Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTEKUM

KONSERVASI SUMBERDAYA PERAIRAN

NAMA – NAMA KELOMPOK II

 MENGKY MOOY
 JHON RUPISIAU
 NENSI F POTIMAU
 ADELBERTUS F.ENO
 FERDINAN MOYANA
 ANTON BAKAEMANG
 GREGORIUS HAUNA
 SAMUEL TENUBOLO

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN


UNIVERSITAS KRISTEN ARTHA WACANA
KUPANG
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
rahmat-Nya makalah yang berjudul “Survei perikanan di Kabupaten Timor
Tengah Utara(Pantai Wini) Berdasarkan Pendekatan Indikator
EAFM”dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah memberikan bantuan moral maupun material sehingga laporan ini
dapat tersusun dengan baik.
Penulis menyadari bahwa apa yang telah dipaparkan pada makalah ini
masih jauh dari tingkat sempurna baik menyangkut isi, teknis, maupun bahasa.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan demi
perbaikan laporan ini. Betapapun kekurangan itu, penilaian sepenuhnya
diserahkan kepada Bapak/Ibu dosen selaku pengampu mata kuliah Konservasi
Sumberdaya Perairan. Akhirnya penulis berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat sehingga dapat disimak dalam bentuk bahan bacaan.

Kupang 22 Januari 2016


BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Upaya pemeliharaan untuk memajukan dan membangkitkan peradaban
bangsa merupakan proses dan tujuan yang bersifat jangka panjang baik dalam
bidang sosial maupun lingkungan. Diperlukan adanya strategi kebijakan tentang
lingkungan, yang mampu menempatkan kemajuan peradaban nasional sebagai
motivasi penting dalam memajukan bangsa dan negara. Terbukti bangsa Indonesia
mampu bertahan, bahkan berkembang dengan keanekaragaman hayati yang di
milikinya. Untuk itu, negara wajib melindungi kekayaan keanekaragaman hayati,
termasuk melestarikannya demi kemajuan di masa kini dan masa mendatang.
Indonesia adalah negara kepulauan yang dikelilingi oleh laut, seperti laut
jawa, laut sulawesi bahkan samudera hindia. Dengan sekitar 16.777 pulau, yang
memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km2, menjadikan Indonesia memiliki
kekayaan laut yang melimpah. Tidak hanya biota laut dan ekosistemnya, namun
juga mutiara dan minyak. Dengan adanya kekayaan laut yang besar, Indonesia
kemudian menjadi salah satu negara pengekspor hasil laut..
Laut Indonesia merupakan kekayaan alam bangsa Indonesia yang telah
membentuk identitas dan jati diri bangsa. Laut memiliki peran penting dalam
kelangsungan hidup manusia. Konservasi laut merupakan salah satu landasan bagi
proses pembangunan bangsa. Dalam menghadapi tantangan globalisasi, maka kita
harus menjaga keanekaragaman hayati di lingkungan salah satunya di lingkungan
laut. Warisan bangsa perlu dilestarikan, dikembangkan, bahkan diperbarui agar
dapat menjadi pedoman menuju masa depan cerah.
Keunikan serta potensial yang dimiliki negara kita ini membuat dunia
menjadi terkesan. Oleh karena itu, untuk menjaga dan mengembangkan keunikan
dan potensial tersebut di tengah era globalisasi, salah satu upaya yang harus
dilakukan untuk adalah dengan berupaya melakukan konservasi mengenai
ekosistem laut.
1.2 tujuan
 Pengertian konservasi dan ekosistem laut
 Penyebab dan dampak yang kerusakan ekosistem laut.
 pelestarian ekosistem laut
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konservasi

Konservasi berasal dari kata Conservation yang terdiri atas


kata con (together) dan servare (keep/save) yang memiliki pengertian mengenai
upaya memelihara apa yang kita punya (keep/save what you have), namun secara
bijaksana (wise use). Ide ini dikemukakan oleh Theodore Roosevelt (1902) yang
merupakan orang Amerika pertama yang mengemukakan tentang konsep
konservasi. Konservasi dalam pengertian sekarang, sering diterjemahkan sebagai
the wise use of nature resource (pemanfaatan sumberdaya alam secara bijaksana).

Konservasi juga dapat dipandang dari segi ekonomi dan ekologi dimana
konservasi dari segi ekonomi berarti mencoba mengalokasikan sumberdaya alam
untuk sekarang, sedangkan dari segi ekologi, konservasi merupakan alokasi
sumberdaya alam untuk sekarang dan masa yang akan datang.

Apabila merujuk pada pengertiannya, konservasi didefinisikan dalam beberapa


batasan, sebagai berikut :

1. Konservasi adalah menggunakan sumberdaya alam untuk memenuhi


keperluan manusia dalam jumlah yang besar dalam waktu yang lama
(American Dictionary).

2. Konservasi adalah alokasi sumberdaya alam antar waktu (generasi) yang


optimal secara sosial (Randall, 1982).

3. Konservasi merupakan manajemen udara, air, tanah, mineral ke organisme


hidup termasuk manusia sehingga dapat dicapai kualitas kehidupan manusia
yang meningkat termasuk dalam kegiatan manajemen adalah survai,
penelitian, administrasi, preservasi, pendidikan, pemanfaatan dan latihan
(IUCN, 1968).
4. Konservasi adalah manajemen penggunaan biosfer oleh manusia sehingga
dapat memberikan atau memenuhi keuntungan yang besar dan dapat
diperbaharui untuk generasi-generasi yang akan datang (WCS, 1980).
Kawasan konservasi laut penting bagi perlindungan keanekaragaman hayati laut
dan pemeliharaan produktifitas perairan terutama sumberdaya perikanan. Saat ini
jumlah kawasan konservasi laut terlalu sedikit dibanding dengan luas laut yang
belum dikelola secara baik. Sampai sekarang baru 1% dari laut keseluruhan yang
termasuk dalam kawasan konservasi dibanding dengan kawasan darat yang sudah
mencapai 9%. Panduan ini mengemukakan langkah yang seyogyanya diambil
untuk membentuk jaringan kawasan konservasi laut yang efektif.

Ada dua cara dalam pembentukan kawasan konservasi laut yaitu :

 Membangun kawasan konservasi laut yang kecil-kecil dalam jumlah yang


banyak dan dilin-dungi secara ketat; atau membentuk kawasan penggunaan
ganda yang luas dan mengandung daerah konservasi di dalamnya yang
dilindung secara ketat.

