Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang susunan


saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan oleh Clostridium
Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam tubuh melalui luka,
gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan dan pemotongan tali pusat.
Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan menghasilkan eksotoksin antara lain
tetanospasmin yang secara umum menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.

Sampai saat ini tetanus masih merupakan masalah kesehatan masyarakat


signifi kan di negara berkembang karena akses program imunisasi yang buruk, juga
penatalaksana-an tetanus modern membutuhkan fasilitas intensive care unit (ICU) yang
jarang tersedia di sebagian besar populasi penderita tetanus berat.1 Di negara
berkembang, mortalitas tetanus melebihi 50% dengan perkiraan jumlah kematian
800.000-1.000.000 orang per tahun, sebagian besar pada neonatus.2,3 Kematian tetanus
neonatus diperkirakan sebesar 248.000 kematian per tahun.1 Di bagian Neurologi RS
Hasan Sadikin Bandung, dilaporkan 156 kasus tetanus pada tahun 1999-2000 dengan
mortalitas 35,2%. Pada sebuah penelitian retrospektif tahun 2003-Oktober 2004 di RS
Sanglah didapatkan 54 kasus tetanus dengan mortalitas 47%.4

Tetanus adalah penyakit yang dapat dicegah. Implementasi imunisasi tetanus


global telah menjadi target WHO sejak tahun 1974. Sayang imunitas terhadap tetanus
tidak berlangsung seumur hidup dan dibutuhkan injeksi booster jika seseorang mengalami
luka yang rentan terinfeksi tetanus. Akses program imunisasi yang buruk dilaporkan
menyebabkan tingginya prevalensi penyakit ini di negara sedang berkembang.3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Tetanus adalah penyakit infeksi akut di-sebabkan eksotoksin yang dihasilkan


oleh Clostridium tetani, ditandai dengan peningkatan kekakuan umum dan kejang-
kejang otot rangka.4

B. Epidemiologi

Pada negara berkembang, penyakit tetanus masih merupakan masalah


kesehatan publik yang sangat besar. Dilaporkan terdapat 1 juta kasus per tahun di
seluruh dunia, dengan angka kejadian 18/100.000 penduduk per tahun serta angka
kematian 300.000- 500.000 per tahun.

Mortalitas dari penyakit tetanus melebihi 50 % di negara berkembang, dengan


penyebab kematian terbanyak karena mengalami kegagalan pernapasan akut.

Angka mortalitas menurun karena perbaikan sarana intensif (ICU dan


ventilator), membuktikan bahwa penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ahli sangat
berguna dalam efektivitas penanganan penyakit tetanus.

Penelitian oleh Thwaites et al pada tahun 2006 mengemukakan bahwa Case


Fatality Rate (CFR) dari pasien tetanus berkisar antara 12-53%.

Penyebab kematian pasien tetanus terbanyak adalah masalah semakin


buruknya sistem kardiovaskuler paska tetanus ( 40%), pneumonia (15%), dan
kegagalan pernapasan akut (45%). Health Care Associated Pneumonia (HCAP) dalam
beberapa penelitian dihubungkan dengan posisi saat berbaring. Tetapi, penelitian
terbaru oleh Huynh et al (2011), posisi semi terlentang atau terlentang tidak memberi
perbedaan yang bermakna terhadap terjadinya pneumonia pada pasien tetanus. Angka
mortalitas penyakit tetanus di negara maju cukup tinggi bagi kelompok yang
mempunyai risiko tinggi terhadap kematian akibat penyakit ini. Infark miokard
menjadi konsekuensi dari disfungsi saraf otonom dan berperan besar terhadap angka
mortalitas penyakit tetanus di populasi usia lanjut.

