Sosiologi Pertanian
Sosiologi Pertanian
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
INTERAKSI SOSIAL UMAT BERAGAMA PADA TIGA DESA PERTANIAN DI KECAMATAN TANJUNG MORAWA:
Upaya Menemukan Strategi Penguatan Kerukunan Umat Beragama Berbasis Sosial dan Ekonomi
Tujuan Pembelajaran
1. Pendahuluan
2. Kerangka Analisis
3. Latar Belakang Sosio-kultural
4. Jaringan Sosioekonomi Umat Beragama
5. Pusat-pusat Interaksi Antarumat
6. Pembahasan : Kegiatan Pertanian
Sebagai Basis Kerukunan Umat
Beragama
7. Kesimpulan
8. Pertanyaan Diskusi
1
Beragama
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu :
1 Mampu menjelaskan latar belakang interaksi sosial umat beragama pada tiga desa
pertanian di kecamatan tanjung morawa
2 Mampu menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam interaksi sosial umat beragama
di desa pertanian Kecamatan Tanjung Morawa
3 Menjelaskan Latar Belakang Sosio-kultura, Jaringan Sosioekonomi Umat Beragama,
Pusat-pusat Interaksi Antarumat Beragama
4 Mengetahui dan menjelaskan pola-pola interaksi sosial antarkelompok-kelompok
keagamaan dari waktu ke waktu sesuai perkembangan sejarah sosial umat
beragama di Kecamatan Tanjung Morawa
5 Mengetahui dan menjelaskan cara-cara masyarakat dan peran institusi-institusi
sosial dalam mengelola interaksi sosial antarkelompok keagamaan, baik dalam
mengelola konflik yang terjadi sewaktu-waktu, maupun dalam meningkatkan
kualitas kerukunan antarkelompok.
Pendahuluan
Pada masyarakat primordial, suku dan agama dianggap sebagai dasar utama dalam
pengelompokan sosial. Karena itu, tidak dapat dihindari bahwa pembentukan komunitas-komunitas di
dalam masyarakat selalu saja mengacu pada kesamaan atau perbedaan suku dan agama. Lebih jauh,
sikap dan perilaku sosial juga banyak ditentukan oleh kesamaan dan perbedaan suku dan agama
tersebut. Orang akan selalu saja mengelompokkan teman sesuku atau seagama sebagai “our” (kita,
minna, in-group) sedangkan orang yang berbeda suku atau agamanya sebagai “they” (mereka,
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
minhum, out group). Ini sudah menjadi fakta sosial yang dianggap sebagai fenomena alamiah dan
diterima sebagai sesuatu yang seharusnya demikian. Berdasarkan alasan inilah, harus diakui bahwa
aspek kesukuan dan keyakinan agama menjadi sekat psikologis yang dapat menciptakan jarak sosial
antara satu sama lain di dalam masyarakat.
Berdasarkan penelitian dan pengamatan di daerah-daerah multietnik dan agama, diketahui
bahwa perbedaan suku dan agama selalu saja menjadi faktor penting dalam menciptakan pembedaan
antara satu komunitas dengan komnitas lainnya. Walaupun demikian halnya, ternyata pola hubungan
antara kelompok-kelompok berbeda agama tidak selalu persis sama di setiap daerah. Ada daerah yang
rawan konflik, sehingga sedikit saja persoalan muncul maka dengan mudah bermuara kepada
disintegrasi, tetapi ada pula daerah tertentu yang mampu mengelola perbedaan menjadi basis bagi
terbentuknya kerukunan yang harmonis. Jadi pada dasarnya, relasi sosial antarumat beragama sangat
tergantung pada faktor kondisional dan upaya-upaya yang dilakukan untuk membangun hubungan
antara komunitas-komunitas yang berbeda.
Penelitian ini bermaksud untuk memahami lebih dalam pola-pola interaksi sosial kelompok-
kelompok keagamaan di desa pertanian yang multietnik dan agama. Secara spesifik, penelitian akan
menelusuri lebih jauh fungsi institusi-institusi pertanian dalam menciptakan jaringan sosial yang kuat
sehingga mampu mewujudkan pola-pola relasi sosial yang rukun dan harmonis. Dengan demikian,
maksud penelitian tidak hanya untuk menemukan bagaimana keadaan interaksi sosial umat beragama,
melainkan juga untuk mencermati strategi-strategi sosial dalam membentuk pola-pola interaksi
tersebut.
Lokasi penelitian dipilih pada tiga desa pertanian sawah di Kecamatan Tanjung Morawa. Dasar
pemilihan tiga desa ini bertolak dari pengamatan, bahwa di daerah tersebut telah tercipta kerukunan
yang tumbuh secara “alamiah”. Kerukunan yang ada di tiga desa tersebut jelas bukan timbul dengan
sendirinya, dan sangat beralasan jika dikatakan bahwa apa yang terlihat sekarang ini adalah hasil dari
proses interaksi dan aksi serta peran yang telah dan sedang dimainkan oleh aktor yang ada termasuk
sesuatu yang tersembunyi (invisible hand). Lebih jauh, dapat dikatakan bahwa penduduk tiga desa ini
adalah para pendatang dari berbagai daerah, khususnya Tapanuli, Karo, dan Pulau Jawa, yang
berintegrasi dalam suatu model kehidupan pertanian. Karena itu sejarah pertemuan antara berbagai
etnik dan penganut agama masih mungkin ditelusuri ke belakang.
Pokok masalah penelitian ini dapat dirumuskan ke dalam satu bentuk pertanyaan sebagai
berikut: “Bagaimana strategi-strategi pengelolaan interaksi sosial antarkelompok keagamaan untuk
memperkuat kerukunan di desa-desa pertanian”.
Lebih spesifik, pokok pembahasan meliputi tiga hal penting tentang kerukunan umat
beragama. Pertama, deskripsi pola-pola hubungan antarkelompok keagamaan dalam perkembangan
sejarah, serta cara-cara yang ditempuh untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang dihadapi;
kedua, deskripsi tentang strategi-strategi pengembangan kerukunan hidup umat beragama dengan
berbasis pada kegiatan sosio-ekonomi; dan ketiga, rumusan tentang strategi pembinaan kerukunan
hidup antarumat beragama yang dapat dikembangkan ke depan.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi kerukunan hidup umat beragama yang
terjadi pada tiga desa pertanian di Kecamatan Tanjung Morawa. Kemudian secara lebih rinci tujuan
penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui pola-pola interaksi sosial antarkelompok-kelompok keagamaan dari waktu ke
waktu sesuai perkembangan sejarah sosial umat beragama di Kecamatan Tanjung Morawa.
b. Untuk mengetahui cara-cara masyarakat dan peran institusi-institusi sosial dalam mengelola
interaksi sosial antarkelompok keagamaan, baik dalam mengelola konflik yang terjadi sewaktu-
waktu, maupun dalam meningkatkan kualitas kerukunan antarkelompok.
c. Untuk menemukan strategi pengembangan kerukunan yang feasible dan applicable bagi
masyarakat majemuk di pedesaan yang berbasis pada sosio-ekonomi pertanian.
Kerangka Analisis
Ada tiga landasan teoritik yang dijadikan dasar untuk membangun kerangka analisis dalam
penelitian ini. Ketiga dasar teoritik itu adalah teori Caser tentang konflik sebagai dasar penguatan
kerukunan, teori Blake tentang pola-pola interaksi yang mungkin timbul ketika terjadi konflik, dan teori
Hassan Hanafi tentang tiga aspek yang perlu dikritisi dalam mencari strategi penguatan hubungan
antarumat beragama. Dua teori pertama akan dijadikan sebagai landasan untuk mengamati proses-
proses yang terjadi di wilayah penelitian, sedangkan teori terakhir digunakan sebagai dasar pemikiran
dan pendekatan dalam memahami content yang mungkin dikembangkan ke depan sebagai dasar
perumusan strategi pengembangan kerukunan berbasis sosio-ekonomi.
1. Konflik sebagai dasar penguatan kerukunan; Dalam sejarah interaksi sosial antarkelompok, konflik
adalah suatu realitas sosial yang tidak dapat dihindari. Konflik itu merupakan suatu yang inheren di
dalam masyarakat. Namun demikian, dari perspektif sosiologis, konflik antara dua kelompok --yang
terjadi sewaktu-waktu—dinilai cukup penting dalam memperkuat kerukunan. Sebagaimana
dinyatakan oleh Caser (1956), konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat membawa ke arah
integrasi dalam berbagai bentuk termasuk berkembangnya batas-batas sosial, terciptanya
ketenteraman masyarakat, dan berkembangnya struktur masyarakat yang lebih kompleks. Merujuk
pada teori Caser ini, pengelolaan konflik menjadi kata kunci yang penting dalam membangun
kerukunan. Cara-cara tertentu yang dilakukan elit-elit sosial akan memberikan kotribusi yang besar
dalam proses interaksi menuju terciptanya kerukunan atau konflik berkepanjangan. Jadi, jika
kelompok-kelompok yang berkonflik mampu mengelola konflik itu sebagai dasar untuk
membangun kerukunan, maka dengan sendirinya akan muncul pola baru hubungan
antarkelompok. Demikian seterusnya, setiap muncul konflik baru akan memunculkan pola
kerukunan yang baru.
2. Sikap sosial terhadap konflik; Secara teoritik, seperti dikemukan Blake, Shepard, dan Mouton
(1964) terdapat tiga kategori kemungkinan dalam pengelolaan konflik oleh orang-orang yang
terlibat di dalamnya: (1) konflik tidak dapat dihindarkan, tetapi persetujuan tidak dimungkinkan;
(2) konflik dapat dihindarkan, tetapi persetujuan tidak dimungkinkan; dan (3) meskipun ada konflik,
persetujuan dimungkinkan. Berkaitan dengan tiga perangkat sikap itu, dapat diperkirakan
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
karakteristik tindakan yang akan terjadi bergantung pada taruhan-taruhan yang muncul saat
tertentu. Apabila orang-orang merasa bahwa konflik tidak dapat dihindarkan dan persetujuan juga
tidak dimungkinkan, perilaku mereka boleh jadi akan pasif atau sangat aktif. Tindakan mereka akan
cenderung pasif dan membiarkan nasib yang memutuskan konflik tersebut jika taruhannya rendah.
Tetapi bilamana taruhannya cukup besar, mereka akan memperkenankan campur tangan pihak
ketiga untuk memutuskan konflik tersebut. Akhirnya, bilamana taruhan itu tinggi, mereka akan
melibatkan diri secara aktif dalam konfrontasi menang-kalah atau dalam perjuangan
memperebutkan kekuasaan.
3. Analisis intelektual terhadap konflik: Hassan Hanafi dalam karya kontrovesialnya berjudul Religious
Dialoge and Revolution, menawarkan tiga kritik yang harus dilakukan sebagai usaha kinerja
intelektual: Pertama, melakukan kritik historis, yaitu kritik yang dilakukan terhadap sejarah hingga
ditemukan motivasi orisinil yang mengonstruksi sebuah fakta sejarah. Kedua, kritik eidetik, yaitu
krititk yang dilakukan terhadap kitab suci untuk mendapatkan orisinalitas pesan-pesan Tuhan dan
bukan pesan-pesan yang dimanipulasi manusia. Dan ketiga, kritik praxys, yaitu kritik yang dilakukan
terhadap bentuk aksi keberagamaan yang selama ini berlangsung hingga ditemukan formula aksi
yang orisinil pula. Ketiga kritik ini merupakan gagasan elaboratif-integralistik, tidak bisa dipisahkan
antara satu dengan lainnya, satu kesatuan utuh dan sinergis. Ketiganya merupakan piranti
paradigma yang "mumpuni" dalam melakukan kinerja intelektual yang mengkaji kemandulan cara
pandang beragama dalam mengapresiasi kenyataan pluralisme.