 Pendekatan tersebut secara prinsip tidak perlu diperdebatkan. Keduanya harus


berada dalam kerangka pengelolaan ekosistem terpadu, mencakup ekosistem
laut dan darat yang mempengaruhinya.
2.2 Pengelolaan Konservasi Laut Daerah

Definisi kawasan konservasi laut menurut IUCN


(1988) dalam Supriharyono (2007) adalah suatu kawasan laut atau paparan
subtidal, termasuk perairan yang menutupinya, flora, fauna, sisi sejarah dan
budaya, yang terkait di dalamnya, dan telah dilindungi oleh hukum dan peraturan
lainnya untuk melindungi sebagian atau seluruhnya lingkungan tersebut. Menurut
Begen (2002) bahwa salah satu upaya perlindungan ekosistem pesisir dan laut
adalah dengan menetapkan suatu kawasan di pesisir dan laut sebagai kawasan
konservasi yang antara lain bertujuan untuk melindungi habitat-habitat kritis,
mempertahankan dan meningkatkan kualitas sumberdaya, melindungi
keanekaragaman hayati dan melindungi proses-prosesekologi.
Kawasan Konservasi Laut adalah perairan pasang surut termasuk kawasan
pesisir dan pulau-pulau kecil, termasuk tumbuhan dan hewan didalamnya, serta
termasuk bukti peninggalan sejarah dan sosial budaya dibawahnya, yang
dilindungi secara hukum atau cara lain yang efektif, baik dengan melindungi
seluruh atau sebagian wilayah tersebut (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2006). Menurut Salm et al, (2000) dalam Bengen (2002) bahwa hasil dari sebuah
perencanaan lokasi kawasan konservasi adalah rencana pengelolaan lokasi
kawasan konservasi. Sebagai tahapan awal dari perencanaan lokasi, diperlukan
suatu rencana pendahuluan dari pemilihan lokasi yang berisi kebijakan yang
diperlukan untuk implementasikan, sasaran program dan kerangka strategi dasar
untuk mencapai sasaran utama.

Menurut IUCN (1994) dalam Supriharyono (2007) ada beberapa tujuan kawasan
konservasi atau konservasi laut diantara, yaitu :

1. Untuk melindungi mengelola sistem laut dan estuaria supaya dapat


dimanfaatkan secara terus menerus dalam jangka panjang dan
mempertahankan keanekaragaman genetik

2. Untuk melindungi penurunan, tekanan, populasi dan spesies langka,


terutama pengawetan habitat untuk kelangsungan hidup mereka

3. Untuk mencegah aktivitas luar yang memungkinkan kerusakan kawasan


konservasi laut

4. Untuk memberikan kesejateraan yang terus menerus kepada masyarakat


dengan menciptakan konservasi laut.

5. Menyediakan pengelolaan yang sesuai, yang mempunyai spektrum luas bagi


aktivitas manusia dengan tujuan utamanya adalah penataan laut dan estuaria.
Otonomi daerah telah diberlakukan melalui Undang-undang No.32 tahun 2004,
kabupaten/kota diberikan kewenangan oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan
mengkoordinasikan penggunaan sumberdaya pesisir dan laut dalam batas 1/3 dari
batas kewenangan provinsi. Daerah yang mempunyai wilayah laut, diberikan
kewenangan untuk melakukan konservasi dan mengatur sumberdaya alam di
tingkat daerah tercantum dalam pasal 18:1 Undang-undang No.32 tahun 2004.
Kewenangan tersebut meliputi:

1. eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut (18:3a),

2. pengaturan administrasi (18:3b),

3. pengaturan tata ruang (18:3c),

4. dan penegakan hukum (18:3d).


Selain itu, upaya-upaya konservasi sumberdaya ikan untuk pengelolaan perikanan
haruslah mempertimbangkan hukum adat dan kearifan lokal serta memperhatikan
peran serta masyarakat (pasal 6 UU 31/2004). Kawasan konservasi perairan
merupakan bagian dari pengelolaan atau konservasi ekosistem, berdasarkan tipe
ekosistem yang dimiliki, kawasan konservasi perairan dapat meliputi:

1. kawasan konservasi perairan tawar,

2. perairan payau, atau perairan laut.


Kawasan konservasi di wilayah perairan laut tersebut dikenal sebagai
Kawasan Konservasi Laut (KKL). Dalam pengembangannya, kawasan konservasi
perairan di wilayah laut yang dikembangkan oleh pemerintah daerah sering
disebut sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD).

Pada akhir abad lalu, diakui adanya 3 (tiga) pendekatan prinsip untuk
pengembangan Kawasan Konservasi Laut (KKL). Ketiga pendekatan tersebut
berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya ikan (UNCLOS pasal 61-68).
UNCLOS telah diratifikasi dengan UU 17/1985, yang menekankan perlunya
pengelolaan perikanan, karena sumberdaya ikan tidak tanpa batas kelestarian.

Pendekatan pertama merupakan pendekatan yang paling tua terdiri dari


pengaturan dan pengelolaan kegiatan individual di sektor kelautan, seperti
perikanan tangkap komersial, yang dilaksanakan oleh satu lembaga pemerintah.
Pendekatan kedua dilakukan melalui pembentukan kawasan konservasi laut dalam
skala kecil atau skala desa untuk memberikan perlindungan khusus kepada
kawasan yang secara ekologis bernilai tinggi, dengan melakukan peraturan formal
atau peraturan adat. Pendekatan ini merupakan praktek yang umum dilaksanakan
pada kawasan konservasi laut skala kecil, yang disebut daerah perlindungan laut.
Pendekatan ketiga merupakan pendekatan paling terbaru yaitu pembentukan
kawasan konservasi laut yang serba guna, dengan menggunakan prinsip
pengelolaan secara terpadu sampai pada koordinasi antara wilayah laut dan
wilayah pesisir.

