Anda di halaman 1dari 34

Laporan Kasus

ANGIOFIBROMA NASOFARING
PADA SEORANG WANITA DEWASA

Oleh:
Jamil Roy

Pembimbing:
dr. I Gde Ardika Nuaba, Sp.T.H.T.K.L(K)

PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS


DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN THT-KL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA
RSUP SANGLAH DENPASAR BALI
2017

0
Laporan Kasus

ANGIOFIBROMA NASOFARING PADA SEORANG WANITA DEWASA


Oleh:
Jamil Roy
PPDS Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok – Kepala Leher
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana / RSUP Sanglah Denpasar

I. PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring atau yang sering juga disebut dengan
angiofibroma nasofaring belia (ANB) merupakan tumor nasofaring yang bersifat
jinak secara histopatologis namun secara klinis bersifat destruktif. Gambaran
histologi yang jinak dalam perjalanan klinisnya sering berpotensi menjadi
keganasan akibat epistaksis, keterlibatan struktur endokranial dengan komplikasi,
serta insiden rekurensi yang tinggi. ANB mewakili 0,05-0,5% dari keseluruhan
tumor kepala dan leher namun merupakan tumor yang paling sering terjadi di
daerah nasofaring. Tumor ini lebih sering dijumpai pada pria usia remaja. Istilah
ANB adalah istilah yang kurang tepat karena tumor ini juga dapat ditemukan pada
usia yang lebih tua.1,2
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan riwayat perjalanan penyakit,
pemeriksaan fisikdan gambaran radiologis. Pasien biasanya menunjukkan gejala
saat tumor sudah berada pada stadium lanjut yang awalnya berasal dari dinding
lateral atau dasar nasofaring terutama foramen sfenopalatina. Adanya epistaksis
yang disertai dengan obstruksi hidung yang progresif merupakan gejala klasik dari
angiofibroma nasofaring yang sering dikeluhkan oleh pasien.1,2
Terdapat berbagai kriteria pengklasifikasian stadium dalam mengevaluasi
angiofibroma nasofaring seperti kriteria Radkowski, Fisch, Andrews, Onercidan
Sessions. Sebagian besar penulis mempertimbangkan tindakan bedah sebagai
penanganan utama terhadap angiofibroma nasofaring, meskipun terdapat beberapa
kasus yang diindikasikan untuk pengobatan radioterapi, terapi hormonal, ataupun
gamma knife surgery.1 Satu kasus angiofibroma nasofaring yang jarang terjadi
pada seorang wanita dewasa akan dilaporkan dalam laporan kasus ini.

1
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor di daerah nasofaring yang
terdiri dari jaringan fibrosa dan pembuluh darah yang secara histologi bersifat
jinaknamun secara klinis dapat bersifat invasif lokal. Tumor ini dapat
mendestruksi tulang di sekitarnya dan dapat meluas ke sinus paranasal, fossa
pterigomaksila, fossa infratemporal, fossa temporal, pipi, orbita, dasar
tengkorakdan rongga intrakranial.1,3,4

2.2 Epidemiologi
Angiofibroma nasofaring telah didokumentasikan sejak zaman
Hippocrates (tahun 4 SM). Hippocrates mendeskripsikannya sebagai suatu polip
di daerah hidung yang cenderung mengalami perdarahan. Pada tahun 1906
Chareau et al mulai memperkenalkan istilah ANB dalam tulisannya. Pada tahun
1930 Shaheen et al melaporkan insiden angiofibroma nasofaring pada pasien
wanita untuk pertama kalinya. Hondousa et al melaporkan usia termuda penderita
ANB adalah 8 tahun. Figi dan Davis melaporkan peran pembedahan sebagai
penatalaksanaan utama angiofibroma nasofaringdan juga menyarankan teknik
diseksi subperiosteal terhadap massa tumor untuk mengurangi perluasan
perdarahan. Pada tahun 1959, Harman et al melaporkan pentingnya pemeriksaan
histopatologi pada jaringan angiofibroma nasofaring untuk mengevaluasi
perkembangan penyakit.3,5
Angiofibroma nasofaring merupakan tumor yang relatif jarang ditemukan.
Angiofibroma nasofaring sering ditemukan pada remaja pria berusia antara 14-25
tahun dan diperkirakan insidensinya hanya 0,05-0,5% dari semua tumor jinak
yang ada di kepala dan leher. Hondousa et al melaporkan bahwa rerata insiden
tumor ini 1:50.000 dari seluruh pasien THT di berbagai negara. Istilah ANB
merupakan istilah yang kurang tepat karena tumor ini juga dapat ditemukan pada
usia kurang dari 10 tahun, pada usia yang lebih tua, pada wanita, ataupun pada
wanita hamil. Insiden pada usia dewasa sangat jarang ditemukan. Pradillo et al
melaporkan bahwa insiden pada pasien dengan usia lebih dari 25 tahun hanya
sekitar 0,7% dari semua insiden angiofibroma nasofaring.3,6

2
Affandi et al melaporkan 1 kasus angiofibroma nasofaring pada wanita
usia 43 tahun di RS Dr. Muhammad Hoesin Palembang pada tahun 2007dan pada
tahun 2009-2011 Agoeng et al melaporkan 4 kasus angiofibroma nasofaring yang
seluruh penderitanya merupakan pria. Sedangkan penelitian pada tahun 2011-
2014 di rumah sakit yang sama dilaporkan 8 kasus angiofibroma nasofaring
dengan perbandingan pria dan wanita adalah 7:1. Di RS H. Adam Malik Medan,
Asroel et al melaporkan 11 kasus angiofibroma nasofaring pada tahun 2001-2002.
Unagkanott et al dalam penelitiannya selama 38 tahun melaporkan 43 kasus
angiofibroma nasofaring yang terdiri dari 42 penderita pria dan 1 penderita wanita
dimana rata-rata usia penderitanya adalah 16 tahun. Nirmal et al melaporkan 1
kasus ANB pada wanita usia 45 tahun. Tang et al melaporkan 13 penderita
angiofibroma nasofaring sejak tahun 1995-2005 di RS Malaya Malaysia dimana
semua penderita berjenis kelamin pria dengan rentang usia 14-28 tahun.1

2.3 Anatomi nasofaring


Dikarenakan angiofibroma nasofaring melibatkan area nasofaring, maka
pemahaman mengenai anatomi nasofaring sangatlah penting untuk keberhasilan
penanganan penyakit ini. Area nasofaring dipikirkan sebagai suatu titik anatomi
buta (a virtual no man’s land) karena area ini relatif sulit untuk diakses. Sangatlah
sulit untuk melihat keseluruhan area nasofaring secara sempurna. Namun dengan
adanya teknologi endoskopi saat ini semakin memudahkan pemeriksaan area
nasofaring, demikian juga dengan pemeriksaan CT-scan dan MRI.3,4
Nasofaring berlokasi di pertemuan saluran udara hidung, telinga dan
faring. Nasofaring merupakan ruang kotak kuboid yang keras dan ireguler seluas
4x3x2 cm pada dasar fossa kranial media yang berisi udara.3

Gambar 1. Lokasi nasofaring3

3
Nasofaring berada di belakang kavitas hidung dan di bawah badan sfenoid
dan dasar oksiput di atas batas palatum mole. Di bagian anterior, nasofaring
dibatasi oleh orifisium koanal dan septum nasal bagian posterior. Bagian inferior
dibentuk oleh permukaan atas dari palatum mole pada 2/3 bagiannya, sedangkan
1/3 bagian posteriornya dibentuk oleh isthmus nasofaringeal. Bagian dinding
superior dan posterior dibentuk oleh permukaan dinding badan sfenoid, basis
oksiput dan tulang servikal 1-2 hingga palatum mole. Bagian dinding posterior
yang lebih ke atas terbentang di depan arkus anterior atlas dengan massa jaringan
limfoid tertanam di membran mukosa (adenoid). Fasia prevertebral dan otot
memisahkan adenoid dari vertebra.3,4
Dinding lateral nasofaring didominasi oleh ujung tuba eustasius faringeal.
Nasofaring berlokasi di tengah-tengah dinding lateral, sekitar 1,5 cm dari dinding
superior dan posterior, koana dan dasar hidung. Dibelakang batas posterior dari
torus, diantara nasofaring dan dinding posterior, terbentang faringeal lateral atau
fossa Rosenmuller. Untuk memahami gambaran klinis dari massa di daerah
nasofaring, pemahaman akan atap fossa Rosenmuller sangatlah penting. Fossa
Rosenmuller tidak terlihat pada bayi baru lahir, sedangkan pada dewasa dapat
berukuran hingga sedalam 1,5 cm. Fossa Rosenmuller terbuka ke dalam
nasofaring pada titik di bawah foramen laserum yang berhubungan dengan arteri
karotis interna. Terdapat kumpulan jaringan limfoid (tonsil Gerlachs) dengan
ukuran yang bervariasi yang tersebar di orifisium tuba, yang dikenal dengan tubal
tonsil. Foramen laserum dilalui oleh arteri karotis interna, nervus petrosal
superfisialdan terkadang arteri palatina asendens. Melalui foramen ini, tumor dari
fossa Rosenmuller menginvasi struktur intrakranial. Nervus ke-3 hingga ke-6
terletak berdampingan di foramen ini. Nervus-nervus ini biasanya terlibat jika
tumor menginvasi struktur intrakranial melalui foramen laserum.3,4