Berdasarkan tiga teori tersebut, disusun kerangka analisis yang akan diterapakan dalam
penelitian ini. Kerangka analisis dimaksud adalah:
Tanah kosong yang membentang luas di daerah Lubuk Pakam ini memiliki daya tarik tersendiri
bagi etnis lain, terutama dari daerah Tapanuli. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan di lapangan,
sekitar tahun 1948 orang-orang dari Tapanuli mulai memasuki daerah ini sebagai penggarap. Pada
ketika itu, perantau dari Toba, Tapanuli Selatan dan Karo –yang dikenal cukup ulet, melakukan
penggarapan terhadap tanah-tanah kosong dan mengolahnya menjadi lahan persawahan tadah hujan.
Masing-masing mengambil lahan antara 1 sampai 2 hektare. Melihat perkembangan baru itu, orang-
orang Jawa yang tinggal di desa Penara Kebun terpanggil untuk ikut menggarap tanah kosong. Mereka,
yang pada awalnya hanya memanfaatkan tanah kosong yang ada sekitar pemukiman sebagai lahan
sayuran untuk memenuhi keperluan sehari-hari, kemudian memperluas garapan dan menjadikannya
sebagai sawah. Menurut penuturan Misran (63 tahun) salah seorang informan di Desa Perdamean,
orang-orang Jawa memilih tanah garapan di sekitar pemukiman mereka, sedang orang-orang yang
datang dari Toba menggarap di tengah dan orang-orang dari Tapanuli Selatan menggarap sekitar jalan
raya. Sebagian dari mereka itu ada yang tinggal di Lubuk Pakam, dan sebagian lain ada yang membuat
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
rumah-rumah sederhana di tanah garapannya. Ditambahkannya pula, bahwa kedatangan perantau dari
Tapanuli itu tidak berlangsung sekaligus, melainkan datang secara bergelombang sampai tahun 1952.
Tidak diperoleh data yang pasti berapa banyak jumlah penggarap pertama dari orang-orang
Tapanuli dan Karo. Namun, sebagian besar yang menetap sekarang adalah pendatang belakangan,
sebagai penggarap generasi kedua setelah tahun 1950. Hal ini berkaitan dengan jabatan Gubernur
Sumatera Utara yang ketika itu dijabat oleh Abdul Hakim Harahap. Sebab, berdasarkan asal-usul para
perantau dari Tapanuli Selatan yang datang ke daerah ini adalah berasal dari sekitar kampung asal
gubernur, yaitu dari daerah Pasar Matanggor, Kecamatan Sosopan sekarang. Orang-orang yang datang
belakangan itu tentu tidak lagi menggarap tanah kosong, tetapi menjadi penggarap generasi kedua
setelah membelinya dari penggarap pertama.
Keterangan di atas menginformasikan bahwa daerah subur di sekitar Lubuk Pakam telah dihuni
oleh berbagai macam suku sejak tahun 1948. Mereka itu adalah dari suku Jawa, Batak Toba, Batak
Angkola, dan Karo. Sampai sekarang keempat suku atau subetnis ini menjadi penduduk utama di
daerah tersebut. Pendatang baru yang masuk ke daerah ini juga umumnya adalah orang-orang dekat
dari penggarap awal, sehingga penduduk di daerah ini menjadi terpola sedemikian rupa. Sejak awal
para penggarap lahan persawahan membentuk komunitas-komunitas yang menjurus pada
pengelompokan sosial berdasarkan primordialisme kesukuan dan keagamaan. Konsekwensinya,
struktur pemukiman penduduk menjadi terpola sesuai dengan area tanah garapan mereka, di mana
orang-orang Jawa terkonsentrasi di sekitar Desa Penara Kebun, orang-orang Batak Toba dan Karo di
bagian tengah, dan orang-orang Batak Angkola di pinggiran jalan besar. Hal ini terbukti dari pola
pemukiman pada tiga desa yang cenderung segregatif antara satu kelompok umat beragama atau etnis
tertentu. Sekarang, setelah jumlah penduduk semakin besar, dan sistem administrasi membagi wilayah
pada 4 desa, maka orang-orang Jawa banyak yang masuk ke wilayah Desa Wonosari dan desa
Perdamean, orang-orang Batak Toba terbagi pada dua desa Perdamean dan Wonosari, serta orang-
orang Angkola/Mandailig lebih terkonsentrasi ke arah bagian selatan jalan raya, yang belakangan
menjadi kampung tersendiri, yaitu Desa Tanjung Mulia.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Boleh dikatakan bahwa hampir semua penduduk usia produktif (angkatan kerja) yang ada di
tiga desa terlibat secara langsung atau tidak langsung dengan pekerjaan pertanian sawah. Sekalipun
terdapat sejumlah penduduk yang bekerja sebagai pegawai negeri, TNI/POLRI, pedagang, buruh pabrik
dan bangunan, namun secara umum mereka terlibat dalam pekerjaan pertanian sawah. Dengan
demikian, hampir semua penduduk di desa ini terikat dengan kehidupan pertanian.
pihak lain. Jadi, ketergantungan pada yang lain menjadi faktor penting dalam membentuk jaringan
sosial yang kompleks di dalam masyarakat.
Pergaulan sosial di tengah masyarakat pertanian sawah dapat dikatakan sebagai pola
pergaulan yang berlangsung secara alamiah. Pola pergaulan itu terbentuk karena kondisi kehidupan
yang saling membutuhkan. Ketika kegiatan pengelolaan pertanian tersebut masih dilakukan secara
manual, para petani mengembangkan strategi pengelolaan dengan suatu sistem tersendiri yang
bersifat kolektif. Sistem kerja secara kolektif ini pada esensinya adalah suatu sistem pengelolaan sawah
dengan cara bergotong-royong, yang dalam tradisi masyarakat Sumatera Utara disebut dengan istilah
yang berbeda, seperti “marsiadapari” atau “marsiurupan” (Batak Toba), “marsialapari” (Angkola),
“aron” (Karo), dan sambatan (Melayu). Sistem kerja semacam ini, pada masa lalu, tidak saja berguna
dalam menyelesaikan pekerjaan besar –di mana satu sama lain saling membutuhkan bantuan orang
lain, tetapi juga bermakna penting dalam memperkuat integrasi antaranggota masyarakat.
Pada era teknologi pertanian yang semakin maju seperti saat saat sekarang ini, ketika tenaga
manusia banyak digantikan oleh alat-alat pertanian, kebutuhan pada bantuan pihak lain malah semakin
meningkat. Hanya bentuknya yang berbeda, di mana pada masa lalu dilakukan secara gotong royong
(imbal jasa) sekarang dilaksanakan dalam bentuk bayaran material. Sebab seorang petani yang sedang
menghadapi pekerjaan besar yang perlu diselesaikan dalam waktu singkat tetap meminta bantuan
pemilik alat pertanian dan tenaga kerja bayaran. Dengan demikian, pada prinsipnya semangat “saling
ketergantungan” antara satu sama lain tetap terpelihara. Itulah ciri kehidupan masyarakat petani, di
mana pergaulan sesama mereka berjalan di atas kondisi saling ketergantungan itu. Pola pergaulan
semacam ini selalu mempresentasikan integrasi yang kuat antara satu sama lainnya.
Figur ini tidak dimaksudkan untuk membagi penduduk ke dalam berbagai jenis pekerjaan,
sebab semua mereka itu adalah petani sawah juga. Fungsi, jabatan atau pekerjaan, baik sebagai
penyewa sawah, pemilik traktor/grendel, buruh tani, pekerja lelesan, pengusaha warung kopi, penjual
pupuk, penarik ojek mupun pengusaha kilang padi, adalah atribut tambahan. Dengan demikian,
mereka yang memiliki atribut tambahan ini tetap memiliki kebutuhan pada yang lain sebagaimana
seorang petani.
Untuk menjelaskan bagaimana kebutuhan seorang petani terhadap yang lain dalam mengelola
sawah dapat diringkas ke dalam bentuk tabel berikut:
No Jenis Pemberi Jasa Bentuk jasa
Kegiatan yang diberikan
1 Pembajakan Pemilik Traktor Membajak
sawah sawah sampai
dapat
ditanami
2 Penanaman Buruh tani Menanam
padi padi di sawah
Pengusaha Menyediakan
warung kopi dan makanan dan
nasi minuman bagi
buruh tani
3 Perawatan Penjual Pupuk Menyediakan
padi pupuk dan
racun hama
Koperasi/rentenir Dana pinjaman
Buruh tani Menebar
pupuk dan
racun hama
4 Panen Pemilik grendel Menuai dan
Buruh tani merontokkan
padi dari
rantingnya
Pengusaha Menyediakan
Warung Kopi dan makanan dan
Nasi minuman bagi
buruh tani
5 Penyediaan P3A Membersihkan
air dan
memperbaiki
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
tali air
Satu hal yang menarik adalah keterlibatan semua komunitas etnis dan penganut agama ke
dalam satu sistem jaringan yang padu. Dalam sistem jaringan tersebut terjadi sinergi antara komunitas
yang berbeda etnis dan agama, sehingga setiap komunitas adalah bagian dari sistem tersebut. Lebih
dari sekedar kesatuan dalam sistem, ternyata di sana, khususnya di desa Perdamean dan Wonosari,
terjadi semacam konvensi pembagian fungsi dan peranan. Pembagian dimaksud terlihat dari
kepemilikan terhadap alat-alat pertanian dan kecenderungan dalam memilih pekerjaan. Beberapa
kecenderungan itu adalah; (1) pemilik traktor dan grendel (perontok padi) adalah orang-orang dari
etnis Jawa, sedangkan pemilik kilang padi adalah orang-orang dari etnis Batak Toba; (2) Umumnya
buruh tani adalah dari etnis Jawa, sedangkan penjual pupuk dan obat-obatan dari etnis Batak Toba; (3)
Buruh tani perempuan biasanya hanya terlibat dalam pekerjaan menanam padi, sedangkan buruh tani
laki-laki terlibat dalam pekerjaan memanen; dan (4) Pekerja lelesan adalah kaum perempuan (ibu-ibu),
tidak melibatkan kaum laki-laki.
Bertolak dari sistem jaringan tersebut sudah dapat dipastikan bahwa interaksi antarumat
beragama selalu terjadi pada proses pengelolaan pertanian. Ketika seorang petani Kristen, misalnya,
sedang menanam atau memanen padi, sudah pasti ia membutuhkan jasa buruh tani yang notabene
adalah orang-orang Jawa yang beragama Islam, serta ia harus pula membutuhkan jasa pengusaha
warung (yang juga Muslim) untuk menyediakan makanan/ minuman mereka. Sebaliknya, ketika
seorang petani Muslim membutuhkan pupuk dan menggiling padi hasil panenya sudah pasti ia
membutuhkan jasa orang-orang Kristen. Demikian seterusnya, sistem jaringan itu benar-benar
membentuk suatu interaksi yang cukup intensif antarkomunitas umat beragama.
Sisi lain yang mendasari pembentukan jaringan sosial di tiga desa penelitian adalah asal-usul
umat beragama dilihat dari ragam suku atau etnisnya. Polarisasi agama yang dianut oleh orang-orang
Batak Toba dan Karo ke dalam Kristen dan Islam ternyata berfungsi sebagai modal potensial bagi
penguatan jaringan sosial antarumat beragama. Di sini orang-orang Muslim Karo dan Muslim Toba
dinilai menempati posisi tengah yang dapat menjembatani hubungan antara dua kelompok penganut
agama yang berbeda. Dari perspektif budaya, para Muslim Karo dan Toba ini cukup dekat dengan
orang-orang Karo dan Toba yang Kristiani, tetapi juga dari perpspektif agama orang-orang Muslim Karo
atau Toba ini cukup dekat orang-orang Angkola/Mandailing dan Jawa. Sementara pada sisi lain
hubungan antaretnis Toba/Karo yang Muslim dengan etnis Jawa dan Angkola/Mandailing diperkuat
pula dengan asimiliasi melalui perkawinan silang. Jadi dengan adanya polarisasi agama dari kalangan
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
etnis Karo dan Toba dan perkawinan antaretnis semakin memperkuat sistem jaringan sosial di tengah
masyarakat.