Beberapa langkah yang perlu di perhatikan dalam pembentukan dan


pengembangan kawasan konservasi laut dalam buku tersebut adalah :

1. Meletakan Kawasan konservasi laut dalam konteks pengelolaan yang


lebih luas.
Tingkat keterkaitan antara daratan dengan laut sekitarnya dan keterkaitan
antara laut dengan laut lainnya menyebabkan perlunya kawasan konservasi
laut untuk diintegrasikan dalam daerah (region) pengelolaan yang
berhubungan dengan aktivitas masya-rakat yang mempengaruhi kehidupan
biota laut. Oleh karena itu kawasan konservasi laut harus dipadukan dengan
kebijakan-kebijakan lain dalam penggunaan lahan dan penggunaan laut itu
sendiri. Disarankan juga pentingnya negara-negara memanfaatkan
kesepakatan internasional, terutama yang tercantum dalam Hukum Laut
Internasional (UNCLOS) maupun Konvensi Keanekaragaman Hayati
(CBD). Dukungan internasional yang lebih besar masih dibutuhkan oleh
Kawasan konservasi laut dan usaha yang keras harus dilakukan untuk
membangun kawasan konservasi laut di laut lepas.

2. Mengembangkankerangkahukum.

Landasan hukum merupakan langkah kunci dalam pembentukan kawasan


konservasi laut karena memberikan legalitas bagi lembaga atau masyarakat
dalam pengembangan kawasan konservasi laut yang luas dengan
pemanfaatan ganda (multi use area) termasuk persyaratan dalam peraturan
perundangan, meskipun kebutuhan dan konteks persyaratan tersebut berbeda
di masing-masing negara.

3. Bekerjasama dengan sektor yang relevan.

Aktivitas masyarakat dari berbagai sektor mempengaruhi wilayah pesisir dan


laut. Oleh karenanya menjalin kerjasama dengan melibatkan semua pihak
terkait merupakan langkah awal yang penting. Pariwisata merupakan sektor
yang paling banyak menerima manfaat sehingga dapat menciptakan kegiatan
ekonomi paling besar. Kerjasama dengan pihak perikanan harus dilakukan
secara hati-hati karena seringkali mereka merasa kepentingannya dirugikan.
Sektor lain yang relevan adalah pekerjaan umum, pertanian, kehutanan,
industri, pertahanan dan ilmu pengetahuan.

4. Menjalin mitra dengan masyarakat dan stakeholders lain.

Pengelola kawasan harus memahami masyarakat lokal yang menerima


dampak keberadaan kawasan konservasi laut dengan mengindentifikasi
mitra potensial lainnya. Pengelola harus mendengar dan memahami berbagai
kelompok kepentingan dan mencari jalan untuk melibatkan mereka dalam
pengelolaan sumberdaya. Disarankan membangun kemitraan pengelolaan
menggunakan model pengelolaan kolaboratif.

5. Pemilihan lokasi untuk kawasan konservasi laut.

Pemilihan lokasi dan penentuan luas kawasan konservasi laut memerlukan


penekanan yang berbeda dengan penentuan kawasan konservasi darat. Di
berbagai tempat, banyak masyarakat lokal tergantung kepada jasa dan
sumber daya yang diberikan oleh komunitas alami di darat. Tetapi
ketergantungan masyarakat terhadap wilayah laut bahkan dapat lebih besar.
Beberapa bentuk aktivitas perikanan dapat terjadi di wilayah yang luas tanpa
mengancam tujuan konservasi, karena tidak memodifikasi habitat. Hal ini
memungkinkan menyeimbangkan antara konservasi dan kebutuhan
masyarakat local. Perlu perhatian seksama terhadap kegiatan diluar Kawasan
konservasi laut yang dapat berpengaruh buruk misalnya pencemaran.
Berlandaskan prinsip-prinsip di atas, panduan tersebut megemukakan satu
set criteria untuk pemilihan lokasi Kawasan konservasi laut yang telah
banyak digunakan di berbagai banyak negara dalam beberapa tahun terakhir
ini. Kriteria tersebut disusun berdasarkan berbagai aspek seperti:
biogeografi, ekologi, keaslian, manfaat ekonomi dan social, manfaat ilmiah,
dan aspek kepraktisan atau kelayakan.

6. Merencanakan dan mengelola Kawasan konservasi laut.

Pengelolaan harus responsive dan adaptif, mampu bekrja sama dengan


fihak-fihak kepentingan local sedemikian rupa sehingga memperoleh
dukungan guna mencapai tujuan konservasi. Untuk mencapai hal tersebut,
pengelola seyogyanya mengadopsi suatu pendekatan system, memanfaatkan
tim antar disiplin dan menganut tahapan pemgambilan keputusan yang jelas.
Pengelolaan Kawasan konservasi laut sebagian besar adalah me-nge-lola
aktivitas manusia oleh karena itu hal tersebut harus merupakan “jantung”
dari pendekatan yang dianut.ÿ

7. Zonasi.
Pembagian wilayah menjadi berbagai zona yang dialokasikan untuk berbagai
penggunaan. Zonasi ini akan memberikan kepastian mengenai perlindungan
terhadap zona inti (core zone) sebagai bagian dan wilayah penggunaan
ganda yang lebih luas. Tahap-tahap yang diperlukan untuk membentuk
zonasi disusun pada Annex 3 dan buku panduan termaksud.
2.3 Peraturan Pusat tentang pengelolaan konservasi laut daerah

Kajian Hukum dan Kebijakan Pengelolaan Kawasan Konservasi, Secara umum


kebijakan dan hukum yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam tidak
dapat dipisahkan dengan pengelolaan kawasan konservasi. Oleh karena kawasan
konservasi merupakan bagian dari sumber daya alam, maka kebijakan dan hukum
konservasi pun pada dasarnya merupakan bagian dari kebijakan dan hukum
pengelolaan sumber daya alam.
Sebagaimana diketahui bahwa sebenarnya peraturan perundang-undangan
merupakan bagian dari kebijakan pemerintah. Namun dalam hal ini kebijakan
diartikan dalam arti sempit, yaitu kebijakan yang masih harus dijabarkan terlebih
dahulu di dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Kebijakan yang
dimaksud disini diantaranya adalah UUD 1945, Ketetapan MPR dan Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) , ataupun pernyataan pejabat negara.

Undang-undang Dasar 1945 lebih menekankan pada pemanfaatan bagi


kesejahteraan masyarakat. Perhatian terhadap upaya “perlindungan” belum
dikandung baik secara eksplisit maupun implisit. UUD 1945 menyebutkan bahwa
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara
dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Sementara itu melalui Tap MPR kemudian ditetapkan Garis-garis Besar Haluan
Negara (GBHN) yang berisikan konsepsi dan arah pembangunan, GBHN
kemudian dijabarkan oleh Pemerintah dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima
Tahun atau REPELITA.