C. Etiologi

Clostridium tetani adalah bakteri Gram positif anaerob yang ditemukan di

tanah dan kotoran binatang. Bakteri ini berbentuk batang dan memproduksi spora,

memberikan gambaran klasik seperti stik drum, meski tidak selalu terlihat. Spora ini

bisa tahan beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Clostridium tetani merupakan

bakteri yang motil karena memiliki flagella, dimana menurut antigen flagellanya,

dibagi menjadi 11 strain dan memproduksi neurotoksin yang sama. Spora yang

diproduksi oleh bakteri ini tahan terhadap banyak agen desinfektan baik agen fisik

maupun agen kimia. Spora Clostridium tetani dapat bertahan dari air mendidih selama

beberapa menit (meski hancur dengan autoclave pada suhu 121° C selama 15-20

menit). Jika bakteri ini menginfeksi luka seseorang atau bersamaan dengan benda

lain, bakteri ini akan memasuki tubuh penderita tersebut, lalu mengeluarkan toksin

yang bernama tetanospasmin.


D. Patofisiologi

Tetanus disebabkan oleh eksotoksin Clostridium tetani, bakteri bersifat obligat


anaerob. Bakteri ini terdapat di mana-mana, mampu bertahan di berbagai lingkungan
ekstrim dalam periode lama karena sporanya sangat kuat. Clostridium tetani telah
diisolasi dari tanah, debu jalan, feses manusia dan binatang. Bakteri tersebut biasanya
memasuki tubuh setelah kontaminasi pada abrasi kulit, luka tusuk minor, atau ujung
potongan umbilikus pada neonatus; pada 20% kasus, mungkin tidak ditemukan
tempat masuknya. Bakteri juga dapat masuk melalui ulkus kulit, abses, gangren, luka
bakar, infeksi gigi, tindik telinga, injeksi atau setelah pembedahan abdominal/pelvis,
persalinan dan aborsi. Jika organisme ini berada pada lingkungan anaerob yang sesuai
untuk pertumbuhan sporanya, akan berkembang biak dan menghasilkan toksin
tetanospasmin dan tetanolysin. Tetanospasmin adalah neurotoksin poten yang
bertanggungjawab terhadap manifestasi klinis tetanus, sedang-kan tetanolysin sedikit
memiliki efek klinis.1-3
Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke
susunan saraf pusat: (1) Toksin diabsorpsi di neuro-muscular junction, kemudian
bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui
pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Masih belum jelas mana yang lebih
penting, mungkin keduanya terlibat.4

Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction


lebih memilih menyebar melalui saraf motorik, selanjutnya secara transinaptik ke
saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd
menuju sistem saraf pusat.1,3 Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent
endopeptidase memecah vesicle-associated membrane protein II (VAMP II atau
synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk
pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pe-mecahan ini mengganggu transmisi
sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan
γ-amino butyric acid (GABA). Pada saat interneuron menghambat motor neuron
alpha juga terkena pengaruhnya, terjadi kegagalan menghambat refl eks motorik
sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan
tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal
ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur
axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin
akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas
otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom, aktivitas simpatis yang berlebihan
dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neu-ronal toksin sifatnya irreversibel,
pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga
memanjangkan durasi penyakit ini.1,3

E. Gejala Klinis
Periode inkubasi tetanus antara 3-21 hari (rata-rata 7 hari). Pada 80-90%
penderita, gejala muncul 1-2 minggu setelah ter-infeksi.3 Selang waktu sejak
munculnya gejala pertama sampai terjadinya spasme pertama disebut periode onset.
Periode onset maupun periode inkubasi secara signifi kan menentukan prognosis.
Makin singkat (periode onset <48 jam dan periode inkubasi <7 hari) menunjukkan
makin berat penyakitnya.1

Tetanus memiliki gambaran klinis dengan ciri khas trias rigiditas otot, spasme
otot, dan ketidakstabilan otonom. Gejala awalnya meliputi kekakuan otot, lebih
dahulu pada kelompok otot dengan jalur neuronal pendek, karena itu yang tampak
pada lebih dari 90% kasus saat masuk rumah sakit adalah trismus, kaku leher, dan
nyeri punggung. Keterlibatan otot-otot wajah dan faringeal menimbulkan ciri khas
risus sardonicus, sakit tenggorokan, dan disfagia. Peningkatan tonus otot-otot trunkal
mengakibatkan opistotonus. Kelompok otot yang berdekatan dengan tempat infeksi
sering terlibat, menghasilkan penampakan tidak simetris.1,3,6,7