Gambar 2. Gambaran endokopi nasofaring3

4
Pelapis mukosa nasofaring terdiri dari banyak lipatan dan kriptus. Area
permukaan pelapis mukosa nasofaring berukuran sekitar 50 cm2 pada orang
dewasa. Mukosa nasofaring berbeda dari traktus respiratorius bagian atas lainnya
yang merupakan jaringan ikat subepitel yang kaya akan jaringan limfoid. Mukosa
yang berbatasan dengan koana dan atap nasofaring seluruhnya dilapisi oleh epitel
kolumnar bersilia.3,4
Sumber perdarahan daerah nasofaring berasal dari arteri faringeal
asendens, arteri fasialis cabang palatina asendensdan cabang dari arteri maksilaris
interna. Vena-vena di daerah nasofaring membentuk pleksus yang berhubungan
dengan pleksus pterigoid dan mengalir ke vena fasialis dan vena jugularis interna.
Daerah nasofaring kaya akan limfatik. Aliran limfatik terutama bersumber dari
tonsil faringeal dan mengalir ke aponeurosis faringeal, dimana beberapa
diantaranya berakhir di vena media dan vena lateral. Persarafan daerah nasofaring
terutama berasal dari pleksus faringeal yang dibentuk oleh cabang nervus kranial
ke-9 dan ke-10 bersamaan dengan serabut saraf simpatis.3,4

2.4 Etiologi dan patogenenesis


Penyebab pasti dari angiofibroma nasofaring belum diketahui dengan
jelas. Beberapa teori telah diajukan untuk menjelaskan etiopatogenesis
angiofibroma nasofaring.3
1. Teori Ringertz, memaparkan bahwa angiofibroma nasofaring selalu berasal
dari periosteum dasar tulang tengkorak.
2. Teori Som dan Neffson (1940), memaparkan bahwa ketidaksamarataan dalam
pertumbuhan tulang pembentuk dasar tengkorak akan menyebabkan hipertrofi
periosteum yang mendasarinya sebagai respon atas pengaruh hormonal.
3. Teori Bensch dan Ewing (1941), memaparkan bahwa tumor berasal dari
kartilago fibroembrionik diantara basis oksiput dan basis sfenoid.
4. Teori Brunner (1942), memaparkan bahwa tumor berasal dari gabungan fasia
faringobasilar dan buccofaringeal.
5. Teori Marten et al (1948), mengajukan teori hormonal, yakni tumor terjadi
akibat kelebihan aktivitas androgen atau defisiensi estrogen, dimana stimulasi

5
hormonal bertanggung jawab bagi komponen-komponen angiomatosa pada
jaringan angiofibroma nasofaring.
6. Teori Sternberg (1954), mengajukan bahwa angiofibroma nasofaring
merupakan salah satu varian dari hemangioma seperti hemangioma kutaneus
pada anak dan memburuk seiring usia.
7. Teori Osborn (1959), memaparkan bahwa pembesaran massa di nasofaring
dapat terjadi akibat adanya jaringan hamartoma ataupun jaringan erektil fetus
residual yang dipengaruhi oleh keadaan hormonal.
8. Teori Girgis dan Fahmy (1973), mengamati sarang-sarang sel epiteloid yang
tidak berdiferensiasi atau “Zell ballen” pada area pinggir dari pertumbuhan
tumor angiofibroma nasofaring. Gambaran ini menyerupai paraganglioma,
sehingga mereka menyimpulkan bahwa angiofibroma nasofaring merupakan
paraganglionoma.
9. Teori Atavism, istilah ini mengindikasikan kecenderungan angiofibroma
nasofaring untuk diturunkan kembali (penyakit keturunan).

Teori yang paling diterima adalah bahwa angiofibroma nasofaring berasal


dari jaringan hamartoma yang berlokasi di kartilago konka yang distimulasi oleh
hormon seks. Adanya pengaruh hormonal menjelaskan mengapa tumor ini jarang
terjadi setelah pubertas.3
Tumor ini eksklusif ditemukan pada remaja pria. Selama ini terdapat
banyak spekulasi dan bukti-bukti yang melaporkan bahwa reseptor hormon seks
berperan penting dalam perkembangan tumor ini. Teknik imunositokimia terbaru
menunjukkan bahwa reseptor androgen tampak pada setidaknya 75% tumor
angiofibroma nasofaring, dimana reseptor-reseptor ini terlihat baik pada elemen
vaskular maupun pada elemen stromal. Sejumlah kecil tumor juga memiliki
reseptor progesteron. Sebaliknya, reseptor estrogen tidak terlihat sama sekali.
Terdapat faktor lain yang juga berperan dalam perkembangan tumor. Faktor
pertumbuhan angiogenik (vascular endothelial growth factor (VEGF) dan
transforming growth factor (TGF-β)) ditemukan terlokalisasi pada sel endotelial
dan sel stromal, mengindikasikan bahwa kedua sel tersebut berperan dalam
perkembangan tumor. Overekspresi dari insulin-like growth factor II (IGFII) juga

6
telah ditemukan pada beberapa kasus ANB. Gen IGFII berlokasi di lengan
kromosom 11 dan pada lokasi tersebut target dari imprinting gen hanya
mengekspresikan alel paternal saja. Hal ini menyiratkan bahwa overekspresi
IGFII berhubungan dengan tendensi untuk terjadinya rekurensi dan prognosis
angiofibroma nasofaring yang buruk.7
Angiofibroma nasofaring juga dilaporkan terjadi 25 kali lebih sering pada
pasien-pasien dengan riwayat poliposis adenomatosa familial, yaitu suatu kondisi
yang berhubungan dengan mutasi gen adenomatous polyposis coli (APC). Mutasi
ini mengakibatkan terjadinya mutasi germline di dalam gen APC pada kromosom
5q yang juga terlibat dalam patogenesis angiofibroma juvenil sporadis. Gen ini
meregulasi β-catenin pathway yang mempengaruhi adhesi antar sel. Mutasi dari
β-catenin ditemukan pada angiofibroma juvenil sporadis dan angiofibroma
juvenile rekuren. Lokasi β-catenin hanya terdapat di nukleus sel stromal, dimana
hal ini menunjukkan bahwa sel stromal berperan penting dalam perkembangan
neoplasma-neoplasma ini.7,8

2.5 Angiofibroma nasofaring pada wanita dewasa


Angiofibroma nasofaring terbatas pada pria usia pre-pubertas atau peri-
pubertas dan jarang terjadi sebelum usia 8 tahun ataupun setelah usia 25 tahun.
Pradillo et al melaporkan bahwa insidensi penderita angiofibroma nasofaring
dengan usia lebih dari 25 tahun hanya sebesar 0,7% dari semua pasien
angiofibroma nasofaring. Rerata usia penderita angiofibroma ekstranasofaringeal
adalah 23 tahun, lebih tinggi jika dibandingkan dengan rerata usia penderita
angiofibroma nasofaring yaitu 17 tahun. Tidak seperti angiofibroma nasofaring,
angiofibroma ekstranasofaringeal lebih sering terjadi pada wanita-wanita dengan
usia yang lebih tua. Gruber et al melaporkan hanya sekitar 2,8% insiden
angiofibroma nasofaring yang terjadi pada wanita dari keseluruhan insiden
angiofibroma nasofaring dalam setahun.9,10
Adanya predileksi remaja pria pada insidensi angiofibroma nasofaring
menyiratkan terdapat hubungan penyakit ini dengan hormon seks. Faktor
hormonal dan reseptor-reseptor faktor pertumbuhan seperti VEGF dan TGF-β
telah dilaporkan dijumpai pada jaringan tumor angiofibroma nasofaring pada

7
wanita. Teori hormonal menyatakan bahwa kadar estrogen yang tinggi melindungi
wanita dari kejadian angiofibroma nasofaring. Hal inilah yang menjelaskan
adanya predominansi pria dan kecilnya insidensi pada wanita, dikarenakan
estrogen bersifat sebagai antagonis yang menghambat pelepasan hormon tropik
dari hipofise sehingga menyebabkan penurunan produksi testosteron. Telah
dihipotesiskan bahwa angiofibroma nasofaring merupakan tumor dependen
testosteron yang berkembang dari nidus fibrovaskular di area nasofaring yang
tetap dorman hingga memasuki onset usia pubertas. Pada saat itulah, tumor akan
tumbuh dan menjadi simtomatis.9,10
Peric et al melaporkan adanya kasus-kasus angiofibroma nasofaring yang
dijumpai pada wanita setelah usia menopause. Kejadian angiofibroma nasofaring
pada wanita pasca menopause menyiratkan adanya pengaruh hormonal dimana
tumor mengalami regresi alami sepanjang hidup wanita ketika terdapat produksi
estrogen yang tinggi namun ketika terjadi proliferasi pasca menopause akan
terjadi penurunan efek hormon estrogen sehingga tumor dapat berkembang.
Namun demikian, dengan adanya penelitian Peloquin et al yang melaporkan
kejadian angiofibroma nasofaring pada wanita hamil menunjukkan bahwa
kemungkinan terdapat faktor-faktor lain yang turut berkontribusi dalam
etiopatogenesis angiofibroma nasofaring seperti faktor kongenital dan faktor
inflamasi. Seperti diketahui bahwa pada saat hamil terdapat kadar estrogen dan
progesteron yang sangat tinggi di serum. Oleh karena itulah dipikirkan bahwa
proses inflamasi memegang peranan penting dalam kejadian angiofibroma
nasofaring. Hal ini dibuktikan dari pemeriksaan histopatologi yang dilakukannya
yang menunjukkan bahwa jaringan angiofibroma nasofaring secara nyata
terinfiltrasi oleh stroma yang mengalami edema dan terdapat banyak vasodilatasi.
Selain itu terdapat teori terbaru yang menyatakan bahwa angiofibroma nasofaring
dapat terjadi akibat malformasi vaskular karena regresi arteri brankialis
pertamadan hal ini pernah ditemui pada kasus angiofibroma nasofaring pada
wanita.8-12
Insidensi angiofibroma nasofaring pada wanita sangatlah jarang terjadi
sehingga beberapa ahli meyakini bahwa pemeriksaan kromosom seks perlu
dilakukan jika diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan pada seorang

