THT di berbagai negara.
Pradillo et al melaporkan bahwa insiden pada pasien dengan usia lebih dari 25 tahun hanya sekitar
0,7% dari semua insiden angiofibroma nasofaring.3,6 Tang et al melaporkan 13 penderita
angiofibroma nasofaring sejak tahun 1995-2005 di RS Malaya Malaysia dimana semua penderita
berjenis kelamin pria dengan rentang usia 14-28 tahun.1
2.4.5 Penatalaksanaan
Seperti pada tumor-tumor jinak lainnya, pembedahan merupakan modalitas utama bagi
penatalaksanaan angiofibroma nasofaring. Angiofibroma nasofaring dilaporkan dapat mengalami
regresi setelah masa remaja namun hal ini tidak umum terjadi dan bukan merupakan hal yang dapat
diandalkan bagi tumor nasofaring tipe vaskular yang berpotensi tinggi mengalami perdarahan.
Terapi radiasi dipilih bagi tumor-tumor stadium lanjut atau tumor yang tidak dapat dilakukan
pembedahan.3,4
1. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan membutuhkan perencanaan yang baik. Perhatian juga diberikan
terhadap usaha pengecilan tumor terlebih dahulu melalui pretreatment dengan terapi anti-androgen
dan devaskularisasi tumor dengan embolisasi tumor.4,14
a. Pre-treatment pengecilan ukuran tumor melalui pengobatan antiandrogen
Pengobatan estrogen pertama kali diperkenalkan pada pertengahan abad ke-20 namun
kemudian ditinggalkan karena menimbulkan efek feminisasi dan tidak menunjukkan efikasi yang
jelas. Saat ini dengan tersedianya generasi terbaru anti-androgen yang memiliki efek samping yang
lebih ringan telah mendorong penggunaan anti-androgen kembali sebagai pengobatan adjuvan
terhadap tindakan pembedahan.
b. Embolisasi pre-operatif
Embolisasi pre-operatif saat ini telah menjadi tindakan rutin dan sering dilakukan dengan
menggunakan gel foam atau partikel polyvinyl alcohol 1-2 hari sebelum tindakan bedah.
Embolisasi dapat mengurangi perdarahan intraoperatif dan memperbaiki area pembedahan
sehingga membantu eksisi tumor yang lebih sempurna. Douglas et al menyatakan bahwa
embolisasi pre-operatif dapat mengurangi perdarahan intraoperatif hingga 1000 ml. Pada kasus-
kasus angiofibroma nasofaring yang besar, tumor dapat menerima aliran darah dari dua sisi
sehingga memerlukan embolisasi bilateral.
c. Eksisi bedah
Eksisi seluruh tumor merupakan tujuan utama dari pengobatan pembedahan namun hal ini
dapat terhambat karena adanya kendala terbatasnya lapangan pandang operasi, visualisasi yang
tidak adekuat dan risiko perdarahan selama pembedahan. Pilihan teknik pendekatan bedah
bergantung pada usia pasien, luas penyakit, derajat pembedahan (primer atau revisi), vaskularisasi,
keefektifan embolisasidan pengalaman operator.
Strategi intraoperatif untuk mengurangi perdarahan mencakup elevasi puncak kepala,
anestesi dengan teknik hipotensif, diseksi subperiosteal, kauterisasi mukosa diatas tumor, serta
penggunaan pelindung sel (untuk ekstensi sinus kavernosus). Berbagai teknik tambahan telah
terbukti bermanfaat dalam mendukung tindakan bedah seperti laser Nd-YAG dan laser KTP,
skalpel harmoni dan microdebrider jaringan.