Spasme otot muncul spontan, juga dapat diprovokasi oleh stimulus fi sik,
visual, auditori, atau emosional. Spasme otot menimbulkan nyeri dan dapat
menyebabkan ruptur tendon, dislokasi sendi serta patah tulang. Spasme laring dapat
terjadi segera, mengakibatkan obstruksi saluran nafas atas akut dan respira-tory
arrest. Pernapasan juga dapat terpengaruh akibat spasme yang melibatkan otot-otot
dada; selama spasme yang memanjang, dapat terjadi hipoventilasi berat dan apnea
yang mengancam nyawa.3,6 Tanpa fasilitas ventilasi mekanik, gagal nafas akibat
spasme otot adalah penyebab kematian paling sering. Hipoksia biasanya terjadi pada
tetanus akibat spasme atau kesulitan membersihkan sekresi bronkial yang berlebihan
dan aspirasi. Spasme otot paling berat terjadi selama minggu pertama dan kedua, dan
dapat berlangsung selama 3 sampai 4 minggu, setelah itu rigiditas masih terjadi
sampai beberapa minggu lagi.1

Tetanus berat berkaitan dengan hiperkinesia sirkulasi, terutama bila spasme


otot tidak terkontrol baik. Gangguan otonom biasanya mulai beberapa hari setelah
spasme dan berlangsung 1-2 minggu. Meningkatnya tonus simpatis biasanya dominan
menyebabkan periode vasokonstriksi, takikardia dan hiper-tensi. Autonomic storm
berkaitan dengan peningkatan kadar katekolamin. Keadaan ini silih berganti dengan
episode hipotensi, bradikardia dan asistole yang tiba-tiba. Gambaran gangguan
otonom lain meliputi salivasi, berkeringat, meningkatnya sekresi bronkus,
hiperpireksia, stasis lambung dan ileus.1,3

Pada keadaan berat dapat timbul berbagai komplikasi. Intensitas spasme


paroksismal kadang cukup untuk mengakibatkan ruptur otot spontan dan hematoma
intramuskular. Fraktur kompresi atau subluksasi vertebra dapat terjadi, biasanya pada
vertebra-thorakalis.5 Gagal ginjal akut merupakan komplikasi tetanus yang dapat
dikenali akibat dehidrasi, rhabdomiolisis karena spasme, dan gangguan otonom.
Komplikasi lain meliputi atelektasis, penumonia aspirasi, ulkus peptikum, retensi
urine, infeksi traktus urinarius, ulkus dekubitus, thrombosis vena, dan
thromboemboli.1

F. Klasifikasi
1. Tetanus Umum
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering dijumpai.
Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan jalan masuk kuman.5 Biasanya
dimulai dengan trismus dan risus sardonikus, lalu berproses ke spasme umum dan
opistotonus. Dalam 24 – 48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai
ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan mulut
sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut lock jaw. Selain kekakuan otot
masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka sehingga muka menyerupai
muka meringis kesakitan yang disebut risus sardonikus (alis tertarik ke atas, sudut
mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat
kekakuan otot–otot leher bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan
fleksi leher dan tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai
opisthotonus. Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik
baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan, sinar dan
bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta tangan mengepal
kuat dan kaki dalam posisi ekstensi. Kesadaran penderita tetap baik walaupun
nyeri yang hebat serta ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak
gelisah dan mudah terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat
menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine sering
terjadi karena spasme sfincter kandung kemih. Kenaikan temperatur badan
umumnya tidak tinggi tetapi dapat disertai panas yang tinggi sehingga harus hati–
hati terhadap komplikasi atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat
pengatur suhu tubuh. Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis
berupa takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan
aritmia jantung.

2. Tetanus Lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan karena
gambaran klinis tidak khas. Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot
pada bagian proksimal dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan
dengan angka kematian 1%, kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang
menjadi tetanus umum.