Ketetapan-ketetapan MPR tentang GBHN selama beberapa periode telah


memberikan arah yang cukup jelas bagi pengelolaan lingkungan hidup, termasuk
pengembangan kebijakan konservasi. Apa yang terdapat di dalam GBHN terakhir
(1988-2003) misalnya, menekankan bahwa pembangunan lingkungan hidup
diarahkan agar lingkungan hidup dapat tetap berfungsi sebagai pendukung dan
penyangga ekosistem kehidupan dan terwujudnya keseimbangan, keselarasan, dan
keserasian yang dinamis antara system ekologi, sosial, ekonomi dan sosial budaya
agar dapat menjamin pembangunan nasional yang berkelanjutan. Dalam bagian
lain juga disebutkan bahwa pembangunan yang berkelanjutan yang berwawasan
lingkungan (sustainable ecologically Development) ditujukan bagi penataan
ruang, tata guna lahan, tata guna sumber daya air, laut dan pesisir serta sumber
daya alam lainnya yang didukung oleh aspek sosial budaya lainnya sebagai satu
kesatuan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang harmonis
dan dinamis.GBHN tersebut juga memberikan perhatian terhadap peran serta
masyarakat.
Namun tidak disinggung kemungkinan dikembangkannya desentralisasi dalam
pengelolaan kawasan konservasi. Kendatipun GBHN 1988-2003 tidak memiliki
legitimasi hukum menyusul dibubarkannya Pemerintahan Suharto pada Bulan Mei
1998, yang dengan sendirinya GBHN tersebut juga tidak lagi berlaku, namun dari
konsepsi yang dimiliki tampak bahwa perhatian terhadap lingkungan hidup
sebagai pendukung dan penyangga eksositem kehidupan cukup besar. Secara
nilai, upaya untuk mengembangkan pembangunan nasional yang berwawasan
lingkungan dan memperhatikan keserasian telah dikembangkan di dalam GBHN
1998-2003.

Namun kajian terhadap berbagai peraturan perundang-undangan serta kebijakan


pembangunan pemerintah selama ini menunjukkan bahwa konsepsi bumi, air dan
kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk
kemakmuran rakyat, belum mampu mensejahterakan masyarakat. Justru yang
paling menonjol adalah penerjemahan Hak Menguasai Negara (HMN) dimana
sumber daya alam yang ada seakan dimiliki secara mutlak oleh Negara. Tanah-
tanah dengan status tanah adat yang banyak dikenal di Indonesia sejak zaman
Kolonial Belanda seakan menjadi hapus apabila Negara menghendaki. Hal ini
dapat dilihat di dalam UU Pokok Agraria (1960), UU Pokok Kehutanan, UU
Pokok Pertambangan yang menyatakan bahwa Tanah adat dapat diakui sepanjang
masih ada dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, namun
pengakuan tersebut hampir tidak pernah terjadi.

Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1970 tentang Hak Pengusahaan Hutan


bahkan dengan tegas mengatakan bahwa Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dan
anggota-anggotanya untuk memungut hasil hutan yang didasarkan atas suatu
peraturan hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada,
pelaksanaannya perlu ditertibkan sehingga tidak mengganggu pelaksanaan
penguasaan hutan. Sementara itu, di dalam areal hutan yang sedang dikerjakan
dalam rangka pengusahaan hutan, pelaksanaan hak rakyat untuk memungut hasil
hutan dibekukan. Disinilah sebenarnya akar dari berbagai ancaman dan konflik di
dalam pengelolaan sumber daya alam termasuk pengelolaan kawasan konservasi.
Masyarakat Adat dihilangkan akses dan kemampuannya untuk menentukan
pengelolaan sumber daya alam yang terdapat di sekitar mereka. Secara lebih nyata
dalam kaitannya dengan pengelolaan kawasan konservasi, HMN diterjemahkan
sebagai hak negara untuk mengambil tanah adat atau tanah milik masyarakat yang
kemudian ditetapkan sebagai kawasan lindung. Hal ini misalnya terjadi di
beberapa kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan konservasi seperti di Haruku,
Maluku, dan di Taman Nasional Bukit Tiga Puluh, Riau. Bahkan di Haruku yang
telah ditetapkan Pemerintah sebagai hutan lindung tapi muncul aktivitas
pertambangan. Sampai saat ini masih menjadi konflik antara masyarakat di satu
sisi dengan Pemerintah dan perusahaan di sisi lain.

Sidang Istimewa MPR (SI MPR) yang berlangsung pada bulan Nopember 1998
menghasilkan beberapa Ketetapan, yang diantaranya adalah tentang
Penyelenggaraan Otonomi Daerah: Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan
Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia3. Di dalam Tap
MPR No. XV/1998 tersebut disebutkan bahwa Penyelenggaraan Otonomi Daerah
dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab di
daerah secara proporsional diwujudkan dengan pengaturan, pembagian dan
pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan
pusat dan daerah, dimana penyelenggaraan tersebut dilaksanakan dengan prinsip
demokrasi dan memperhatikan keanekaragaman daerah.

Di dalam pasal 5, ditekankan bahwa Pemerintah Daerah berwenang mengelola


sumber daya nasional dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan.
Hal ini, tentunya termasuk pengelolaan kawasan konservasi. Tap MPR No.
XV/1998 tersebut menunjukkan suatu kesadaran mengenai Penyelenggaraan
Otonomi Daerah dan kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam.
Hendaknya departemen terkait tidak lagi menterjemahkan pengelolaan sumber
daya alam berdasarkan kepentingan atau ego sektoral masing-masing. Dalam
upaya mempercepat realisasi Otonomi Daerah tersebut sudah saatnya instansi
terkait melakukan koordinasi untuk menyamakan visi dan persepsi.
Peraturan Perundang Undangan Telaahan terhadap peraturan perundang-
undangan, yang berjumlah cukup besar sekitar 157 peraturan — baik peraturan
yang secara langsung mengatur tentang pengelolaan kawasan konservasi maupun
yang tidak secara langsung mengatur namun berkaitan — menunjukkan adanya
beberapa persoalan, yaitu , Pertama , tidak adanya istilah yang baku terhadap
kawasan yang dilindungi. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan
Kawasan Lindung, menggunakan istilah Kawasan Lindung. Sementara itu
Undangundang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam
Hayati dan Ekosistemnya (KSDHE) cenderung menggunakan istilah konservasi.
Direktorat yang memiliki tanggungjawab perlindungan sumber daya alam
misalnya menggunakan istilah Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Pelestarian Alam (Ditjen PHPA), kendatipun sehari-hari mereka menggunakan
istilah konservasi dan bukan perlindungan atau pelestarian.