Jual-beli padi/beras
Rapat-rapat
Memberi kado
Mengantar ke kuburan
Kunjungan Silaturrahmi
Dari sejumlah institusi dan pusat interaksi tersebut, warung kopi merupakan titik sentral yang
paling penting dalam interaksi sosial di tiga desa penelitian. Di sana, warung kopi dapat dikatakan
sebagai pusat interaksi yang sangat penting di masyarakat, karena cukup banyak dikunjungi oleh kaum
laki-laki dan perempuan dari semua usia dan lapisan masyarakat. Pada warung kopi milik etnis Jawa
biasanya dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai agama. Karenanya, kelebihan warung kopi sebagai
pusat interaksi terletak pada fungsinya semacam ruang publik yang dapat dikunjungi secara bebas oleh
siapa saja serta dapat dimanfaatkan untuk tempat beristirahat dalam jangka waktu yang relatif lama.
Warung kopi, selain berfungsi menyediakan minuman dan makanan ringan, juga menjadi tempat
bertukar pendapat, dan bahkan tempat untuk bermain. Tidak jarang keputusan-keputusan dan
kesepakatan-kesepakatan antarwarga diputuskan di warung kopi. Karena itu, keberadaan warung kopi
dapat mempertemukan orang-orang desa dari berbagai etnis dan agama, tidak saja secara fisik,
melainkan juga pemikiran, ide dan perasaan.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Setelah warung kopi, pusat interaksi yang cukup penting di masyarakat pertanian adalah
sawah, kedai sampah, kantor desa, pangkalan ojek (RBT), kios pupuk, pangkalan minyak, dan jalan
raya. Tampaknya pemilikan dan pengusahaan lahan sawah yang (belakangan) tidak bersifat segregatif
dapat menjembatani relasi sosial antarumat beragama yang sempat diinterupsi oleh pola pemukiman
penduduk yang bersifat segregatif. Demikian juga halnya keberadaan kedai sampah, kantor desa,
pangkalan ojek, dan kios pupuk dapat meleburkan (sementara waktu) perbedaan-perbedaan etnis dan
agama di dalam interaksi antara satu sama lain. Namun demikian, fungsi pusat-pusat interaksi ini tidak
lagi sekuat warung kopi, karena intensitas interaksi di tempat-tempat ini sangat terbatas dan lebih
banyak tercipta karena kepentingan rasional untuk menyelesaikan suatu urusan atau pekerjaan
tertentu dalam waktu yang relatif terbatas. Jadi, pusat-pusat interaksi ini lebih berfungsi sebagai media
pelengkap dalam memperkuat relasi sosial sesama warga desa.
Pusat interaksi yang lebih terbatas dan lebih longgar adalah rapat-rapat di balai desa atau
sekolah, kegiatan ibu-ibu PKK, kontak tani, penyuluhan pertanian, kunjungan silaturahmi, melayat
orang meninggal atau sakit, dan undangan pesta. Kontak sosial pada tempat-tempat ini tetap penting
sebagai indikasi adanya relasi sosial yang baik sekaligus menjadi media untuk mengukuhkan hubungan
antara satu sama lain.
Berikut adalah skema pusat-pusat interaksi masyarakat dilihat dari fungsinya sebagai media
pemersatu di dalam masyarakat petani sawah pada tiga desa penelitian.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Figur: Warung Kopi sebagai pusat interaksi umat beragama pada tiga desa pertanian.
Pembahasan
Kegiatan pertanian sawah memiliki fungsi yang cukup penting dalam mempertemukan antara
umat beragama. Pada masyarakat petani sawah, ditemukan sejumlah institusi tradisional yang
mendorong mereka untuk melakukan interaksi antarindividu dan komunitas dengan frekuensi
pertemuan yang tinggi. Intensitas interaksi yang cukup tinggi di antara kelompok-kelompok etnis dan
keagamaan ternyata mampu melebur sikap primordial ke arah pola pergaulan yang lebih elegan dan
toleran. Karena itulah masyarakat petani sawah pada tiga desa di Kecamatan Tanjug Morawa mampu
membangun kerukunan umat beragama.
Penegasan di atas mengindikasikan bahwa secara esensial, kerukunan umat beragama akan
dapat tercipta secara alamiah jika dibangun di atas fondasi yang konkrit. Fondasi dimaksud tidak saja
berupa konsep atau gagasan tetapi fakta sosial yang tumbuh di dalam masyarakat. Masyarakat desa
pertanian, seperti yang ditemukan pada tiga desa di Kecamatan Tanjung Morawa, tampaknya
kebutuhan-kebutuhan dan saling-ketergantungan antara petani merupakan fakta yang sangat konkrit
yang dapat mempersatukan masyarakat. Hal yang sama juga terjadi di daerah Sipirok, dimana
hubungan darah, saling-ketergantungan dalam kegiatan budaya dan ekonomi pertanian menjadi faktor
perekat paling kuat di masyarakat.
Dibandingkan dengan teori dan pemikiran lainnya, pola penguatan kerukunan umat beragama
yang berbasis pada sosial-ekonomi memiliki kelebihan tersendri. Harus diakui, bahwa teori-teori dan
pemikiran-pemikiran mengenai kerukunan, seperti teori konflik dari kaum sosialisme, pemikiran
pluralismedari ahli agama dan gagasan etika global dari teolog Polisentris, proyek interkultural dari
pemerintah Orde Baru, serta yang terakhir pemikiran musltikulturalisme dinilai cukup penting
dikembangkan untuk memperkuat kerukunan. Sekalipun teori dan pemikiran tersebut cukup penting,
namun upaya penguatan kerukunan umat beragama yang berbasis pada fakta sosio-ekonomi tidak
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
kurang pentingnya dari yang lain. Perbandingan penguatan kerukunan antara pendekatan sosio-
ekonomi dengan pemikiran teoritik lainnya dapat dipertegas ke dalam beberapa poin berikut. Pertama,
Pendekatan sosio-ekonomis bertolak dari kondisi obyektif yang hidup dan telah menjadi tradisi yang
mapan di masyarakat, sementara pendekatan teoritik lainnya dirumuskan secara elitis oleh para ahli,
sehingga dianggap asing oleh masyarakat awam. Kedua, pendekatan sosio-ekonomis merupakan fakta
ril yang dapat dipraktekkan secara langsung, sedangkan pendekatan teoritik lainnya lebih menekankan
pada konsep-konsep abstrak yang --banyak di antaranya-- sulit dipahami msyarakat. Ketiga,
pendekatan sosio-ekonomis dikembangkan berdasarkan kenyataan-kenyataan empiris dan selalu
mempertimbangkan kebutuhan masyarakat, sedangkan pendekatan teoritik lainnya dikembangkan
melalui pengkajian-pengkajian filosofis dengan paradigma yang dibangun sendiri oleh para ahli.
Keempat, pendekatan sosio-ekonomis –bila dikemas dengan baik, dapat memberdayakan masyarakat,
baik dari sisi sosial, ekonomi, maupun politik, sedangkan pendekatan teoritik lainnya lebih
mengedepankan pencerahan wawasan dan perubahan sikap sosial.
1. Kerukunan umat beragama tersebut bergerak dari kalangan awam yang tingkat kesalehan dan
pemahaman agama mereka masih kurang, sementara tokoh-tokoh agama hampir tidak berperan
dalam proses interaksi dan tidak memiliki hubungan yang erat antara satu sama lain (lihat figur di
bawah). Di sinilah letak unsur alamiah interaksi umat beragama di pedesaan yang berpenduduk
majemuk, di mana proses interaksi sosial tidak didasarkan pada perencanaan atau konsep-konsep
yang disiapkan dari awal.
Keterangan:
b. Kedekatan garis melambangkan kedekatan hubungan antar individu. Semakin dekat garis
penghubung semakin akrab dalam pergaulan, dan semakin jauh jarak antargaris semakin
jauh hubungan sosial.
2. Kerukunan umat beragama hampir tidak menyentuh persoalan agama, sehingga sangat rentan
terjadi deviasi-deviasi dari aturan normatif dan nilai-nilai agama.
3. Pengingkaran individu atau kelompok tertentu terhadap konvensi-konvensi sosial yang sudah
mapan dapat merusak tatanan kerukunan yang sudah terbangun. Hal ini sangat memungkinkan
jika penguasaan suatu aset dimonopoli oleh perorangan atau kelompok.
Strategi yang dapat dikembangkan ke depan untuk memperkuat kerukunan umat beragama
yang berbasis pada sosio-ekonomi adalah;
Kesimpulan
Perbedaan etnis dan agama bagi masyarakat petani sawah tidak merupakan penghalang dalam
berinteraksi. Di sini, institusi pertanian memiliki fungsi yang cukup penting melebihi institusi lainnya.
Ketika kebutuhan atas bantuan orang lain sangat kuat, dengan sendirinya sekat etnis dan agama
menjadi tereliminasi. Jadi, sekalipun faktor-faktor perbedaan agama tidak dapat dipupus dari pikiran
masyarakat, namun kebutuhan untuk menyelesaikan tugas-tugas pertanian tetap berada di atasnya.
Betapa tidak, seperti yang ditemukan dalam penelitian ini, seorang petani Kristiani, misalnya, suka atau
tidak harus meminta bantuan buruh tani yang notabene adalah orang Jawa Muslim. Sebaliknya,
seorang petani Jawa yang muslim, suka atau tidak harus memanfaatkan kilang padi milik Kristen untuk
menggiling padinya. Hubungan simbiosis mutualistis merupakan faktor penting dalam membangun
integrasi sosial yang solid di tengah masyarakat plural.
Tujuan Pembelajaran
Setelah mempelajari materi ini, mahasiswa akan mampu :
1 Mampu menjelaskan latar belakang terjadinya konflik tanah di Jenggawah, Jember.
2 Mampu menjelaskan tipologi konflik yang terjadi di Jenggawah.
3 Mengidentifikasi dan menjelaskan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik di Jenggawah.
4 Menjelaskan pola (mekanisme) penyelesaikan konflik tanah di Jenggawah (pendekatan yang
ditempuh dan proses yang berlangsung dalam penyelesaian konflik)
5 Menjelaskan potensi konflik muncul kembali di kemudian hari dari hasil penyelesaian konflik
tersebut.
1. Pendahuluan
Fenomena yang menonjol pada masyarakat petani di pedesaan adalah masalah yang selalu
berkaitan dengan tanah. Konflik yang terjadi di pedesaan pada umumnya melibatkan “sumber utama”
ini, sebagai satu-satunya tempat berpijak dan penentu hidup-matinya masyarakat pedesaan. Studi ini
ingin melihat sisi konflik tanah di Jenggawah, Jember, Jawa Timur yang memfokuskan pada konflik
antara petani-PTP-negara, serta kelompok-kelompok lain. Tulisan ini juga menjawab pertanyaan-
pertanyaan tentang latar belakang, siapa yang terlibat, tipologi konflik, strategi yang diterapkan oleh
kelompok-kelompok yang berkonflik, dan bagaimana peran negara dalam upaya menyelesaikan
konflik.
Tulisan ini disarikan dari draft hasil penelitian yang dibiayai oleh The Toyota Fondation (Yayasan Ilmu-ilmu
Sosial) berjudul Konflik Tanah Jenggawah, Studi tentang Proses dan Hambatan Penyelesaian Konflik Tanah di
Jenggawah, Kabupaten Jember, Jawa Timur
1. Asumsi ini berdasarkan suatu kondisi struktur sosial di pedesaan yang masih belum terstratifikasi secara rumit,
masih didominasi oleh struktur sosial yang sebagian penduduknya hidup berani.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Dinamika masyarakat desa selalu menarik untuk diamati, paling tidak dengan sandaran asumsi
bahwa dinamika kehidupan mereka tidak terlepas sama sekali dari dimensi konfliktual. Kecenderungan
ini juga dialami oleh struktur masyarakat pedesaan yang mata pencahariannya adalah bertani. Betapun
semula sistem sosialnya masih dianggap homogen1, tetapi akibat perubahan sosial2, stuktur petani di
Indonesia mengalami pergeseran situasi dan ekologis.3
Perubahan itu juga ditandai oleh munculnya pergeseran pemilikan tanah yang terpolarisasi
dalam strata yang timpang, perubahan status sosial dan pekerjaan. Dalam konteks yang lebih nyata,
perubahan itu pun mendorong munculnya dilemma hubungan antara petani dan tanah yang berafinitas
dengan munculnya protes atau konflik pertanahan.