3. Cephalic Tetanus
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, otitis media kronis dan jarang
akibat tonsilektomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain n. III, IV,
VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan. Cephalic Tetanus dapat
berkembang menjadi tetanus umum. Pada umumnya prognosis bentuk cephalic
tetanus jelek.
4. Tetanus Neonatal
Tetanus neonatal didefinisikan sebagai suatu penyakit yang terjadi pada anak yang
memiliki kemampuan normal untuk menyusu dan menangis pada 2 hari pertama
kehidupannya, tetapi kehilangan kemampuan ini antara hari ke-3 sampai hari ke-
28 serta menjadi kaku dan spasme. Tetanus neonatal, biasa terjadi karena proses
melahirkan yang tidak bersih. Gejala klinisnya biasa terjadi pada minggu kedua
kehidupan, ditandai dengan kelemahan dan ketidakmampuan menyusu, kadang
disertai opistotonus.

G. Diagnosis
Diagnosis tetanus adalah murni diagnosis klinis berdasarkan riwayat penyakit
dan temuan saat pemeriksaan. Pada pemeriksaan fi sik dapat dilakukan uji spatula,
dilakukan dengan menyentuh dinding posterior faring menggunakan alat dengan
ujung yang lembut dan steril. Hasil tes positif jika terjadi kontraksi rahang involunter
(meng-gigit spatula) dan hasil negatif berupa refleks muntah. Laporan singkat The
American Journal of Tropical Medicine and Hygiene menyatakan bahwa uji spatula
memiliki spesifisitas tinggi (tidak ada hasil positif palsu) dan sensitivitas tinggi (94%
pasien terinfeksi menunjukkan hasil positif ). Pemeriksaan darah dan cairan
cerebrospinal biasanya normal. Kultur C. tetani dari luka sangat sulit (hanya 30%
positif ), dan hasil kultur positif mendukung diagnosis, bukan konfi rmasi.4

Beberapa keadaan yang dapat disingkir-kan dengan pemeriksaan cermat


adalah meningitis, perdarahan subarachnoid, infeksi orofacial serta arthralgia
temporomandibular yang menyebabkan trismus, keracunan strychnine, tetani
hipokalsemia, histeri, encefalitis, terapi phenotiazine, serum sickness, epilepsi dan
rabies.4

H. Diagnosis Banding
1. Meningitis bacterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya menurun.
Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di mana adanya kelainan
cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel meningkat, kadar protein meningkat dan
glukosa menurun.
2. Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio diisolasi
dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.

3. Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus jarang
ditemukan, kejang bersifat klonik.

4. Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.

5. Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.

6. Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.

7. Efek samping fenotiasin


Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom ekstrapiramidal.
Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot.

8. Kaku kuduk juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris atas, miositis
leher dan spondilitis leher.

I. Penatalaksanaan
Ada tiga sasaran penatalaksanaan tetanus, yakni:
1. Membuang sumber tetanospasmin;
2. Menetralisasi toksin yang tidak terikat;
3. perawatan penunjang (suportif ) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan
jaringan telah habis dimetabolisme.4,5,7-14

Berikut penjelasannya :
1. Membuang Sumber Tetanospasmin
a. Luka harus dibersihkan secara menyeluruh dan didebridement untuk
mengurangi muatan bakteri dan mencegah pelepasan toksin lebih lanjut.1,3,5
b. Antibiotika diberikan untuk mengeradikasi bakteri, sedangkan efek untuk
tujuan pencegahan tetanus secara klinis adalah minimal. Pada pe-nelitian di
Indonesia, metronidazole telah menjadi terapi pilihan di beberapa pelayanan
kesehatan. Metronidazole diberikan secara iv dengan dosis inisial 15 mg/kgBB
dilanjutkan dosis 30 mg/kgBB/hari setiap 6 jam selama 7-10 hari.
Metronidazole efektif mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif.
Sebagai lini kedua dapat diberikan penicillin procain 50.000-100.000
U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika hipersensitif terhadap penicillin dapat
diberi tetracycline 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun).
Penicillin membunuh bentuk vegetatif C. tetani. Sampai saat ini, pemberian
penicillin G 100.000 U/kgBB/hari iv, setiap 6 jam selama 10 hari
direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan
bahwa penicillin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin
dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).3-5,12