Beberapa teknik pendekatan bedah yang umum digunakan yaitu endoskopi nasal,
pendekatan trans-palatal, trans-hioid, trans-mandibular, trans-zigomatikus, trans-maksilaris,
rinotomi lateral, maksilektomi medial, midfacial degloving, Le-fort I osteotomy, maxillary swing
atau pendekatan translokasi fasial, pendekatan dasar tengkorak lateral, ataupun kombinasi dari dua
teknik pendekatan.4,24 Teknik endoskopi eksisi saat ini mulai diminati untuk lesi-lesi angiofibroma
nasofaring stadium dini. Adanya lapangan pandang yang baik melalui endoskopi dapat
memastikan akses yang lebih baik tanpa membutuhkan pembuangan tulang ataupun osteotomi
yang luas seperti pada teknik-teknik konvensional lainnya. Pada teknik ini, embolisasi preoperatif
rutin dilakukan. Kelebihan teknik ini yaitu sudut pandang yang dihasilkan lebih baik daripada
pendekatan rinotomi lateral sehingga identifikasi terhadap anatomi dan hubungan tumor-jaringan
juga lebih baik, dapat mencegah terjadinya insisi fasial dan osteotomi sehingga dapat mengurangi
dampak pertumbuhan skeletal midfasial dikemudian hari pada pasien-pasien remajadan
selanjutnya dapat membantu pembersihan tumor dari lokasi-lokasi tersembunyi pada tulang
sfenoid. Kekurangan teknik ini yaitu teknik ini membatasi ruang bebas untuk bekerja di area-area
sekitar tumor. Akses yang terbatas melalui apertura nasal membatasi lapangan operasidan dapat
menyebabkan traksi pada tumor. Selain itu, adanya perdarahan yang minimal saja dapat
mengaburkan lapangan pandang operasi. Adanya keterlibatan sinus kavernosus atau ekstensi
tumor ke depan arteri karotis interna melalui foramen laserum dapat menjadi risiko perdarahan
sehingga dapat membatasi proses pengerjaan endoskopi.4,7
2. Pengobatan Untuk Angiofibroma Nasofaring Intrakranial
Pendekatan bedah untuk tumor sangat bergantung pada hubungannya dengan sinus
kavernosus. Tumor yang terletak lateral terhadap sinus kavernosus paling baik dibedah melalui
pendekatan dasar tengkorak lateral (pendekatan subtemporal preaurikular atau pendekatan Fisch
tipe D) dimana eksisi sempurna dicapai pada 80% kasus. Tumor yang terletak medial terhadap
sinus kavernosus paling baik diakses melalui pendekatan transmaksilaris anterior. Maxillary swing
atau teknik translokasi fasial menyediakan paparan yang luas dan memungkinkan diseksi
metikulus tumor dari dura, sinus kavernosus dan nervus optikus. Kraniotomi dapat dihindari pada
tumor-tumor dengan derajat ekstensi intrakranial yang rendah dan tidak berhubungan langsung
dengan sinus kavernosus. Akses ke tumor selanjutnya dapat diperoleh melalui penyusuran tumor
disepanjang rute penjalarannya, dimana hal ini dapat dilakukan melalui pendekatan trans-nasal
terbuka dengan akses luas yang diperoleh melalui pendekatan maxillary swing.4,15
3. Pengobatan Untuk Angiofibroma Nasofaring Residual Atau Rekuren
Rekurensi merupakan gambaran yang mencolok dalam perjalanan klinis angiofibroma
nasofaring. Keterlibatan fossa infratemporal, sinus sfenoid, dasar pterigoid, bagian medial dari
sinus kavernosus, foramen laserum dan fossa anterior telah dihubungkan dengan peningkatan
risiko rekurensi pada penyakit ini.4,15 Perhatian terhadap prinsip pembedahan seperti optimalisasi
prapembedahan, paparan visualisasi bedah yang adekuat, pengontrolan aliran vaskulardan
pembuangan tumor yang sistematis dapat meminimalkan kejadian rekurensi. Direkomendasikan
follow-up dengan endoskopi dan radiologi setiap 3-4 bulan setelah pembedahan untuk memantau
sisa atau rekurensi penyakit. Tumor-tumor yang besar dan simtomatis atau tumor-tumor yang
progresif pada pemeriksaan imaging membutuhkan revisi bedah. Gamma knife treatment dan
radioterapi konvensional merupakan alternatif lain untuk sisa-sisa tumor intrakranial.4,15
III PEMBAHASAN
Pembedahan merupakan modalitas utama bagi penatalaksanaan angiofibroma nasofaring.
Pembedahan dengan pendekatan tertentu ditentukan berdasarkan lokasi tumor, perluasannya dan keahlian
operator. Maksilektomi dilakukan dengan anestesi umum. Penderita angifibroma nasofaring biasanya usia
muda sehingga teknik bedah yang digunakan harus memperhatikan efek bedah pada kraniofasial.
Pembedahan yang dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan pada kraniofasial meliputi elevasi jaringan
lunak dan periosteum, pembedahan mucoperiosteum pada langit-langit mulut, ethmoidectomy, osteotomi
pada wajah dan penggunaan fiksasi pelat logam. Pendekatan bedah bisa inferior, lateral dan anterior.
Pendekatan inferior meliputi transpalatal dan transoral-transpharyngeal routes. Pendekatan anterior
meliputi transnasal, Le Fort I maxillotomy dan medial maksilektomi. Pendekatan lateral mencakup
pendekatan fossa infratemporal.