Mengapa tanah menjadi sumber nyata konflik petani? Secara teoritis hal ini tidak lepas dari
pertanyaan lain, siapa sebenarnya petani dan bagaimana hubungannya dengan tanah, sehingga tanah
dibela mati-matian?
Para ahli, yang pernah melakukan penelitian tentang petani, sepakat menjawab makna khusus
tanah bagi petani. Menurut Barrington Moore, hal ini disebabkan pemilikan de facto atas tanah
merupakan cirri pokok yang membedakan seorang petani atau tidak. Artinya tanah telah menjadi bagian
kehidupan petani yang tidak dapat dipisahkan.4
Dari gambaran ini, tanah menjadi soal hidup mati petani, sehingga untuk itu mereka bersedia
melakukan apa saja, seperti ungkapan Jawa, “sedumuk bathuk senyari bumi, ditohing pecahing dodo lan
wutahing ludiro.5 Dari pepatah ini, makna tanah ternyata berafinitas dengan protes petani.
Kondisi ini dijelaskan oleh Wolf, karena petani merupakan produsen pertanian dengan
penugasan efektif pada tanah,6 mengganggu tanah berarti mengusik statusnya sebagai produsen
pertanian, sebagai tulang punggung hidupnya. Apalagi petani dengan tanah dianggap oleh Shanin,7
memiliki kaitan khusus dengan cirri-ciri: “bahwa masyarakat petani (1) mempunyai hubungan khusus
pdengan tanah dengan cirri spesifik produksi pertanian berakar pada keadaan khusus petani; (2) usaha
petani keluarga merupakan satuan dasar pemilikan produksi dan konsumsi serta kehidupan sosial
petani; (3) kepentingan pokok pekerjaan dalam menentikan kedudukan sosial; peranan dan kepribadian
petani dikenal secara baik oleh masyarakat yang bersangkutan; (4)
2. Berdasarkan studi yang pernah dilakukan sebelumnya, perubahan sosial di pedesaan digerakkan oleh 4 faktor
yaitu (1) tekanan penduduk, (2) revolosi hijau, (3) komersialisasi pedesaan, (4) strategi pembangunan yang
bertumpu pada pertumbuhan ekonomi; lihat Ester Boserup, The Condition of Agriculture Growth (Chicago:
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Aedine, 1965); bandingkan dengan beberapa tulisan lain, misalnya, J.H Booke, dari Empat Juta menjadi Empat
Puluh Empat Juta (Jakarta: Bathara,1974) dan I Tubagus Feridhanustyawan, “Perubahan Struktur Pertanian
Indonesia,” dalam Artikel CSIS XIX. No.2 Maret-April 1990
3. Pergeseran situasi ini oleh Booke ditandai dengan masih kuatnya dualism ekonomi. James C. Scott melihatnya
sebagai subsitensi ekonomi dan Geertz menggambarkannya sebagai berbagi kemiskinan dan involosi
pertanian; lihat D H Burger, Perubahan-perubahan Struktur dalam Masyarakat Jawa (Jakarta; Bathara Jaya,
1993), hal 1-22; James C. Scott, Moral Ekonomi Petani; Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara, terj.
Hasan Bahari (Jakarta: LP3ES, 1981); Cliford Geertz, Agricultural Involotion (Berkeley: University Of
Calivornia Press,1971).
4. Henry A. Landsberger. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 1984) Hal. 9-15.
5. Arti kalimat itu bersinggungan antara kepala dan tanah yang akan dibela hingga keluarnya tetesan darah
struktur sosial desa merupakan keadaan khusus bagi daerah tertentu; dan (5) masyarakat petani
merupakan sebuah kesatuan sosial pra-industri yang memindahkan unsur-unsur spesifik struktur sosial
ekonomi dan kebudayaan lama ke dalam masyarakat kontemporer.”
Dampak salah satu fenomena konflik yang tetap menonjol pada masyarakat petani di
pedesaan adalah masalah yang berkaitan dengan tanah. Salah satu fenomena konflik yang terjadi di
pedesaan adalah konflik tanah di Jenggawah, yang menjadi masalah nasional dan menghiasi media
massa yang menyertainya.
Dari gambaran itu, studi ini ingin melihat sisi-sisi konflik tanah di Jenggawah yang
memfokuskan pada konflik tanah di Jenggawah yang memfokuskan pada konflik antara petani-PTP-
negara, serta kelompok-kelompok lain. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan–pertanyaan tentang latar
belakang konflik, siapa yang terlibat dalam konflik tanah Jenggawah, bagaimana tipologi konflik, strategi
yang diterapkan oleh kelompok-kelompok yang berkonflik, dan bagaimana peran negara dalam upaya
menyelesaikan konflik, merugikan atau menguntungkan siapa?
Kerangka Teoritik
Secara teoritis, Paige melihat berbagai kelompok yang memiliki peran cukup besar dalam
pertumbuahn konflik di pedesaan. Kelompok-kelompok ini secara konsepsi adalah cultivator dan non-
cultivator yang secara konvensional sebenarnya merupakan suatu kelas sosial seperti, buruh tanah,
pemegang usaha kecil, pemilik modal, dan kelas menengah desa.
Mereka memiliki banyak prinsip yang kemungkinan berbeda dari kelompok sosialnya, tetapi
mereka juga mempunyai peran utama yang unik terhadap tanah pertanian. Keunikan ini tercermin
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
dalam interaksi antarkelas yang memiliki kepentingan relatif pada tanah dengan modal atau upah
terbatas, dan memiliki insentif dalam konflik kelas di pedesaan.
Berpijak dari kategori ini, bagaimana sesungguhnya tipologi kelas sosial8 di Jenggawah dalam
kaitannya dengan konflik yang muncul; apakah bangunan Paige cocok. Jika kelas diartikan secara
sosiologis sebagai tingkatan-tingkatan dalam masyarakat yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas
bawah, maka kajian ini tampak akan lebih cocok.9
Dari prespektif ini, akhirnya peneliti memberi batasan bahwa kelompok-kelompok sosial di
Jenggawah terlihat sebagai berikut, yaitu Petani Cukupan (cultivator), Petani Kekurangan (non-
cultivator) dan perkebunan. Dari ketiga kelompok secara teoritis ini konflik sosial bisa diterjemahkan
secara agak relevan.
Konflik, menuurt versi Paige, akan muncul dari kelompok cultivataor dan non-cultivator.
Munculnya konflik berasal dari dua kategori variable yang menentukan timbulnya suatu konflik sosial
yaitu tanah dan upah. Interaksi ini menghasilkan 3 tipologi konflik yaitu: (a) apabila class non-
cultivator/CNC (petani kekurangan) pendapatanya tergantung dari tanah, dan ekonominya cenderung
lemah, akan menghasilkan focus konflik pada distribusi dan pemilikan lahan; (b) apabila CNC
pendapatannya dari tanah dan tidak bebas atas pekerja, konflik yang muncul cenderung dipolitisasi; (c)
jika lelas yang ada produktivitas ats tanah dengan produksi yang tetap, akan menghasilkan zero-sum-
conflict (konflik menang-kalah) antara cultivator dan non-cultivator dan hasil kompromi di bidang
ekonomi akan sangat sukar.10 Teori ini tidak akan menelusuri mengapa konflik itu muncul, tetapi lebih
menekankan interaksi antara kelompok-kelompok. Paige tidak menyadari bahwa ada eksploitasi dalam
interaksi itu.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Kerawanan:
1. Struktural Protes Petani
2. Ekologis
3. Monokultuur
10. Penggunaan istilah kelas masih menjadi perdebatan teoritik. Perdebatan ini selalu mempertengahkan bahwa
konsep kelas yang secara teoritik berkembang di barat tidak cocok untuk memahami kelas dalam masyarakat
yang sedang berkembang di Indonesia semata-mata karena struktur sosialnya yang tidak sama. Perdebatan ini
member catatan khusus bahwa penggunaan konsep kelas harus diberi catatan-catatan tertentu.
11. Dalam kerangka ini penulis lebih setuju menggunakan kelas dalam pandangan sosiologis yang membagi
menjadi tiga kelas, meskipun dapat pula dipilah-pilah lagi.
12. Lihat, Jeffrey M. Paige Agrarian revolution: Social Movement and Export Agriculture in the Underdeveloped
World (New York: The Free Press, 1975) hal 4-6.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Menurut Scott, ada 3 kerawanan yang menimbulkan munculnya protes petani. Tetapi jika
dilihat lebih jauh, ketiga kerawanan tersebut juga ditopang oleh etika agama dan protes sosial (Weber)
serta pngaruh budaya, etika dan spirit protes. Agama, terutama untuk wilayah Jawa Timur dan
subbudaya Madura, memiliki nilai sendiri yang member kontribusi bagi munculnya protes petani.
Apalagi perpaduan antara nilai agama dan budaya, menjadi etika baru yang berarti memiliki kesesuaian
logis dengan kelas sosial petani subsisten dan memiliki kesesuaian psikologis dengan subbudaya Madura
dan Jawa Timur yang ekspresif dan ekstrovert, termasuk kejadian di wilayah Jenggawah, Jember. Karena
itu di Skema 2 menjabarkan pula soal ini.
1. Islam
2. Jawa Timuran
3. Subbudaya Madura
Subbudaya sebagai konteks makna atau jaringan makna menciptakan etika sosial yang dominan
dan memadai bagi munculnya bara atau spirit protes. Pertama, ada etika sosial yang merupakan produk
dialektika budaya besar dan kecill. Kedua, ada kondisi memadai yang merupakan produk dialektis antara
kerawanan sosial, ekologis, dan monokultur yang terus menerus berakumulasi, bara api (proses petani)
dalam konteks ini tinggal menunggu waktu persinggungan antara elit kekuasaan yang memegang
pasang-surut air para petani terendam.
Posisi konflik tanah Jenggawah, sebenarnya terjadi di tiga kecamatan dan lima desa yang terlibat
secara intens. Wilayah yang terlibat dalam konflik ini adalah Desa Kaliwining (Kecamatan Rambipuji),
Desa Cangkring Baru, Desa Jenggawah, Desa Sukomakmur (Kecamatan Jenggawah) dan Desa Lengkong
(Kecamatan Mumbulsari).
Dalam peta Kabupaten Daerah Tingkat II Jember, kasus ini terletak di daerah Jember Selatan
(lihat peta) yang secara ekologis merupakan dataran rendah yang ditaburi bukit-bukit kecil sehingga
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
tanahnya sangat subur, sebagai tempat bercocok tanam dengan sistem tadah hujan. Secara kuantitas,
jumlah mitra masyarakat petani yang terlibat dalam konflik kurang lebih 1.800 Kepala Keluarga.
Kabupaten Jember, dengan ibukota Jember, terletak di Provinsi Jawa Timur berdiri pada 8
Agustus 1950 dengan landasan hokum UU No. 12/1950. Luas wilayah kabupaten ini sekitar 2.518,82 km 2
(5,25 persen luas Provinsi Jawa Timur). Kabupaten ini sejak zaman Hindia Belanda dikenal sebagai
daerah pusat perkebunan tembakau.
13. Lihat, Otto Syamsudin Ishak, “Gerakan Protes Petani: sebuah Sketsa Teoritis Strukturalis Scottian dan
Kulturalis Weberian,” dalam Prisma, No. 7. 1996. Hal 87-96.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Disebut sebagai konflik tanah Jenggawah, karena tempat ini merupakan pusat penyebaran
konflik, dengan beberapa tokohnya yang terlibat dan sebagai pengkonsolidasi massa, terutama pada
konflik 1979. Pusat penyebaran ini dapat dipetakan sebagai berikut, konflik pertama-tama muncul pada
1979, di sekitar Desa Jenggawah, meskipun para petani yang melakukan tindak kekerasan bukan hanya
berasal dari Desa Jenggawah, tetapi juga berasal dari Desa Rambipuji, Desa Lengkong, Desa Ajung, Desa
Membulsari, Desa Cangkring Baru, dan Desa Kaliwining.
urbanisasi karena kebutuhan tenaga kerja di perkebunan besar Hindia Belanda. Sementara pendatang
lain berasal dari Lumajang, Kendal (JawaTengah), dan Ponorogo.