2. Netralisasi toksin yang tidak terikat


Antitoksin harus diberikan untuk menetral-kan toksin-toksin yang belum
berikatan. Setelah evaluasi awal, human tetanus immunoglobulin (HTIG) segera
diinjeksikan intramuskuler dengan dosis total 3.000-10.000 unit, dibagi tiga dosis
yang sama dan diinjeksikan di tiga tempat berbeda. Tidak ada konsensus dosis
tepat HTIG. Rekomendasi British National Formulary adalah 5.000-10.000 unit
intravena. Untuk bayi, dosisnya adalah 500 IU intramuskular dosis tunggal.
Sebagian dosis diberikan secara infiltrasi di tempat sekitar luka; hanya dibutuhkan
sekali pengobatan karena waktu paruhnya 25-30 hari. Makin cepat pengobatan
diberikan, makin efektif.

Kontraindikasi HTIG adalah riwayat hipersensitivitas terhadap imunoglobulin


atau komponen human immunoglobulin sebelumnya; trombositopenia berat atau
keadaan koagulasi lain yang dapat merupakan kontraindikasi pemberian
intramuskular. Bila tidak tersedia maka digunakan ATS dengan dosis 100.000-
200.000 unit diberikan 50.000 unit intra-muskular dan 50.000 unit intravena pada
hari pertama, kemudian 60.000 unit dan 40.000 unit intramuskuler masing-masing
pada hari kedua dan ketiga.1,4,5 Setelah penderita sembuh, sebelum keluar rumah
sakit harus diberi immunisasi aktif dengan toksoid, karena seseorang yang sudah
sembuh dari tetanus tidak memiliki kekebalan.1,3,5

3. Pengobatan suportif
Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin
yang telah terikat habis. Semua pasien yang dicurigai tetanus sebaiknya ditangani
di ICU agar bisa diobservasi secara kontinu. Untuk meminimalkan risiko spasme
paroksismal yang dipresipitasi stimulus ekstrinsik, pasien sebaiknya dirawat di
ruangan gelap dan tenang.Pasien diposisikan agar mencegah pneumonia
aspirasi. Cairan intravena harus diberikan, pemeriksaan elektrolit serta analisis gas
darah penting sebagai penuntun terapi.5

Penanganan jalan napas merupakan prioritas. Spasme otot, spasme laring,


aspirasi, atau dosis besar sedatif semuanya dapat mengganggu respirasi. Sekresi
bronkus yang berlebihan memerlukan tindakan suctioning yang sering.1
Trakeostomi dituju-kan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus
dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.6 Kematian
akibat spasme laring mendadak, paralisis diafragma, dan kontraksi otot respirasi
tidak adekuat sering terjadi jika tidak tersedia akses ventilator.3

Spasme otot dan rigiditas diatasi secara efektif dengan sedasi. Pasien tersedasi
lebih sedikit dipengaruhi oleh stimulus perifer dan kecil kemungkinannya
mengalami spasme otot.5 Diazepam efektif mengatasi spasme dan hipertonisitas
tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang di-rekomendasikan adalah
0,1-0,3 mg/kgBB/ kali dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis, dosis yang
direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari oral dalam dosis 2-
3 mg setiap 3 jam. Spasme harus segera dihentikan dengan diazepam 5 mg per
rektal untuk berat badan <10 kg dan 10 mg per rektal untuk anak dengan berat
badan ≥10 kg, atau diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah
spasme berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai
keadaan klinis. Alternatif lain, untuk bayi (tetanus neonatorum) diberikan dosis
awitan 0,1-0,2 mg/kgBB iv untuk menghilangkan spasme akut, diikuti infus
tetesan tetap 15-40 mg/ kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis diazepam diturunkan
bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik. Dosis
maksimal adalah 40 mg/kgBB/hari. Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai
spasme spontan, badan masih kaku, kesadaran membaik (tidak koma), tidak
dijumpai gangguan pernapasan.1,10,13,14 Tambahan efek sedasi bisa didapat dari
barbiturate khusus-nya phenobarbital dan phenotiazine seperti chlorpromazine,
penggunaannya dapat menguntungkan pasien dengan gangguan otonom.1,3
Phenobarbital diberikan dengan dosis 120-200 mg intravena, dan diazepam dapat
ditambahkan terpisah dengan dosis sampai 120 mg/hari. Chlorpromazine di-
berikan setiap 4-8 jam dengan dosis dari 4-12 mg bagi bayi sampai 50-150 mg
bagi dewasa.5,10 Morphine bisa memiliki efek sama dan biasanya digunakan
sebagai tambahan sedasi benzodiazepine.