Pendekatan transpalatal dan transoral transpharyngeal paling sesuai untuk tumor yang
terlokalisasi di rongga hidung dan nasofaring, namun pendekatan transpalatal yang dimodifikasi
dengan eksisi pterygoid plate dapat mengakses fossa pterygopalatine. Pendekatan transnasal dapat
digunakan untuk tumor yang terbatas pada nasofaring, rongga hidung dan sinus sphenoid. Menurut
Mann dkk pendekatan endonasal tidak dianjurkan pada angiofibroma stadium IV dan beberapa
kasus stadium III dengan perluasan ke dalam fosa kranial. Pendekatan maxillotomy Le Fort I
memberi akses pada tumor yang terbatas pada nasofaring, rongga hidung, sinus paranasal, fosa
pterygopalatine dan tumor yang meluas ke fosa infratemporal. Pendekatan maxillotomy medial
memberikan akses pada tumor pada nasofaring, orbita, etmoids, sinus sphenoid, fosa
pterygopalatine, fossa infratemporal, dan bagian medial sinus kavernosus. Teknik ini dapat
dilakukan melalui rhinotomy lateral, atau pendekatan Weber-Ferguson, atau dengan degloving
midfacial, atau degloving midfacial yang dimodifikasi.
Persiapan praoperasi bertujuan mengantisipasi komplikasi yang mungkin terjadi seperti perdarahan
massif dengan persiapan transfusi. Terapi hormon seperti androgen dan estrogen diberikan untuk
mengurangi vaskularisasi dan ukuran tumor angiofibroma nasofaring, namun setelah ditemukan embolisasi
angiografi maka hal ini tidak diperlukan lagi.
Menurut Ezri dkk, dilaporkan beberapa teknik untuk menurunkan resiko perdarahan. Salah satunya
dengan teknik hipotensi dan hipotermi disertai rapid sequence induction. Juga disarankan melakukan
ekstubasi beberapa jam setelah operasi. Pasien dibuat dalam kondisi hipotensi saat diinduksi (MAP 55-65
mmHg).
Teknik hipotensi sangat menolong untuk mengurangi kehilangan darah. Tekanan perfusi dari otak
sangat ditoleransi, bila tumor melibatkan arteri karotis (yang mengurangi tekanan arteri serebral) atau vena
jugularis (meningkatkan tekanan vena serebral). Kemudian posisi head-up juga meningkatkan
kemungkinan terjadinya emboli udara pada vena. Sebagai akibat reanastomosis dari flap mikrovaskular,
tekanan darah juga harus dipelihara pada baseline tekanan darah pasien. Obat vasokonstrikisi seperti
phenylephrine juga harus dihindari karena walaupun tekanan darah sistemik meningkat, perfusi dari flap
akan berkurang dikarenakan oleh vasokonstriksi dari graft pembuluh darah. Selain itu, vasodilator seperti
sodium nitroprusside atau hydralazine juga harus dihindari untuk mencegah terjadinya penurunan tekanan
perfusi.
Pasien dengan kemungkinan perdarahan massif perlu pengawasan yang ketat seperti tekanan darah,
gas darah, dan pemantauan hematokrit. Jika perlu ditambahkan akses melalui vena femoralis dan antecubiti.
Jika perlu flap lengan maka jalur intravena tidak boleh dipasang di lengan. Minimal dua jalur infus yang
paten (sebaiknya dengan alat pemantau suhu) dan kateter Foley terpasang. Udara inspirasi harus dipanaskan
dan dilembabkan serta selimut pemanas udara harus diposisikan di atas ekstremitas bawah untuk membantu
mempertahankan suhu tubuh tetap normal. Hipotermia intraoperatif dan vasokonstriksi sangat merugikan
perfusi dari flap mikrovaskuler.
Sebaiknya pasien menjalani angiografi untuk mengkonfirmasi vaskularitas angiofibroma
nasofaring, yang memainkan peran utama dalam embolisasi pra operasi. Embolisasi harus dilakukan 24
jam sebelum operasi karena angiofibroma nasofaring diketahui mencapai revaskularisasi cepat. Dilaporkan
bahwa embolisasi meningkatkan risiko eksisi yang tidak komplit karena defek batas tumor yang berkurang,
terutama bila terjadi invasi ke tulang sphenoid. Namun, Andrade dkk melaporkan bahwa embolisasi tidak
diperlukan karena reseksi tumor angiofibroma nasofaring yang komplit sangat sulit. Terlepas dari risiko
eksisi yang tidak lengkap, embolisasi tetap menjadi pilihan terapi.