8
wanita, dengan pertimbangan hipotesis genotip wanita yang 46XY serupa dengan
pseudohermaphroditisme. Selain itu diperlukan evaluasi terhadap abnormalitas
endokrin atau kadar androgen serum jika angiofibroma nasofaring terjadi pada
seorang wanita.4,11,13

2.6 Gambaran klinis dan diagnosis


Angiofibroma nasofaring tidak berkembang secara cepat namun terjadi
dalam hitungan bulan hingga tahun. Studi-studi menunjukkan bahwa tanda dan
gejala angiofibroma nasofaring biasanya telah muncul sekitar 6 bulan sebelum
ditegakkannya diagnosis. Dua tanda kardinal angiofibroma nasofaring adalah
obstruksi hidung (80-90%) dan epistaksis berat yang rekuren (45-60%). Epistaksis
bervariasi dalam tingkat keparahannya. Anemia kronik selanjutnya dapat
berkembang menjadi gejala angiofibroma nasofaring. Pasien juga dapat
mengeluhkan hiposmia atau anosmia. Obstruksi nasal total dapat berkembang
menyebabkan stasis sekresi, sepsis, snoring dan gejala obstructive sleep apnea.
Gambaran klinis bervariasi berdasarkan luasnya penyakitnamun perluasan ke
dalam sinus sfenoid ataupun sinus-sinus lainnya, orbita, fossa infratemporal dan
fossa kranial media seringnya tidak bergejala.4,7,14
Pada pemeriksaan suara pasien dapat ditemukan suara sengau jika tumor
membesar ke dalam palatum mole. Terbloknya orifisium tuba eustasius dapat
menyebabkan tuli dan otalgia. Sakit kepala dapat terjadi pada kasus-kasus lanjut.
Jika terjadi sakit kepala, dapat merupakan indikasi adanya perluasan ke sinus
paranasal. Perluasan intrakranial dapat juga menjadi penyebab sakit kepala pada
pasien-pasien tersebut. Diplopia dapat terjadi secara sekunder akibat erosi tumor
ke dalam kavitas kranial sehingga menyebabkan tekanan pada kiasma optikus.
Penglihatan juga dapat terganggu akibat penekanan tumor ke nervus optikus.3,15
Tanda fisik yang nyata menjadi bukti bahwa penyakit telah meluas dan
melibatkan hidung serta fossa infratemporal. Tulang hidung menjadi terdorong
dan terdapat pembengkakan di pipi. Palpasi intraoral diantara mandibular ramus
asendens dan sisi maksila dapat menunjukkan penyakit telah menyebar hingga ke
belakang antrum. Impaksi pada massa di fossa infratemporal menyebabkan gejala-
gejala yang mencolok seperti trismus dan pembesaran kelenjar parotis. Proptosis

9
merupakan gejala khas dimana fisura orbital telah ditekan oleh tumor. Gejala
klasik frog face pada pasien terjadi karena penyakit sudah sangat meluas.3,16,17
Rinoskopi anterior dapat memperjelas pemeriksaan tumor yang
gambarannya sering terkaburkan akibat banyaknya sekresi mukopurulen di area
kavitas nasal. Rinoskopi anterior menunjukkan adanya gambaran sekresi nasal
yang purulen dan banyak, bersamaan dengan septum nasal yang membengkok ke
sisi yang sehat. Posisi palatum mole sering terdorong ke inferior dikarenakan
pembesaran tumor yang mengisi ruang nasofaring. Rinoskopi anterior dan
posterior dapat menunjukkan adanya massa berwarna merah atau merah muda
yang mengisi rongga nasofaring. Dikarenakan ukuran lesi yang besar, terkadang
sulit untuk menentukan asal lokasi tumor yang tepat. Pada era-era sebelumnya,
ketika dilakukan palpasi trans-palatal pada massa adenoidal atau nasofaringeal,
ditemukan massa dengan konsistensi keras namun saat ini para klinisi tidak
melakukan pemeriksaan ini lagi.3,4,7
Pada endoskopi nasal, akan terlihat massa vaskular dan submukosa yang
lunak yang terletak di luar konka media. Pemeriksaan radiologi dan imaging (CT-
scan dengan kontras intravena ataupun MRI) berperan penting tidak hanya untuk
penegakan diagnosis tetapi juga untuk menilai penjalaran massa. Gambaran klasik
radiologi angiofibroma nasofaring berupa pembengkokan dinding maksilaris
posterior ke arah anterior atau yang dikenal dengan “Holmann Miller sign”.
Gambaran radiologi klasik lainnya berupa perluasan massa dari yang berpangkal
pada foramen sfenopalatina ke fossa pterigopalatina, sinus sfenoid dan fossa
infratemporaldan setelah injeksi intravena massa menunjukkan suatu gambaran
hipervaskularisasi. Pertimbangan adanya kemungkinan terjadinya perdarahan
yang berat setelah tindakan biopsi, maka biopsi pre-operatif hanya dilakukan pada
kasus-kasus yang meragukan melalui pemeriksaan imaging. Pemeriksaan
angiografi pre-operatif bermanfaat untuk mengevaluasi sumber asupan aliran
darah bagi tumor dan juga untuk mengetahui adanya embolisasi terutama pada
tumor-tumor stadium lanjut.14,18-20
Secara makroskopis, angiofibroma nasofaring tampak sebagai massa
tumor berdinding tegas, berlobuldan ditutupi oleh mukosa nasofaringeal. Secara
mikroskopis pada pemeriksaan histopatologi, angiofibroma nasofaring selalu

10
tersusun atas pembuluh darah dan stroma fibrosa. Pembuluh darah tumor bersifat
ireguler mulai dari kapiler yang kecil hingga pembuluh sinusoid yang besar, sel-
sel penyusunnya sering tampak sebagai gambaran bintang atau “staghorn
appearance” yang dibatasi oleh kelompok-kelompok sel endotelialdan khasnya
hanya memiliki sedikit otot halus dan serat elastis, sehingga pada tumor sering
terjadi perdarahan yang terus-menerus. Bagian stroma fibrosa tumor berbentuk
kumparan dengan banyak mengandung jaringan ikat, tersusun oleh sel-sel padat
yang berbentuk seperti gelendong atau bintangdan mengandung kolagen dengan
jumlah yang bervariasi dimana hal inilah yang menyebabkan beberapa tumor
bersifat sangat keras dan beberapa lagi bersifat lunak.2,21,22

Gambar 3. Gambaran histopatologi angifibroma nasofaring2

2.7 Stadium angiofibroma nasofaring


Berbagai sistem staging telah dikemukakan dalam mengklasifikasikan
derajat angiofibroma nasofaring. Sistem staging yang paling umum digunakan
ialah sistem Radkowski.14
Tabel 1. Sistem staging angiofibroma nasofaring7,14
Sistem
Stadium 1 Stadium 2 Stadium 3 Stadium 4
staging
Onerci Hidung, Sinus maksilaris, seluruh Ekstensi dalam ke tulang Ekstensi intrakranial
(2006) nasofaring, sinus fossa pterigomaksilaris, cancellous pada dasar diantara kelenjar
etmoid dan sinus ekstensi ke fossa kranial atau badan pterigoid dan hipofise dan arteri
sfenoid, atau anterior, ekstensi terbatas ke greater wing sfenoid, karotis internal,
ekstensi minimal fossa infratemporal ekstensi lateral ke fossa lokalisasi tumor
ke fossa intratemporal atau plat lateral ke arteri
pterigomaksilaris pterigoid, orbital, karotis internal,
obliterasi sinus ekstensi fossa
kavernosus mediadan ekstensi
intrakranial yang luas

11
Radkowski  Stadium 1a:  Stadium 2a: ekstensi Erosi dasar tengkorak -
(1996) terbatas pada minimal melalui  Stadium 3a: ekstensi
hidung atau foramen sfenopalatina intrakranial minimal
nasofaring dan ke foramen pterigo  Stadium 3b: ekstensi
 Stadium 1b: maksilaris media intrakranial yang
seperti stadium  Stadium 2b: seluruh luas ± sinus
1a, dengan foramen pterigo kavernosus
ekstensi ke ≥ 1 maksilaris, perubahan
sinus posisi dinding posterior
maksila ke depan, erosi
orbita, perubahan posisi
cabang arteri maksilaris
 Stadium 2c: fossa
intratemporal, pipi,
posterior ke plat
pterygoid
Fisch Tumor terbatas Tumor menginvasi fossa Tumor menginvasi fossa Tumor intrakranial
pada kavitas pterigopalatina atau sinus infratemporal atau regio intradural:
nasofaring, maksilaris, etmoid atau orbital:  Stadium 4: tanpa
terdapat sedikit sfenoid, disertai dengan  Stadium 3a: tanpa infiltrasi sinus
destruksi tulang destruksi tulang keterlibatan kavernosus, fossa
atau hanya intrakranial hipofise atau
terbatas pada  Stadium 3b: dengan kiasma optikum
foramen keterlibatan  Stadium 4b:
sfenopalatina intrakranial dengan infiltrasi
ekstradural sinus kavernosus,
(parasellar) fossa hipofise atau
kiasma optikum
Andrews Terbatas pada Menginvasi fossa Menginvasi fossa Intrakranial, tumor
(1989) nasofaring, pterigopalatina atau infratemporal atau regio intradural
destruksi tulang maksilaris, sinus etmoid orbital  Stadium 4a:
yang dapat atau sfenoid dengan  Stadium 3a: tidak dengan
diabaikan atau destruksi tulang terdapat keterlibatan  Stadium 4b: tanpa
terbatas ke intrakranial sinus kavernosus,
foramen  Stadium 3b: infiltrasi hipofise
sfenopalatina keterlibatan atau kiasma
ekstradural optikus
(parasellar)