Karena itu struktur sosial Jenggawah didominasi oleh dua kultur budaya ini, yaitu budaya santri
dan budaya “kejawen, atau abangan.” Meskipun demikian, kedua kultur ini sesungguhnya telah
menampakkan proses
Karena itu struktur sosial Jenggawah didominasi oleh dua kultur budaya ini, yaitu budaya santri
dan budaya “kejawen, atau abangan.” Meskipun demikian, kedua kultur ini sesungguhnya telah
menampakkan proses akulturasi sosial. Tidak teralu mudah untuk menafsirkan secara hitam putih.
Tetapi sejarah perkembangan Jember termasuk di dalamnya Jenggawah, memberikan lustrasi
perpaduan budaya ini. Dalam kenyataan, struktur sosialnya didoaminasi oleh kultur santri (dari Madura).
Dominannya kultur santri memiliki peran cukup mendasar dalam berkembang dan dominannya kultur
“kewibawaan tradisisonal.” Kiai diberi tempat cukup penting dalam kultur sosial ini.
Tetapi, model-model pola kewibawaan ini pun tidak serta merta muncul dan terjadi. Model ini
berkembang cukup lama, menurut Kar D. Jackson, karena struktur pola hubungan patron client,
dibangun berdasarkan jangkan waktu cukup lama. Apalagi, secara sosial, perkebunan telah membawa
dampak ekonomi cukup dramatis. Perkebunan Hindia Belanda, memperkenalkan sistem ekonomi
komersial. Sistem ekonomi ini dianggap sebagai ancaman dari sistem ekonomisubsisten yang selama ini
berkembang dalam pola hubungnan patron-client. Patron menjadi pelindung dari client, sementara
client melindungi pila kepentingan patron. Dengan masuknya sistem perkebunan komersial, pola saling
menguntungkan ini dianggap berada dalam ancaman.
Menyadari munculnya pola struktur sosial demikian, maka kebijakan perkebunan yang
diterapkan adalah pola kemitraan. Onderneeming memberi bibit dan uang untuk menggarap lahan agar
petani tetap eksis, dengan sistem geblangan, dan sebaliknya petani harus pula melindungi kepentingan
Onderneeming untuk produksi tembakau Na Oogst dan harus menjual ke Onderneeming. Perkembangan
perkebunan masa Hindia Belanda yang terjadi kemudian tetap mampu mempraktikkan dua pola sistem
sekaligus, yaitu sistem ekonomi komersial yang juga menghidupi pla sistem ekonomi subsisten.
Ketika perkebunan dinasionalisasi dan diambil alih oleh negara, muncul masalah mendasar,
terutama urusan dengan “tanah.” Pada masa Onderneeming, rakyat menggarap tanahnya sendiri,
kemudiandiberlakukan pula sewa menyewa tanah. Tetapi ketika perkebunan mulai diambil alih oleh
PNP, timbul masalah, karena tanah diklaim sebagai milik PTP XXVII, sedangkan rakyat hanya memiliki
hak sebagai penggarap.
Jika dilihat dari asal usulnya, tanah sumber konflik antara petani dan PTP XXVII yang kemudian
melibatkan Negara Orde Baru (NOB) adalah bekas hak erpacht Hindia belanda. Berdasarkan bahan
sekunder dan cerita para penduduk, hasil penelitian George Bernie di distrik Bondowoso (termasuk di
dalamnya Jenggawah, sebagai bagian wilayah distrik Bondowoso) pada 1859 menunjukkan bahwa
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
wilayah tersebut sangat subur dan cocok untuk jenis tembakau Na Oogst. Selanjutnya Bernie
mengajukan permohonan izin membuka perkebunan (Onderneeming)tembakau di Jember pada
Pemerintah Hindia Belanda berdasarkan Agrarisch Besluit (AB). Menurut versi petani, George Bernie
pada 1870 mendapatkan hak erpacht untuk membuka perkebunan tembakau meliputi Kecamatan
Rambipuji, Mangli, Jenggawah dan Mumbulsari di Jember. Hak erpacht diberikan untuk jangka waktu 75
tahun.15 Tetapi karena Jember waktu itu jarang penduduknya, Pemerintah Hindia Belanda
mendatangkan tenaga kerja dari Madura dan Kendal untuk membuka lahan hutan. Pada perkembangan
berikutnya, rakyat diberi hak menanam palawija dan padi serta tidak ditarik pajak dengan konsekuensi
harus menanam tembakau jenis Na Oogst,16 dengan sistem geblangan (untuk memelihara
kesuburan tanah) dan bagi hasil. Tanah yang sudah dibabat, diperuntukkan perkebunan pemukiman
penggarap, sarana sosial, gedung oven, gudang penyimpanan, rumah karyawan perkebunan dan kantor
pengelolaan perkebunan NV. LMOD (Namloose Vennoetschaap Maatschappy Ould Djember).
Sebenarnya masa berlaku Onderneeming tersebut akan habis pada 1945, tetapi keadaan ini
berubah setelah Pemerintah Hindia Belanda kalah oleh pemerintah pendudukan Jepang. Pada 1943
terjadi kondisi vakum – yang segera diambil alih oleh rakyat – sampai kemudian diambil denganpaksa
oleh Jepang sebagai penguasa baru, dan rakyat diwajibkan menanam kapas yang seluruh hasilnya
diserahkan kepada Jepang. Ketika Jepang menyerah kepada Sekutu, dan terjadi kevakuman lagi, tanah
kembali dikelola oleh petani. Perkembangan selanjutnya 1953, petani yang memngambil alih lahan
bekas hak erpacht, dibebani pajak dan diberikan nomor pipil/petok D. Ketentuan membayar pajak
berlangsung hingga 1970. Pada saat mereka dibebani pajak ini, sebenarnya tanah bekas hak erpacht
sudah dikuasai oleh PPN Baru Jatim IX. Hal ini berkaitan dengan diberlakukannya UU No. 86/1959 (UU
tentang Nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda yang berada di RI), Jo. PP. No. 4/1959
tentang penentuan perusahaan pertanian/ perkebunan tembakau milik Belanda yang dinasionalisasi,
maka NV LMOD secara otomatis terkena nasionalisasi dan tanah hak erpacht menjadi milik negara.17
Diawali dengan PP No. 173/1961 dibentuklah Perusahaan Perkebunan Negara Kesatuan jatim
(PPN Baru Jatim IX); yang kemudian bentuknya diubah menjadi Perusahaan Perkebunan (Negara)
Tembakau V dan VI melaui PP No.30/1966. Selanjutnya, melaui PP No. 14/1968 digabungkanlah
Perusahan Negara Perkebunan (PNP) XXVII. Hingga akhirnya lewatPP No. 7/1972 tentang pengalihan
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
bentuk PNP XXVII menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) PT. Perkebunan XXVII, maka PNP XXVII
dialihkan menjadi PTP XXVII.
Dalam proses peralihan bentuk tersebut, diterbitkan SK Mendagri No. 32/HGU/DA/1969
tertanggal 5 Desember 1969. Menurut wakil negara, SK ini dan SK No. 15/HGU/DA/1970 tertanggal 18
Juni 1970 yang meberikan dua Hak Guna Usaha (HGU) kepada PNP XXVII atas tanah bekas hak erpacht
NV. LMOD dianggap cacat hukum. Karena sebenarnya peraturan yang ada adalah mengatur tentang
HGB (hak guna bangunan) dan merujuk pada konsideran point 5 SK tersebut, yakni, HGB berlaku bila
tidak terdapat adanya tanah rakyat yang digarap/atau diduduki rakyat. Sedangkan pada saat
diberlakkukannya kedua SK tersebut, tanah bekas hak erpacht masih digarap dan atau diduduki oleh
rakyat. Dariperbedaan pemahaman tentang pemberian HGU/HGB inilah, akhirnya konflik mulai terlihat
intens dan trasparan.
15..Dokumen sekunder yang diperoleh dari petani Desa Kaliwining pada 1995
16..Na Oogst adalah jenis tembakau yang ditanam pada musim penghujan, yang memerlukan waktu persiapan tanam
sampai dengan selesai petik daun antara Juli-Desember
17..Laporan kunjungan kerja tim tanah Fraksi Persatuan Pembangunan DPR-RI, tahun 1993
Kerusuhan itu memunck pada Juli 1979, sehingga terjadi pengrusakan terhadap tanaman,
rumah dan pembakaran gudang. Kerusuhan disertai oleh tindak kekerasan petani Jenggawah, memaksa
pengerahan 6 peleton pasukan tempur. Massa yang rusuh ditenangkan dengan menggunakan
helikopter.18 Buntutnya, sebelas orang pemimpin petani dinyatakan bersalah di Pengadilan Negeri
Jember dan Pengadilan Tinggi Surabaya. Mereka dijatuhi hukuman sekitar 13 bulan, hanya satu orang
yang lolos, dan segera mengajukan permohonan kasasi ke MA yang ternyata dikabulkan. Akhirnya
kesepuluh tokoh petani yang ditahan tersebut dibebaskan dari segala tuntutan hukum dan dinyatakan
tidak bersalah.
Setelah peristiwa 1979, petani tampaknya mengambil strategi cooling down menuju pada
status wilayah yang diperlihatkan aman. Strategi perjuangan dilakukan dengan melakukan konsolidasi
interen, yaitu memantapkan langkah dalam berkonflik. Pertama, adanya kesepakatan menunggu masa
berakhirnya HGU pada 1995. Kedua, dalam menanti masa berakhirnya HGU itu, masing-masing desa
yang terlibat dalam konflik memilih dan menugaskan tuntutannya kepada 2 pemimpin masing-masing
desa. Tercata nama-nama pemimpin mereka di antaranya Moch. Imam Chudori, Drs. Ahmad Yusuf,
Masduki P. Anang, H. Much. Imam Mashuri, H. Lutfillah, Khotib, Sarman, M. Cholil, dan (Alm) Imam
Rusdiono. Masing-masing pemimpin bertugas melakukan konsolidasi di daerahnya yaitu Desa Cangkring
Baru, Desa Lengkong, Desa Kaliwining, Desa Jenggawah dan Desa Sukomakmur. Ketiga, membentuk
jaringan dan bertemu dengan aktivis seperti LBH atau aktivis hukum lain guna menyusun surat
permohoan yang disesuaikan dengan jumlah petani, yang dianggap masih memiliki bukti hukum untuk
dipergunakan mengajukan tuntutan.
Dasar penentuan pemimpin sebagai wakil para petani dalam mengorganisasikan
kepentingannya yaitu (a) alasan penguasaan masalah, apakah seseorang mempunyai kemampuan dan
dasar-dasar keahlian tentang tanah yang mereka perjuangkan; (b) konsistensi perjuangan, keberanian,
dan sikap ngemong sebagai suatu wibawa untuk mengorganisasikan kepentingna mereka, baik ketika
berhadapan dengan petani maupun dengan aparat pemerintah.
18. Eman Rajdagukguk, “Pemahaman Rakyat tentak Hak atas Tanah”, dalam Prisma, No. 9 September 1979, hal.
14-16
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Konsolidasi ini berlangsung sejak 1980-1994. Upaya memperjuangkan tanah bekas hak erpacht
adalah (1) melalui jalur permohonan legal; (2) konsultasi hukum; dan (3) dengan tindakan sosialisasi
konsistensi perjuangan tentang tanah yang mereka minta, terutama, kesiapan menanti masa
berakhirnya HGU 1995. Kurun waktu masa penantian kurang lebih 25 tahun itu, dengan berbagai
endapan masalah yang terjadi, tiba-tiba menbakar emosi mereka ketika pada Mei 1995, sebagai
momentum yang dinantikan, ternyata HGU diperpanjang lagi.