Baru-baru ini, melalui Keppres No. 192 Tahun 1998 tentang Perubahan atas
Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1998 tentang Kedudukan, Tugas, Susunan
Organisasi, dan Tata Kerja Departemen sebagaiman telah Beberapa Kali Diubah
Terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 144 Tahun 1998. Pemerintah
menggunakan nama baru untuk Ditjen PHPA yaitu Direktorat Jenderal
Perlindungan dan Konservasi Alam. Perbedaan istilah ini tentu saja dapat
memberikan konsekuensi hukum tertentu. Kedua, adanya dualisme kebijakan
pemerintah yang di satu sisi berupaya untuk melindungi kawasan-kawasan
tertentu dan menetapkannya sebagai kawasan konservasi, namun di sisi lain
membuka peluang kawasan-kawasan tersebut untuk dieksploitasi.

Hal ini dapat ditemukan di dalam PP No. 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan
Hutan, di dalam Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan
Lindung dan di dalam SKB Menteri Pertambangan dan Menteri Kehutanan
Nomor 969.K/08/MPE/1989 dan Nomor 492/Kpts-II/1989 tentang Pedoman
Pengaturan Pelaksanaan Usaha Pertambangan dan Energi Dalam Kawasan Hutan,
yang hingga kini masih berlaku. SKB dua Menteri tersebut bahkan menegaskan
bahwa di Kawasan Cagar Alam dapat dilakukan kegiatan pertambangan, termasuk
di dalam kawasan yang akan ditetapkan sebagai Taman Nasional. Jika
sebelumnya telah ada kegiatan tambang, maka kawasan tambang tersebut
dikeluarkan dari penetapan taman nasional.

Padahal, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang KSDHE secara tegas menyebutkan


bahwa di dalam Cagar Alam dan Taman Nasional tidak dibolehkan adanya
kegiatan budi daya, yaitu kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan terhadap
keutuhan Cagar Alam maupun Taman Nasional.

Semestinya rujukan utama aturan mengenai kawasan konservasi adalah UU


KSDHE, karena berdasarkan hierarki UU merupakan aturan yang paling tinggi.
Apabila terdapat peraturan yang saling bertentangan, maka yang dijadikan acuan
dan berlaku adalah UU. Ketiga, adalah lemahnya penegakan hukum (law
enforcement) terhadap pelaku perusak kawasan-kawasan konservasi. Berbagai
aktifitas yang nyata-nyata mengancam atau bahkan telah merusak kawasan
konservasi seringkali tidak dikenakan peringatan ataupun sanksi yang tegas. Hal
ini dapat dilihat dari aktifitas pertambangan di Taman Nasional Kutai, Kalimantan
Timur, Taman Nasional Lorentz (sebelumnya Cagar Alam), Taman Nasional
Bunaken dan sebagainya.

Keempat, kuatnya egosektoral, yang terlihat dari rekomendasi dan ijin yang
diberikan oleh Departemen Pertambangan untuk aktifitas pertambangan, baik di
Taman Nasional Lorentz maupun Taman Nasional Kutai, kendatipun UU No. 5
Tahun 1990 melarang. Dengan adanya kebijakan yang mendua, penggunaan
istilah yang tidak baku, lemahnya penegakan hukum dan begitu kuatnya
egosektoral, maka jelas ada persoalan mendasar di dalam kebijakan besar
pengelolaan sumber daya alam kita. Persoalan mendasar tersebut adalah tidak
adanya visi dalam pengelolaan sumber daya alam, termasuk visi pengelolaan
kawasan konservasi.
BAB III

METODE PRAKTEKUM

3.1 Metode Pengambilan Data


 Data yang dibutuhkan pada indikator ini merupakan data primer
yang berasal dari wawancara dengan responden rumah tangga
perikanan.
 Pengambilan data dilakukan dengan dengan metode interview dan
observasi terarah secara kualitatif melalui kuesioner perikanan
pelagis besar,pelagis kecil,dan domersal.
 Interview dilakukan secara perorangan sedangkan observasi
dengan melakukan ground check titik kordinat aktivitas
pemanfaatan pesisir laut.
 Penentuan responden.
3.2 Alat dan Bahan
 Kamera
 Buku tulis
 Bolpoint dan pensil.
3.3 Waktu dan Tempat
Praktikum Konservasi Sumberdaya Perairan,dilaksanakan pada hari
Kamis,26 November 2015 pukul 14.00 WIB sampai dengan selesai.Bertempat di
Wini,Kelurahan Humusu C,Kecamatan Insana Utara.
BAB IV

PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi

Kabupaten Timor Tengah Utara adalah salah satu dari 21


Kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur di kawasan
Indonesia Bagian Timur tepatnya di Pulau Timor dengan luas wilayah 2.669,70
Km2 atau sekitar 5,48 % dari wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur
Secara astronomis Kabupaten Timor Tengah Utara terletak pada
koordinat : 9002´48” LS- 9037´36’’ LS dan 124004’02’’ BT-124046’00’’BT,
dengan batas wilayah :
 Sebelah Utara berbatasan dengan Ambenu (Timor Leste) dan Laut Sawu
 Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Timor Tengah Selatan
 Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Kupang dan Timor Tengah Selatan
 Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Belu
Secara geografis pada umumnya merupakan tipologi Desa daratan
yaitu 163 Desa dan hanya 11 Desa yang termasuk tipologi Kawasan Pantai.

4.1 Pengertian konservasi dan ekosistem laut.

Segala sesuatu memiliki dasar untuk berkembang, jadi sebelum kita megetahui
tentang kondisi ekosistem laut saat ini ada baiknya kita terlebih dahulu
mengetahui dan mengerti tentang konservasi dan ekosistem.