12
Chandler Terbatas di Ekstensi ke kavitas nasal Tumor ke antrum, sinus Ekstensi intrakranial
(1984) nasofaring atau sinus sfenoid etmoid, fossa
pterigomaksilaris, fossa
infratemporal, orbita
dan/ atau pipi
Sessions  Stadium 1a:  Stadium 2a: ekstensi Ekstensi intrakranial -
(1981) terbatas pada minimal ke foramen
hidung dan pterigomaksilaris
nasofaring  Stadium 2b: seluruh
 Stadium 1b: foramen
ekstensi ke ≥ 1 pterigomaksilaris
sinus dengan/ tanpa erosi ke
orbita
 Stadium 2c: fossa
infratemporal tanpa
ekstensi ke pipi

Gambaran umum sistem-sistem staging ini ialah bahwa stadium tumor


bergantung pada perluasan dan lokasi keterlibatan tumor. Sistem staging yang
baru dari University of Pittsburgh Medical Center (UPMC) menggabungkan
faktor-faktor prognostik yang tidak dimasukkan oleh sistem-sistem staging
sebelumnya, seperti rute penjalaran dan vaskularisasi residual akibat embolisasi.
Meskipun sistem UPMC lebih dapat diterima dan lebih akuratnamun sistem ini
hanya berdasarkan angiografi, sedangkan pada saat ini berdasarkan literatur
terbaru angiografi tidak selalu bermanfaat bagi angiofibroma nasofaring.14,23
Tabel 2. Sistem staging UPMC14
Stadium Sistem staging UPMC
1 Kavitas nasal, fossa pterigopalatina
2 Sinus paranasal, fossa pterigopalatina lateral, tanpa vaskularisasi residual
3 Erosi dasar tengkorak, orbita, fossa infratemporal, tanpa vaskularisasi residual
4 Erosi dasar tengkorak, orbita, fossa infratemporal, dengan vaskularisasi residual
5 Ekstensi intrakranial, vaskularisasi residual, ektensi medial dan ekstensi lateral

2.8 Penatalaksanaan
Seperti pada tumor-tumor jinak lainnya, pembedahan merupakan
modalitas utama bagi penatalaksanaan angiofibroma nasofaring. Angiofibroma

13
nasofaring dilaporkan dapat mengalami regresi setelah masa remajanamun hal ini
tidak umum terjadi dan bukan merupakan hal yang dapat diandalkan bagi tumor
nasofaring tipe vaskular yang berpotensi tinggi mengalami perdarahan. Terapi
radiasi dipilih bagi tumor-tumor stadium lanjut atau tumor yang tidak dapat
dilakukan pembedahan.3,4
a. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan membutuhkan perencanaan yang baik. Perhatian juga
diberikan terhadap usaha pengecilan tumor terlebih dahulu melalui pre-
treatment dengan terapi anti-androgen dan devaskularisasi tumor dengan
embolisasi tumor.4,14
i. Pre-treatment pengecilan ukuran tumor melalui pengobatan anti-
androgen
Pengobatan estrogen pertama kali diperkenalkan pada pertengahan abad
ke-20 namun kemudian ditinggalkan karena menimbulkan efek
feminisasi dan tidak menunjukkan efikasi yang jelas. Saat ini dengan
tersedianya generasi terbaru anti-androgen yang memiliki efek samping
yang lebih ringan telah mendorong penggunaan anti-androgen kembali
sebagai pengobatan adjuvan terhadap tindakan pembedahan. Flutamide
(suatu antogonis androgen non steroid) menyebabkan inhibisi kompetitif
dari testosteron dan dihidrotestosteronnamun tetap tidak mengubah
jumlah kadar testosteron di serum dan tidak menyebabkan penurunan
libido. Studi menunjukkan bahwa setelah 6 minggu pengobatan dengan
flutamide (10 mg/kgBB/hari), volume tumor berkurang secara efektif
dengan rerata pengurangan 16,5-40% dan juga terbukti aman tanpa efek
samping. Namun demikian penggunaan flutamide dibatasi pada pasien-
pasien post-pubertasdan pengobatan tidak efektif diberikan pada pasien-
pasien pra-pubertas yang hanya memiliki kadar testosteron yang rendah
atau bahkan tidak memiliki kadar testosteron.4,14

ii. Embolisasi pre-operatif


Embolisasi pre-operatif saat ini telah menjadi tindakan rutin dan
sering dilakukan dengan menggunakan gel foam atau partikel polyvinyl

14
alcohol 1-2 hari sebelum tindakan bedah. Embolisasi dapat mengurangi
perdarahan intraoperatif dan memperbaiki area pembedahan sehingga
membantu eksisi tumor yang lebih sempurna. Douglas et al menyatakan
bahwa embolisasi pre-operatif dapat mengurangi perdarahan intraoperatif
hingga 1000 ml. Pada kasus-kasus angiofibroma nasofaring yang besar,
tumor dapat menerima aliran darah dari dua sisi sehingga memerlukan
embolisasi bilateral. Jika terdapat erosi dasar tengkorak, tumor dapat
menerima aliran darah dari cabang arteri karotis interna. Efektivitas
teknik ini masih dipertanyakan, karena untuk tumor-tumor yang kecil,
embolisasi tidak bermanfaat dalam menurunkan perdarahan intraoperatif.
Lloyd et al memaparkan bahwa embolisasi dapat meningkatkan risiko
meninggalkan sisa tumor setelah pembedahan sehingga meningkatkan
rekurensi, dikarenakan embolisasi dapat menyebabkan penurunan
vaskularisasi tumor ke dalam ruang cancellous dari tulang sfenoid.
Namun pernyataan ini tidak terbuktikan pada penelitian-penelitian yang
lain. Saat ini embolisasi pre-operatif banyak dilakukan oleh para ahli dan
sering digunakan dalam teknik pendekatan endoskopi.2,4,14

Gambar 4. Gambaran angiogram vaskularisasi tumor dari arteri


maksilaris interna (a) sebelum embolisasi (b) setelah embolisasi4

iii. Eksisi bedah


Eksisi seluruh tumor merupakan tujuan utama dari pengobatan
pembedahan namun hal ini dapat terhambat karena adanya kendala
terbatasnya lapangan pandang operasi, visualisasi yang tidak adekuatdan
risiko perdarahan selama pembedahan. Selain itu, deformitas, skardan
adhesi turut menambah masalah pasca pembedahan.3

15
Berbagai teknik pendekatan pembedahan telah diketahui. Pilihan
teknik pendekatan bedah bergantung pada usia pasien, luas penyakit,
derajat pembedahan (primer atau revisi), vaskularisasi, keefektifan
embolisasidan pengalaman operator. Terlepas dari pilihan pendekatan
bedah yang dipilih, prinsip dasar intraoperatif tertentu dalam eksisi tumor
tetap harus diberlakukan, seperti paparan yang luas, diseksi lateral ke
medial, diawali dengan ligasi arteri maksilaris internal, reseksi en-block
tanpa menembus kapsul tumordan penembusan terhadap kanal vidian
proksimal dan dasar pterigoid untuk membuang sisa tumor di
daerah sekitar tumor. Strategi intraoperatif untuk mengurangi perdarahan
mencakup elevasi puncak kepala, anestesi dengan teknik hipotensif,
diseksi subperiosteal, kauterisasi mukosa diatas tumor, serta penggunaan
pelindung sel (untuk ekstensi sinus kavernosus). Berbagai teknik
tambahan telah terbukti bermanfaat dalam mendukung tindakan bedah
seperti laser Nd-YAG dan laser KTP, skalpel harmonidan microdebrider
jaringan. Beberapa teknik pendekatan bedah yang umum digunakan yaitu
endoskopi nasal, pendekatan trans-palatal, trans-hioid, trans-mandibular,
trans-zigomatikus, trans-maksilaris, rinotomi lateral, maksilektomi
medial, midfacial degloving, Le-fort I osteotomy, maxillary swing atau
pendekatan translokasi fasial, pendekatan dasar tengkorak lateral, ataupun
kombinasi dari dua teknik pendekatan.4,24
Teknik endoskopi eksisi saat ini mulai diminati untuk lesi-lesi
angiofibroma nasofaring stadium dini. Adanya lapangan pandang yang
baik melalui endoskopi dapat memastikan akses yang lebih baik tanpa
membutuhkan pembuangan tulang ataupun osteotomi yang luas seperti
pada teknik-teknik konvensional lainnya. Pada teknik ini, embolisasi pre-
operatif rutin dilakukan. Kelebihan teknik ini yaitu sudut pandang yang
dihasilkan lebih baik daripada pendekatan rinotomi lateral sehingga
identifikasi terhadap anatomi dan hubungan tumor-jaringan juga lebih
baik, dapat mencegah terjadinya insisi fasial dan osteotomi sehingga
dapat mengurangi dampak pertumbuhan skeletal midfasial dikemudian
hari pada pasien-pasien remajadan selanjutnya dapat membantu