Ledakan konflik dengan berbagai konsekuensinya ini bermula dari munculnya keputusan
Menteri Negara Agraria/badan Pertanahan Nasional No. 74/HGU/BPN/1994tentang pemberian
perpanjangan hak guna usaha PT Perkebunan XXVII atas tanah perkebunan Ajong Gayasan di Kabupaten
Jember. Petani tidak bisa menerima kenyataan ini, dan menganggap PTP XXVII adalah penyebabnya
karena dinilai telah memanipulasi keadaan sebenarnya. Dalam permohonan tanah tersebut dijelaskan
bahwa tanah yang bersangkutan adalah tanah kosong dan hanya ada kebun karet. Padahal kenyataanya
dari tanah HGU yang diperpanjang tersebut sebagian besar telah menjadi pekarangan yang terdiri dari
berbagai bangunan
Akibatnya, kasus 1979 terulang kembali. Pada kamis, 4 Mei 1995 ratusan warga, yang
menunggu penyelesaian sengketa tanah HGU antara PTP XXVII dan petani, melakukan aksi kekerasan
dengan modus hampir sama dengan peristiwa Januari dan Juli 1979. Warga petani Jenggawah dan
Kaliwining kembali memporak-porandakan rumah dan gudang di wilayah Dusun Curahwelut , Desa
Pancakarya, Kecamatan Jenggawah, serta Dusun Curah Suko dan Dusun Curah Banteng, Desa kaliwining.
Jalan menuju rumah mandor di gali dan ditanami pohon pisang. Di halaman rumah itu pula, puluhan
pohon pisang ditebang. Perusakan di rumah mandor Mulyadi terjadi sekitar pukul 09.00. sebanyak 250
warga merobohkan atap teras rumah mandor dan menggali tanah di halaman rumah.
Perusakan serupa terjadi dirumah mandor Tonali, Dusun Curahrejo, Desa Sukomakmur,
Kecamatan Jenggawah. Selain rumah mandor Tonali, rumah mandor Sodiq di Desa Manggara,
kecamatan Jenggawah, dan rumah mandor Sidik di Dusun Curahkendal desa setempat juga diserbu
warga. Aksi ini berlanjut dengan pembakaran gudang milik PTP XXVII, perusakan kantor BPN Jember,
serta aksi pemukulan terhadap Ketua BPN Jember. Massa benar-benar menumpahkan kekecewaannya
dengan cara tindak kekerasan dan perusakan.19
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Rasa ketidakpuasan ini, jika dilihat dari struktural Scottian dengan 3 bentuk kerawanan yang
dialami petani, ternyata konflik tanah Jenggawah memiliki tingkat kerawanan struktural yang
mengakibatkan munculnya protes petanidengan tindakan kekerasan (lihat Skema 1).
Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian perpanjangan HGU oleh Menteri
Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata, baik secara legal
maupun struktural.
Memperhatikan model kerawanan Scottian maka pemberian perpanjangan HGU oleh Menteri
Negara Agraria/Badan Pertanahan Nasional dapat dianggap sebagai ancaman nyata, baik secara legal
maupun struktural. Sebab dengan perpanjangan HGU berarti para petani yang berharap HGU tidak
dapat diperpanjang sebagai konsekuensi konsideran pada point 5 SK tahun 1969 yang berbunyi bahwa
HGU hanya berlaku apabila tidak terdapat tanah rakyat yang digarap atau diduduki rakyat, namun tanah
itu di duduki dan digarap oleh petani, ternyata masih diberikan kepada PTP, maka keputusan ini
dianggap sebagai ancaman.
Mengapa hal ini dianggap ancaman oleh petani Jenggawah? Pertama, karena dengan
diberlakukannya kembali HGU, maka praktis hidup petani dibawah bayang-bayang PTP, sebab tanah
yang mereka garap bukan hak milik secara hukum, hingga sewaktu-waktu dapat mengancamnya. Kedua,
aset tanah yang dicakup oleh perpanjangan HGU tersebut meliputi seluruh luas tanah di 5 desa, sekitar 2
ribu hektar, yang berarti hidup para petani di bawah wilayah kekuasaan PTP. Ketiga, potensi tanah yang
menjadi sumber konflik merupakan penghasil terbesar tembakau jenis Na Oogst di 1980 menunjukkan
bahwa tembakau rakyat di Karesidenan Besuki, termasuk Jenggawah, sebagai salah satu bagiannya,
memiliki kontribusi cukup besar.
Dari penjelasan ini sebenarnya spirit protes petani Jenggawah muncul akibat kerawanan
struktural yang dianggap merugikan mereka. Sementara aspek kerawanan ekologis tidak
mempengaruhi, karena wilayah Jenggawah merupakan areal tanah yang sanagt subur. Demikian pula
kerawanan monokultur masih belum mampu mempengaruhi munculnya spirit protes petani, karena
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
kultur pertanian masih bervariasi, artinya tidak khusus untuk satu tanaman saja yang diharuskan kepada
petani; mereka masih boleh menanam padi dan palawija.
Tipologi Kelompok-Kelompok yang Berkonflik
Berkaitan dengan konflik tanah yang muncul, ada beberapa pertanyaan yang dapat diajukan
untuk lebih mendalami kompleksitas permasalahan petani Jenggawah. Bagaimana tipolaogi kelompok-
kelompok yang berkonflik? Jika tipologi dipahami sebgai upaya penyederhanaan atas ruwetnya
kelompok yang terlibat dalam interaksi yang mengakibatkan konflik, bagaimana perilaku-perilakunya?
Kelompok mana yang kuat dan kelompok mana yang lemah? Apakah tipologi terhadap mereka yang
terlibat dalam konflik bersifat homogen, jika mengacu pada tindakan mereka yang cenderung radikal?
Menurut Paige, tipologi konflik pertanian terjadi antara organisasi pertanian yang disokong oleh
kebijkan dan mereka yang berkedudukan sebagai pekerja; terjadi antara kelas atas baru dalam pertanian
(pemilik modal) dan petani lama ang menguasai tanah; juga antara masuknya tanah ke dalam
commercial enterpreneur dan petani penyewa yang dibatasi tenaga kerjanya baik yang sewaan maupun
yang tetap.21
Sedangkan Stincombe menjelaskan tipologi konflik pertanian terjadi antara the family-sized-
tenancy atau keluarga penyewa dengan plantation atau perkebunan. Keluarga penyewa merupakan
penghasil intensitas konflik organisasi pertanian, bahkan merupakan sumber lahirnya revolutionary
action.22 Pakar lain, yakni Wolf
20. Lihat Jamie , “Perkebunan dan Tanaman Perdagangan di Jawa Timur: Pola yang sedang berubah,” dalam
Howard Diel (ed). Pembangunan yang berimbang Jawa Timur dalam era orde baru (Jakarta: Gramedia, 1997), hal.
282-286
21. Paige, op.cit., hal. 4-6
22. Ibid
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
berargumen bahwa middle peasant adalah penghasil basis massa revolusi.23 Dari kategorisasi tersebut,
tipologi Stincombe tampaknya agak relevan dengan kasus Jenggawah, yang sebenarnya merupakan
konflik antara penggarap dan pihak perkebunan.
Pihak penggarap (petani) dalam status tanah HGU merupakan basis sumber konflik atau
bahkan juga merupakan sumber lahirnya konflik 1969-1995, dengan kecenderungan tindakan radikal.
Kelompok-kelompok yang berkonflik di Jenggawah dijelaskan dalam Skema 3.
Dari Skema 3 tampak bahwa tipologi kelompok-kelompok yang terlibat dalam konflik tanah di
Jenggawah adalah (1) petani dan kelompok-kelompok penekan yang mendukung petani; (2) Negara dan
aparatnya; (3) Tim mediasi; (4) PTP XXVII dan buruh tani, mandor dan centeng; serta (5) petani fiktif.
Petani Inti Basis Konflik
Menurut istilah penduduk Jenggawah, petani inti disebut sebagai petani keturunan, yaitu
petani dengan bentuk penguasaan tanah yasan, berupa tanah yang diperoleh berkat usaha nenek
moyang mereka dalam membuka hutan liar untuk dijadikan sebagai tanah garapan. Dengan kata lain,
dengan kata lain hakseseorang atas tanah ini berasal dari fakta bawa dialah, atau nenek moyangnya
yang semula membuka tanah tersebut. Istilah tanah yang dibuka, menurut bahasa Jawa yoso, berarti
membuat sendiri atau membangun sendiri (bukan membeli).24 Jumlah petani ini sangat besar, tersebar
di 5 desa dan 3 kecamatan, yaitu Desa Kaliwining (450 KK), Desa Cangkring (385 KK), Desa Lengkong (250
KK), Desa Jenggawah (375 KK) dan terakhir Desa Sukomakmur (340 KK) yang tersebar di tiga kecamatan
Mumbulsari dan Kecamatan Jenggawah.
Petani ini dianggap sebagai cikal bakal penduduk yang menguasai tanah HGU hingga sekarang,
sebagaimana penuturan para pemimpin mereka.25
Petani keturunan adalah nenek moyangnya orang-orang yang membabat tanah di perkebunan NV
LMOD di Jember, saat pertama kali pembukaan lahan perkebunan tembakau oleh Belanda. Mereka
didatangkan dari Madura, Pasuruan, Ponorogo (Jawa Timur0 dan CurahKendal (Jawa Tengah). Paling
besar jumlahnya adalah mereka yang berasal dari Madura. Mereka dianggap sebagai generasi pertama,
hingga kini masih banyak yang hidup, meskipun sebagian telah bergeser (pindah) ke anak-anaknya
sebagi generasi kedua.”
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
23. Ibid
24. Gunawan Wiradhi dan Mikali, “Penguasaan Tanah dan Kelembagaan, “ dalam Faisal Kasryno (ed), Prospek
Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia (Jakarta: Yayasan Obor, 1984) hal. 48
25. Hasil wawancara dengan para informan di Jenggawah, Lengkong, dan Kaliwining, Kabupaten Jember, Oktober
1995.
NEGARA DAN
APARATNYA
Keterangan garis skema:
Garis interaksi konflik
Garis Interaksi resiprositas
Garis control politik
Kalau membandingkan asal-usul mereka dalam kaitannya dengan budaya yang mempengaruhi
perilaku mereka, ternyata ada dua akar yang kuat, meminjam terminologi Geertz (santri-abangan).
Paling tidak, jika dikaitkan dengan presepsi elit (para pemimpin petani)masing-masing desa, ada 2 orang
dalam menggagas strategi konflik apakah konservatif atau radikal. Secara sepintas, mereka yang berasal
dari Madura (yang jumlahnya cukup besar – hampir menjadi warga yang dominan di Jenggawah)
mewakili varian santri dengan perilaku konservatif dalam konflik, sementara yang berasal dari Curah
Kendal dan Ponorogo, masih mewarisi varian abangan dalam perilaku konflik.
Dari perbedaan ini, maka petani keturunan (petani inti basis konflik) terbagi menjadi dua
secara realitas konflik, yaitu (1) petani radikal dan (2) petani konservatif. Kedua tipologi petani inti basis
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
ini terpusat pada dua kekuatan pengaruh kepemimpinan yanitu petani konservatif yang cenderung
dekat dengan tipe kepemimpinan santri dari kelompok-kelompok petani yang moderat, sedangkan
kelompok petani radikal diperkenankan oleh kelompok yang lebih dekat dengan tipe kepemimpinan
abangan yang dimainkan oleh kelompok-kelompok petani yang radikal.
Dikotomi petani ini didasarkan pada persepsi pemimpin (elit) dalam memandang konflik yang
terjadi serta strategi konflik yang akan diterapkan. Persepsi ini tampak di antara kedua kelompok itu.
“... bahwa strategi kelompok-kelompok abangan terkesan sangat keras, baik di tingkat ide maupun
tindakan yang tidak terorganisir.ide yang keras ini muncul setelah mengadakan aksi (terjadinya
aksi). Strategi ini muncul, karena ada kecenderungan bahwa suara mereka baru didengar oleh
pemerintah kalau terjadi keributan dan kekerasan.26
Di sisi lain, salah sseorang informan yang berhasil diwawancarai mengatakan:
“... bahwa kekerasan yang terjadi juga diakibatkan oleh ketidakpastian posisi kasus tanah yang
sedang terjadi, sehingga rakyat mempunyai perasaan susah untuk diajak kompromi. Saya tidak
bisa mencegahnya, apabila ada kekerasan-kekerasan yang muncul.”