Konservasi (wikipedia: 2010) adalah pelestarian atau perlindungan. Secara


harfiah, konservasi berasal dari bahasa Inggris, Conservation yang artinya
pelestarian atau perlindungan.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia konservasi adalah pemeliharaan dan
perlindungan sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan
dng jalan mengawetkan; pengawetan; pelestarian; proses menyaput bagian dalam
badan mobil, kapal, dsb untuk mencegah karat

Sedangkan menurut ilmu lingkungan, Konservasi adalah :

 Upaya efisiensi dari penggunaan energi, produksi, transmisi, atau


distribusi yang berakibat pada pengurangan konsumsi energi di lain pihak
menyediakan jasa yang sama tingkatannya.
 Upaya perlindungan dan pengelolaan yang hati-hati terhadap lingkungan
dan sumber daya alam
 (fisik) Pengelolaan terhadap kuantitas tertentu yang stabil sepanjang reaksi
kiamia atau transformasi fisik.
 Upaya suaka dan perlindungan jangka panjang terhadap lingkungan.
 Suatu keyakinan bahwa habitat alami dari suatu wilayah dapat dikelola,
sementara keaneka-ragaman genetik dari spesies dapat berlangsung
dengan mempertahankan lingkungan alaminya.
Kawasan konservasi mempunyai karakteristik sebagaimana berikut:

 Karakteristik, keaslian atau keunikan ekosistem (hutan hujan


tropis/’tropical rain forest’ yang meliputi pegunungan, dataran rendah,
rawa gambut, pantai)
 Habitat penting/ruang hidup bagi satu atau beberapa spesies (flora dan
fauna) khusus: endemik (hanya terdapat di suatu tempat di seluruh muka
bumi), langka, atau terancam punah (seperti harimau, orangutan, badak,
gajah, beberapa jenis burung seperti elang garuda/elang jawa, serta
beberapa jenis tumbuhan seperti ramin). Jenis-jenis ini biasanya dilindungi
oleh peraturan perundang-undangan.
 Tempat yang memiliki keanekaragaman plasma nutfah alami.
 Lansekap (bentang alam) atau ciri geofisik yang bernilai estetik/scientik.
 Fungsi perlindungan hidro-orologi: tanah, air, dan iklim global.
 Pengusahaan wisata alam yang alami (danau, pantai, keberadaan satwa liar
yang menarik).
Di Indonesia, kebijakan konservasi diatur ketentuannya dalam UU 5/90 tentang
Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU ini memiliki
beberpa turunan Peraturan Pemerintah (PP), diantaranya:

1. PP 68/1998 terkait pengelolaan Kawasan Suaka Alam (KSA) dan


Kawasan Pelestarian Alam (KPA)
2. PP 7/1999 terkait pengawetan/perlindungan tumbuhan dan satwa
3. PP 8/1999 terkait pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar/TSL
4. PP 36/2010 terkait pengusahaan pariwisata alam di suaka margasatwa
(SM), taman nasional (TN), taman hutan raya (Tahura) dan taman
wisata alam (TWA).
Pengertian ekosistem (wikipedia: 2010) adalah suatu sistem ekologi yang
terbentuk oleh hubungan timbal balik tak terpisahkan antara makhluk
hidup dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan
kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup
yang saling mempengaruhi. Ekosistem merupakan penggabungan dari setiap
unit biosistem yang melibatkan interaksi timbal balik antara organisme dan
lingkungan fisik sehingga aliran energi menuju kepada suatu
struktur biotik tertentu dan terjadi suatu siklus materi antara organisme
dananorganisme. Matahari sebagai sumber dari semua energi yang ada, sedangkan
laut atau bahari adalah kumpulan air asin yang luas dan berhubungan
dengan samudra.
Air di laut merupakan campuran dari 96,5% air murni dan 3,5% material lainnya
seperti garam-garaman, gas-gas terlarut, bahan-bahan organik dan partikel-
partikel tak terlarut. Sifat-sifat fisis utama air laut ditentukan oleh 96,5% air
murni. Jadi yang dimaksud dengan ekosistem laut adalah suatu
sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk
hidup dengan lingkungannya atau suatu tatanan kesatuan secara utuh dan
menyeluruh antara segenap unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi
yang terjadi di dalam suatu kumpulan air atau yang disebut lautan. Ekosistem ini
termasuk samudra, rawa garam dan ekologi intertidal, muara sungai dan laguna,
bakau dan terumbu karang, laut dalam dan dasar laut. Mereka dapat dibandingkan
dengan ekosistem air tawar, yang memiliki kandungan garam yang lebih rendah,
tempat seperti itu dianggap ekosistem karena kehidupan tanaman mendukung
kehidupan hewan dan sebaliknya.
Ekosistem laut mencakup sekitar 71% dari permukaan bumi dan mengandung
sekitar 97% dari air yang ada di planet ini. Ekosistem ini menghasilkan 32%
produksi primer bersih. Ekosistem laut dapat dibagi ke dalam zona sebagai
berikut: samudra (yang relatif dangkal bagian dari laut yang terletak di atas landas
kontinen); profundal (bagian bawah atau di dalam air); benthic (bottom substrat);
intertidal (daerah antara pasang tinggi dan rendah ); muara; rawa-rawa garam;
terumbu karang, dan hidrotermal ventilasi (di mana bakteri belerang
chemosynthetic membentuk dasar makanan). Ekosistem air laut luasnya lebih dari
2/3 permukaan bumi ( + 70 % ), karena luasnya dan potensinya sangat besar,
ekosistem laut menjadi perhatian orang banyak, khususnya yang berkaitan dengan
revolusi biru.
Kondisi laut saat ini bisa dikatakan mengalami krisis. Dalam sambutan Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan perlunya memperhatikan kondisi laut
yang sudah memprihatinkan, menyangkut penangkapan ikan dalam jumlah besar
dan eksploitasi yang berlebihan, akibat perubahan iklim saat ini, Indonesia
terancam kehilangan 2.000 pulau kecil yang juga akan mengakibatkan
bergesernya batas wilayah Indonesia, bukan hanya penangkapan saja yang
membuat kondisi laut memburuk, iklim juga berpengaruh pada kondisi laut.
masalah yang menjadi perhatian saat ini adalah global warming, efek yang
disebabkan yaitu naiknya suhu permukaan bumi hingga mengubah pola iklim,
melelehnya es di kutub hingga permukaan air laut naik, merupakan karena
dampaknya yang begitu memengaruhi kehidupan manusia dan makhluk hidup
lainnya. Perkiraan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC)
menyebutkan, jika suhu rata-rata permukaan bumi naik 1°-3,5°C pada tahun 2100,
permukaan air laut naik antara 15-95 sentimeter. Dengan tingkat kenaikan 1 cm
per tahun, pada 2050 kenaikannya mencapai 40 cm. Kenaikan hampir 1 meter
akan menenggelamkan 80 persen pantai di Jepang, kesimpulannya kondisi
ekosistem laut semekin lama semakin memburuk.