16
pembersihan tumor dari lokasi-lokasi tersembunyi pada tulang sfenoid.
Kekurangan teknik ini yaitu teknik ini membatasi ruang bebas untuk
bekerja di area-area sekitar tumor. Akses yang terbatas melalui apertura
nasal membatasi lapangan operasidan dapat menyebabkan traksi pada
tumor. Selain itu, adanya perdarahan yang minimal saja dapat
mengaburkan lapangan pandang operasi. Adanya keterlibatan sinus
kavernosus atau ekstensi tumor ke depan arteri karotis interna melalui
foramen laserum dapat menjadi risiko perdarahan sehingga dapat
membatasi proses pengerjaan endoskopi.4,7
Pendekatan trans-palatal efektif untuk keadaan dimana pengalaman
endoskopi yang adekuat atau fasilitas embolisasi tidak tersedia. Teknik
ini menyediakan akses ke nasofaring, sfenoid, foramen sfenopalatina dan
nares posterior. Melalui teknik ini paparan yang sempurna dapat dicapai
untuk tumor-tumor pada stadium awal yang terbatas pada daerah
nasofaring dan sekitarnya (stadium 1, 2a, 2b). Tumor-tumor dengan
ekstensi lateral (stadium 2c) juga dapat dicapai melalui penambahan
pendekatan trans-palatal median dengan insisi sublabial lateral. Teknik
ini dapat mencegah timbulnya skar eksternal dan teknik ini tidak
mempengaruhi pertumbuhan tulang fasial. Efek samping yang umum
dilaporkan karena tindakan ini yaitu timbulnya fistula oronasal.15,17
Pendekatan trans-hioid cocok untuk tumor-tumor yang terlokalisasi
di nasofaring tanpa adanya perluasan ke struktur sekitarnya. Kekurangan
teknik ini adalah memerlukan tindakan trakeostomi sementara.
Pendekatan trans-mandibular dilakukan dengan memisahkan mandibular
sehingga akan menampakkan dinding otot tuba nasofaring yang
kemudian diinsisi secara longitudinal pada dinding lateral. Pendekatan
trans-zigomatikus bermanfaat untuk pembuangan tumor yang melibatkan
regio temporal dan infratemporal. Rute trans-maksilaris memiliki
beberapa kelebihan seperti dapat meningkatkan paparan terhadap tumor
lateral di fossa infratemporal (stadium 2c)dan dapat memberikan akses
langsung ke fossa pterigopalatina dan kanal vidian untuk memfasilitasi
penembusan kanal vidian setelah pembuangan tumor.4,7

17
Pendekatan midfacial degloving menyediakan paparan yang baik
terhadap area antrum maksilaris, hidung, fossa pterigopalatina dan
infratemporal. Teknik ini tidak meninggalkan skar pada wajah
dikarenakan penggunaan metoda insisi sublabial pada teknik ini. Namun
sayangnya teknik ini memerlukan pembuangan tulang yang luas dari
dinding antrum maksilaris bagian anterior, posterior, medial dan lateral.
Pendekatan insisi rinotomi lateral dengan maksilektomi medial
menyediakan paparan yang lebih baik terhadap sfenoid, fossa
infratemporal, dasar tengkorakdan orbita. Pendekatan translokasi fasial
(maxillary swing) menyediakan paparan lapangan pandang yang lebih
luas dan cocok untuk tumor-tumor yang berukuran besar (stadium 3a)
dengan erosi dasar tengkorak yang berat dan ekstensi tumor medial ke
sinus kavernosus atau ekstensi tumor lateral yang terbatas ke sinus
kavernosus. Paparan yang luas pada teknik ini menyebabkan diseksi
tumor dari dura dan orbita yang lebih aman untuk dikerjakan. Namun
demikian teknik ini sering meningkatkan efek morbiditas terhadap insisi
fasial, juga membutuhkan osteotomi dan plating, serta berisiko
menimbulkan fistula palatal.3,7

Gambar 5. (a) Rinotomi lateral (b) Midfacial degloving3

Pendekatan lateral (teknik subtemporal infratemporal preaurikular


atau teknik Fisch tipe C dan D) mudah dikombinasikan dengan
kraniotomi temporal sehingga menyediakan akses ke tumor-tumor di
fisura orbita superior dan tumor-tumor lateral ke sinus kavernosus.
Terjadinya insisi fasial juga dapat dihindari. Teknik ini dilaporkan
memberikan angka pembersihan tumor yang baik (80%) dan rerata
rekurensi yang rendah (6%). Pendekatan lateral terkadang perlu

18
dikombinasi bersamaan dengan pendekatan endoskopi untuk membuang
bagian-bagian medial dari tumor.4,14
Kombinasi dari beberapa pendekatan dilakukan bergantung pada
ukuran dan perluasan tumor. Kombinasi dapat berupa pendekatan trans-
palatal sublabial (yang cocok untuk tumor-tumor yang meluas ke
pterigoid dan fossa infratemporal), kombinasi pendekatan trans-palatal
dan rinotomi lateral (diindikasikan untuk tumor-tumor yang lebih besar,
angiofibroma nasofaring yang rekuren, atau pada kasus-kasus dimana
perlengketan dan perluasan tumor tidak dapat ditentukan sebelumnya),
pendekatan triple Hiranandani (pada teknik ini, pendekatan trans-palatal
dan rinotomi lateral dikombinasikan dengan caldwel luc), serta kombinasi
midfacial degloving dan pendekatan trans-maksilaris (mencakup
kombinasi pendekatan midfacial degloving dan maksilektomi medial).2,3

b. Pengobatan untuk angiofibroma nasofaring intrakranial


Pendekatan bedah untuk tumor sangat bergantung pada hubungannya dengan
sinus kavernosus. Tumor yang terletak lateral terhadap sinus kavernosus
paling baik dibedah melalui pendekatan dasar tengkorak lateral (pendekatan
subtemporal preaurikular atau pendekatan Fisch tipe D) dimana eksisi
sempurna dicapai pada 80% kasus. Tumor yang terletak medial terhadap sinus
kavernosus paling baik diakses melalui pendekatan transmaksilaris anterior.
Maxillary swing atau teknik translokasi fasial menyediakan paparan yang luas
dan memungkinkan diseksi metikulus tumor dari dura, sinus kavernosus dan
nervus optikus. Kraniotomi dapat dihindari pada tumor-tumor dengan derajat
ekstensi intrakranial yang rendah dan tidak berhubungan langsung dengan
sinus kavernosus. Akses ke tumor selanjutnya dapat diperoleh melalui
penyusuran tumor disepanjang rute penjalarannya, dimana hal ini dapat
dilakukan melalui pendekatan trans-nasal terbuka dengan akses luas yang
diperoleh melalui pendekatan maxillary swing.4,15

19
c. Radioterapi
Meskipun radiasi telah terbukti efektif dalam pengobatan angiofibroma
nasofaringnamun teknik ini tidak sepenuhnya sesuai untuk tumor-tumor jinak
pada pasien-pasien remaja. Komplikasi jangka panjang teknik radioterapi
meliputi terjadinya transformasi malignansi, karsinoma tiroid, sarkoma tulang
dan jaringan lunak, karsinoma sel basal, hipopituitarisme, katarak, atrofi
nervus optikus, osteoradionekrosis, osteomielitis dasar tengkorakdan retardasi
pertumbuhan fasial. Namun demikian radiasi dapat digunakan sebagai terapi
primer bagi tumor stadium lanjut, tumor-tumor yang tidak dapat dibedah, atau
tumor-tumor yang rekuren. Radiasi moderat sebesar 3000-3500 rads
dilaporkan dapat mengontrol progresivitas tumor sebesar 80%. Regresi tumor
melambat setelah beberapa bulandan sekitar 10-63% kasus yang diterapi
secara primer dengan radioterapi dapat tetap menunjukkan adanya massa pada
pemeriksaan radiologi. Tumor-tumor nonprogresif yang asimptomatis setelah
radioterapi tersebut biasanya tidak membutuhkan penanganan lebih lanjut.4,15

d. Pengobatan untuk angiofibroma nasofaring residual atau rekuren


Rekurensi merupakan gambaran yang mencolok dalam perjalanan klinis
angiofibroma nasofaring. Keterlibatan fossa infratemporal, sinus sfenoid,
dasar pterigoid, klivus, bagian medial dari sinus kavernosus, foramen
laserumdan fossa anterior telah dihubungkan dengan peningkatan risiko
rekurensi pada penyakit ini.4,15
Perhatian terhadap prinsip pembedahan seperti optimalisasi pra-
pembedahan, paparan visualisasi bedah yang adekuat, pengontrolan aliran
vaskulardan pembuangan tumor yang sistematis dapat meminimalkan kejadian
rekurensi. Evaluasi radiologi telah menunjukkan bahwa keterlibatan basis
sfenoid dan kanal pterigoid (kanal vidian) sering terjadidan perhatian khusus
pada area-area ini melalui penembusan dan pembuangan jaringan tumor di
area-area tersebut juga dapat meminimalkan kejadian rekurensi.
Direkomendasikan follow-up dengan endoskopi dan radiologi setiap 3-4 bulan
setelah pembedahan untuk memantau sisa atau rekurensi penyakit. Sisa atau
rekurensi penyakit yang kecil atau asimtomatis yang terdeteksi hanya melalui