Keputusan untuk melakukan trasnfusi harus diseimbangkan dengan problem medis pasien dengan
kemungkinan terjadinya keganasan pasca transfusi sebagai akibat dari supresi imun. Pemakaian faktor
rheologis lebih disukai karena akan menyebabkan turunnya hematokrit ketika bedah freeflap mikrovaskuler
dilakukan. Obat diuresis sebaiknya dihindari selama bedah free-flap mikrovaskular untuk menyediakan
perfusi yang adekuat pasca operasi.
Manipulasi dari sinus karotikus dan ganglion stelata selama bedah diseksi radikal leher telah
diasosiasikan dengan variasi tekanan darah yang lebar, bradikardia, aritmia, sinus arrest, dan pemanjangan
qt interval. Infiltrasi dengan obat anestesi lokal pada selaput pelindung karotis biasanya akan memperbaiki
masalah tersebut. Diseksi bilateral pada leher akan menghasilkan terjadinya hipertensi postoperasi dan juga
kehilangan dari pengaturan hipoksik karena kehilangan persarafan dari sinus karotis dan tubuh.
Pengelolaan jalan nafas kemungkinan mengalami kesulitan oleh karena tumor yang menghalangi.
Jika terjadi masalah saluran napas yang potensial maka harus dihindari induksi intravena sebelum
laringoskopi dan mampu mempertahankan ventilasi spontan. Dalam kasus ekstirpasi angiofibroma
nasofaring, peralatan dan personil yang dibutuhkan untuk trakeostomi darurat harus tetap tersedia. Diskusi
mengenai manajemen jalan napas harus dilakukan dan kemungkinan ventilasi postoperatif atau
trakeostomi.Trakeostomi elektif dengan anestesi lokal adalah pilihan yang bijaksana, terutama jika
laringoskopi tidak langsung menunjukkan bahwa lesi rentan terhadap dislodgment selama intubasi. Studi
pencitraan seperti MRI dan CT scan sangat membantu merencanakan manajemen jalan nafas.
Endotrakea tube sebaiknya ditempelkan di bagian bawah bibir dan di sisi yang berlawanan dari
lokasi insisi. Jika ada kesulitan di jalan napas, pertimbangkan teknik bangun untuk amankan jalan napas.
Dekompresi abdomen harus dipertimbangkan pada akhir operasi karena kemungkinan ada darah yang
tertelan. Pasang minimal dua akses cairan intravena dan kateter Foley untuk tindakan maksilektomi dengan
waktu yang panjang. Pertimbangkan pasien yang diintubasi dengan propofol untuk mencegah episode
hipertensi dan pembentukan hematoma, terutama di pasien yang memiliki rekonstruksi flap.
Pasca perawatan anestesi sebaiknya tetap mempertahankan tekanan darah normal untuk mencegah
pendarahan yang berlebihan atau pembentukan hematoma. Pasca operasi akan lebih aman bila dilakukan
ventilasi spontan / terkontrol melalui Tabung ETT atau trakeostomi daripada ekstubasi langsung.
Mempertahankan akses jalan nafas secara terus menerus pasca ekstubasi merupakan hal penting.
Saraf kranial V, VI, VII, IX, X yang bertanggung jawab atas sakit kepala akut dan kronis, wajah
dan leher. Rasa sakit bisa ditandai juga nociceptive (somatik atau viseral) atau neuropati (paroksismal, sakit
lancinating). Manajemen nyeri terdiri dari banyak modalitas baik farmakologis, herbal, fisioterapi dan
teknik nyeri intervensi. Nyeri kanker merespon dengan baik terhadap opioid, sementara neuropati
merupakan rasa sakit yang lebih mudah merespons antidepresan trisiklik dan antikonvulsan. Manajemen
nyeri harus berdasarkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan pedoman American Pain Society.
Pendekatan tiga jenjang yang terdiri dari anti-inflamasi non steroid, opioid, dan adjuvant. Obat adjuvan
meningkatkan efek analgesik atau mengurangi gejala lainnya yang memperberat rasa sakit. Contoh obat
adjuvan meliputi trisiklik, antidepresan, antikonvulsan, cannabinoids, antispasmodik, bifosfonat,
adrenergik, steroid, dan kalsitonin.
IV. KESIMPULAN
Prosedur maksilektomi memberikan tantangan bagi ahli anestesi. Diantaranya adalah perlu
manajemen yang tepat untuk mengatasi kehilangan darah yang massif, pemantauan saraf kranial dan
manajemen jalan nafas. Operasi yang berhasil melibatkan dialog terbuka antara ahli anestesi dan ahli THT-
KL. Seyogyanya perlu ditetapkan tentang pengelolaan perioperatif pada pasien maksilektomi secara
kolaboratif dan rencana perawatan yang tepat.
DAFTAR PUSTAKA