4.2 Penyebab dan dampak kerusakan ekosistem laut.

Luas dan panjang garis pantai itu tentu akan menjadi potensi yang luar biasa
untuk pembangunan bidang perikanan dan pariwisata. Namun bila salah
mengelola, maka pantai-pantai ini akan menjadi sumber bencana, baik alam
maupun secara ekonomis.

Perilaku manusia yang terus merusak lingkungan pantai, contohnya di kota


Kupang, bahkan hampir di semua wilayah NTT, pengambilan pasir pantai, batu
karang dan material lainnya masih terus berlangsung. Di pantai Pasir Panjang,
Kota Kupang, masih bisa kita temukan penambangan batu karang. Batu karang
yang akan dibuat kapur menjadi pilihan usaha bagi warga. Tetapi penambangan
pasir dan batu ini bukan satu-satunya penyebab rusaknya ekosistem laut.
Membangun di kawasan pantai juga turut membeli andil bagi rusaknya pantai.
Membangun di tepi pantai dengan konsep yang salah selain bisa dianggap
melanggar hukum, juga bisa berakibat buruk bagi ekosistem.
Pembangunan gedung dan pengambilan pasir, serta batu karang sepintas juga
berpengaruh walau tidak memberi dampak yang serius pada pantai, namun bila
proses pengambilan tersebut dilakukan terus menerus, maka alam akan sulit
memperbaiki kerusakan yang ada. Sebab, banyak biota laut yang hidup dan
menggantungkan hidup di pesisir pantai. Biota-biota laut tersebut juga menjadi
sumber makanan bagi bioata laut lainnya. Jadi jelas, pengambilan pasir itu akan
merusak kawasan pantai dan ekosistem pantai. Kawasan pantai sangat rentan
dengan kerusakan. Apabila kawasan tersebut rusak maka akan sulit juga
diperbaiki atau membutuhkan waktu yang sangat lama. Bukan hanya itu saja yang
menjadi penyebab. Seperempat kawasan hutan dataran rendah Indonesia yang
didominasi mangrove telah habis akibat berbagai kegiatan konversi. World Bank
maupun World Conservation Forum menyebutkan bahwa laju kerusakan di
Indonesia mencapai 1,5-2 juta hektar per tahun. Jika laju perusakan masih seperti
sekarang, diperkirakan pada tahun 2010 seluruh kawasan hutan dataran rendah
tersebut akan lenyap. Seiring dengan itu, ekosistem terkait lainnya seperti terumbu
karang yang produktif akan mengalami hal serupa. Dari 85.707 km2 terumbu
karang yang ada, hanya 5 persen saja memiliki kondisi yang sangat baik. Kondisi
dan status terumbu karang sekarang ini telah rusak parah serta mengalami
degradasi di hampir semua kepulauan di Indonesia.
Selain itu, pencemaran udara juga merupakan faktor penyebab. Pencemaran udara
sudah menjadi masalah serius dan memprihatinkan. Sekitar 80 persen polusi udara
disebabkan emisi udara gas buang kendaraan bermotor, industri, kebakaran hutan
dan aktivitas rumah tangga. Pencemaran air terjadi kebanyakan di area hilir yang
disebabkan pembuangan limbah, limbah industri dan pertambangan apalagi
limbah bahan berbahaya beracun (B3) yang semakin banyak jenisnya. Apa
jadinya jika sungai dipenuhi sampah rumah tangga dan industri? Selain sungai tak
bisa lagi jadi sumber air minum, sampah akan mencemari laut dan merusak
potensi sumber daya alam sekaligus sumber pangan manusia. Pencemaran
perairan berdampak pada ekosistem laut, dimana bahan pencemar yang masuk
pada sistem rantai makanan akan dikonsumsi manusia sebagai “top predator”.

4.3 pelestarian ekosistem laut


Seperti halnya hutan, laut juga sebagai sumber daya alam potensial. Kerusakan
biota laut dan pantai banyak disebabkan karena ulah manusia. Pengambilan pasir
pantai, karang di laut, pengrusakan hutan bakau, merupakan kegatan-kegiatan
manusia yang mengancam kelestarian laut dan pantai. Terjadinya abrasi yang
mengancam kelestarian pantai disebabkan telah hilangnya hutan bakau di sekitar
pantai yang merupakan pelindung alami terhadap gempuran ombak.
Adapun upaya untuk melestarikan laut dan pantai dapat dilakukan dengan cara:
 Melakukan reklamasi pantai dengan menanam kembali tanaman bakau di
areal sekitarpantai.
 Melarang pengambilan batu karang yang ada di sekitar pantai maupun di
dasar laut, karena karang merupakan habitat ikan dan tanaman laut.
 Melarang pemakaian bahan peledak dan bahan kimia lainnya dalam
mencari ikan.
 Melarang pemakaian pukat harimau untuk mencari ikan.
Pelestarian flora dan fauna Kehidupan di bumi merupakan sistem ketergantungan
antara manusia, hewan, tumbuhan, dan alam sekitarnya. Terputusnya salah satu
mata rantai darisistem tersebut akan mengakibatkan gangguan dalam kehidupan.
Oleh karena itu, kelestarian flora dan fauna merupakan hal yang mutlak
diperhatikan demi kelangsungan hidup manusia. Upaya yang dapat dilakukan
untuk menjaga kelestarian flora dan fauna di antaranya adalah:
 Mendirikan cagar alam dan suaka margasatwa.
 Melarang kegiatan perburuan liar.
 Menggalakkan kegiatan penghijauan.
Di dalam Pasal 37 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dinyatakan:

1. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya
diarahkan dan digerakkan oleh Pemerintah melalui berbagai kegiatan yang
berdaya guna dan berhasil guna.
2. Dalam mengembangkan peran serta rakyat sebagaimana dimaksud dalam ayat,
Pemerintah menumbuhkan dan meningkatkan sadar konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya dikalangan rakyat melalui pendidikan dan penyuluhan.
3. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dalam hal ini yang dimaksud dengan rakyat termasuk juga generasi muda sebagai
penerus bangsa. Salah satu upaya konservasi yang melibatkan dunia juga generasi
muda yaitu WOC (World Ocean Confrence). WOC adalah pertemuan tingkat
tinggi kepala pemerintahan yang memiliki wilayah laut dan pantai atau menjadi
bagian dari komunitas kelautan dunia. Salah satu maksud diadakannya WOC
karena terjadi penurunan kualitatif dan kuantitatif sumber daya kelautandan
perikanan, antara lain, terjadi penangkapan yang berlebihan, pencemaran laut dan
global warming. Hasil-hasil utamanya adalah mobilisasi sumber dana bagi
kalangan yang paling rawan terkena dampak perubahan iklim; mengembangkan
teknologi dan ilmu kelautan untuk mengkaji dampak perubahan iklim; dan
mendorong pertukaran informasi dan peningkatan kesadaran masyarakat tentang
laut dan perubahan iklim. Dubes RI untuk Republik Federal Jerman, Eddy
Pratomo menegaskan kembali komitmen Pemerintah RI untuk mengedepankan
isu laut dalam pembahasan internasional perubahan iklim, baik melalui UNFCCC
dan badan-badan PBB lain serta berbagai fora internasional yang lain.
Tujuan yang ingin dicapai RI adalah melindungi laut dan daerah pantai dari
dampak perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia dan mendukung
pemahaman atas hubungan yang dinamis antara iklim dan laut, tujuan laindari
WOC ini adalah untuk menegaskan kembali mengenai pentingnya konservasi laut,
dan proses kontribusi sosial ekonomi bagi baik penduduk pesisir pantai maupun
bagi masyarakat dunia secara keseluruhan. Dr. Edward Allison, Direktur Policy,
Economics and Social Sciences dari The World Fish Center, menyampaikan
tantangan akibat perubahan iklim terhadap kelangsungan hidup nelayan dan
aquaculture system. “Sebanyak 520 juta penduduk dunia menggantungkan
kehidupannya pada sektor perikanan dan hampir 3 juta penduduk dunia sumber
proteinnya berasal dari ikan artinya laut memiliki peran penting dalam perubahan
iklim seperti laut sebagai buffer perubahan iklim. Laut juga menyerap lebih dari
95% radiasi matahari dan membuat udara menjadi layak bagi makhluk hidup; dan
laut menyediakan 85% uap air di atmosfer.
Berbagai pendapat dikemukakan partisipan WOC yang berharap agar WOC
benar-benar memperjuangkan alam dan masyarakat demi masa depan generasi
mendatang. Berikut beberapa petikan komentar dari mereka: Deklarasi Manado
bisa menciptakan situasi simbiosis mutualisme antara manusia dan alam (Nadine
Candrawinata, Putri Indonesia 2005).Diharapkan penyelanggarakan even-even
seperti ini bisa lebih “ecofriendly” agar sesuai dengan tema yang diusung dan
keterlibatan LSM lokal diharapkan diperkuat (Estradivari, Kepala Divisi Sains
Terangi).Semoga hasil dari penyelenggaraan even-even seperti ini bisa
dimanfaatkan oleh agen-agen implementasi melalui interaksi yang lebih kuat
dengan pelibatan sains dan teknologi yang terbaru dari hasil simposium. Hal ini
merupakan tantangan yang besar karena sepertinya even WOC kali ini masih
mempunyai gap yang cukup besar antara agen implementasi dan para saintis (Ria
Fitriani, Peserta). Semoga WOC bisa membawa wawasan baru. Isu-isu “lama”
sebaiknya di “up to date”, agar bisa berkembang sesuai dengan kebutuhan dan
situasi terkini. Diharapkan pula agar komitmen konservasi yang telah keluar dari
para pemerintah daerah benar-benar ditindaklanjuti sesuai komitmen tersebut,
jangan hanya dikeluarkan di WOC (Erdi Lazuardi, Conservancy International,
Sorong). WOC dan even-even terkait bisa menjadi ajang untuk saling berbagi
ilmu dan teknologi terbaru. Untuk bisa maksimal, komite seleksi harus dibekali
pengetahuan yang cukup dan harus berani untuk selektif. Ajang ini juga harus
bisa dipakai untuk membangun jejaring kerja antar saintis (Habeebollah,
Koordinator Perikanan Tangkap WWF Indonesia).Agar WOC bisa menjadi
jembatan untuk membawa saintis-saintis dari perguruan tinggi di Indonesia ke
ajang internasional. Dan agar WOC dapat membuka peluang jejaring antara
saintis nasional dan internasional (Arif Setyanto, Dosen Universitas Brawijaya).
BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

– Konservasi atau pembangunan berkelanjutan memang membawa banyak


tantangan, tapi juga menjanjikan harapan-harapan dan kemajuan bagi kondisi
ekosistem laut kita.

– Kelestarian flora dan fauna merupakan hal yang mutlak diperhatikan demi
kelangsungan hidup manusia

5.2 Saran

Kita semua (pemerintah dan masyarakat) perlu meningkatkan kepedulian tentang


ekosistem laut serta berpikir kritis mengenai masalah masalah yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2011. Panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan Konservasi


Laut Daerah. http://www.coremap.or.id/manual/article.php?id=549 diakses 19
Oktober 2011

Mulyana, Yaya. 2007. Panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan


Konservasi Laut (KKLD/MMA). http://surajis.multiply.com/journal diakses
19 Oktober 2011

Waroi, Desman. 2010. Kawasan Konservasi Laut Daerah


(KKLD).http://desmanwardi.blogspot.com/2010/07/kawasan-konservasi-laut-
daerah-kkld.html diakses 19 Oktober 2011

Anonymous. 2007. Panduan Penyusunan Rencana Pengelolaan Kawasan


Konservasi Laut
(KKLD/MMA). http://surajis.multiply.com/journal/item/3 diakses 20 oktober
2011

Anonymous. Konservasi Laut


Abun.http://www.wwf.or.id/tentang_wwf/upaya_kami/marine/wherewework/
coresite/abun/diakses 20 oktober 2011
LAMPIRAN FOTO

Anda mungkin juga menyukai