20
pemeriksaan imaging tidak membutuhkan eksisi bedah terutama tumor-tumor
yang terbukti nonprogresif pada pemeriksaan imaging tersebut. Tumor-tumor
yang besar dan simtomatis atau tumor-tumor yang progresif pada pemeriksaan
imaging membutuhkan revisi bedah. Gamma knife treatment dan radioterapi
konvensional merupakan alternatif lain untuk sisa-sisa tumor intrakranial.4,15

2.9 Komplikasi dan prognosis


Sejauh ini rekurensi merupakan komplikasi angiofibroma nasofaring yang
umum terjadidan dilaporkan sekitar 25-40% kasus angiofibroma nasofaring dapat
mengalami rekurensi setelah satu tahun pembedahan. Rekurensi biasanya terjadi
pada tumor stadium lanjut atau akibat tindakan pembedahan yang tidak sempurna.
Selain itu faktor usia tampaknya berhubungan dengan risiko rekurensi dimana
semakin muda usia pasien menderita angiofibroma nasofaring maka semakin
besar kemungkinan mengalami rekurensi di masa yang akan datang.3,7
Dari sudut pandang pembedahan, kebanyakan rekurensi terjadi akibat
invasi tumor ke basis sfenoid. Semakin banyak tindakan eksplorasi terhadap
metikulus di daerah basis sfenoid maka semakin besar risiko terjadinya rekurensi
di kemudian hari. Oleh karena itu penting dilakukan tindakan penembusan ke
basis sfenoid untuk memastikan daerah disekitar tumor sudah bersih dan tidak
terdapat residu-residu tumor yang tertinggal di kanal pterigoid atau tulang
cancellous sfenoid.3,7
Selain rekurensi, juga telah dilaporkan beberapa komplikasi lainnya.
Tindakan bedah midfacial degloving dapat menimbulkan defisit nervus sensorius
infraorbital (stenosis vestibular nasal) serta krusta kronik di daerah nasal yang
dapat menimbulkan ozaena. Penggunaan nasal douching dengan cairan saline dan
penggunaan drop gliserin dapat mengurangi komplikasi ini. Semakin luas ekstensi
yang dilakukan maka semakin besar pula kemungkinan menimbulkan
permasalahan okular seperti oftalmoplegia dan gangguan penglihatan.3,7
Komplikasi lanjut yang dapat timbul akibat tindakan radioterapi cukup
jarang terjadi. Namun studi melaporkan sekitar 33% pasien dapat mengalami
retardasi pertumbuhan, panhipopituitarisme, nekrosis lobus temporal, katarak,
keratopati radiasi, serta keganasan tiroid dan nasofaring akibat tindakan

21
radioterapi. Oleh karena tingginya angka rekurensi maka monitoring melalui
pemeriksaan klinis dan radiologi sangat penting untuk dilakukan. Pasien
dinyatakan sembuh jika terbebas dari penyakit selama lima tahun setelah
pembedahan. Namun hal ini tidak berlaku untuk kasus-kasus angiofibroma
nasofaring rekuren. Pemeriksaan MRI serial dengan rentang waktu tertentu
sebaiknya dijadikan standar monitoring bagi pasien-pasien angiofibroma
nasofaring yang telah diterapi sebelumnya. Pemeriksaan CT-scan atau MRI
dengan kontras lebih dipilih dalam monitoring penyakit setelah pembedahan
daripada pemeriksaan endoskopi.7,14

III. LAPORAN KASUS


Pasien dengan inisial KN, wanita, usia 30 tahun, berasal dari Sumba NTT,
datang ke Poliklinik THT-KL RSUP Sanglah divisi onkologi pada tanggal 21
November 2016 karena dirujuk dari RS Wangaya dengan respiratory epithelial
adenohamartoma. Pasien mengeluhkan hidung tersumbat pada kedua sisi sejak 6
bulan sebelum masuk rumah sakit. Keluhan hidung tersumbat ini terkadang
disertai dengan keluarnya darah dari hidung yang telah dirasakan pasien muncul
sejak sekitar 1 tahun yang lalu. Darah yang keluar dari hidung terjadi berulang,
sekitar 1-2 kali per bulan, jumlah sedikit-sedikitdan dapat berhenti spontan. Sejak
1 bulan sebelum masuk rumah sakit pasien juga mengeluhkan benjolan di dalam
mulut yang dirasa semakin membesar sehingga pasien harus bernapas melalui
mulut. Pasien juga mengeluhkan adanya sakit kepala serta kedua telinga
berdengung. Pasien mengeluhkan penciuman yang terganggu dan perubahan suara
menjadi sengau. Keluhan mual muntah tidak ada. Keluhan bengkak pada leher
tidak ada. Riwayat batuk, pilek lama, bersin-bersin atau rasa dahak di tenggorok
disangkal. Riwayat terpapar debu, radiasi, atau zat iritatif disangkal. Keluhan pada
penglihatan juga disangkal. Riwayat menstruasi pasien teratur 1 kali sebulan.
Riwayat menggunakan kontrasepsi tidak ada. Tidak ada anggota keluarga yang
mengeluhkan hal serupa dengan pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran
komposmentis, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 76 kali/menit, pernapasan 16

22
kali/menit dan temperatur aksila 36,50C. Pada pemeriksaan mata, konjungtiva
tidak anemis.
Status lokalis THT-KL, pada pemeriksaan otoskopi tidak didapatkan
kelainan. Pada pemeriksaan hidung dengan rinoskopi anterior tampak massa padat
di kavum nasi dekstra dan sinistra, berwarna kemerahan, berdungkuldan mudah
berdarah. Konka dan mukosa disekitarnya sulit dievaluasi.

Gambar 6. Pemeriksaan rinoskopi anterior pada pasien

Pada pemeriksaan tenggorok tampak mukosa merah muda, arkus faring


simetris, uvula di tengah, palatum mole bombansdan tampak adanya massa padat
yang berwarna kemerahan di orofaring di belakang uvula. Pada pemeriksaan leher
tidak didapatkan adanya pembesaran kelenjar getah bening.

Gambar 7. Pemeriksaan tenggorok pada pasien

Pasien telah menjalani pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan CT-


scan, foto thoraksdan pemeriksaan biopsi kavum nasi di rumah sakit sebelumnya.
Dari pemeriksaan CT-scan (7 November 2016) diperoleh hasil tampak massa

23
solid pada nasofaring dengan perluasan ke sinus sfenoid, etmoid, kavum nasi dan
sinus maksilaris kanan dan kiri dan tidak tampak adanya perluasan intrakranial.
Dari pemeriksaan foto thoraks (8 November 2016) didapatkan hasil jantung dan
paru kesan normal. Dari pemeriksaan biopsi kavum nasi (15 November 2016),
diperoleh hasil adanya respiratory epithelial adenohamartoma. Pada tanggal 28
November 2016 kembali dilakukan tindakan biopsi kavum nasi di RSUP Sanglah.
Dari hasil pemeriksaan biopsi ulangan didapatkan hasil inflammatory polip dan
tidak tampak adanya sel-sel ganas pada pemeriksaan biopsi orofaring.

Gambar 8. Pemeriksaan CT-scan pada pasien

Dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang tersebut


ditegakkan diagnosis kerja suspek tumor sinonasal desktra et sinistra dengan
diagnosis banding tumor nasofaring. Pada pasien direncanakan untuk dilakukan
tindakan midfacial degloving dekstra et sinistra dan ekstirpasi tumor nasofaring
melalui pendekatan trans-palatal. Dalam rangka persiapan tindakan operasi,
terhadap pasien dilakukan pemeriksaan laboratorium lengkap.
Pada pemeriksaan darah lengkap tanggal 5 Januari 2017 didapatkan hasil
leukosit 6,19x103/µL, hemoglobin 11,98 g/dl, hematokrit 36,40%, trombosit
189x103/µL. Pada pemeriksaan kimia darah didapatkan SGOT 16,9 U/L, SGPT
20,8 U/L, albumin 4,00 g/dl, BUN 6,8 mg/dl, kreatinin 0,53 g/dl, glukosa darah
sewaktu 162 mg/dl, natrium 136 mmol/L, kalium 4,0 mmol/L. Pada pemeriksaan
faal hemostasis didapatkan BT 2,00 menit, CT 10,00 menit, PPT 14,1 detik,

24
APTT 30,5 detik dan INR 1,13. Pasien juga dikonsulkan ke bagian Ilmu Penyakit
Dalam dan bagian Anestesiologi dan Reanimasi untuk evaluasi sebelum dilakukan
tindakan operasi. Dari hasil konsultasi tidak didapatkan adanya kontraindikasi
untuk dilakukan tindakan.
Pada tanggal 9 Januari 2017 dilakukan tindakan midfacial degloving
dekstra et sinistra dan ekstirpasi tumor nasofaring melalui pendekatan trans-
palatal dengan anestesi umum. Dari midfacial degloving dekstra et sinistra
ditemukan massa tumor di kavum nasi dekstra et sinistra dan sinus maksila
dekstra et sinistra. Kemudian dilanjutkan insisi trans-palatal dan teraba massa
tumor berkapsul, yang lalu dibebaskan secara tumpul, kemudian jaringan tumor
dikirimkan ke laboratorium Patologi Anatomi untuk pemeriksaan histopatologi.
Dilakukan kontrol perdarahan dengan pemasangan tampon sinus dan tampon
Bellocq. Kemudian dilakukan penjahitan pada palatum dan gingivolabial. Pasca
operasi pasien mendapat terapi medikamentosa berupa seftriakson 1 gram per 12
jam intravena dan fentanil drip sesuai dengan sejawat anastesiologi yang
diberikan selama 3 hari.