Posisi yang berbeda terjadi pada kelompok yang cenderung dekat dengan tradisisantri
yang lebih moderat dan mengambil sikap, sebagaimana hasil wawancara yang pernah
dilakukan.27
“... mereka telah mengadakan perjanjian dengan para petani, bahwa pihak I (petani) tidak bisa
berbuat dan bertindak yang berhubungan dengn masalah tanah tersebut, tanpa sepengetahuan
dan persetujuan pihak II (pemimpin petani). Peristiwa penantanngan carok oleh H. Mushlis,
menunjukkan bahwa pemimpin kelompok mempunyai tanggung jawab untuk mengendalikan
massanya. Alasannya, saya ingin memberi contoh pelaksanaan hukum dan ketaatan di hadapan
hukum.”
“... kekerasan adalah dosa menurut ajaran Islam dan itu dilarang oleh agam. Iniselalu saya jelaskan
kepada para petani baik melaui informasi pengajian maupun saat tahlilan.”
Implikasi dari presepsi yang berbeda ini, ternyata melahirkan model strategi yang berbeda pula
dalam tindakan-tindakan petani untuk memenangkan konflik. Perbedaan itu terlihat bahwa petani
radikal memandang (1) cara kekarsan efektif untuk memancing perhatian umum dan pemerintah pusat,
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
agar konflik segera diselesaikan. (2) Untuk itu, strategi konflik dianggap efektif, bila dilakukan dengan
cara ekstra legal. Sementara kelompok petani konservatif memandang bahwa strategi (1) harus
dilakukan dengan cara prosedurral, sebab bagaimana pun status tanah HGU perlu mendapat jaminan
secara hukum; (2) untuk memudahkan ini, mereka menolak cara-cara kekerasan, tetapi menggunakan
cara damai dan konsolidasi memenagkan massa dengan pendekatan keagamaan melaui tahlilan, agar
massa dapat dikendalikan; (3) persepsi ini dilatarbelakangi oleh pemahaman bahwa cara kekerasan
justru dianggap merugikan.
Betapapun, dalam tingkat persepsi mudah untuk dibedakan dua kelompok elit petani radikal
dan konservatif; persoalannya adalah bahwa komitmen elit ini tidak tertransformasi pada massa yang
bergejolak dengan aneka pemupukan kekecewaan dan keputusasaan yang telah menghinggapi. Kerena
itu sangat sukar untuk memisahkan dikotomi tersebut, dalam tingkat presepsi mungkin dapat
dipisahkan, tetapi dalam tindakan kolektif menjadi sesuatu yang sangat sukar untuk dipilah, massa mana
yang radikal dan massa mana yang cenderung konservatif. Meski bergitu, formulasi presepsi ini,
memberikan gambaran bahwa ada gejala dikotomi itu, dan tentu saja akan berimplikasi pada gerakan
politik dalam konflik tanah yang mereka lakukan.
Pada sisi lain, basis inti petani yang terlibat dalam konflik menurut umur, terlihat didominasi
oleh interval usia antara 54-57 tahun. Secara kasar, tingkat umur ini, memiliki signifikasi dengan
mudahnya intensitas konflik untuk meluas dan berkembang, apa lagi luas tanah yang dijadikan ajang
konflik cukup luas. Intensitas ini juga dipengaruhi oleh konsistensi perjuangan para pemimpinnya ketika
mereka mengkonsolidasikan massa untuk mendukung mempertahankan tanah HGU dan mengajukan
melalui jalur hukum yang ada. Termasuk hal ini adalah pengorbanan harta benda mereka yang tidak
terhitung besarnya dalam mengajukan permohonan milik baik melaui surat yang ditunjukan kepada
instansi yang dianggap berwenang dengan konflik tanah yang terjadi.
Identitas para petani inti basis konflik ini, sekaligus menunjukkan para petani yang memohon
agar tanah HGU bekas hak erpacht itu dialihfungsikan menjadi hak milik kepada para petani. Basis sosial
petani inti basis, jika dilihat dari sisi umur, jumlah, latar belakang dan tanah yang dimohon dapat dilihat
Tabel 1 dan Tabel 2.
Para pendukung PTP XXVII adalah buruh tani, mandor dan para centeng. Buruh tani adalh
mereka yang bekerja sebagai buruh di perkebunan. Petani ini sangat tergantung pada PTP, karena
sebagian dari mereka adalah tenaga kerja harian. PTP, dalam konflik yang terjadi, menggunakan alasan
ini untuk menandingi aksi-aksi kekerasan petani inti basis yang terlibat dalam konflik tanah, seperti
munculnya bentrokan fisik antara petani inti basis konflik dan para buruh perkebunan.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Sumber. Diolah dari data sekunder permohonan petani di Desa Lengkong dan Desa Kaliwining
Sumber. Diolah dari data sekunder permohonan petani di Desa Lengkong dan Desa Kaliwining
Kelompok pendukung PTP lainnya adalah para mandor dan para centeng. Mandor sebenarnya
memiliki peran cukup mendasar untuk menjembatani kepentingan petani dengan PTP. Tetapi tindakan-
tindakan mereka seringkali dianggap merugikan petani. Karena itu, saat konflik Mei 1995 meletus,
sasaran pertama yang diserbu adalah rumah mandor PTP. Ini terjadi,karena petani merasa penerapan
kebijakan PTPyang dilaksanakan oleh mandor, justeru diselewengkan; baik mulai saat merekrut tenaga
kerja, penggarapan lahan di sawah atau saat bagi hasil panen dengan PTP. Perselisihan sering terjadi
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
berkaitan dengan kriteria kualitas tembakau yang acapkali dimanipulasikan mandor apakah masuk
kriteria A (baik), B (sedang) dan C (cukup).
Di samping itu, muncul perlakuan diskriminatif yang dilakukan oleh mandor dan centeng,
disertai tindakan teror. Tindakan ini tercermin dalam beberapa kasus yang pernah terjadi misalnya,
peristiwa pembabatan sekitar 300 pohon jeruk milik H. Muchlis oleh orang-orang yang tidak dikenal.
Peristiwa di Ajong dengan pembabatan yang dilakukan oleh orang-orang suruhan PTP pada waktu padii
kurang 3 harilagi akan dipanen, tetapi esoknya sudah rata dengan tanah.peristiwa lain adalah
penantangan carok oleh tiga orang yang mengaku suruhan PTP yang terjadi di Kaliwining, sehingga
ketiga orang tersebut dikepung dan akan diadili oleh massa sekitar 500 orang.
Di sisi lain PTP acapkali menerapkan kebijakan kerjasama dengan petani yang diserai oleh
aparat keamanan, tanpa pendekatan persuasif. Kebijakan yang diterapkan justru sebaliknya, meskipun
telah ada perjanjian dengan para petani, kadang-kadang mengalami penyimpangan dalam pola
kemitraan yang diterapkan. Apalagi PTP merupakan bagian dari aset negara, maka aparat pemerintah
atau negara tampak melindungi kepentingannya, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten maupun
pusat.
Perkembangan konflik menunjukkan penyimpangan, misalnya munculnya petani fiktif yang dianggap
mempuunyai hubungan khusus dengan aparat dan PTP, sebab dari temuan terakhir, ternyata mulai
1979-1987 petani fiktif ini dapat menyertifikatkan tanah HGU (seharusnya menurut hukum jika
diterapkan secara konsisten, tidak dapat dilakukan karena menyalahi aturan yang ada).28 Petani fiktif
muncul sebagai akibat penyalahgunaan wewenang atas tanah HGU, dengan terjadinya jual beli di bawah
tangan antara petani fiktif dan orang-orang tertentu yang punya akses dengan PTP.
Implikasinya di kalangan petani muncul dugaan kuat adanya kolusi antara beberapa aktor PTP
dan aparat negara untuk meloloskan permohonan sertifikat, kepada beberpa orang, baik mantan
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
pejabat PTP maupun non-pribumi yang berstatus sebagai pengusaha. Data terakhir menunjukkan ada
sekitar 27 sertifikat.
Kelompok-Kelompok Penekan Pendukung Petani Inti Basis Konflik
Kelompok ini merupakan kelompok penekan yang cenderung terlibat secara intens dalam
konflik yang terjadi di Jenggawah. Mereka terbagi dalam dua kelompok, yaitu (a) kelompok advokasi;
dan (b) kelompok jalanan. Kelompok advokasi diwakili oleh Lembaga Bantuan Hukum, atas permintaan
petani, untuk menjadi konsultan hukum dalam menuntut hak-hak mereka. Sedangkan kelompok
jalanan, diwakili oleh komite-komite solidaritas yang dibentuk oleh aktivis mahasiswa baik dari intra
kampus maupun ekstra kampus. Di antara aktivis jalanan yang terlibat adalah aktivis dari GMNI, HMI,
dan mahasiswa Jember.
Upaya ini dilakukan lebih untuk mendukung moral para petani yang tertindas dan tidak
berdaya. Upaya dukungan kelompok jalanan ini dilakukan dengan cara unjuk rasa, demonstrasi dan aksi-
aksi keprihatinan.
Pembentukan Tim Mediator
Dalam pandangan teoritis, mestinya mediator dibentuk oleh pihak yang berkonflik, yaitu
petani dan PTP. Tetapi, melihat perkembangan konflik yang semakin meluas, Pangdam V Brawijaya
mencoba mengusulkan pembentukan tim mediasi setelah sebelumnya posisi konflik dinyatakan dalam
kodisi staus quo, atau berada dalam pengawasan keamanan. Maka, sebagai terapi cooling down, salah
satu strategi yang dipilih oleh Pangdam V Brawijaya adalah pembentukan tim mediasi yang terdiri dari
Kiai Yusuf Muhammad, Kiai Lutfi, dan Kiai H. Khotib Umar.
Implikasinya, mau tidak mau, petani yang terlibat dalam konflik tanah harus bersedia
menerima kehadiran mereka. Ini yang disebut oleh Kerr sebagai suatu arbritasi/penindasan, sebab
pihak-pihak yang berkonflik tidak memiliki alternatif untuk menyelesaikan konflik. Kelompok petani
radikal meolak kehadiran tim mediasi karena dianggap justru akan merugikannya, dan akan lebih
menguntungkan PTP. Sementara kelompok petani konservatif melihat hal ini positif, untuk
mengartikulasikan kepentingan yang akan diperjuangkan. Perbedaan ini menyulut konflik interen antar
kelompok petani, karena dianggap beberapa elit pemimpin akan memanfaatkan momentum ini untuk
kepentingan pribadi. Prasangka ini dinilai wajar, sebab kehadiran tim mediasi masih dianggap teka-teki,
menguntungkan atau merugikan.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Sementara teori strukturalis semi otonom mempersepsikan negara sebagai lembaga politik
yang lebih otonom. Negara dianggap lebih berperan sebagai penengah konflik antara berbagai
kelompok kepentingan, sehingga pembangunan oleh negara dipandang sebagai upaya menggalang
sumber daya untuk menengahi konflik yang terjadi.31
Negara dalam kedua terminologi tersebut, dopersonifikasikan baik secara individual maupun
lembaga. Nordlinger melihat negara secara subjektif atau dalam perangkat analias individual yaitu
individu yang menduduki posisi yang memiliki kewenangan membuat dan melaksanakan keputusan
yang mengikat semua pihak yang ada dalam wilayah tertentu. Termasuk dalam kategori ini adalah
presiden, para menteri, dan para kepala daerah. Sementara Kresner dan Scotpol melihat negara dalam
arti lembaga dan individu, seperti Mahkamah Agung, militer, kehakiman, BPN, ABRI, maupun
Pengadilan, DPR, dan lain-lain.32 Sementara individu adalah seperti Bupati, Menteri, Presiden dan Wakil
Presiden, dan Pangdam V Brawijaya.