Jika spasme tidak cukup terkontrol dengan benzodiazepine, dapat dipilih


pelumpuh otot nondepolarisasi dengan intermittent positive-pressure ventilation
(IPPV). Tidak ada data perbandingan obat-obat pelumpuh otot pada tetanus,
rekomendasi didapatkan dari laporan kasus. Pancuronium harus dihindari karena
efek samping simpa-tomimetik.1 Atracurium dapat sebagai pilihan. Vecuronium
juga telah digunakan karena stabil pada jantung.3,10,14 Pasien tetanus berat sering
kali membutuhkan IPPV selama 2 hingga 3 minggu sampai spasme mereda.
Insiden ventilator-associated pneumonia pada pasien-pasien tetanus sebesar
52,6%.1 Infeksi nosokomial umum terjadi karena lamanya perjalanan penyakit
tetanus dan masih merupakan penyebab penting kematian. Pencegahan komplikasi
respirasi meliputi perawatan mulut sangat teliti, fi sioterapi dada dan suction
trakea. Sedasi adekuat selama prosedur invasif mencegah provokasi spasme atau
ketidakstabilan otonom 3,6,7,10

Instabilitas otonom terjadi beberapa hari setelah onset spasme umum dan
fatality ratenya 11-28%. Manifestasi berupa hiper-tensi labil, takikardia, dan
demam. Berbagai gangguan kardiovaskular seperti disritmia dan infark miokard
serta kolaps sirkulasi sering menyebabkan kematian.6,7,11 Tanda overaktivitas
simpatis yaitu takikardia fl uktuatif, hipertensi yang kadang diikuti hipotensi,
pucat dan berkeringat sering
J. Komplikasi
1. Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi sekresi saliva
serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau minuman sehingga sering
terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks
dan mediastinal emfisema biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.

2. Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.

3. Pada tulang dan otot


Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi perdarahan dalam
otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna vertebralis akibat kejang yang
terus–menerus terutama pada anak dan orang dewasa. Beberapa peneliti
melaporkan juga dapat terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.

4. Komplikasi yang lain:


a. Laserasi lidah akibat kejang;
b. Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
c. Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang menyebar luas
dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu: Bronkopneumonia,
cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks.

K. Scoring
Terdapat beberapa sistem penilaian tetanus. Skala yang diusulkan Ablett
adalah yang paling banyak digunakan (Tabel 1).

Selain skoring Ablett, terdapat sistem skoring untuk menilai prognosis tetanus
seperti Phillips score dan Dakar score. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria
periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak.
Phillips score juga memasukkan status imunisasi pasien. Phillips score <9, severitas
ringan; 9-18, severitas sedang; dan >18, severitas berat. Dakar score 0-1, severitas
ringan dengan mortalitas 10%; 2-3, severitas sedang dengan mortalitas 10-20%; 4,
severitas berat dengan mortalitas 20-40%; 5-6, severitas sangat berat dengan
mortalitas >50%.10