Gambar 9. (a) Tindakan operasi (b) Massa tumor yang telah diekstirpasi

Tanggal 12 Januari 2017 dilakukan evaluasi dan aff tampon sinus dan
tampon Bellocq. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, didapatkan keadaan kavum
nasi lapang dan tidak ada perdarahan aktif. Pada pemeriksaan tenggorok, tidak
ada rembesan darah aktif di dinding belakang faring. Keadaan luka operasi baik,
tidak ada tanda-tanda infeksi. Nyeri pada luka operasi masih ada. Pasien
diperbolehkan pulang dari rumah sakit dan diberikan terapi per oral berupa tablet
sefiksim 100 mg setiap 12 jam dan tablet parasetamol 500 mg setiap 8 jam. Pasien
dianjurkan untuk kontrol ke Poliklinik THT-KL.

25
Gambar 10. Keadaan luka operasi tiga hari setelah operasi

Pada tanggal 16 Januari 2017 pasien kontrol ke Poliklinik THT-KL.


Dilakukan evaluasi luka operasi dan didapatkan luka operasi baik tanpa tanda-
tanda infeksi. Keluhan nyeri pada luka operasi sudah berkurang. Terapi tetap
dilanjutkan. Pasien membawa hasil pemeriksaan histopatologi yaitu tampak
jaringan massa tumor yang sebagian dilapisi epitel permukaan respiratorius yang
terdiri dari pembuluh darah dan stroma fibrous. Pembuluh darah tampak dengan
berbagai bentuk dan ukuran, dilapisi sel endotel yang pipih sebagian plump,
stroma disekitarnya sebagian tampak tersusun longgar, sebagian tampak
edemadan sebagian mengalami kolagenisasi. Tampak pula area perdarahan.
Dengan kesimpulan suatu angiofibroma nasofaring. Dengan adanya hasil
pemeriksaan histopatologi ini dan pemeriksaan CT-scan sebelumnya
mempertegas diagnosis pasien menjadi angiofibroma nasofaring stadium 1b.

Gambar 11. Pemeriksaan histopatologi pada pasien

Pada tanggal 23 Januari 2017 pasien kontrol kembali ke Poliklinik THT-


KL. Keluhan nyeri pada luka operasi sudah tidak ada. Keadaan luka operasi baik
tanpa tanda-tanda infeksi. Pengobatan dihentikan.
Pada tanggal 30 Januari 2017 pasien kontrol kembali ke Poliklinik THT-
KL. Keluhan nyeri pada luka operasi tidak ada. Keadaan luka operasi baik.

26
Kepada pasien lalu diberi edukasi mengenai penyakitnya, kemungkinan
kekambuhan, serta anjuran untuk rutin datang kontrol setiap tiga bulan.

Gambar 12. Keadaan pasien setelah tiga minggu pasca operasi

IV. PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini dilaporkan suatu kasus angiofibroma nasofaring
pada seorang wanita dewasa berusia 30 tahun. Hal ini jarang terjadi dan sedikit
berbeda dari kebanyakan literatur yang menyatakan bahwa angiofibroma
nasofaring terbatas pada pria usia pre-pubertas atau peri-pubertas dan jarang
terjadi sebelum usia 8 tahun ataupun setelah usia 25 tahun. Adanya predileksi
remaja pria pada insidensi angiofibroma nasofaring menyiratkan terdapat
hubungan penyakit ini dengan hormon seks. Teori hormonal menyatakan bahwa
kadar estrogen yang tinggi melindungi wanita dari kejadian angiofibroma
nasofaring. Hal inilah yang menjelaskan adanya predominansi pria dan kecilnya
insidensi pada wanita. Namun Peric et al melaporkan adanya kasus-kasus
angiofibroma nasofaring yang dijumpai pada wanita setelah usia menopause, hal
ini dihubungkan dengan alasan bahwa tumor mengalami regresi alami sepanjang
hidup wanita ketika terdapat produksi estrogen yang tinggi namun ketika terjadi
proliferasi pasca menopause akan terjadi penurunan efek hormon estrogen
sehingga tumor dapat berkembang. Namun demikian, penelitian oleh Peloquin et
al melaporkan kejadian angiofibroma nasofaring pada wanita hamil yang
kenyataannya pada saat hamil terdapat kadar estrogen dan progesteron yang
sangat tinggi di serum. Hal ini menunjukkan bahwa kemungkinan terdapat faktor-
faktor lain yang turut berkontribusi dalam etiopatogenesis angiofibroma
nasofaring seperti faktor kongenital dan faktor inflamasi. Hal ini dibuktikan dari
pemeriksaan histopatologi yang dilakukan oleh Peloquin et al yang menunjukkan

27
bahwa jaringan angiofibroma nasofaring secara nyata terinfiltrasi oleh stroma
yang mengalami edema dan terdapat banyak vasodilatasi. Selain faktor tersebut,
pada penelitian-penelitian sebelumnya telah dilaporkan bahwa reseptor-reseptor
faktor pertumbuhan seperti VEGF dan TGF-β dijumpai pada jaringan tumor
angiofibroma nasofaring pada wanita.9-11,14 Pada kasus ini, pasien bukanlah
kelompok wanita menopause, pasien juga memiliki riwayat menstruasi yang
teratur, serta tidak memiliki anggota keluarga dengan keluhan serupa, sehingga
dipikirkan faktor inflamasilah yang mendasari terjadinya angiofibroma
nasofaring. Hal ini tergambarkan dari hasil pemeriksaan histopatologi yang
menunjukkan adanya proses inflamasi yang ditandai oleh gambaran sebagian
stroma disekitar tumor yang edema. Untuk membuktikan pengaruh faktor
pertumbuhan angiogenik (VEGF dan TGF-β) disarankan untuk dilakukannya
pemeriksaan imunohistokimia.
Keluhan utama pada pasien ini yaitu hidung tersumbat dan epistaksis.
Selain itu pasien juga mengeluhkan adanya benjolan di dalam mulut, sakit kepala,
kedua telinga berdengung, gangguan penciumandan suara menjadi sengau. Hal ini
sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa dua tanda kardinal
angiofibroma nasofaring adalah obstruksi hidung dan epistaksis intermiten.
Gambaran klinis bervariasi berdasarkan luasnya penyakit. Gambaran klinis lain
yang juga dapat muncul yaitu hiposmia atau anosmia akibat obstruksi regio
olfaktorius, suara sengau jika tumor membesar ke dalam palatum mole, otalgia
akibat terbloknya orifisium tuba eustasius, sakit kepala akibat perluasan
intrakranial atau perluasan ke sinus paranasal, pembengkakan pipi, proptosis,
gangguan penglihatan, hingga snoring dan gejala obstructive sleep apnea.3,4,7
Dari pemeriksaan rinoskopi anterior pada pasien ini tampak massa padat
di kavum nasi dekstra dan sinistra, berwarna kemerahan, berdungkuldan mudah
berdarah. Pada pemeriksaan tenggorok tampak palatum mole bombans dan
tampak adanya massa padat yang berwarna kemerahan di orofaring di belakang
uvula. Hal ini sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa pemeriksaan
rinoskopi anterior dapat menunjukkan adanya gambaran sekresi nasal yang
purulen dan banyak, bersamaan dengan septum nasal yang membengkok ke sisi
yang sehat. Posisi palatum mole sering berubah menjadi inferior dikarenakan

28
pembesaran tumor yang mengisi ruang nasofaring. Rinoskopi anterior dan
posterior dapat menunjukkan adanya massa berwarna merah atau merah muda
yang mengisi rongga nasofaring. Dikarenakan ukuran lesi yang besar, terkadang
sulit untuk menentukan asal lokasi tumor yang tepat.3,7
Hasil pemeriksaan CT-scan pada pasien ini menunjukkan massa solid pada
nasofaring dengan perluasan ke sinus sfenoid, etmoid, kavum nasi dan sinus
maksilaris kanan dan kiri, tanpa adanya perluasan intrakranial. Hal ini sesuai
dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa pemeriksaan radiologi dan imaging
berperan penting tidak hanya untuk penegakan diagnosis tetapi juga untuk menilai
penjalaran massa. Gambaran klasik radiologi angiofibroma nasofaring berupa
pembengkokan dinding maksilaris posterior ke arah anterior atau yang dikenal
dengan “Holmann Miller sign”. Gambaran radiologi klasik lainnya berupa
perluasan massa dari yang berpangkal pada foramen sfenopalatina ke fossa
pterigopalatina, sinus sfenoid dan fossa infratemporaldan setelah injeksi intravena
massa menunjukkan suatu gambaran hipervaskularisasi. Berdasarkan gambaran
CT-scan ini pula, ditentukan staging tumor pada pasien menurut sistem staging
Radkowski menjadi stadium 1b.3,14
Penatalaksanaan yang dipilih pada kasus ini adalah tindakan midfacial
degloving dekstra et sinistra dan ekstirpasi tumor nasofaring melalui pendekatan
trans-palatal. Pada kasus ini dari gambaran CT-scan diketahui bahwa stadium
tumor adalah 1b. Oleh karena itu dipilih tindakan midfacial degloving yang
dikombinasikan dengan pendekatan trans-palatal. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyatakan bahwa kombinasi dari beberapa pendekatan bedah
dilakukan bergantung pada ukuran dan perluasan tumor. Pendekatan midfacial
degloving menyediakan paparan yang baik terhadap antrum maksilaris, hidung,
fossa pterigopalatina dan fossa infratemporal. Tindakan midfacial degloving tidak
meninggalkan skar pada wajah karena dilakukannya insisi sublabial. Namun
tindakan midfacial degloving ini membutuhkan pembuangan tulang-tulang dari
dinding antrum maksilaris lateral, medial, anterior dan posterior yang luas bagi
tumor-tumor dengan keterlibatan sfenoid atau paparan dural. Pendekatan trans-
palatal cocok digunakan untuk tumor-tumor pada stadium awal yang terbatas pada
daerah nasofaring dan sekitarnya (stadium 1, 2a, 2b) Pendekatan trans-palatal