Studi ini menemukan bahwa arah kontrol politik hanya diberikan dan diterapkan oleh negara
dan aparatnya terhadap petani dan kelompok-kelompok penekan yang mendukungnya, serta tim
mediator. Sementara kecenderungan kolusi yang menguntungkan PTP tampak sekali dalam berbagai
tindakan aparat negara.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Kontrol politik oleh negara Orde baru (NOB) dan aparatnya, dilihat dari dua kriteria yaitu (a)
siapa yang melakukan intervensi/ kontrol politi; dan (b) dalam bentuk apa intervensi/ kontrol politik
dilakukan, baik kepada petani dan kelompok penekan, maupun tim mediasi. Sedang arah efektivitasnya
dilihat melalui tiga kriteria yaitu, (1) apakah efektivitasnya tinggi, ditandai dengan stabilitas konsensus;
(2) apakah efektivitasnya semu, ditandai dengan melatenkan konflik yang terjadi; dan (3) apakah
efektivitasnya rendah, ditandai dengan mematikan konflik politik yang terjadi.
Dari Skema 4 terlihat kontrol polotik yang dilakukan oleh negara justru melahirkan efektivitas
semu dan rendah. Ini berbeda dengan harapan masyarakat agar efektivitas penyelesaian yang tinggi –
yang ditandai adanya konsensus di antara pihak-pihak yang berkonflik. Tetapi realitasnya muncul
efektivitas semu dan rendah yang cenderung mematikan dan melatenkan konflik. Sebab pola yang
diterapkan cenderung represif dengan mengedepankan security approach. Dampaknya, konflik tanah
Jenggawah yang semestinya selesai pada 1969, tiba-tiba mencuat kembali dengan modus yang hampir
sama yakni tindakan kekerasan dan radikalisme.
31. Piere James, ‘ State Theories and New Order Indonesia,” dalam Arief Budiman (ed), State and Civil
Society in Indonesia (Monas Papers on Shoutheast Asia, No. 22, 1990
Dari kriteria tersebut, arah kontrol politik dan efektivitasnya dijabarkan dalam Skema 4.
Apa dampak bagi proses penyelesaian konflik yang diharapkan oleh masyarakat? Ternyata pola
penyelesaian otokratis, di mana kontrol politik diarahkan untuk menindas partisipan konflik, secara
paradigmatik hal ini merupakan negasi dari peran NOB dan aparatnya dalam upaya mengelola konflik
yang muncul, selalu dikalkulasik merugikan penguasa untuk mempertahankan status quo kekuasaan,
atau tidak. Jadi, gejala penggunaan kekerasan, represif-non institusional, acapkali menjadi bagian yang
tidak terpisahkan dari pola penyelesaian konflik yang didominasi kekuasaan kalkulatif.
Gejala ini lebih parah lagi, tatkala upaya transformasi konflik tanah di Jenggawah ke arah
konsesus,hanya dipandang dari sisi legalitas hukum yang berlaku dalamproses pengambilan keputusan.
NOB dan aparatnya dalam mengadaptasi konflik yang muncul mestinya juga memandang dari sisi
sosiologis dan psikologis, untuk menelusuri (1) bagaimana formulasi sikap dan konflik; (2) sumber-
sumber yang menyebabkan konflik; (3) mengidentifikasi pola yang cocok untuk penyelesaian kasus.
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
Negara tidak perlu mengeneralisasikan semua konflik yang terjadi dengan pola-pola penyelesaian yang
sama yaitu represif-non-institisional dengan ciri intimidasi, teror, ancaman dan penangkapan.
Fungsi penelususran secara sosiologis dan psikologis dimaksudkan adalah untuk menghindari
munculnya polarisasi baru, baik dalam persepsi maupun tindakan kelompok-kelompok yang terlibat
dalam konflik. Sebab apabila kekuasaan kalkulatif masih mendominasi, peran NOB dan aparatnya tetap
dianggap merugikan rakyat dan melemahkan kekuatannya. Dampaknya, sikap resistensi petani tetap
akan muncul baik pada aras persepsi maupun tindalkannya, sebagai dampak ketidakpercayaan terhadap
mekanisme kontrol politik Negara Orde Baru.
Resistensi ini juga dipengaruhi oleh semakin lemahnya kondisi ekonomi mereka, karena
saluran-saluran ekonomi di luar pertanian tertutup. Tidak hanya itu, dari segi akses politik, mereka juga
menjadi kelompok marginal di tengah kekuatan dahsyat yang setiap saat menghimpitnya. Lemahnya
akses politik kelompok petani ini menimbulkan kristalisasi kekecewaan yang lebih mendalam. Potret ini
dialami oleh petani Jenggawah. Di samping lemah secara ekonomi, mereka juga lemah dalam akses
politik, ketika akan menyampaikan ketidakmampuannya. Sementara di sisi lain PTP secara ekonomi
kuat, juga akses politiknya, sehingga makin menjadi tanda Tanya besa. Karena dalam perkembangan
konflik yang muncul, peran NOB dan aparatnya dianggap mengamankan kepentingan PTP dengan cara
kolusi, terutama dalam memperpanjang tanah HGU, yang menjadi sumber konflik, dan penyelesaian
konflik yang terjadi.
Padahal, upaya petani untuk mempengaruhi proses politik sudah dilakukan sejak 1990 dengan
mengajukan permohonan hak milik yang disampaikan lewat Bupati KDH TK II Jember. Pada 1993
tercatat 15 kali pengajuan permohonan kepada Pemda TK II Jember, DPRD TK II Jember, DPRD TK I
Jatim, Bakostanda Jatim, DPR RI, Dirjen Perkebunan dan menteri Agraria. Sementara sepanjang 1997
diajukan 7 kali permohonan hak mlik, sedangkan pada 1995 tercatat 2 kali dengan hasil yang tidak
menentu.
Pola penyelesaian konflik tanah di jenggawah dilakukan dengan cara represif dan hasil
konsesnsus yang dibangun sangat rapuh, mematikan konflik dan melatenkan konflik politik. Hal
demikian tidak lain karena kuatnya pengaruh aparat dan NOB hingga tingkat desa. Negara masuk desa,
demikian meminjam istilah weber. Artinya, ideology Negara dengan birokrasi sentralistis dan komando
dari pusat, benar-benar menguasai seluk beluk kehidupan masyarakat, termasuk kehidupan pertanian.
Jaringan birokrasi yang demikian, kenyataannya menjadi benang kusut yang sangat sulit untuk dicari
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
ujungnya, praksis di tingkat desa pun, dengan pola keamanan (security approach), diterapkan dengan
adanya Babinsa, Koramil, Camat dan Kepolisian sebagai pilar-pilar pelaksana birokrasi di tingkat lokal.
Setidaknya ada tiga kecenderungan menarik tentang implikasi kuatnya jaringan tersebut bagi
masyarakat Jenggawah. Pertama munculnya interaksi antara kuatnya jaringan birokrasi di tingkat lokal
dan petani Jenggawah. Kecenderungan ini menyadarkan mereka atas munculnya kekuatan besar yang
akan dihadapi. Kedua, terbentuknya jaringan kepentingan lokal (antar desa) untuk mengimbangi
kekuatan birokrasi dalam perkembangan konflik tanah I jenggawah. Kepentingan petani yang berbeda,
yang sebelumnya tidak terorganisasi secara utuh. Ini merupakan bukti atas pemahaman mereka
terhadap dinamika konflik, akibat akumulasi perlakuan yang dialami selama konflik berlangsung,
sehingga menyatukan konsistensi perjuangan melalui jaringan organisasi antar desa dan elit pemimpin.
Ketiga, konflik cenderung meluas, berintensitas tinggi, dan dibarengi oleh sikap radikalisme massa,
wujudnya yang khas dalam setiap demonstrasi dan unjuk rasa. Kekentalan ini memberikan arti penting
atas timbulnya gagasan menggugat hegemoni Negara melalui tindakan resistensi menolak peran NOB
dan aparatnya dalam penyelesaian konflik yang tidak berimbang. Jika dikaji secara state of nature, ada
beberapa faktor yang mempengaruhi, terutama faktor internal. Pergulatan massa dengan konflik yang
hampir 25 tahun dialami, mempengaruhi cara pandang mereka tentang politik, keadilan, konsistensi
hukum, dan moral aparat Negara. Kondisi subjektif ini menjadi kuat pengaruhnya ketika hadir faktor
eksternal. Faktor ini dipengaruhi oleh persinggungan para petani dengan aktivis advokasi dan parlemen
jalanan dalam mendiskusikan problematika yang mereka alami. Pertanyaannya sampai kapan kondisi
subjektif dan objektif ini akan bertahan dan menjadi kekuatan baru dalam sosio kultur masyarakat
petani?
Paling tidak pertanyaan ini menyangkut persoalan, apakah konflik yang belum terselesaikan
33
mungkin akan meledak kembali. Menurut Smleser, kecenderungan ini akan terjadi, jika sumber-
sumber konflik tidak diakomodasi secara seimbang dan tidak sejauhmana nilai-nilai konflik tetap
diinternalisasikan oleh kelompok-kelompok petani yang tidak puas. Jika ini terpenuhi, mungkin sekali
menurrut Smelser konflik akan muncul pada generasi berikutnya dan akar serta persoalannya tetap akan
sama seperti konflik sebelumnya.
Hubungan keserasian antara rakyat dan negara dalam terminologi paradigm kultural Jawa
dicerminkan oleh konsep manunggaling kawulo gusti. Raja sebagai gusti dan rakyat sebagai kawula
wong cilik lan abdi, merupakan elemen sistem sosial yang mereka kendalikan secara harmonis. Apa
kunci keharmonisan itu? Dalam sejarah, dongeng rakyat melindungi raja atau sebaliknya seringkali
menjadi cerita anak-anak negeri. Secara filosofis Jawa, keharmonisan itu terjadi, karena terjaganya
lingkungan mikro dan makro, lingkungan mikro sebagai indikasi kawula, sedangkan lingkungan makro
sebagai gambaran raja. Tatanan yang dibangun kerapkali disebut dengan istilah hubungan kawulo gusti
atau dalam terminology teori modern disebut hubungan patron client suatu pola hubungan manunggal
dan saling melindungi.
Kawulo memang manunggal dengan gusti, karena dalam tatanan filososfis Jawa raja
memegang peranan legitimasi ilahiyah, yang menjadi panutan. Legitimasi itu akan musnah ketika
moralitas sang raja tidak terjaga dan tertata dengan apik, atau raja merusak tatanan kosmos yang
menjadi pilar kekuasaannya. Buntutnya, tanah pun juga dianggap milik raja, rakyat hanya de facto
sebagai penggarap yang kemudian menyetor upeti yang telah ditata dalam hubungan itu.
33. Lihat Smelser dalam Mark N. Hagopian, Regime Movements, and ideologies; A. Comparative Introduction to
political science (New York and London, Logman, 1978), hal. 262-265
Masalahnya mengapa hanya konsep kekuasan saja yang diadopsi oleh orde baru dari filosofi
Jawa? Mengapa pola keserasian itu kemudian hancur lebur oleh kepentingan pembangunan yang
MODUL 1
SOSIOLOGI PERTANIAN
Lab. Komunikasi dan Pemberdayaan Masyarakat, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya
berorientasi pertumbuhan ekonomi. Kenapa ketika timbul goro-goro atas munculnya pergeseran
hubungan rakyat dan negara, polanya menjadi represif dan cenderung menindas? Kaidah pergeseran ini,
justru mengimplementasikan negara berperilaku Machiavellian kuat, rakus, dan menindas.
Pergeseran ini secara tidak langsung menjadi pemicu atas munculnya berbagai resistensi
tindakan petani menyangkut persoalan tanah mereka. Hal ini terjadi karena 1) Negara yang harus
menjadi pelindung dan pengelola konflik justru mereduksi dan mengalienisasi kekuatan-kekuatan rakyat
dalam pembangunan, 2) tindakan dalam pengelolaan konflik yang lebih cenderung represif non
institusional, mengindikasikan perubahan dan pergeseran hubungan itu. Perspektif ini menarik, untuk
mencari akar filosofis kekuasaan yang dipahami oleh petani Jenggawah, yang seharusnya
dimanifestasikan dalam wujud melindungi dan mengatur konflik. Harapan ini selalu muncul, bahwa
keadilan, konsistensi hukum, peran membina masyarakat, menjadi harapan konkret untuk diterapkan
sebagai formulasi upaya negara menyelesaikan konflik.
Pertanyaan Diskusi