Outcome tetanus tergantung berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang


tersedia. Jika tidak diobati, mortalitasnya lebih dari 60% dan lebih tinggi pada
neonatus. Di fasilitas yang baik, angka mortalitasnya 13% sampai 25%. Hanya sedikit
penelitian jangka panjang pada pasien yang berhasil selamat. Pemulihan tetanus
cenderung lambat namun sering sembuh sempurna, beberapa pasien mengalami
abnormalitas elektroensefalografi yang menetap dan gangguan keseimbangan,
berbicara, dan dukumgan psikoogis sebaiknya tidak dilupakan.3

Tabel 1 Severitas Tetanus Berdasarkan Klasifi kasi Ablett3,6-9

Tabel 2 Phillips score4,10


Tabel 3 Dakar score10
L. Prognosis
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1. Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan, sebaliknya makin
pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada umumnya bila inkubasi kurang
dari 7 hari maka tergolong berat.
2. Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka prognosanya makin
jelek.
3. Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya trismus
sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
5. Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka prognosanya
jelek.
6. Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
7. Ada tidaknya komplikasi
8. Frekuensi kejang
9. Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Thwaites CL, Yen LM. Tetanus. In: Fink MP, Abraham E, Vincent JL, Kochanek

PM, editors. Textbook of Critical Care. 5th ed. Philadelphia: Elsevier Saunders;

2005.p.1401-4.

2. Lipman J. Tetanus. In: Bersten AD, Soni N, eds. Oh’s Intensive Care Manual. 6th

ed. Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier; 2009.p.593-7.

3. Taylor AM. Tetanus. Continuing education in anesthesia, critical are & pain. Vol. 6

No. 3. [Internet]. 2006 [cited 2013 Oct 20]. Available from:

http://www.ceaccp.oxfordjournals.org content/6/4/164.3.full.pdf.

4. Mahadewa TGB, Maliawan S. Diagnosis & Tatalaksana Kegawat Daruratan

Tulang Belakang.Jakarta: CV Sagung Seto;2009.

5. Edlich RF, Hill LC, Mahler CA, Cox MJ, Becker DG, Horowitz JH, et al.

Management and prevention of tetanus. Niger J Paed. 2003;13(3):139-54.

6. Towey R. Tetanus: a review. Update in Anesthesia. Vol 43 No. 19. [Internet]. 2005

[cited 2013 Oct 20]. Available from: http://www.update.anaesthesiologist.org/wp-

content/tetanus-a-review.pdf.

7. Cook TM, Protheroe RT, Handel JM. Tetanus: a review of the literature. Br J

Anaesth.2001;87(3):477-87.

8. Bhatia R, Prabhakar S, Grover VK. Tetanus. Neurol India.2002;50:398-407.

9. Quasim S. Management of tetanus.World Anaesthesia Tutorial of the Week. Vol

87 No. 3. [Internet]. 2001 [cited 2013 Oct 20]. Available from: http://www.aagbi.

org/sites/default/fi les/17-management-of-tetanus.pdf.
10. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, Fairweather N, Binh N, Parry J, et al. Neurological

aspects of tropical disease: tetanus. J Neurol Neurosurg Psychiatry.2000;69:292-

301.

11. Torbey MT, Suarez JI, Geocadin R. Less common causes of quadriparesis and

respiratory failure. In: Suarez JI, editor. Critical care neurology and neurosurgery.

1st ed. New Jersey: Humana Press; 2004.p.493-5.

12. Dawn MT, Elisson RT. Tetanus. In: Irwin RS, Rippe JM, editors. Irwin and

Rippe’s intensive care medicine. 6th ed. Massachusetts: Lippincot Williams &

Wilkins. 2008.p.1140-1.

13. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian

emergencies. WHO Tech Note. [Internet]. 2010 [cited 2013 Oct 20]. Available at:

http://www.whqlibdoc. who.int/hq/2010/WHO_HSE_GAR_DCE_2010.2_eng.pdf.

14. Witt MD, Chu LA. Infections in the critically ill. In: Bongard FS, Sue DY, eds.

Current critical care diagnosis and treatment. 2nd ed. California: McGraw-Hill;

2003.p.432-4.

15. Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report Myositis Ossificans

Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med. Sciences 1986; 292: 40–

43.

Anda mungkin juga menyukai