29
menyediakan akses ke nasofaring, sfenoid, foramen sfenopalatina dan nares
posterior. Tindakan ini juga tidak menimbulkan skar eksternal dan tidak
mempengaruhi pertumbuhan tulang fasialnamun timbulnya fistula oronasal
merupakan efek samping yang sering dilaporkan.3,4
Hasil pemeriksaan histopatologi dari jaringan tumor yang telah
diekstirpasi pada kasus ini yaitu tampak jaringan massa tumor yang sebagian
dilapisi epitel permukaan respiratorius yang terdiri dari pembuluh darah dan
stroma fibrous. Pembuluh darah tampak dengan berbagai bentuk dan ukuran,
dilapisi sel endotel yang pipih sebagian plump, stroma disekitarnya sebagian
tampak tersusun longgar, sebagian tampak edemadan sebagian mengalami
kolagenisasi. Tampak pula area perdarahan. Hasil pemeriksaan histopatologis ini
mendukung diagnosis angiofibroma nasofaring. Hal ini sesuai dengan
kepustakaan yang menyatakan bahwa secara mikroskopis, angiofibroma
nasofaring selalu tersusun atas pembuluh darah dan stroma fibrosa. Pembuluh
darah tumor bersifat ireguler, dibatasi oleh kelompok-kelompok sel endotelialdan
khasnya hanya memiliki sedikit otot halus dan serat elastis, sehingga pada tumor
sering terjadi perdarahan yang terus-menerus. Bagian stroma fibrosa tumor
berbentuk kumparan dengan banyak mengandung jaringan ikat, tersusun oleh sel-
sel padat yang berbentuk seperti gelendong atau bintangdan mengandung kolagen
dengan jumlah yang bervariasi. Gambaran histopatologi pasien ini juga
menunjukkan adanya gambaran edematosa pada beberapa jaringan stroma,
sehingga mendukung pendapat bahwa salah satu penyebab timbulnya tumor pada
pasien ini karena faktor inflamasi.2,7
Edukasi penting diberikan kepada pasien-pasien angiofibroma nasofaring.
Rekurensi dan komplikasi akibat tindakan pembedahan yang tidak sempurna
sejauh ini merupakan komplikasi angiofibroma nasofaring yang umum terjadi.
Perhatian terhadap prinsip pembedahan seperti optimalisasi pra-pembedahan,
paparan visualisasi bedah yang adekuat, pengontrolan aliran vaskulardan
pembuangan tumor yang sistematis dapat meminimalkan kejadian rekurensi.
Anjuran follow-up dengan endoskopi dan radiologi setiap 3-4 bulan setelah
pembedahan untuk memantau sisa atau rekurensi penyakit perlu diberikan kepada

30
pasien. Pemeriksaan CT-scan atau MRI dengan kontras lebih dipilih dalam
monitoring penyakit setelah pembedahan daripada pemeriksaan endoskopi.2,4,17,14

V. KESIMPULAN
Telah dilaporkan suatu kasus angiofibroma nasofaring stadium 1b pada
seorang wanita dewasa yang telah ditangani dengan baik melalui tindakan
midfacial degloving dekstra et sinistra dan ekstirpasi tumor nasofaring melalui
pendekatan trans-palatal. Angiofibroma nasofaring merupakan penyakit yang
jarang ditemukan, terutama pada wanita dan usia dewasa. Faktor hormonal, faktor
pertumbuhan angiogenik, faktor kongenital, faktor inflamasi, maupun faktor
malformasi vaskular merupakan faktor-faktor yang dikemukakan berkaitan
dengan patogenesis angiofibroma nasofaring pada wanita. Dikarenakan insidensi
angiofibroma nasofaring pada wanita sangatlah jarang terjadi sehingga beberapa
ahli menyarankan perlunya evaluasi terhadap abnormalitas endokrin atau kadar
androgen serum jika angiofibroma nasofaring terjadi pada seorang wanita.
Pembedahan tetap merupakan modalitas penatalaksanaan utama bagi
angiofibroma nasofaring. Prognosis penyakit ini umumnya baik jika cepat
terdeteksi dan tidak menjalar ke intrakranial.3,4,8

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Rahman S, Budiman BJ, Azani S. Angiofibroma nasofaring pada dewasa.


Bagian THT-KL FK Universitas Andalas. 2012:1-7.
2. Rahman S, Budiman BJ, Azani S. Angiofibroma nasofaring pada dewasa.
Bagian THT-KL FK Universitas Andalas. 2012:1-7.
3. Balasubramanian T. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma an overview.
Otolaryngology online. 1-20.
4. Thakar A, Hota A, Pookamala S. Nasopharyngeal angiofibroma. The
otorhinolaryngologist. 2013; 6(1):25-34.
5. Khan H, Qureshi S, Siddiqui AH, Rafi SMT. Retrospective study of 356
cases of nasopharyngeal angiofibroma reported at Jinnah Postgraduate
Medical centre Krachi. Pak J Surg. 2014; 30(4):331-35.
6. Tang IP, Shashinder S, Krishnan G, Narayanan P. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma in a tertiary centre. Singapore med J. 2009; 50(3):261-64.
7. Gleeson M. Juvenile angiofibroma. Head and neck tumors. 2010;187:2437-
43.
8. Sarafoleanu C, Enache R, Sabaru J. Unusual case of nasopharyngeal
angiofibroma in adult male pastient. Romanian journal of rhinology. 2011;
1(4):218-20.
9. Peric A, Baletic N, Cerovic S, Durdevic BV. Middle turbinate angiofibroma
in an elderly woman. Vojnosanitetski pregled. 2009; 66(7):583-86.
10. Peloquin L, Klossek JM, Brusa FB, Gougeon JM, Toffel PH, Fontanel JP. A
rare case of nasopharyngeal angiofibroma in a pregnant woman.
Otolaryngology head and neck surgery. 1997; 117(6):111-14.
11. Patrocinio JA, Borba BHC, Bonatti BDS, Guimaraes AHB. Nasopharyngeal
angiofibroma in an elderly woman. American journal of otolaryngology head
and neck medicine and surgery. 2005; 26:198-200.
12. Osborn DA, Path FC, Sokolovski A. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma
in a female. Arch otolaryng. 1965; 82:629-32.
13. Finerman WB. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma in the female. Stanford
univ med center. 2003:620-23.

32
14. Ardehali MM, Ghorbani J. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma, new
aspects in management. Iranian journal of otorhinolaryngology. 2011;
23(3):61-8.
15. Valkov A, Duhlenski B, tsvetanova K. Modern approach to juvenile
nasopharyngeal angiofibroma: a literature review. International journal of
science and research. 201; 5(10):1556-71.
16. Gaillard AL, Anastacio VM, Piatto VB, Maniglia JV, Molina FD. A seven
year experience with patients with juvenile nasopharyngeal angiofibroma.
Braz J Otorhinolaryngol. 2010; 76(2):245-50.
17. Pham V, Mukerji S, Quinn FB. Juvenile nasopharyngeal angiofibroma:
evaluation and treatment. UTMB health. 2010:1-10.
18. Alimli AG, Oztunali C, Akkan K, Boyunaga O. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: magnetic resonance imging findings. Journal of the Belgian
society of radiology. 2016; 100(1):1-8.
19. Boghani Z, Husain Q, Kanumur V. Nasopharyngeal angiofibroma: a
systematic review and comparison of endoscopic, endoscopic-assisted, and
open resection in 1047 cases. The laryngoscope. 2013; 123:859-69.
20. Szymanska A, Szymanski M, Morshed K, Chehab EC. Extranasopharyngeal
angiofibroma: clinical and radiological presentation. Eur arch
otorhinolaryngol. 2013; 270:655-60.
21. Hamdan AL, Mourkarbel RV, Kattan M, Natout M. Angiofibroma of the
nasal septum. MEJ Anesth. 2012; 21(4):653-56.
22. Lee BH. Parapharyngeal angiofibroma: a case report. Iran J Radiol. 2015;
12(3):353-55.
23. Mattei TA, Nogueira GFN, Ramina R. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma with intracranial extension. Otolaryngology head and neck
surgery. 2011; 145(3):498-504.
24. Hodges JM, McDevitt AS, Ali AI, Sebelik ME. Juvenile nasopharyngeal
angiofibroma: current treatment modalities and future considerations. Indian
J Otolaryngol Head Neck Surg. 2010; 62(3):236-47.

33

Anda mungkin juga menyukai